Jumat, 25 November 2011

Obet Si Pengamen Bis Kota

Pada hari Sabtu yang merupakan santai bagiku itu aku berniat ke Maruzen Manggarai untuk mencari buku. Di atas Metro Mini 17, Manggarai Senen PP seorang pengamen naik dari terminal RS Raden Saleh. Dengan celana jeans belel dan gitar bututnya dia melantunkan lagu-lagu. Kuperhatikan bokong anak ini seksi sekali. Anaknya jangkung, kurasa tidak kurang dari 170 cm, kerempeng, rambutnya yang agak dipanjangkan lepas terurai. Aku perkirakan usianya sekitar 21 atau 22 tahun. Wajahnya nampak bersih, sepertinya mahasiswa drop out.

Sejak dari RS Raden Saleh hingga depan stasiun KA Cikini aku tidak begitu memperhatikan apa yang dinyanyikannya maupun melodi yang dibawakan oleh gitarnya. Yang terus menjadi perhatianku hanyalah bokongnya yang seksi itu. Kubayangkan seandainya aku bisa membenamkan wajahku di celah bokongnya. Dengan membayangkannya saja aku sudah ngaceng berat.

Di stasiun KA Cikini, dia turun. Aku tiba-tiba begitu saja ikut turun, dan lantas mengejarnya saat melihat dia bergegas ke arah pasar Cikini.
'Dik, dik, sebentar, mau tanya. Saya seneng denger lagu-lagunya tadi. Kalau aku carter bisa nggak? Adik hanya nyanyi untuk saya. Kebetulan saya ini penulis yang harus banyak mencari inspirasi. Mungkin adik bersama saya selama 2 atau 3 hari. Berapa saya bayar per harinya? Kalau bisa kita besok ketemu di mana? Akan saya jemput. Saya akan menginap di Bogor. Di sana saya punya pondok yang asri dan sejuk. Saya selalu menulis di tempat itu'.
Begitulah, aku langsung membeberkan maksud dan tujuanku secara lengkap dan terperinci kepada sang pengamen bis kota ini.
'Eeehhmm.. Boleh Oom, terserah Oom aja mau kasih berapa. Hitung-hitung cari pengalaman. O ya boleh nggak kalau saya bawa teman Oom'.
Aku agak mikir.., tetapi sebelum aku menjawabnya, 'Ah nggak usah deh, Oom khan mau ngarang, n'tar ngeganggu lagi. Besok disini saja Oom ketemunya. Saya khan tinggal di belakang pasar itu. Jam berapa?'.
'Jam 11.00, nanti kita makan siang dulu di deket-deket sini. Siapa nama adik? O ya, nih buat panjer ..', kusodorkan 1 lembar 100 ribuan rupiah.
Wajahnya langsung berbinar, 'Nama saya Robert Oom. Panggil saja Obet. Makasih Oom, besok ya, saya tunggu. Selamat siang'.

Biasa, aku selalu lancar dalam mengawali sesuatu, tetapi sebagaimana saat ini, aku berpikir, bagaimana besok? Ya, biar besok sajalah! Dengan HP, kutelepon Pak Karta pemilik pondok santai yang biasa kupinjam (sewa) untuk bersantai di Bogor.
'Pak saya mau pinjem tempat ya, 2 hari. Besok siang saya nyampe, kuncinya titipin Mang Jani saja. N'tar saya mampir sana', nah beres sudah.

Pondok Pak Karta terletak di kebun buah-buahan yang cukup luas. Ada pohon manggis, duku, jambu, sawo dan lainnya.
Pukul 11.00 sesuai janji kujemput Obet di dekat stasiun Cikini. Aku pinjem mobil kakakku dengan alasan akan melihat-lihat tanah di Bogor, ada relasiku yang butuh tanah untuk rumah kebun. Sesampai di tempat, aku turun dari mobil dan melihat sana sini. Ternyata Obet sudah melihatku saat parkir mobil.
Dia mendatangiku, 'Oom, siaang.. '.
'Hai, siap? Makan di mana kita? Yang enakkan dikit?'.
Obet menawarkan untuk makan soto Cirebon.
'Seger Oom'.
'Ayolah..', dia mendahuluiku dan kemudian kuikuti.
Sambil melepas kerinduanku, aku memandangi bokongnya yang masih dibungkus jeans belelnya itu. Rasanya anak ini cukup tampan. Badannya yang jangkung kerempeng justru membuatnya nampak simpatik dan seksi. Aku geregetan memandang anak lelaki macam begini ini.

'Berapa umur kamu Bet?', aku berusaha mengakrabkan diri dengan memanggil namanya saja.
'19 tahun Oom'.
'Kuliah?'.
'Ya, Oom, di UKI, sipil'.
Lumayanlah, cukup buat ngobrol. Tak lama kemudian kami sudah berada di jalur tol Jagorawi.
'Main gitarlahh ..', aku tersenyum demikian juga dengannya.

Diambilnya gitarnya, dia alunkan lagu-lagu pop Indonesia. Ada lagu Koes Plus, ada Rinto Harahap, ada Doel Sumbang, biarlah terserah dia. Wong yang penting bagiku sebenarnya bukan nyanyiannya koq. Yang penting aku bisa menatap bokong dan sosoknya yang jangkung kerempeng tetapi simpatik itu. Sepanjang jalan aku berusaha menggiring ke suasana hubungan yang akrab dan santai. Sesekali aku menepuk-nepuk dia. Bahunya, pahanya atau apalah yang pas enak buatku.
Di tempat istirahat menjelang masuk kota Bogor, aku mengisi bensin penuh. Sebelum meneruskan perjalanan, kuajak Obet untuk membeli bermacam-macam makanan dan minuman untuk dimakan selama di pondok.
'N'tar kalau makan siang atau malam ada Mang Jani yang bisa kita suruh beli', kataku pada Obet.

Keluar dari kota Bogor lebih ke selatan, ada jalan desa ke kiri kira-kira 2 km. Melewati sungai yang bening airnya, sesudah melintasi bukit kecil berbatu terdapat halaman luas. Di dekat pintu masuknya ada rumah kecil. Aku mengambil kunci rumah dari Mang Jani penjaga kebun. Mobil masuk lagi kira-kira 100 m dan akhirnya nampaklah pondok tersebut. Terbuat dari bambu. Udaranya adem. Di samping pondok ada sungai kecil yang airnya terus bergemericik sepanjang tahun. Tempat ini paling kusuka untuk menyendiri, mengarang ataupun sekedar bersantai bersama keluarga. Sesekali juga untuk iseng seperti halnya sekarang.

Kuletakkan laptopku. Kupasangkan kabel ke stop kontak di dinding dan lalu kunyalakan laptopku. Obet hanya mengamati. Dia mencari tempat duduk yang serba lesehan. Dia memilih tempat di pojok dekat jendela. Dia sandarkan gitarnya.
'Ya, santai saja Bet. Buatku yang penting suasana kok. Dengan memandangi kamu dengan segala tingkahmu saja aku sudah merasa nikmat dan, kontolku sudah ngaceng kok..', demikian batinku.

Dari mobil, kuambil poci pemanas listrik untuk membuat minuman. Kuisi air bersih dari teko air yang disediakan di tempat itu. Kutawarkan pada Obet untuk 'self service' memilih minumannya sendiri. Ada kopi, jahe, coklat susu, teh maupun capuccino. Mang Jani datang membawakan gitarku. Sebenarnya ini memang surpriseku untuk Obet yang sudah kuatur. Gitar klasik asli Spanyol, Tarrega. Mang Jani menyerahkan gitar spanyol tersebut kepadaku. Kupetik-petik sebentar untuk mencek setelan nadanya.

Setelah aku membetulkan posisi dudukku, masih dengan gitar di pangkuanku, kupetik 'Romance d'amour', lagu klasik tradisional Spanyol yang sangat romantis. Tentu saja Obet terbengong-bengong. Dia mendekat dengan senyum-senyum kecil. Rupanya dia tidak ingin menggangguku. Dia perhatikan jari-jariku yang lincah memetik dawai gitarku. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya terkagum-kagum, kemudian mengacungkan jempolnya padaku tanpa suara.
Selesai satu lagu itu..
'Hebat Oom. Oom hebat'.
Dia raih tanganku, menjabatnya erat-erat.
'Ajarin dong Oom'.
'Mahal, kamu nggak mau bayar n'tar'.
'Mau bayarannya berapa?', dia tertawa.
Dia tahu bahwa aku hanya berkelakar.
'Bukannya berapa, tetapi apa?'.

Kemudian aku mulai memetik gitar lagi. Lagunya adalah 'Asturias' milik Albeniz yang sangat sentimental dan melankolis itu.
'OK deh Oom, apa? Apa bayarannya? Pokoknya ya ini yang aku punya. Gitar rongsokan, T-shirt dan celana jeans belel'.
Obet yang langsung jatuh hati pada petikan gitarku, menyatakan ingin belajar dengan mengorbankan semua yang dia miliki.
'Bener? Bener, nggak nyesel nihh? Kalau begitu cepet buka baju dan celanamu, biar kamu bugil pulang ke Jakarta. Ayo cepat bukaa..!', sambil tertawa kuperintahkan dia untuk melucuti pakaiannya.
'Ayyoo dong Oomm, ajarin Obet..', pintanya merengek.
'Buka dulu..', kutaruh gitarku aku berdiri ambil kopiku.

Dasar anak muda, dasar nekat, dasar badung, dasar ngotot, dasar nyentrik. Kuperhatikan Obet membuka pakaiannya satu persatu. Mataku melirik. Saat dia melepas jeans belelnya, dengan tubuh agak melengkung, dia menarik kaki celananya yang terakhir hingga nampak tinggal cawatnya yang berwarna putih. Benjolan besar membayang dari cawat itu. Wow, kontol Obet.
'Nih Oom ambil semua, biarin deh pulang bugil. Yang penting bisa main gitar hebat, ha, ha, ha, ha..'.
Dengan kopi di tangan kanan dan tangan kirinya berada di pinggang, aku bersandar pada tiang pondok.
'Hei tukang ngamen, siapa yang minta celana dan baju bututmu itu? Kalau itu mah aku juga bisa dapat banyak di loak Pasar Rumput!', kutertawakan si Obet, sambil kudekati perlahan.
'Aku mau ini nihh..', ujarku sambil kutangkap benjolan di cawatnya dan kuremas.

Takut kubetot dan karena merasa sakit, Obet meraih tanganku.
'Heeii Oom..', nampak keterkejutannya atas kenakalan tanganku itu.
Dia memandangku dan berpikir.
'Oom senang gitu toh, Oom gay yaa, Oom homo yaa..?', dia setengah berbisik tetapi dengan tetap membiarkanku meremas kontolnya yang ternyata semakin membesar.
'Bolehh?, jelas wajahku memerah nanar karena birahiku.
'Bb.. bett..?'.

Dia tetap terbengong dengan bibirnya yang sedikit menganga. Membuatku tidak tahan lagi. Kudekatkan wajahku dan kucium bibirnya. Obet diam saja tidak bergerak, tidak menolak dan tidak membalas. Kami saling berdiam diri beberapa saat. Masing-masing terdiam. Sunyi. Lalu aku kembali mengambil kopiku dan kemudian kuminum. Kusodorkan cangkir kopi dari bibirku ke bibirnya. Dia menerimanya dan dia teguk kopi dari cangkirku.

'Obett..', tanganku kembali nekad meremas kontolnya.
'Ooohh Oomm, enak Oom', dia merasakan nikmatnya remasan tanganku pada kontolnya. Kuletakkan kopi ke lantai dengan tanpa melepas remasan tanganku, kemudian kupeluk Obet, kupagut bibirnya. Lidahku meruyak ke mulutnya. Nampak baru pertama kali bagi Obet, lelaki mencium bibirnya. Dia masih bersikap kaku. Tetapi hanya sesaat.

Kurasakan lidahnya mulai merespons ciumanku. Dia mencoba melumatnya dengan lembut. Kuraih kepalanya, bibirku menekan lebih dalam melumat bibirnya.
'Oom aku belum pernah gini nih Oom. Suka takut gitu. Tapi sama Oom sih nggak, kayaknya biasa aja'.
'Kemarin sebenernya aku udah agak curiga, kenapa Oom ngliatin aku terus. Tapi Oomnya nampak rapi dan cakep, jadinya aku cuekin aja'.
Kupagut lagi bibirnya dan dia hanya pasrah. Tangannya sudah memelukku, seakan berpegangan agar tidak lepas. Lidahnya sudah aktif pula. Tanganku meraba tubuhnya yang telanjang kecuali cawatnya yang masih tinggal. Kuremas bokongnya.

Untuk lebih merangsangnya, bibirku turun menjilati puting susunya, kemudian menyedot dan menggigit-gigit kecil.
Dia mengerang, 'Aacchh, Oomm enakk sekali..'.
Kuhentikan jilatanku. Aku ingin memberinya kesempatan untuk mengembangkan daya khayalnya akan nikmatnya birahi antara sesama pria. Kuraih gitarku, kupetik kembali 'Romance d'amour' tadi. Dia duduk sambil tersenyum-senyum. Kali ini nampak di bola matanya yang hitam pandangan yang menerawang jauh. Entah apa yang sedang merebak dalam pikirannya.

Kuajarkan basic gitar yang pernah kudapatkan dari Sekolah Gitar YMH di Jakarta. Mulai dari cara memegang gitar. Posisi tangan saat memetik. Posisi kaki dan di mana gitar seharusnya ditumpangkan, juga beberapa kunci accord. Dia mencoba-cobanya. 'Pelajaran' pertama kami akhiri dengan spermanya yang muncrat-muncrat di mulutku. Kontol Obet memang tidak terlampau besar, tetapi keras sekali hingga saat ngaceng seluruh batangan serta kepalanya berkilat-kilat menahan aliran darah yang menyesakinya.

Dia katakan bahwa nikmatnya sedotan mulutku mengalahkan vagina pacarnya. Sedotan dan jilatan mulutku memberikan kenikmatan yang sangat 'exciting' pada kontolnya. Dia juga bertanya apakah aku tidak jijik menelan spermanya. Kukatakan padanya bahwa untuk cowok sekeren dia, spermanya pasti enak. Dia hanya tersenyum saja mendengarnya.
'Kontol Oom masih ngaceng nih. Pengin dikeluarin dong?!'.
'Yaa, ntarlah khan masih banyak waktu, Oom nggak buru-buru kok', jawabku.

Pada pelajaran kedua, kulatih jarinya mengenai bagaimana tiga jari kanan memetik tali gitar secara cepat beruntun, atau yang biasa disebut 'tremolo', hingga menimbulkan efek suara yang terdengar seperti air mengalir. Dia harus terus menerus mengulang-ulangnya hingga lancar. Kubiarkan dia mempelajarinya sendiri hingga jarinya melepuh dan bosan sendiri.

Kubuka laptopku yang sedang dalam keadaan stand by, ku-explore ke folder koleksiku, kupanggil file 'cocks & cum', dan beberapa gambar yang telah kupindahkan ke Microsoft Excel langsung terpampang. Kupanggil Obet agar mendekat. Dia senang sekali melihat gambar-gambar koleksiku. Melihat gambar lelaki saling menjilat dan mengulum kontol sesama lelaki, minum sperma dari masing-masing pasangan kencannya, yang satu menjilati anal yang lain, bahkan yang satu minum kencing yang lain hingga kami berdua menjadi sangat 'horny'.

Kami lalu saling meremas. Tanganku merasakan kedutan-kedutan birahi dari kontolnya. Tangan Obet dengan gemas meremas dan mengurut-urut kontolku. Laptop dan gambar-gambarnya kami biarkan tetap terbuka. Aku dan Obet dengan cepat saling melepas pakaian kami hingga bugil. Kami langsung berpelukan di tikar pondok itu. Aku dan Obet sama-sama kesetanan dilanda nafsu birahi. Kami saling jilat, saling gigit, saling sedot. Bibir, dagu, leher, dada, puting susu, ketiak, semua tidak ada yang terlewatkan.

Kemudian kami berputar hingga berposisi seperti gambar-gambar di kartu bridge. Kepalaku di perutnya menuju ke arah kakinya, kepalanya di perutku menuju ke arah kakiku. Kami saling mencium perut dan menjilat pusar sambil terus merangkak ke depan partner masing-masing. Saat wajahku telah sampai di areal jembutnya, aku menenggelamkan mukaku ke rimbunan tebal itu. Bau aroma lelaki kuhirup dari rimbunan jembutnya. Kurasakan juga Obet tengah terjebak dalam jembutku. Kami terus saling merangsek.

Di tepi-tepi kontol, lipatan antara pangkal kontol dan paha merupakan daerah sasaran hidungku yang paling utama. Di tempat itu keringat pria terakumulasi dan terjepit. Sehingga baunya sangat kuat memancar, baik yang berada di sebelah kanan maupun kiri. Aku menghirup dan menjilati daerah itu. Sedap sekali. Kemudian kami melakukan posisi 69. Kujilati dan kukulum kontolnya. Demikian pula Obet menjilati dan mengkulum kontolku. Kami saling memompa dengan mulut-mulut kami.

Birahi dan nafsu kami semakin meninggi. Kami berguling-guling mencari posisi yang paling nikmat untuk menyalurkan birahi. Ada kalanya dia di atasku dan memompa kontolnya yang mengentot mulutku. Dan demikian pula terkadang ganti aku berbalik ke atasnya menindih tubuhnya mengentot mulutnya. Saat spermanya akan muncrat Obet berbalik.
'Oomm aacchh, Oomm, jilatin pantatku Oomm, jilatin lubangnya yaa Oomm..'.
Dan didorongnya tubuhku hingga telentang, dia duduki wajahku, dia paskan lubang analnya pada bibirku, dia minta aku untuk menjilatinya. Sungguh fantastis. Dia berjongkok seakan buang hajat, dengan lubang kotorannya tepat berada di mulutku, kujilati lubang itu.

Kemudian kulihat Obet mengocok kontolnya sendiri, dan aku juga jadi ikut mengocok kontolku. Akhirnya kurasakan cipratan-cipratan hangat menyemprot ke dadaku. Sperma Obet menyirami dadaku. Dan menyusul, kontolku juga muntah-muntah menyiramkan spermanya ke perutku. Dan, sungguh edan, si Obet menjilati spermaku dari perutnya, dan dia colek spermanya yang masih tercecer di dadaku dengan jarinya dan dia suapkan ke mulutku.

Itulah akhir 'pelajaran' kedua tentang bagaimana cara 'bermain gitar' dan melakukan 'tremolo' dengan kontolnya. Kami langsung tergeletak di lantai pondok dengan kelelahan. Tanpa sengaja kaki Obet menendang gitarnya sendiri hingga roboh dari sandarannya.
'Oom, rasanya lidah Oom tadi kurang menusuk ke pantatku Oom, aku pengin yang lebih dalam lagi nusuknya'.
Eeehhmm, apakah harus secepat itu Obet menghendaki analnya di tembak.
'Kalau begitu Oom tembak saja yaa..'.
'Tembak gimana Oom ..'.
'Kontol Oom menggantikan lidah, dan pasti hasilnya lebih menusuk dan asooy, deh'.
'Sakit nggak Oom?'.
'Nggaakk, nanti aku minta minyak goreng sedikit ke Mang Jani. Buat pelumas yaa?!'
Dasar anak muda. Dia berani mencoba juga rupanya, berani bertualang. Sepertinya Obet ini ingin menuntaskan apa yang baru yang diperolehnya dari aku.

Setelah mandi sore, mulailah pelajaran ke tiga. Kubenarkan caranya memegang gitar. Dia mempelajari cara membuat 'vibrato' dengan jari-jari kirinya pada dawai yang dipetik jari kanan. Dia harus terusmengulanginya dan agar tidak jenuh dia juga mengulangi 'tremolo' dengan tiga jari pemetik dawainya.

Aku kembali menunjukkan file 'gay sex' dari file laptopku. Kutunjukkan padanya apa yang disebut 'doggy style'. Kusuruh dia menungging seperti anjing, setelah sebelumnya kulumuri lubang duburnya dengan minyak goreng dari Mang Jani. Kuarahkan kontolku yang sudah ngaceng berat, walaupun sebenarnya aku tidak berharap akan secepat ini Obet terobsesi agar pantatnya disodomi. Pelan-pelan kutusukkan kontolku pada lubang anal itu.
'Uuhh sakit Oom, sakitt, uuh, Oomm..!'.
Aku tahu, itu memang akan dirasakan oleh semua pemula, tapi juga tidak akan pernah dihindari oleh para pemula itu. Obet tetap menanti tusukanku sampai benar-benar menembus analnya.
'Oom aku nggak tahann Oomm, terusinn, Oomm terussiinn, uuh sakiitt..'.

Setelah setengah kontolku masuk dilahap lubang dubur 'perawan'nya yang aduhai itu aku merapat ke punggungnya, persis anjing pejantan yang ngentot sang betina. Kucium punggung Obet. Kujilat dan kusedot daging-daging punggungnya. Kemudian kutusukkan setengah sisa kontolku hingga amblas seluruhnya masuk ke lubang dubur Obet. Terasa hangat dan ketatnya lubang dubur yang masih 'perawan'. Aku terus memompa. Pantatku naik turun mendorong kontolku. Lubang dubur Obet terasa mencengkeram erat batang kontolku. Rasanya seperti dilolosi urat-uratku kontolku. Obet merintih, menangis kenikmatan.
'Eennakk Oomm..'.

Aku kemudian mengocoknya.
'Ampunn Oomm, pedihh, panas, uuhh.., ampunn, keluarin Oomm keluarin Oomm..'.
'Keluarin di mana..?', aku bertanya.
'Keluarin di dalem ya Oomm, aku pengin ngerasain, Oomm, keluarin di dalam aja Oom..', aku semakin mempercepat genjotanku.
Kujambak rambut Obet hingga menjadi mirip tali lis kuda tunggangku. Kuremas buah dada Obet untuk melepaskan syahwatku. Kuhunjamkam dalam-dalam kontolku hingga menyentuh dinding-dinding ususnya. Aku berteriak tertahan karena kenikmatan yang melandaku sangat hebat. Kontolku memancarkan sperma hangatnya ke usus Obet. Ke lubang dubur hangat Obet. Dan kurasakan pantat Obet yang menjemput setiap tusukan kontolku, pantat yang sangat nikmat, pantat yang nantinya akan kujilati untuk membersihkan spermaku yang telah muncrat ke dalamnya.

Aku langsung rubuh. Demikian juga dengan Obet.
'Adduuhh, dduuhh, dduuhh..', masih terdengar rintihannya yang disebabkan rasa pedih, perih dan panas serta pedas di lubang analnya. Kemudian kami sama-sama diam sambil menarik nafas-nafas panjang untuk sebanyak mungkin menghirup oksigen dari pondok kebon yang luas itu.

Tak lama kemudian, Obet bangun membuatkan kopi untukku dan coklat untuk dirinya. Kami menghapus keringat yang masih terus mengucur di pondok yang sejuk itu. Malam pertama di pondok itu kami tidur dengan sangat nyenyak. Aku merangkulnya dan bergantian pula dia merangkulku untuk saling mencari kehangatan dalam pondok di Bogor yang sejuk itu. Sepanjang malam kontolku maupun kontolnya rasanya terus menerus ngaceng tetapi kami, apalagi aku terlalu lelah untuk bersanggama.

Pagi harinya Mang Jani mengantarkan talas rebus dan ubi bakar kesukaanku. Obet kembali membuat kopi. Sarapan pagiku itu ditutup dengan air kencing Obet, yang pada awalnya dia sangat menolak karena menjijikkan katanya tapi aku terus mendesaknya. Mungkin karena merasa kasihan atau takut kalau-kalau aku tidak mau lagi mengajarinya main gitar maka dengan terpaksa dia mau juga mengencingi mulutku.

Dia keheranan bagaimana dengan penuh nafsu dan hausnya aku menenggak air kencingnya.
'Oom, nggak jijik ya minum kencingku..?', yang hanya kujawab dengan senyum dan elusan pada selangkangannya.
Hingga siang hari dia sibuk berlatih tremolo, vibrato dan satu lagi yang baru kuberikan 'pizzicato', yaitu efek yang didapat dari menahan dentingan dengan telapak tangan yang berada tepat di atas lubang gitar untuk menahan resonansi dengan cara yang lembut.

Sementara itu aku mulai membuka lembaran Microsoft Word dengan judul 'Obet, Si Pengamen Bis Kota' yang kini tengah anda baca ini. Setelah makan siang, kami memasuki pelajaran yang keempat. Obet kuajarkan melakukan 'chocking' untuk permainan gitar rock. Beberapa macam irama untuk chocking antara lain adalah untuk jazz rock, bossanova rock, blues rock sampai macam musik lokal, dangdut rock.

Obet puas dengan pelajaran awal ini. Dia berkata akan memberikan surprise pada Letty, pacarnya. Kubayangkan pasti Lettynya itu adalah gadis yang cantik. Celakanya 'pelajaran' terakhir tadi masih juga dia praktekkan padaku. Dengan bossanova rock dia entot mulutku, dengan blues rock dia pepetkan kontolnya ke celah-celah pahaku dan pada akhir hubungan seks di pondok sejuk di Bogor itu, Obet menembak pantatku dengan jazz rocknya. Wadaaow, rasanya mau robek saja analku.

Dan dia tumpahkan semua simpanan spermanya dalam lubang analku. Sungguh suatu kenikmatan tiada tara yang Obet berikan padaku sebagai upah untuk pelajaran gitar yang dia dapat dariku. Sore itu kami pulang ke Jakarta. Aku duduk di belakang kemudi mobilku dengan posisi pantat sedikit agak miring, untuk sedikit mengurangi rasa pedih dan perih pada lubang duburku.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.