Kamis, 03 November 2011

Oase Laut Utara 07: Dan Api Semakin Memercik

Kemarin, sekitar jam 8 malam aku mendapat telepon dari Bahar. Itu menurut Pak Roy yang kebetulan menerimanya. Bahar telepon lewat jalur sentral. Barangkali sebelumnya dia sudah mencoba telepon ke kamarku tapi tidak ada yang mengangkat.

Malam itu aku memang sedang keluar diajak Pak Gunawan nongkrong dan ngobrol-ngobrol di Boulevard pinggir laut. Pantas, aku agak gelisah waktu itu. Pak Gun sampai beberapa kali menegurku karena tak menyimak apa yang sedang diobrolkannya.

Ah! aku jadi merasa bersalah pada Bahar. Padahal itu adalah teleponnya yang kedua dalam dua minggu ini setelah telepon pertamanya yang 'nakal' itu (baca Oase 6). Aku tak ingin merasa bahwa sejak dekat dengan Pak Gunawan, aku seperti tak mengharapkan lagi telepon dari Bahar.

Malam itu sepulangku dari Boulevard, Pak Roy menyampaikan pesan telepon itu. Dan selanjutnya malam itu aku sengaja nongkrong di dekat telepon sambil baca-baca majalah. Baru sekitar pukul 10 telepon itu akhirnya berdering. Langsung kuangkat. Dan suara Bahar terdengar bersemangat di seberang sana.

"Apa kabar Mas?" sapanya hangat
"Baik. Abang gimana?" balasku
"Baik juga. Lumayan sibuk. Mas Har tadi sedang kemana?"

Aku agak tercekat. Tapi aku jawab apa adanya, bahwa aku diajak keluar Pak Gunawan, Kepala Mess, ke Boulevard. Bahar tidak bertanya lebih lanjut siapa itu Pak Gunawan. Kami lalu ngobrol ini dan itu, terutama mengenai pekerjaan kami masing-masing.

Di sela-sela pembicaraan di telepon itu, aku sempat terdiam beberapa kali. Bukan apa-apa, mendengar suara Bahar aku jadi merasa bersalah bila teringat bahwa saat ini aku tengah dekat dengan Pak Gun.

"Mas, sudah mau tidur ya?" tanya Bahar mencoba membaca sikapku
"Beluum. Aku sengaja kok nunggu telepon dari Bang Bahar"
"Kangen ya?" canda Bahar
"Ya!" kataku cepat, tapi kembali aku merasa bersalah. Meskipun saat itu aku memang benar-benar kangen sama dia.

Beberapa kali Bahar mencoba mencandaiku dengan kata-katanya yang kocak, hangat dan kadang-kadang mesra.

"Bagaimana? kesepian nggak?" tanyanya
"Pake nanya lagi!" kataku merajuk
"Tahan nggak?"
"Nggaakk!" aku menjawab dengan nada kheki tapi sedikit becanda
"Abang sendiri gimana?" gantian aku yang bertanya
"Tergantung!" jawabnya seenaknya
"Tergantung apa?"
"Tergantung yang menggantung.."
"Hush! mulai deh.."

Ketawa Bahar terdengar lepas. Omongannya yang mulai nyerempet-nyerempet itu membuatku berpikir bahwa ia tampaknya sedang 'menginginkan' sesuatu.

"Bang Bahar lagi 'BT' ya?" tanyaku mencoba menyelidik
"Apa tuh, BT?"
"Birahi Tinggi!" kini gantian aku yang ketawa ngakak. Di seberang sana terdengar suara Bahar yang mengumpat-umpat. Sejenak aku bisa melupakan kegelisahanku. Tapi cuma sejenak, karena tiba-tiba nada suara Bahar jadi serius.
"Mas Har, boleh nggak aku cerita sedikit?" dia bertanya dengan suara datar, kaku.
"Boleh, kenapa?" tanyaku agak heran, kok tiba-tiba suasananya jadi agak lain.

Kami berdua diam sejenak. Lalu Bahar mulai bercerita tentang teman-temannya di galangan kapal Surabaya yang menurutnya tak jauh dari apa yang biasa disebut dengan 'orang kapal'.

"Beberapa hari yang lalu, beberapa teman itu mengajakku ke Dolly.." Bahar tak melanjutkan ucapannya. Seolah menunggu reaksiku. Bagiku, kata 'Dolly' di Surabaya sudah memberiku gambaran kemana arah cerita Bahar. Aku sedikit menghela nafas. Ada rasa cemburu dalam dadaku.

"Mas Har marah?" tanya Bahar terdengar ragu
"Hmmh..?" aku malah menggumam dengan nada tanya
"Mas Har marah?" Bahar mengulangi pertanyaannya

Marah? Harusnya aku tak perlu marah atau cemburu. Bahar memang berbeda dibandingkan aku. Ia punya keinginan dan pengalaman seperti itu. Dan Bahar toh sudah mencoba untuk terbuka. Itu berarti ia masih menganggap dan menghargai aku. Sementara aku sendiri di sini toh juga punya 'cerita' juga dengan Pak Gun. Bahkan aku malah belum ada niat untuk terbuka pada Bahar untuk soal yang satu itu.

"Mas, .." suara Bahar menegurku. Aku menarik nafas.
"Ya..," sahutku,"saya ngerti maksud Abang kok. Saya tak berhak mencegah orang lain melakukan apa yang ingin dilakukannya. Cuma, kalau boleh saya minta, yang penting Abang masih ingat sama saya dan bisa jaga diri.." aku nyerocos karena nervous, dan mungkin juga karena cemburu.

"Di Surabaya sini, aku ingat terus sama Mas Har.." suaranya bergetar, seolah meminta permaklumanku.
"Bahkan waktu 'begituan' di Dolly.., Abang ingat terus sama Mas Har.."
"Iya! saya tahu!" kataku memotong.

Aku bisa memahami maksud Bahar, karena sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama: teringat terus wajahnya ketika 'bermain-main' dengan Pak Gun beberapa hari yang lalu. Beberapa saat kami terdiam. Hanya desahan nafas kami yang mengisi pulsa telepon.

"Bang.., sebenarnya.. Sayalah yang mustinya minta maaf.." akhirnya aku buka suara.
"Kenapa?" nada suaranya skeptis.
"Mmm.., aku juga ada cerita. Kalau boleh.."
"Siapa?" pertanyaan Bahar langsung mengarah.

Aku diam tak menjawab. Di seberang sana kudengar Bahar menghela nafas panjang. Sepertinya ia bisa menebak jawabanku.

Akhirnya aku mengakui kedekatanku dengan Pak Gunawan. Bahar masih diam tak berkomentar. Aku takut ia tidak bisa menerima pengakuanku. Bagaimanapun di antara kami harusnya memang ada komitmen kebersamaan, meskipun hubungan kami tidak saling mengikat. Tapi kondisi Bahar sendiri tak mungkin bagiku untuk mengekangnya. Memang, kadang ada rasa cemburu bila aku menyadari bahwa Bahar bisa melakukan apa saja yang dia maui. Kalau saja Bahar bisa membuatku lebih yakin, bahwa bagaimanapun antara aku dan dia saat ini terjalin suatu hubungan antara dua manusia, terlepas dari permasalahan yang ada ketika melakoni hubungan semacam ini.

"Yang namanya Pak Gunawan pasti orangnya ganteng ya?" ada nada cemburu dalam suara Bahar. Aku mengiyakannya dalam hati.
"Ya sudah.., mau gimana lagi.." lanjut Bahar tanpa menunggu jawabanku
"Abang marah?" tanyaku begitu mendengar nada suara Bahar yang tampaknya kesal. Dia diam tak menjawab pertanyaanku. Aku tahu, dia marah.
"Ya. Saya marah.." jawab Bahar pendek setelah beberapa lama terdiam,"Sulit bagi saya membayangkan Mas Har bercinta dengan laki-laki lain.."
"Ya, tapi Abang sendiri..?" jawabku seolah mengungkit apa yang dilakukannya di Surabaya.
"Aku kan main sama perempuan!" ia tak mau kalah
"O jadi begitu?!" balasku kesal.

Entahlah, malam itu aku merasa kami berdua saling bersikap egois tapi sekaligus berusaha untuk saling menenggang rasa. Benturan-benturan perasaan seperti ini bukannya tak pernah kami alami. Sering. Namun yang ini tampaknya sulit untuk kami redakan. Barangkali karena saat ini kami tengah berjauhan. Sebuah komunikasi memang akan lebih efektif bila dilakukan secara face to face. Tidak melalui telepon seperti ini, yang bisa banyak menimbulkan kesalaHPahaman. Karena bagaimanapun ada nuansa yang berbeda antara berdebat melalui telepon dengan bicara secara langsung.

"Oke, sudah dulu ya. Barangkali Mas Har mau tidur.." kata Bahar mencoba mengakhiri percakapan. Aku diam saja. Terserah, kataku dalam hati.
"Oke?" Bahar ingin mempertegas
"Oke..!" nada suaraku kubuat seenteng mungkin.

Klik. Telepon pun kututup.

Sejak itu, selama seminggu aku gelisah dan uring-uringan terus. (Belakangan Bahar juga mengaku mengalami kegelisahan yang sama). Selama seminggu itu juga aku berusaha untuk tak ketemu dengan Pak Gunawan. Pernah ia sekali menelponku tapi aku katakan aku sedang sibuk mengolah data penelitian, dan ia bisa memaklumi.

Tapi entah angin apa yang sedang berhembus malam itu. Ketika aku tengah pusing menganalisa data-data yang ada, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku segera mematikan rokok dan menuju pintu.

Pak Gun rupanya. Aku sedikit tertegun memandangnya. Dia sendiri malah tersenyum lebar. Ramah dan seperti biasanya: kebapakan.

"Ada apa?" tanyanya dengan nada enteng begitu melihat wajahku yang mungkin terlihat kusut.
"Nggak pa-pa. Lagi sibuk saja Pak" kataku sambil mencoba senyum.

Pak Gun langsung saja masuk dan duduk menggelosoh di sofa. Malam itu dia pakai t-shirt warna biru gelap. Cakep. Wajahnya tampak bersih dan segar. Habis mandi tampaknya.

"Mau kopi Pak?" kataku menawari.
"Boleh.."

Begitu kopi kusajikan, tangan Pak Gun langsung menahan bahuku. Dimintanya aku duduk di sampingnya. Aku menurut.

"Kalau lagi ada masalah, cerita saja" katanya sambil memandangku lurus-lurus.

Sok tahu ini orang, pikirku dalam hati. Namun yang keluar dari mulutku: "Oh, nggak, saya baik-baik saja kok Pak"

"Jangan begitu. Bapak tahu kamu lagi ada masalah. Ya kan?"

Aku lalu diam dan menghela nafas. Kepalaku menunduk memandang lantai. Cukup lama. Pak Gun mencoba memijat bahuku. Aku tetap diam saja.

Akhirnya aku ceritakan semua masalahku padanya. Dan karena Pak Gun bertanya lebih jauh, secara flash back akupun menceritakan jalinan hubunganku dengan Bahar.

Beberapa saat Pak Gun terdiam, namun kepalanya mengangguk-angguk. Entah apa artinya.

"Ya sudah, kalau begitu, kalian harus bicara lagi. Maaf ya, ternyata Bapak sudah masuk terlalu jauh dalam hubungan kalian" kata Pak Gun dengan nada yang sulit kumengerti. Kulihat wajahnya seperti orang yang merasa bersalah, tapi juga ada kekecewaan di sana.

"Saya yakin, dia masih mengharapkanmu.." lanjut Pak Gun dengan agak bergetar.
"Ya, saya tahu. Saya juga.. Masih mengharapkan dia.."

Pak Gun kembali memandangku, kali ini agak kaget dengan kalimatku yang terakhir. Aku sendiri kaget dengan kekagetan yang sempat kutangkap dari tatapan matanya. Apakah Pak Gun cemburu?

Malam itu suasana menjadi agak kikuk. Meski Pak Gunawan mencoba bersikap wajar padaku, aku bisa menangkap kegelisahannya. Dan ketika ia pamitan untuk pulang, aku hanya bisa mengiyakan saja.

Sejak malam itu aku merasa bahwa aku seperti tak punya siapa-siapa lagi. Pertama, karena sudah hampir dua minggu aku dan Bahar saling menahan diri untuk tak berkomunikasi. Aku hapal dengan sikapnya itu, begitupun dia, pasti mengerti bagaimana reaksiku saat ini. Yang kedua, seminggu sejak malam itu, tak kulihat sedikitpun kelebatan sosok Pak Gun. Padahal ia orang yang paling rajin bertandang dan berkeliling ke segala sudut mess ini. Itu hampir dilakukannya tiap hari. Kemana dia hari-hari terakhir ini?

Aku mendapat jawabannya sehari setelah aku selesai menghubungi Bahar. Menghubungi Bahar? Ya. Semalam aku berpikir apa salahnya untuk mengontak dia dan mengalah dari semua persoalan ini. Tapi ternyata emosiku yang mulai cair menjadi menggumpal kembali, ketika Bahar dengan sengaja menunjukkan sikap dan rasa malas untuk berkomunikasi denganku. Oke! Aku sudah berusaha memulai. Sekarang terserah dia. Aku kemudian berusaha mendinginkan semua yang berkecamuk dalam pikiranku selama hampir tiga minggu ini. Mendinginkan sampai sedingin-dinginnya!

Dan esoknya, secara tiba-tiba Pak Gun muncul di belakangku ketika aku tengah membetulkan pagar halaman. Suara ketukan paluku rupanya telah menyamarkan kedatangannya. Aku baru menyadarinya ketika hendak beringsut mengambil potongan kayu di belakangku.

Aku hampir berteriak kaget. Dia hanya tersenyum memandang keterkejutanku. Tampaknya ia sudah lama berdiri di situ. Lalu, kenapa tak menyapa atau memanggilku? Tapi aku memasabodohkan semua itu. Karena kulihat tatapan matanya meneduh, sepertinya ada ajakan untuk 'berdamai'.

Aku beranikan untuk menatap. Memastikan yang tersirat dalam pikiranku. Bibirnya masih tersenyum. Dan matanya itu, ternyata memang teduh.

"Maafkan saya Dik Har, sudah lama nggak ke sini.." katanya kalem. Tapi justru kekalemannya itu yang membuat aku salah tingkah.
"Pak Gun ini, gitu saja kok pake minta maaf.." balasku sambil berusaha meredakan ketegangan perasaan.

Aku akhirnya menghentikan pekerjaanku dan mengajaknya ke teras depan. Kupersilakan dia duduk dan kemudian aku masuk ke dapur untuk membuatkannya minum.

Untuk kedua kalinya Pak Gun muncul di belakangku tanpa kuketahui. Diam-diam ia menyusulku ke dapur.

"Sudah. Dik Har mandi dulu sana, biar saya yang bikin minuman" kata Pak Gun mengagetkanku sambil tangannya menunjuk lelehan keringat yang membasahi t-shirt yang kupakai.
"Nggak pa-pa Pak. Mosok tamunya yang bikin minuman" balasku.
"Hei, sejak kapan saya dianggap tamu?" dia memprotes omonganku sambil tangannya meraih gelas yang kugenggam. Meletakkannya kembali ke meja dapur. Dan kedua tangannya lalu melingkar ke pinggangku.

Aku sempat terhenyak ketika ia berusaha memelukku. Kaget dan merasa risih karena aku masih berkeringat. Tapi ia memaksa. Dan akhirnya aku pun 'terpaksa' pasrah dipeluk olehnya. Ini adalah puncak dari kejutan-kejutan yang dilakukannya sejak di halaman depan tadi.

Terasa dada kami saling berdeburan. Helaan dan tarikan nafas kami saling beradu. Ada rasa kangen yang seolah ingin kami tumpahkan. Dan tanpa kusadari pipi kami saling bersentuhan. Lalu bibirnya kurasakan mulai bergeser menyentuh tulang rahangku. Nafasnya hangat di sana.

Dan ketika bibir yang padat itu mulai menyentuh pipi kiriku, kemudian bibirku, aku merasakan seluruh sendiku melemas. Lolos. Ringan. Seperti melayang. Aku seperti melayang! Padahal Pak Gun hanya melumat bibirku beberapa saat. Tangannya lalu memeluk kepalaku lagi dan membenamkannya ke lehernya yang tengadah. Kudengar ia menarik nafas dan makin erat memelukku.

"Bapak kangen, Har.." ia berdesah lirih. Dan aku tersentuh.

Tersentuh bukan karena apa-apa. Di saat suasana hati yang sedang berusaha kubuat sedingin mungkin karena sikap Bahar di telepon kemarin, suara Pak Gun menjadi satu kehangatan yang seketika mencairkan kebekuan itu. Dan rasa kesalku yang masih ada seolah mendorongku untuk memasabodokan segala tentang Bahar dan menerima 'permintaan maaf' Pak Gun siang ini yang telah disampaikannya dengan cara yang sentimentil.

"Bagaimana kabar Abangmu?" ia mencoba bertanya

Tapi pertanyaan itu tak kujawab. Malah kurasakan mukaku jadi kecut mendengar Pak Gun menyinggung kembali masalahku dengan Bahar.

"Ya sudah.. Bapak cuma nanya saja kok, siapa tahu bisa menenangkan pikiranmu.." suaranya mulai romantis.

Kembali Pak Gun menatapku. Kali ini pandangannya lebih teduh. Ada senyum tipis di balik kumisnya yang khas itu. Kuberanikan untuk membalas senyuman itu dengan kecupan. Dia merespon. Dan kami pun tenggelam lagi dalam ciuman-ciuman yang dalam. Dan lebih lama.

"Mau dimandiin?" katanya di sela-sela pagutan bibirnya.

Dimandiin?, "Hhmmhh.." aku hampir ketawa tapi mulutku segera dibungkamnya lebih ketat.

"Mau?" tanyanya lagi, kali ini sambil melepas pagutannya.

Aku mengangguk, seperti anak kecil menuruti perintah bapaknya.

Aku segera melangkah ke kamar mandi. Melepas seluruh pakaianku dan melilitkan handuk putih ke pinggulku. Pak Gun menyusul kemudian. Lengan bajunya sudah tersingkap ke atas. Demikian juga dengan celana panjangnya.

"Pakai ini segala!" tangannya langsung menarik handuk yang melilit bagian bawah tubuhku. Ketelanjanganku pun langsung mendapat reaksi. Tangannya segera menggenggam bagian tubuhku yang sudah mulai membesar itu. Meremasnya. Dan terus meremas. Aku merintih..

"Pak Gun sendiri masih berpakaian.." protesku di sela rintihan. Tapi ia diam saja. Maka tanpa diminta, aku segera melepasi kancing bajunya, membuka ikat pinggang dan menarik resleting celananya. Tapi aku tak bisa melanjutkan aksiku lebih jauh. Karena ia makin merangsek dan mendesakku.

Merasa kondisi pakaiannya yang sudah acak-acakan dan setengah terbuka, Pak Gun lalu melepas sendiri baju dan celana panjang itu. Kini ia hanya bercelana dalam. Warnanya putih, modelnya konservatif. Khas bapak-bapak. Tapi bagiku malah terlihat seksi.

Entah karena dorongan apa, tiba-tiba aku sudah mengambil posisi jongkok, lalu pelan-pelan kupelorotkan pakaian terakhir yang menutup tubuhnya itu. Pak Gun sempat kaget, lalu diam, menunggu apa yang akan kuperbuat. Tapi belum sampai celana dalam itu kutarik sampai ke lututnya, tangan Pak Gun sudah mengarahkan meriam kecilnya yang sudah siaga penuh itu ke wajahku. Tanganku langsung menggenggamnya dan kuakhiri dengan sebuah lumatan.

Aku tak tahu apakah Pak Gun pernah diperlakukan begini oleh seorang laki-laki. Tapi yang jelas inilah pertama kali aku melakukannya padanya. Dan aku selanjutnya tak peduli lagi dengan itu semua. Karena kini benda yang kulumat itu makin mengeras dan mulutku terasa mulai penuh. Sehingga aku akhirnya lebih banyak melakukan jilatan saja, terutama di sekujur batang dan kedua bola kecil miliknya yang penuh dengan bulu keriting. Sementara kuluman hanya aku lakukan di bagian kepalanya saja. Itupun sudah membuatku kerepotan karena 'helm' miliknya tergolong berukuran spesial (baca oase sebelumnya).

Belum puas aku melakukan itu semua, tangan Pak Gun menyuruhku berdiri dan lalu memelukku kuat-kuat sambil mencium dengan gemas. Aku yang sudah sulit mengatur nafas karena permainan mulut di bawah tadi, kini jadi terengah-engah disumbat oleh bibirnya yang terus menempel ketat.

Sambil terus menciumiku, tangannya pelan-pelan meloloskan celana dalamnya sendiri yang dari tadi masih menyangkut di atas lututnya. Begitu lolos, kedua pahanya yang kekar berbulu itu langsung dengan leluasanya menjepit kuat tubuhku. Ini yang membuatku heran. Gerakan-gerakan Pak Gun seperti orang yang kegemasan.

"Sudah lama nggak main begini.." nafasnya terengah-engah, seolah menjawab keherananku.
"Begini bagaimana?"
"Main 'anggar' dan diisap.."
"O ya?" aku tak percaya.
"Istriku tak mau melakukan oral" katanya menjawab keraguanku, "Tadi sudah hampir keluar.." sambungnya, ".. Kamu pintar melakukannya.."
"Mau dilanjutkan?" tanyaku menawari. Ia menggeleng.
"Kenapa?" tanyaku lagi
"Nanti saja. Sayang kalau dikeluarin sekarang.." sambil matanya mengerling nakal.

Siang itu, akhirnya Pak Gun jadi memandikan aku. Seluruh tubuhku rasanya tak luput dari jarahan dan keusilan tangannya yang berlumuran busa sabun, khususnya di bagian-bagian tubuhku yang sensitif. Aku sampai memintanya untuk berhenti bila dibagian itu ia melakukan gerakan yang tak hanya sekedar membasuh.

"Kenapa?" tanyanya.
"Sayang kalau dikeluarin sekarang.." kataku meledek mengulangi ucapannya tadi.

Kami lalu tertawa bersama. Dan Pak Gun pun meredakan aksinya. Kini ia benar-benar memandikan aku. Persis seperti seorang bapak tengah memandikan anaknya.

Akhirnya, "Sudah.." katanya sambil melakukan guyuran yang terakhir. Diambilnya handuk dan dikeringkannya seluruh tubuhku. Kemudian ia sendiri mengguyur badannya beberapa kali untuk membersihkan cipratan air dan busa sabun, lalu gantian aku yang membantu mengeringkan tubuhnya. Selesai.

Pak Gun lalu menciumku. Aku membalasnya. Kami pun berciuman. Lumat dan lama. Kami masih telanjang, belum berpakaian. Sehingga tercium aroma segar yang muncul dari tubuh kami berdua.

"Har.., Bapak pingin mengisap punyamu.." bisiknya di telingaku.

Dengan senang hati aku segera melebarkan posisi kakiku begitu Pak Gun mengambil posisi jongkok tepat di tengahnya. Dan langsung melahap benda yang ada di hadapannya. Tampak sekali ia menikmati milikku. Seperti anak kecil mendapat mainan baru. Setiap kali selesai menjilat atau mengisap, dalam beberapa saat ia pasti akan mengamati dengan seksama benda bulat panjang yang terus digenggamnya erat-erat itu. Seolah ia belum pernah melihat sebelumnya. Sesekali wajahnya mendongak ke atas dan tersenyum ke arahku.

Aku mengira-ngira, sepertinya Pak Gun sudah lama, bahkan mungkin belum pernah melakukan oral seks dengan laki-laki. Tapi, kalau merasakan isapan dan sedotannya yang cukup kuat dan cukup bervariasi itu, tampaknya ia pernah melakukan itu sebelumnya.

Tapi buat apa mempertanyakan pengalaman dia. Aku terlalu kenikmatan untuk memikirkan itu. Sungguh, aku kenikmatan sekali. Sepertinya Pak Gun bisa memenuhi perlakuan-perlakuan yang kuinginkan tanpa aku memintanya. Bahkan ia melakukannya lebih dari yang kubayangkan. Sampai-sampai aku harus memegangi kepalanya yang agak botak itu. Bukan untuk memberinya dorongan untuk melakukan lebih jauh, tapi justru untuk sedikit menahan aksinya yang rada liar itu.

Ah! kini tangan kanannya malah menjalar ke daerah pantatku melalui celah paha yang memang sengaja kubuka lebar-lebar. Telapak tangannya lalu mengusap dan meremas lembut bongkahan di belakang tubuhku. Sesekali menjalar di sepanjang jalur di tengahnya, lalu turun hingga ke pangkal kantung pelirku. Merambat naik lagi, merayap sepanjang jalur, mengusap dan berakhir dengan remasan pada bukit pantatku. Dan setiap remasan dibarengi dengan isapan yang kuat di bagian depan. Punggungku sampai melengkung dan kepalaku beberapa kali harus terjulur merasakan desiran-desiran di bawah sana.

Rasanya, aku harus meralat kalimat 'sayang kalau dikeluarkan sekarang' yang tadi kuucapkan. Karena sekarang aku ingin sekali 'dikeluarkan' oleh mulut Pak Gun. Tapi aku tak perlu memintanya. Sebab dari perlakuan yang kurasakan, ia tampaknya memang berniat membuatku ejakulasi. Dan aku dengan senang hati menerimanya.

Segala cara ia lakukan. Banyak teknik dan 'perbendaharaan' permainan oral yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Karena rupanya ia tak sekedar bermain dengan mulut saja, tapi juga memaksimalkan seluruh fungsi jari dan telapak tangannya. Sasarannya pun tak hanya pada bagian 'pusat' saja, tapi juga menelusur hingga ke bukit di belakang sampai ke celah-celahnya, merambah hutan lebat dan semak-semak yang ada, serta terus mengusik gundukan yang menggantung, seolah dianggap tak bertuan..

Padahal sang tuannya kini tengah gelagapan, tak tahu harus berbuat apa lagi. Mata sang tuan sudah sedemikian sayu namun raut wajahnya mengencang merah. Entah kata-kata apa yang bisa melukiskan semua kenikmatan ini.

"Paakk.. Ohh, enakk.. Pakk.." hanya itu yang terus keluar dari mulutku.

Sementara orang yang dipanggil di bawah sana hanya menggeram-geram bagai singa yang tak mau diganggu ketika tengah menikmati daging mentah santapannya.

Ketika kepalanya asyik tenggelam di bawah kantung pelirku sementara tangan kanannya meremas-remas batang di bagian atasnya, ejakulasiku pun datang tak terbendung lagi. Aku berteriak, benar-benar berteriak. Barangkali kalau ada orang lewat, pasti bisa mendengar teriakanku. Pak Gun sampai berusaha menenangkanku,"Ssshh.. Ssshh.." bisiknya sambil tangannya memilin-milin sekujur batang kemaluanku seolah-olah ingin mengeluarkan seluruh isinya. Matanya bergantian memandang ke atas melihat ekspresi orgasmeku, lalu memandang ke bawah lagi mengamati proses ejakulasi yang sedang berlangsung di depan wajahnya.

Mulutku masih menguncup mendesis-desis, tapi sudah tak mengeluarkan teriakan lagi.

".. Ohh.. Ohh.." akhirnya aku bisa menarik nafas kepuasan dan bisa kembali memandang Pak Gunawan dengan jelas meskipun mataku masih sayu. Yang kupandang tersenyum 'tanpa dosa', dan aku pun tersenyum 'penuh dosa'.

"Enak?" tanyanya ketika ia sudah berdiri kembali menghadap ke arahku.

Aku hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan. Mataku belum sepenuhnya melek dan mulutku masih sedikit terbuka karena nafas yang belum teratur. Kulihat mulut Pak Gun agak belepotan dengan cairan, demikian juga dengan ujung kumisnya. Kuulurkan tanganku dan kuusap pelan-pelan. Lalu kusentuhkan bibirku ke sana. Dan yang punya bibir langsung menyambutnya dengan sebuah lumatan. Padahal deru nafasku belum sepenuhnya reda.

Tiba-tiba dengan tak sabar, tangan Pak Gun menggelandangku keluar kamar mandi.

"Sekarang kita ke kamar saja.." ajaknya sambil menarikku menuju ruang makan, melewati ruang tengah, menuju ke arah ruang tidur.

Hey?!, Sejak kapan dia tahu letak kamar tidurku?

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.