Rabu, 02 November 2011

Oase Laut Utara 05: Kiss Me Goodbye

Bandara Sam Ratulangi, Senin siang, 11.09 WITA

Jadwal keberangkatan Bahar ke Surabaya akan menjelang beberapa jam lagi. Kesibukan di Bandara belum begitu padat, hanya beberapa orang petugas porter yang tampak bergerombol di beberapa sudut kedatangan, merayu para calon penumpang untuk dibantu membawakan barang bawaan. Tapi tampaknya mereka tak berani mendekati kami. Barangkali mereka segan pada kami yang punya potongan tubuh lumayan gede ini. Apalagi saat itu, menurut Bahar aku kelihatan 'sangar' dengan kacamata rayban. Sedangkan Bahar tampak gagah dan agak 'preman' dengan setelan sportifnya: baju kotak-kotak plus blue jeans.

Bahar segera check in. Sementara aku mengurus barang bawaan yang akan dibagasikan. Ada dua kopor berukuran sedang dan satu travel bag yang dibawanya. Tanpa setahu dia, aku menyelipkan fotoku dan foto kami berdua di salah satu kantong yang ada di kopor pakaiannya.

Mungkin karena Bahar termasuk calon penumpang yang datang lebih awal, maka pelayanan bisa lebih singkat diselesaikan. Kebetulan aku diijinkan petugas bandara untuk masuk ke ruang tunggu. Mungkin karena hari ini sedang tidak terlalu banyak penumpang. Ruang tunggu pun terlihat masih sepi. Dan kami bisa bebas mau duduk di mana saja. Tapi Bahar mengajakku memilih kursi yang agak terpisah dari yang lain.

Untuk beberapa saat kami tak banyak bicara. Tenggelam dalam lamunan masing-masing dan sesekali memperhatikan kesibukan petugas bandara yang ada di landasan. Pesawat dari Ujung Pandang yang akan membawa Bahar ke Surabaya belum tampak terlihat.

Dia lalu mengeluarkan bungkus rokoknya, tapi aku mengingatkan larangan merokok di ruang tunggu ini. Disimpannya kembali bungkus rokok itu ke kantong bajunya. Nampak sekali dia sedang nervous. Kupegang tangannya. Dingin. Lalu tangannya membalas menggenggam tanganku. Menghela nafas dan mencoba tersenyum.

"Abang mau merokok? Ayo, aku antar keluar" kataku menawarkan. Tapi dia menggeleng dan malah mengembangkan senyuman tipis. Genggaman tangannya kurasakan makin erat.

Aku mencoba menenangkannya. Dia mengangguk-angguk dan mencoba tersenyum lagi. Tapi senyum itu kelihatan dipaksakan. Bahar menghela nafas.

".. Barangkali saya terlalu berat untuk berjauhan dengan Mas Harso..," kalimat terakhirnya terdengar agak lirih.

Kini tiba-tiba gantian aku yang senewen mendengar ucapannya itu. Mataku berkejap-kejap, agak panas. Terus terang, sebenarnya selama dua hari terakhir ini aku secara diam-diam terus memikirkan bagaimana caranya agar selama Bahar di Surabaya nanti komunikasi kami tak terputus. Kontak melalui surat menurutku terlalu makan waktu dan bukan pilihan yang baik. Sedangkan hubungan melalui telepon sulit dilakukan karena pondokanku di Sangir tak ada fasilitas telepon. Musti pergi ke dekat pelabuhan dulu untuk bisa menelpon. Itupun dengan memakai fasilitas (tepatnya meminjam dan bayar) telepon milik kantor sebuah perusahan perkapalan.

Akhirnya, aku menemukan ide yang sebenarnya baru dapat direalisasikan seminggu setelah keberangkatan Bahar. Sebenarnya bukan murni sebuah ide, lebih tepat sebuah rencana yang sebelumnya memang sudah diagendakan dalam jadual surveyku. Tapi bagiku itu merupakan jalan keluar yang paling baik, dan aku ingin membuat rencana ini menjadi sebuah kejutan untuk Bahar. Makanya aku sengaja menyimpan ide itu sampai menjelang keberangkatannya ke Surabaya ini.

Tapi sekarang, demi mendengar ungkapan Bahar yang katanya 'terlalu berat untuk berjauhan denganku', aku menjadi tak tega untuk tak segera mengatakan semua rencana yang hampir satu setengah hari ini kusimpan.

"Bang, di Surabaya ada nomor teleponnya nggak?" tanyaku memancing.
"Saya rasa ada. Cuma.." jawabnya sambil mengingat-ingat sesuatu.

Tangannya lalu membuka tas cangklong kulit warna hitam tempat barang-barang penting miliknya. Rupanya Bahar mencari surat panggilan yang dalam kop suratnya terdapat alamat perusahaan, termasuk nomor teleponnya.

"Nih! ada.." katanya agak kegirangan.

Tampak sekali ia mengharap aku akan dapat melakukan sesuatu dengan nomor telepon itu. Aku lantas mencatat nomor tersebut dan kusimpan di dompetku. Lalu kuambil sebuah catatan kecil dari dompet dan kuberikan ke Bahar

"Dan ini nomor teleponku.." kataku sambil menyodorkan secarik kertas kepadanya.

Bahar tampak bingung melihatku.

"Telepon? telepon siapa?" Bahar kebingungan lalu mengamati angka-angka di kertas itu.

"Kok, kode wilayahnya di Manado?" sambung Bahar makin bingung.

"Iya, memang" jawabku enteng. Dan Bahar tambah bingung. Kasihan juga aku melihat ia kebingungan seperti itu.
"Begini Bang.." kataku mulai menjelaskan, "Abang ingat nggak? Jadual kerjaku bulan ini sebenarnya sudah menginjak ke pengolahan data survey. Nah, dulu kan saya pernah bilang, pengolahan data itu mungkin butuh waktu sekitar 40 hari dan itu harus dilakukan di Manado, karena memerlukan beberapa fasilitas yang tak ada di Sangir.." kataku menjelaskan.

Baru kuberi penjelasan begitu Bahar sudah bisa menangkap apa rencanaku sebenarnya. Bola matanya yang hitam tajam itu berbinar. Senyumnya mengembang, menampakkan deretan gigi yang putih dan mempertegas garis-garis di pipinya. Kali ini bukan senyum yang dipaksakan.

"Kok Mas Harso baru ingat kalau jadual pengolahan itu dilakukan bulan ini?" tanyanya menyelidik.
"Oh nggak! Aku sudah ingat sejak malam Minggu kemarin," kataku.
"Kok baru cerita sekarang?" sambarnya sambil langsung memukul bahuku.

Aku tak mengelak dan malah membiarkan lengan kekarnya memeluk leherku karena gemas oleh kejutan yang kusampaikan.

"Jadi, mulai minggu depan aku sudah ada di Manado dan kita akan lebih mudah melakukan kontak via telepon," kataku melanjutkan penjelasan sambil ketawa menggodanya dia yang sedang menyumpah-nyumpah. Tapi kini kulihat ada rona cerah di wajahnya. Hilang sudah kecemasannya.

"Pantas, Mas Harso dari kemarin kok tampaknya tenang-tenang saja," katanya sambil ikut ketawa geli begitu menyadari aku telah berhasil mengerjainya. Beberapa penumpang yang mulai berdatangan sempat menoleh ke arah kami.

Akhirnya suasana di ruang tunggu yang tadi terasa membosankan itu menjadi cair. Kami lalu ribut saling mengatur rencana-rencana untuk saling kontak di antara kami nanti. Bahar berjanji akan menelpon lebih dulu ke Manado dan aku memberikan tanggal dan hari pertama aku akan tinggal di Manado nanti.

Di landasan terlihat pesawat dari Ujung Pandang sudah tiba. Biasanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk persiapan take off berikutnya. Kami berdua masih punya banyak waktu untuk ngobrol kesana kemari. Kepergian Bahar akhirnya tidak menjadi sebuah ganjalan lagi, tapi bisa kami terima seperti layaknya sebuah kepergian biasa.

"Mas, ke belakang sebentar yuk.." tiba-tiba Bahar mengajakku setengah berbisik, penuh arti. Dan ada yang bisa kutangkap dari ajakannya itu.

Kami berdua lalu berdiri dan berjalan menuju toilet di ujung ruang tunggu. Di dalam ada dua orang sedang buang air kecil. Bahar lalu masuk ke salah satu kamar kecil dan memberi isyarat padaku untuk menyusul. Aku pura-pura membasuh tangan di wastafel dan sejenak berkaca di depan cermin sambil menunggu toilet sepi. Begitu dua orang itu keluar, aku langsung menyelinap ke kamar kecil menemui Bahar..

Kami langsung berciuman melepaskan perasaan yang tertahan dari tadi. Mulut Bahar tak henti-hentinya melumatku dengan penuh nafsu. Nafasku sampai tersengal-sengal. Aku sampai memberi isyarat agar dia hati-hati jangan sampai ketahuan orang dari luar. Tapi Bahar tampak tak menggubrisku, bahkan ketika di luar terdengar ada orang sedang menggunakan toilet, ia tetap terus merangsekku.

Bahar akhirnya melepas bibirnya dari bibirku. Ujung kumisnya tampak basah. Nafasnya terdengar memburu dari hidung dan mulutnya yang terbuka terengah-engah. Matanya tajam menatapku dan belum sempat aku menyadari.. Bibirnya maju lagi menyergapku! Dasar!

Kembali aku tenggelam dalam lumatan bibir dan jelujuran lidahnya yang liar itu. Namun kali ini aku berusaha mengimbanginya. Dan tampaknya ia menjadi bersemangat melihat reaksiku. Kudekap tubuhnya erat-erat. Ia lebih erat mendekapku. Kutekan tubuhnya kuat-kuat. Ia lebih kuat menekanku.

Dua tonjolan besar di depan celana kami saling beradu bergesekan dan saling menekan satu sama lain. Sesekali Bahar memutar pinggulnya sambil menekan sehingga menimbulkan rasa geli di pangkal pahaku.

Kami berdua tampaknya mulai 'naik'. Tangannya tiba-tiba membuka resleting celananya dan langsung mengeluarkan barangnya. Lalu dengan tergesa-gesa ditariknya pula resleting celanaku dan langsung dirogohnya untuk dikeluarkan isinya. Kini kedua benda bulat panjang milik kami bisa langsung bersentuhan tanpa terhalang apapun. Saling bergesekan dan saling beradu anggar dengan ketatnya.

Bahar mencoba mengisap milikku. Aku membiarkannya. Tapi rasanya tak mungkin menuntaskan permainan ini di kamar kecil seperti ini. Meskipun birahi kami sudah mendesak-desak menuntut penyaluran.

".. Banghh.." aku mendesah lirih agar tak terdengar sampai keluar.
"Yahh..?" balas Bahar lirih juga, sambil tetap berusaha menciumiku di bawah sana.
"Sudah. Cukup" kataku sambil menarik tubuhnya untuk berdiri.

Bahar cuma mengangguk kayak anak kecil. Rupanya ia masih 'sadar' bahwa situasi dan kondisinya tidak mendukung untuk melampiaskan semuanya. Melihat ekspresi wajahnya yang tiba-tiba jadi penurut itu, aku jatuh iba juga. Terakhir aku menyempatkan untuk gantian mengisap miliknya dengan beberapa lumatan, sampai ia merasa cukup dan menarikku tubuhku untuk berdiri.

Di luar terdengar lagi ada suara orang masuk ke toilet. Sejenak kami menunggu sampai orang itu keluar. Bahar masih sempat mengecupku sekali lagi, sebelum akhirnya kami berdua dapat keluar dari kamar kecil itu dengan aman.

Aku langsung menjatuhkan pantatku di kursi ruang tunggu. Bahar menyusul. Nafas kami masih agak tak beraturan. Wajah Bahar kulihat lega. Seperti ada sesuatu yang telah ia selesaikan. Wajahnya menghadap lurus ke depan sambil sesekali menghela nafas. Senyum-senyum sendiri. Lalu ujung matanya melirikku. Aku tertawa melihat sikapnya yang lucu itu.

"Kok ketawa?" tanyanya agak sewot tapi sambil tetap tersenyum.
"Dasar!" kataku dengan nada meledek.
"Dasar apa?"
"Dasar, nggak mau rugi waktu"
"Boleh kan? Kapan lagi bisa.."

Aku memberi isyarat dengan telunjukku agar ia tak meneruskan kalimatnya. Takut kalau terdengar orang-orang di sekitar situ. Selanjutnya kami tak banyak bicara. Hanya mata kami saja yang sesekali saling bertatapan, mengirimkan sinyal-sinyal yang hanya bisa dipahami oleh kami berdua.. Tiba-tiba dari pengeras suara terdengar suara petugas mengumumkan persiapan keberangkatan pesawat yang akan ditumpangi Bahar menuju ke Ujung Pandang. Rencananya dari Ujung Pandang nanti Bahar akan pindah pesawat yang langsung menuju Surabaya.

Tibalah saat perpisahan kami.. Terbanglah kekasihku, bisikku dalam hati. Terbanglah dan nikmati perjalanan dan tugas-tugasmu. Aku akan selalu merindukanmu..

Kami segera segera berdiri, berhadapan. Saling menatap dan tersenyum. Kuhela nafasku menetralisir degupan dada yang makin kencang. Bahar lalu memelukku sampai dua kali. Dan aku sempat membisikkan kata-kata kepadanya.

"Aku juga sayang Mas Harso" bisiknya sebelum akhirnya menuju pintu keberangkatan.

Tangannya terus melambai bahkan ketika sudah berada di tangga pesawat. Bagaimana pun, aku merasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam diriku begitu suara pesawat terbang itu pelan-pelan menghilang ditelan awan.. Angin laut Sulawesi menyadarkanku dari lamunan.

Aku kini berada di atas kapal yang sama dengan kapal kemarin yang membawaku dari Sangir ke Manado. Selama pelayaran kuhabiskan waktu dengan membaca koran dan majalah yang tadi sempat kubeli di bandara. Beberapa menit rasa kantuk sempat membuatku tertidur berbantal pokok kayu di belakang kepala.

Aku tak ingat lagi mimpi apa yang aku alami selama aku tertidur di atas kapal itu. Sampai ketika satu dua suara camar mulai terdengar sayup-sayup. Tampaknya sudah mendekati pelabuhan tujuan. Aku segera bersiap-siap dan bangun berdiri menuju haluan. Beberapa penumpang juga sudah bersiap-siap untuk turun. Sekian kilometer di depan kapal sudah tampak bayangan pulau yang menjadi tujuan.

Begitu jangkar dibuka, beberapa pekerja pelabuhan langsung berlompatan ke atas kapal. Ada beberapa yang masih berusia remaja, bahkan anak-anak. Tapi selebihnya adalah pekerja dewasa. Rata-rata bertubuh kekar. Dan beberapa di antaranya mempunyai wajah khas Sangir Talaud. Oh, tiba-tiba ingatanku jadi melayang ke Bahar..

Aku sampai di pondokan sekitar jam lima sore. Langsung mandi dan istirahat santai hingga menjelang malam. Beberapa perlengkapan mulai kupersiapkan untuk rencana pengolahan dataku di Manado nanti dan juga persiapan buat rencanaku besok untuk menyelesaikan sisa pengamatan di dekat pelabuhan yang mungkin akan memakan waktu dua tiga hari.

Malam itu aku agak sulit tidur. Terus terang pikiranku dipenuhi oleh bayangan Bahar. Rasa kangen muncul semakin kuat. Padahal, selama ini kami juga tidak setiap hari ketemu. Tapi perpisahan kali ini.. Surabaya.. Dua bulan.. Galangan kapal.. Dua bulan.. Manado.. Akhirnya aku tertidur juga.. Waktu berlalu..

Hingga akhirnya jadual keberangkatanku ke Manado tiba juga. Sepanjang perjalanan laut aku terus terjaga. Di samping untuk mengawasi segala perlengkapanku, aku terus dibayangi angan-angan bahwa hari ini aku akan 'berjumpa' dengan Bahar. Selama seminggu ini aku berusaha sekuatnya untuk melepasnya dari pikiranku. Tapi kini, aku puas-puaskan seluruh anganku membayangkan wajahnya dan kejadian-kejadian indah bersamanya.

Rumah yang kutempati di Manado sebenarnya merupakan paviliun dari sebuah Mess Kelautan. Perusahaanku yang bergerak dalam natural explorer (Baca 'Oase 1') sengaja mencarikan lokasi untukku sebuah tempat yang mempunyai sarana memadai untuk pengolahan data sekaligus sumber referensi bagi penelitianku yang memang terkait dengan kelautan. Dan Mess Kelautan inilah tempatnya.

Paviliun yang kutempati cukup nyaman dan lengkap. Ruang tidur, kamar mandi, ruang kerja, dapur dan ruang tamu. Tapi yang pertama kucari-cari adalah fasilitas telepon sesuai yang aku ajukan dulu. Dan akhirnya pesawat telepon itu kutemukan ada di meja samping tempat tidur. Lega rasanya. Jadi, rencanaku bakal terwujud untuk bisa terus berkomunikasi dengan Bahar.

Sore itu, setelah selesai membongkar barang bawaanku, aku mencoba istirahat sebentar di ranjang sekalian menunggu telepon dari Bahar sesuai janjinya waktu di bandara seminggu yang lalu. Aku sempat hampir tertidur ketika bunyi dering telepon mengagetkanku. Tanganku langsung menyambar gagangnya dan.. Ternyata bukan Bahar. Kepala administrasi mess rupanya, yang mengingatkan aku untuk memenuhi persyaratan registrasi besok pagi.

Akhirnya aku memutuskan untuk mandi dulu. Toh, sesore ini di Surabaya Bahar mungkin masih dalam jam kerja. Apalagi waktu Surabaya satu jam lebih lambat dari pada waktu Manado.

Aku hampir masuk ke kamar mandi dengan hanya berlilitkan handuk, ketika kudengar suara telepon berdering lagi. Kubiarkan sampai tiga kali. Aku berharap itu Bahar, tapi aku takut kecewa lagi. Aku duduk di tepi ranjang dan memegang gagang telepon itu.

Ketika kuangkat, di seberang sana terdengar suara laki-laki yang tak kukenali.

"Halo, selamat sore.." sapaku hati-hati.
"Selamat sore, apakah ini Mess Kelautan Manado Pak?" balas suara di seberang sana. Sepertinya bukan suara Bahar.
"Betul. Bapak mau bicara dengan siapa?" kataku lagi.
"Dengan Pak Harsoyo, ada?"

Aku agak tercekat. Rasanya aku tak kenal dengan orang ini.

"Maaf. Ini bicara dengan Pak Siapa?" tanyaku takut salah.
"Dengan Bahar, saya temannya Pak Harsoyo"

Aku hampir berteriak kegirangan. Tapi aku tak yakin, karena suara itu sepertinya bukan suara Bahar. Aku harus meyakinkan dulu.

"Pak Bahar dari mana?" tanyaku lagi menyelidik.
"Surabaya" jawabnya singkat, tampaknya tidak sabar dengan tanya jawab yang kulakukan. Tapi jawaban terakhir yang dia berikan, meskipun singkat, logat dan cengkoknya setelah kuperhatikan memang khas Bahar.
"Halo!" suara di sana seperti tak sabar
"Ya Pak, ini Harsoyo. Saya sendiri" kataku masih berusaha menyelidik.
"Jadi ini Mas Har?!" dia berteriak seperti mendapat sesuatu
"Ya!"
"Kok suaranya lain?" rupanya Bahar juga tak mengenali suaraku

Kami akhirnya saling menyadari bahwa selama ini kami tidak terbiasa mendengar suara masing-masing di telepon, yang kadang-kadang memang terdengar jadi agak berbeda. Selama ini kami memang tidak pernah berkomunikasi lewat telepon.

Sore itu seusai jam kerja, Bahar menelpon dari wartel dekat tempat kerjanya, karena minggu pertama ini dia belum diijinkan menggunakan fasilitas telepon perusahaan. Dia banyak bercerita tentang segala hal, mulai dari perjalanan udara, suasana kerja, keramaian Surabaya hingga kerinduannya padaku.

Kami berdua saling melepas rindu dengan segala ungkapan kemesraan. Kadang Bahar menyelingi kata-katanya dengan nada kecupan di telepon. Kadang dia merengek manja seperti anak kecil pingin pulang ke rumah. Aku sendiri jadi semakin kangen padanya.

"Mas, lagi ngapain?" tanyanya
"Mau mandi" jawabku
"O ya? Sudah buka pakaian belum?"
"Sudah. Sekarang cuma pakai handuk. Kenapa?"
"Bagaimana kalau handuknya dilepas.."

Aku kaget juga mendengar permintaannya. Tapi segera bisa kutangkap maksudnya. Sambil berbaring di ranjang aku pun segera melepas lilitan handuk dari pinggulku. Dan dalam sekejap tubuhku sudah telanjang tanpa penutup apapun.

"Sudah.." kataku dengan dada berdegup menunggu perintah Bahar selanjutnya.
"Punya Mas lagi tegang nggak? punyaku sudah bangun dari tadi" jelas Bahar.
"Sama, aku juga.." jawabku dan tanpa sadar kemudian meremas-remas milikku sendiri
"Sudah seminggu nih nggak dikeluarin.." kata Bahar lagi.
"Sama, aku juga.."
"Mau dikeluarin?"
"Ehm.. Mau. Memang Abang sudah siap?" kataku sambil mulai mendesah oleh rangsanganku sendiri.
"Aku sudah mulai.." suara Bahar terdengar agak tersengal-sengal.

Aku langsung membayangkan apa yang sedang dilakukannya. Tangan kananku kini sibuk meremas-remas dan mengocok batang kemaluanku sendiri. Sementara tangan kiri memegang gagang telepon mendengarkan suara dengusan Bahar atau ungkapan rasa nikmat yang sedang ia rasakan.

Akhirnya yang terdengar di telepon hanya suara-suara lenguhan kami. Sesekali kami saling meminta untuk saling melakukan rangsangan dengan cara tertentu. Bahar sempat memintaku untuk meremasi kantung pelirku dengan keempat jari sedangkan jempol kugunakan untuk menekan-nekan batangnya. Aku turuti permintaannya dan ternyata nikmat sekali rasanya hingga rintihanku bisa langsung didengar Bahar.

"Enak..?" tanya Bahar dengan nafas tertahan
"Yah.. Enak Bang.. Enakhh.." jawabku tak beraturan

Aku lalu gantian meminta Bahar untuk melumuri bagian kepala kemaluannya dengan lendirnya (precum) lalu meremas-remasnya. Aku meminta itu karena tahu persis bila Bahar sedang terangsang, precum yang keluar cukup banyak. Tak beberapa lama kemudian kudengar nafas Bahar makin memburu.

"Remas terus Bang.." kataku memberi semangat.
"Yah.. Yah.. Aku sedang.. Meremashh.." jawab Bahar tersendat-sendat

Sore itu kami benar-benar 'bertemu', bahkan 'bercinta'. Tak kuduga perjumpaan ini ternyata terasa lebih indah dari perjumpaan biasa. Rasa rindu, bayangan mimpi dan angan-angan birahi yang selama ini tertimbun seperti mendapat penuntasannya.

Entah sudah berapa angka pulsa yang harus dibayar Bahar. Tapi aku yakin ia tak mempedulikan itu. Soal 'keamanan' melakukan telepon seks ini, aku juga yakin Bahar sudah memperhitungkan, buktinya ia 'aman-aman' saja bermasturbasi di dalam kotak telepon sebuah wartel. Gila kan?

"Mas.. Mashh.. Aku mau keluarrh.." bisik suaranya tiba-tiba
"Tahan dulu Bang.. Tunggu aku sebentar lagi.." kataku sambil mempercepat kocokanku.

Kami lalu saling memperdengarkan rintihan kenikmatan masing-masing. Ketika aku merasakan desakan yang kuat mulai menjalar di pangkal kemaluan, Bahar segera kuberi aba-aba untuk bersama-sama mencapai puncak.

Akhirnya ekspresi orgasme kami pun keluar saling bersahutan. Tapi suara Bahar lebih terdengar seperti erangan yang tertahan. Mungkin Bahar takut suaranya bisa menarik perhatian orang yang ada di wartel sana. Beberapa saat kemudian dengusan nafasnya satu-satu kudengar di telepon.

"Bang?" tanyaku kemudian, karena ia diam saja tak bersuara.
"Yah?" jawabnya sambil masih mendesah-desah, ".. Aduh Mas.., enak sekali aku keluarnya tadi.." lanjutnya menjelaskan puncak rasa nikmat yang baru saja dialami. Pantas, kok diam saja. Rupanya sedang menikmati sisa-sisa orgasme.
"Aku juga Bang. Keluar banyak sekali. Sampai muncrat kemana-mana" kataku sambil menyeka ceceran sperma yang menempel di bulu dada dan sekitar perutku.
"Sudah seminggu nggak disalurkan ya?" godanya
"Iya, habis sekarang salurannya lagi ke Surabaya" balasku tak mau kalah, "Abang pasti juga keluar banyak, ya?" lanjutku gantian menggoda,"Kamar teleponnya banjir dong.."
"Iya, habis sekarang yang suka menjilati lagi ada di Manado" balasnya.
"Sialan!" aku memaki sambil ketawa ngakak. Bahar lebih keras ketawanya.

Begitulah, akhirnya kami mengakhiri 'percintaan' di telepon itu dengan janji untuk ketemu lagi di telepon lain waktu.

"Bang, aku kangen sama Abang..," kataku merajuk
"Siapa bilang aku nggak?" balasnya
"I love you.." kataku sambil mengecup gagang telepon
"I love you too.." suara kecupannya terdengar lebih panjang
"Sudah ya Bang.."
"Ya. Jangan lupa mandi yang bersih ya Mas"

Hmm, andai saja ada dia di sini, tak perlu aku repot-repot mandi sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.