Kamis, 03 November 2011

Oase Laut Utara 06: Bermain Api Di Tengah Air

Irama kehidupan di sebuah mess agak berbeda dengan irama keseharian di luar sana. Karena sebuah mess biasanya hanya digunakan sebagai persinggahan atau tempat tinggal sementara bagi keperluan yang berkaitan dengan program pendidikan.

Keterangan di atas aku terima dari Kepala Mess, Pak Roy, ketika aku tengah menyelesaikan urusan administrasi berkaitan dengan rencana tinggalku di mess ini untuk waktu yang agak lama. Saat ini mess sedang kosong dan baru minggu depan akan ada program pendidikan baru. Jadi Pak Roy punya waktu kosong untuk mengajakku keliling mengenali lingkungan mess.

Fasilitas yang ada di situ cukup lengkap dan semuanya berkaitan dengan masalah laut dan kelautan. Ada perpustakaan, laboratorium, kolam renang, tempat simulasi penyelaman, arena untuk berbagai olah raga, kantin, dsb; di samping ruang-ruang kelas, ruang rapat, aula dan sederetan rumah dinas pegawai mess.

Selain Pak Roy, masih ada beberapa orang pegawai di lingkungan Kelautan yang tinggal di rumah dinas di lingkungan mess tersebut. Pada umumnya mereka para instruktur dan pegawai pendukung. Aku sempat dikenalkan dengan beberapa orang di antaranya.

Tempat terakhir yang aku kunjungi adalah rumah dinas Kepala Instruktur, yang katanya seorang purnawirawan TNI. Sayang sekali kami tidak ketemu orangnya karena sedang mengantar anaknya ke sekolah. Tapi kami sempat ketemu istrinya dan berbasa-basi sebentar.

"Pak Harso boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini kapan saja," kata Pak Roy ketika selesai berkeliling dan aku berpamitan untuk kembali ke paviliun.

Siang itu aku mulai menata persiapan bahan dan perlengkapan untuk pengolahan data penelitianku. Lay out ruangan terpaksa aku ubah sedikit sehingga lebih praktis tapi cukup efisien sebagai ruang kerja pribadi.

Sorenya aku ingin santai tapi tak mau sekedar duduk-duduk diam. Olah raga? rasanya lapangan tenis dan badminton tampak kosong tidak ada yang main. Begitu juga dengan meja ping pong. Renang? Kayaknya terlalu 'serius' apalagi kalau sendirian.

Pilihanku akhirnya jatuh pada joging. Segera kuganti pakaianku dengan kaos oblong tanpa lengan dan celana kanvas pendek. Untung aku tak lupa bawa sepatu kets yang sudah cukup lama tak kupakai ini.

Hampir tiga kali aku mengitari kompleks mess sebelum akhirnya berkeliling di sekitar lapangan rumput yang tampaknya mulai ramai orang. Rupanya aku terlalu 'siang' berolah raga, karena baru menjelang sore mulai banyak anak-anak, bapak-bapak dan warga mess lainnya yang memanfaatkan fasilitas olah raga di sini.

Yang paling ramai dikunjungi memang di lapangan rumput ini. Beberapa orang tampak memperhatikanku. Maklum, karena aku orang baru di lingkungan ini. Sementara di pojok lapangan sana beberapa gadis dan ibu-ibu melihatku sambil cekikikan. Aku agak salah tingkah juga.

Sepertinya penampilanku cukup menarik perhatian orang. Di samping karena aku orang baru, postur tubuhku yang agak gede tampaknya menyolok di antara yang lain. Apalagi ternyata pakaianku agak 'berani' dibandingkan dengan pakaian orang-orang yang ada di situ.

Dengan kaos tanpa lengan yang agak terbuka, otot lengan dan bagian ketiakku jadi terlihat jelas. Sementara celana pendek yang kupakai tak mampu menyembunyikan bulu-bulu yang tumbuh lebat di sekitar betis dan pahaku. Tiba-tiba aku jadi risih sendiri. Beberapa gadis di sana masih melihatku dengan pandangan tertentu.

"Sore Pak!" ada suara agak berat menyapaku dari belakang.
"Sore..," jawabku agak ragu sambil menyambut tangan seorang bapak yang menyapaku. Orangnya gagah, agak gemuk, sedikit botak, tapi wajahnya ganteng terutama karena senyum dan kumisnya yang..
"Gunawan..," katanya sopan sambil tersenyum ramah.
"Oh, Pak Gunawan. Saya Harsoyo Pak," kataku langsung mengenalkan diri begitu tahu kalau orang yang berdiri di depanku ini Pak Gunawan, Kepala Instruktur di sini, yang tidak sempat kutemui siang tadi.

Kami lalu berbincang-bincang ringan selayaknya orang yang baru saling kenal. Pak Gunawan saat itu tampaknya juga sedang berolah raga. Kaosnya tampak basah oleh keringat. Demikian juga handuk kecil yang sesekali diusapkan ke leher dan dahinya yang berpeluh. Terus terang, ada sesuatu pada diri Pak Gunawan yang membuat gelisah pikiranku.

Bapak ini ternyata seorang laki-laki yang memiliki daya tarik tidak saja secara fisik tapi juga karena usia dan kematangannya. Dan aku tak fair bila tak mengakui hal itu. Meski pakaian olah raganya cukup rapat, training spaak dan kaos lengan panjang, tapi ketegapan tubuhnya tak bisa disembunyikan dari pandanganku. Oh, tiba-tiba wajah Bahar membayangiku..

"Dik Har olah raganya apa?" lamunanku dibuyarkan oleh suaranya yang kebapakan itu. Panggilan 'dik' kepadaku terasa lebih akrab dan hangat.
"Apa saja Pak, yang murah meriah," jawabku."Tapi yang paling sering ya joging dan renang," lanjutku menjelaskan.
"Wah, renang!, itu olah raga wajib di Kelautan sini lho," katanya sambil tertawa. Cara tertawanya benar-benar menawan. Oh, Bahar maafkan aku!

Sore itu kami belum sempat ngobrol banyak karena sudah keburu petang. Pulangnya kami berjalan kaki lewat belakang memutari lapangan. Kebetulan rumahnya searah dengan paviliunku. Waktu pamitan, dia janji akan mampir ke tempatku kapan-kapan. Tangannya menepuk punggungku. Akrab dan hangat.

"Ayo Dik," dia berpamitan sebelum berlalu meninggalkanku
"Mari Pak.."

Sesampai di rumah aku langsung mandi karena keringat sudah mengering dari tadi. Malamnya aku baca-baca dan.. Aku baru teringat bahwa di tempatku tak ada pesawat televisi. Mati aku! Bisa kuper aku kalau begini caranya.

Kucoba menelepon ke kantor Pak Roy tapi tidak ada yang mengangkat. Barangkali kalau malam begini kantornya memang sudah tutup, tidak ada yang jaga. Lalu?

Tiba-tiba kudengar suara ketukan pintu. Siapa?

Aku bergegas ke depan, dan ternyata Pak Gunawan! Surprise! Aku sampai agak gelagapan menyapanya.

"Maaf nih Dik Harso, bapak bertamu malam-malam," katanya masih di ambang pintu.
"Nggak pa-pa Pak. Kebetulan ada beberapa yang mau saya bicarakan," kataku meyakinkan dia agar tak mengurungkan niatnya untuk bertamu.

Kami segera larut dalam obrolan kesana kemari, termasuk masalah televisi yang belum ada di kamarku. Dari televisi pembicaraan jadi berkembang kemana-mana. Wawasannya cukup luas dan termasuk pembicara serta pendengar yang baik. Orangnya juga baik, akrab dan humoris.

Pak Gunawan ternyata berasal dari Bengkulu dan istrinya dari Jepara, Jawa Tengah. Anaknya satu, baru kelas dua SMP. Sementara usia Pak Gunawan sendiri sudah lima puluh tahun lebih. Agak telat kawin tampaknya.

"Makanya jangan telat Dik. 'Ntar kayak saya lho," katanya mengingatkanku.
"Yaa.. Kalau belum ketemu jodohnya, gimana Pak?" kataku mengelak
"Maaf ya, umur Dik Harso sekarang berapa?"
"Tiga puluh.."
"Sebenarnya belum telat juga ya."
"Ya. Apalagi laki-laki."
"Tapi, mosok sih selama tiga puluh tahun cuma buat kencing doang?" ledeknya sambil ketawa ngakak.

Aku agak kaget dengan komentarnya, meskipun itu guyonan yang klise. Tapi karena Pak Gunawan mengucapkannya sambil tertawa dan tanpa maksud apa-apa, aku pun ikut tertawa menanggapinya. Bahkan aku malah suka dengan omongannya yang mulai nyerempet itu.

"Pak Gun sendiri kawin umur berapa, Pak?" tanyaku.
"Wah, saya nikahnya telat. Hampir empat puluh baru nikah" katanya sambil matanya menerawang, lalu, "Kalau 'kawin' sih sudah saya lakukan sejak usia dua puluhan" lanjutnya dan kembali ketawa ngakak.

Tadinya aku kurang tanggap dengan kata-katanya. Tapi karena kata"kawin" sengaja diucapkannya dengan nada tertentu, aku baru paham, dan jadi ikut ketawa.

"Dik Har kapan mulai kawin?" tanyanya kemudian.
"Ya, nanti kalau ketemu jodohnya Pak" jawabku.
"Maksudku 'kawin' lho, bukan nikah" jelas Pak Gunawan sambil senyum-senyum.

Semula aku agak kaget juga. Pertama, karena jawabanku tadi nggak nyambung, dan yang kedua, karena omongan Pak Gunawan tampaknya makin mengarah.

"Maksud Pak Gun, mengenal seks?" aku nekad memperjelas maksud pertanyaannya.
"Ya!" jawabnya sambil mengangguk-angguk.
"Kalau itu sih, sama dengan Pak Gunawan, di usia dua puluhan."
"Habis itu, pasti berlanjut terus ya?"
"Nggak juga."
"Ah masa?, Dik Har kan orangnya masih segar begini. Gagah. Pasti masih kuat gairahnya."
"Ya. Tapi kan nggak bisa sembarangan, Pak."
"Orang seganteng Dik Har 'kan pasti banyak yang suka. Tinggal pilih saja. Apalagi Manado sini terkenal dengan ceweknya yang.." Pak Gun tak melanjutkan kalimatnya, tapi membuat isyarat dengan jempolnya.

Aku hanya senyum-senyum saja mendengar komentar-komentar Pak Gunawan tentang diriku. Sebenarnya aku agak bingung menjawab pertanyannya tentang pengalaman seks-ku. Bukan apa-apa. Rasanya tak mungkin kuceritakan bahwa aku pernah tidur dengan satu dua perempuan, dan selanjutnya pengalaman ranjangku lebih banyak terjadi dengan laki-laki.

"Saya dulu termasuk play boy lho," tanpa kutanya Pak Gunawan memulai bercerita.

Sebenarnya aku tidak kaget dengan omongannya itu. Pak Gunawan memang laki-laki yang menarik. Pasti waktu mudanya banyak digilai oleh gadis-gadis. Dari tampangnya kelihatan kalau dia punya bakat play boy. Senyum dan sorot matanya mempertegas hal itu.

"Wah, boleh dong bagi-bagi ilmunya, Pak," kataku memancing.
"Aahh, sebenarnya Dik Har sendiri sudah punya modal untuk jadi play boy, lho," jawabnya menunjuk ke arahku.

Pak Gunawan lalu bercerita bahwa dulu ia punya senjata andalan: kumisnya. Menurutnya, banyak gadis-gadis yang tertarik dengan kumisnya yang cukup tebal itu. Memang sejak awal kenal, harus kuakui bahwa bagian yang paling menarik dari wajah Pak Gunawan adalah kumisnya. Khas pejabat militer. Dan di mataku, kumis itu kelihatan sexy.

"Tapi masa mereka hanya tertarik sama kumis?" tanyaku makin menyelidik.

Pak Gunawan tersenyum mendengar komentarku sambil telunjuknya bergerak-gerak ke arahku, seolah-olah paham arah pertanyaanku.

"Maksudmu, soal beginian?" katanya sambil menjepitkan jempolnya di antara telunjuk dan jari tengah, "Itu sih rahasia perusahaan. Tapi yang jelas, tak ada wanita yang tak pernah puas dengan saya.."

Aku hanya tersenyum saja mendengar penuturannya. Pancinganku ternyata masih belum terlalu mengena. Padahal aku sudah penasaran ingin mendengar omongannya lebih mengarah lagi ke hal-hal yang lebih sensistif.

"Yang jelas, perempuan 'tu lebih menyukai kalau kita punya barang yang gede.." katanya setengah berbisik, seolah menjawab apa yang tengah jadi pikiranku.
"Kalau gitu, punya Pak Gun gede dong?" tanyaku sambil menahan nafas.
"Haa.. Ha.. Haa.. Ha.." dia ketawa sambil meninju bahuku,"Sebenarnya, yang penting bukan ukuran, tapi cara menggunakannya.." lanjutnya diplomatis, dan tawanya makin berderai-derai.
"Tapi kan harus ditunjang dengan fisik yang kuat juga, Pak" kataku menambahkan.
"O iya, itu pasti. Makanya harus rajin-rajin olah raga."
"Pak Gunawan waktu itu olah raganya apa?" tanyaku
"Dulu saya hampir suka semua olah raga, terutama volley dan renang."
"Renang di kasur.." aku mencoba mencandainya
"Bisa saja kamu ini. O ya, katanya Dik Harso suka renang juga? Besok sore saya punya rencana mau renang. Gimana, mau ikut nggak?" ajaknya tiba-tiba

Aku diam tidak sempat menjawab.

"Kenapa? Nggak punya celana renang? Saya punya beberapa. Bisa dipinjam, kalau mau." katanya begitu melihat aku tak menjawab ajakannya.
"Saya ada celana renang kok, Pak" kataku, lalu,"Lagian kalau pakai punya Pak Gunawan 'kan belum tentu cukup."
"Kenapa? Wah, punyamu pasti ukurannya lebih gede ya?" katanya menggodaku sambil matanya sengaja mengarah ke bagian depan celanaku.

Akhirnya pembicaraan kami berhenti sampai pada rencana untuk renang besok. Pak Gunawan lalu pamitan dan besok sore dia janji akan mampir ke sini lebih dahulu sebelum ke kolam renang.

Namun keesokan harinya, ajakan Pak Gunawan bukan sesuatu yang mudah kupenuhi. Ada kegelisahan sendiri memikirkan hal itu. Aku takut terseret oleh daya tariknya. Takut bila ternyata Pak Gunawan bukan seseorang seperti yang kubayangkan. Namun di sisi lain, aku masih berharap bahwa ia memang seperti seseorang yang kuinginkan dalam pikiranku. Tapi kegelisahan ini menimbulkan ketakutan di sisi lain: bayangan Bahar terlalu sulit untuk kukhianati. Belum seminggu aku jauh darinya, sudah ada godaan seperti ini. Mungkinkah Bahar juga mengalami seperti ini di Surabaya sana?

Akhirnya aku putuskan untuk melakukan penjajagan saja. Wait and see. Lalu bagaimana kalau ternyata apa yang kuharapkan benar? Entahlah, sulit menjawabnya. Aku memang dalam sebuah dilema.

Sebenarnya ada kelegaan sedikit, ketika sampai jam 4 sore Pak Gunawan belum juga datang menjemputku. Artinya, untuk saat ini, aku tak perlu terombang-ambing oleh keinginan dan naluri penolakanku.

Tapi kelegaan itu ternyata hanya berumur sepuluh menit. Dia datang dengan hanya bersandal jepit, bercelana pendek dan menenteng handuk serta peralatan mandi lainnya. Dadaku galau, antara bimbang dan senang.

"Ayo. Jadi ikut 'kan?" ajaknya akrab seperti biasanya.
"Sebentar ya Pak" kataku sambil masuk. Segera kuganti celana dalamku dengan celana renang dan kukenakan celana bermuda.
"Mari Pak.." ajakku kemudian sambil menutup pintu

Kami langsung menuju kolam renang. Ada beberapa anak kecil tengah bermain di sana. Tapi segera lari menghambur keluar begitu kami berdua masuk.

"Lho, lho.., kok sudah selesai?" sapa Pak Gunawan ramah pada anak-anak penghuni mess itu.

Mereka hanya tertawa-tawa saja sambil berhambur melewati kami berdua. Mungkin mereka sudah lama main-main di kolam ini dan memang sebenarnya ini sudah terlalu sore untuk berenang, karena udara sudah agak teduh bila dibandingkan satu dua jam yang lalu.

Pak Gunawan tanpa sungkan-sungkan melepas baju kaosnya dan memelorotkan celana pendeknya, hingga tubuhnya kini hanya bercawat renang saja. Seksi juga bapak-bapak ini, pikirku. Cawat yang dipakai pun cukup gaya: model bikini bergaris-garis vertikal warna biru.

Kedua kakinya kulihat berjingkat-jingkat sambil tangannya membetulkan ujung karet celana renangnya agar lebih nyaman posisinya. Kadang-kadang diselingi dengan gerakan berjongkok dengan kedua lengan terlipat di belakang leher. Ah, dasar instruktur!

Gerakan pemanasan yang dilakukan Pak Gunawan tak urung membuatku berdesir. Karena dalam beberapa posisi tak urung gerakan itu memperjelas garis lekukan dan tonjolan yang ada di beberapa bagian tubuhnya. Sebenarnya aku agak kikuk melihatnya, mengingat antara kami belum akrab benar. Dan aku pura-pura tak memperhatikan lagi.

Segera kubuka pakaianku dan berusaha menahan diri untuk tetap tak 'terpengaruh' oleh aksinya. Untuk kesempatan ini aku sengaja memakai celana renang model trunk sehingga sebagian pinggulku agak tertutup, jadi agak lebih 'sopan'. Bukan apa-apa, aku tak mau menyolok. Siapa tahu kolam ini ternyata penuh dengan orang-orang, seperti di lapangan olah raga kemarin.

Pak Gunawan ternyata memperhatikanku selama aku membukai pakaianku. Tapi pandangannya santai dan senyumnya ringan-ringan saja. Aku saja yang ge-er. Tapi pikiranku jadi berubah ketika dia tiba-tiba memberiku isyarat dengan mengangkat lengan kanannya dan menunjukkan otot bisepnya sambil menunjuk-nunjuk tubuhku, lalu mengacungkan jempolnya. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa aku punya tubuh yang bagus.

Padahal, ukuran tubuh kami tak jauh berbeda. Meskipun perut Pak Gunawan agak buncit, namun bahu dan dadanya cukup padat dan proporsional. Memang bulu di tubuhnya tak sebanyak milikku. Bulunya lebih keriting dan lebih banyak tumbuh di sekitar perut dan bagian bawah pusarnya saja, di bagian atas hanya tumbuh di sekitar puting dadanya.

Pak Gunawan lalu menganjurkan aku untuk melakukan gerakan pemanasan seperti yang dilakukannya tadi. Sementara ia sudah selesai pemanasan dan sekarang sedang berlari-lari kecil mengitari kolam renang. Gerakannya cukup gesit dan atletis. Dari seberang kolam renang aku jadi lebih bebas mengamati segala gerak-geriknya. Tubuhnya yang setengah telanjang itu meliuk-liuk membentuk siluet tertimpa sinar matahari sore. Dengan hanya bercelana renang, ketegapan tubuhnya makin terlihat nyata dari kejauhan. Sialan, aku jadi terpengaruh juga akhirnya. Kurasakan bagian depan celana renangku mulai mengeras.

Beberapa saat kemudian kami berdua sudah berada di air. Kami sempat beberapa kali melakukan renang sprint bolak-balik. Lumayan capek. Lima menit kemudian kami sepakat untuk menyudahinya begitu sampai di tepi kolam sebelah timur yang terkena sinar matahari.

Ketika aku menyentuh pinggiran kolam, ternyata Pak Gunawan sudah sampai duluan dan sudah duduk melepas lelah di bagian tepinya. Salah satu kakinya masih berada di air dan yang satunya lagi diangkat ke atas tepian kolam, sehingga posisi duduknya agak mekangkang. Sebuah pemandangan yang menakjubkan untuk dinikmati.

Dari bagian tepi kolam aku bisa dengan jelas melihat pemandangan yang mengejutkan itu. Garis batang kemaluan Pak Gunawan jadi tampak jelas menonjol di balik celananya yang basah. Tampak juga bulu-bulu keriting yang tumbuh di sekujur pahanya bagian dalam.

"Capek Dik?" tanyanya dengan nafas ngos-ngosan.
"Lumayan" kataku tak kalah ngos-ngosan, karena tarikan nafasku terganggu oleh detak jantungku yang makin tak karuan menghadapi pemandangan yang terpampang persis di depan wajahku itu.

Pak Gunawan lalu menarik nafas panjang sambil menyeka rambutnya yang basah ke belakang.

"Aaagghh.." terdengar dia membuang nafas panjang.

Lalu pelan-pelan, ia merebahkan punggungnya ke lantai di pinggir kolam, sementara kedua kakinya kini dijuntaikan masuk ke dalam air. Kini, dengan posisi rebahan seperti itu, tonjolan kemaluan Pak Gunawan makin terlihat jelas. Dan aku dengan leluasa dapat menikmatinya tanpa takut ketahuan karena posisi Pak Gunawan tak memungkinkannya untuk melihatku ke bawah.

Punyaku sendiri sudah tegang dari tadi. Makanya aku sengaja tidak segera naik ke tepi kolam. Di samping takut ketahuan, aku juga tak mau melewatkan pemandangan yang menggairahkan yang ada di depanku saat ini.

"Dik Har..," sapaannya tiba-tiba mengejutkan konsentrasiku.
"Ya Pak?" jawabku
"Saya duluan ke kamar bilas ya"
"O, silakan Pak. Nanti saya menyusul"

Dia lalu bangkit dari rebahannya, mengambil handuk dan peralatan mandinya, terus masuk ke kamar bilas yang ada di sudut area kolam renang ini. Aku sendiri masih berusaha menenangkan 'adik kecil'ku yang masih tegang di bawah air.

Ketika aku naik ke tepi kolam dan duduk sebentar di situ, pikiranku dipenuhi oleh bayangan tubuh Pak Gunawan. Haruskah aku tertarik padanya? Akankah semua ini hanya berhenti pada ketertarikan saja dan tak terjadi apa-apa? Bertepuk sebelah tangan?

"Hei..!" tiba-tiba kepala Pak Gunawan nongol dari balik pintu kamar bilas dan tangannya memberiku isyarat untuk segera menyusulnya.

Aku agak kaget juga mendengar teriakannya. Segera kusambar handukku dan dengan sedikit mengendap-endap aku masuk ke kamar bilas, takut sekaligus berharap bisa menjumpai sebuah pemandangan yang menggairahkan. Tapi, lagi-lagi aku terlalu berharap. Pak Gunawan tidak sedang telanjang. Celana renangnya masih utuh melekat.

"Dik Har nggak bawa sabun untuk berbilas ya? Pakai saja punya saya" katanya sambil menyodorkan kotak peralatan mandinya. Aku baru sadar, kok aku bisa lupa bawa peralatan mandi. Mungkin sudah lama tidak renang di kolam seperti ini.
"Pak Gun sudah selesai berbilasnya?" tanyaku
"Beluum.." katanya sambil tertawa,"Sudahlah, gabung saja dengan saya di sini"

Semula aku agak kikuk. Tapi melihat Pak Gunawan dengan santainya membilas tubuhnya di bawah shower, aku pun lalu mengambil tempat di salah satu shower yang ada di situ.

"Kalau pas lagi ada program pendidikan, biasanya banyak siswa yang berenang di sini. Maklum, orang kelautan kan harus bisa renang" Pak Gun bercerita di sela-sela acara berbilasnya.
"Rame dong Pak" kataku menanggapi
"O ya, apalagi kalau sedang ada di kamar bilas ini"
"Kenapa?"
"Biasa, namanya juga anak muda. Acara berbilas bisa jadi acara kontes burung" kata Pak Gun sambil terus menggosoki tubuhnya dengan busa sabun.
"Jadi, mereka pada telanjang?" aku penasaran
"Ya, nggak semua. Tergantung orangnya. Ada yang cuek. Ada juga yang malu-malu"
"Pak Gun sendiri ikutan kontes juga"
"Nggak lah ya" katanya sambil tertawa,"Saya hanya mengawasi mereka dari luar. Jadi cuma bisa mendengar suara ribut dan tawa mereka yang rame itu"
"Kalau Pak Gun ikut, pasti menang ya Pak" candaku sambil sengaja melihat ke arah selangkangannya.
"Ukuran saya sih sedang-sedang saja kok" katanya sambil memegangi lalu mengelus-elus sendiri tonjolan di bagian depan celana renangnya. Dalam pandanganku, sepertinya Pak Gun mempunyai ukuran penis yang cukup besar, meskipun aku belum pernah melihatnya.
"Kayaknya punya Dik Har lebih gede dari punya saya.." katanya gantian melihat ke bagian depan celanaku.

Terus terang, dalam kondisi begini, apalagi waktu melihat Pak Gun mengelus-elus miliknya tadi, sulit bagiku untuk menahan rangsangan yang timbul. Meskipun belum sepenuhnya tegang, namun celana renangku yang basah tak mampu menyembunyikan milikku yang mulai membesar. Padahal aku sudah berusaha menutupinya dengan membuat busa sabun sebanyak-banyaknya di sekitar daerah selangkanganku.

Sementara itu kulihat milik Pak Gun tampaknya tak bereaksi apa-apa. Ukurannya tak menunjukkan perubahan yang berarti. Barangkali sebagai instruktur di mess ini, ia sudah terbiasa menghadapi hal-hal begini, bahkan mungkin lebih dari itu, sebagaimana ceritanya tentang siswa yang melakukan 'kontes burung' tadi.

Kulihat ia masih asyik menyabuni badannya dengan sabun dan air berulang-ulang. Dan sekarang ia tampak sibuk menyabuni bagian perutnya yang membuncit itu, lalu, tiba-tiba tangannya turun ke bawah menelusup masuk ke celana renangnya dan kemudian dengan cueknya menyabuni daerah itu. Celana renangnya tampak sedikit tersingkap oleh gerakan tangannya, dan sekilas aku bisa melihat sebagian batang kemaluannya dan bulu-bulu hitam yang ada di sekitarnya.

"Kenapa Dik?" tanya Pak Gun sambil ketawa, mengagetkan pandanganku.
"Nggak. Kayaknya Pak Gun asyik banget mandinya" kataku agak terbata mengomentari caranya menyabun.
"He.. He.. He.." dia hanya tertawa menanggapi komentarku sambil terus dengan santainya menggosok-gosok daerah itu.

Coba aku yang melakukan, pikiran nakalku mulai bicara. Rasanya aku tak kuat lagi digoda seperti ini. Oh, tiba-tiba terlintas wajah Bahar. Forgive me..

"Sudah belum berbilasnya, Dik?" pertanyaan Pak Gun mengagetkanku. Tampaknya ia sudah hampir selesai.
"Belum Pak. Sebentar lagi"
"Oke, saya tungguin"

Aku segera menyabuni bagian tubuhku yang belum kubilas. Lalu tanpa kuduga sama sekali, Pak Gun tanpa rasa sungkan tiba-tiba melepas celana renangnya. Sehingga kini bisa kulihat dengan jelas alat vitalnya yang menggantung tanpa penutup apapun.

Urat-urat di batangnnya tampak jelas menyembul dan bagian kepala kemaluannya membulat besar seperti bentuk jambu air. Rambut di sekitar daerah itu cukup lebat meskipun dalam kondisi basah kuyup. Pak Gun sama sekali tak berusaha menutupi semua kepolosan itu.

Tangannya kemudian malah dengan santainya mulai mengeringkan daerah itu dengan handuk. Cuek saja. Seolah sengaja membiarkan aku memperhatikan segala gerak-geriknya. Dan ketika tangan Pak Gun tengah mengeringkan bagian atas tubuhnya, gerakannya menyebabkan batang kemaluannya berayun-ayun bagai lonceng.

"Sorry ya Dik Har" Pak Gun mencoba permaklumanku atas ketelanjangannya itu. Aku hanya bisa nyengir menghadapi sikapnya yang makin terbuka.
".. Wah, ternyata, punya Pak Gun memang gede ukurannya.." aku mencoba mengomentari apa yang aku lihat.

Pak Gunawan ketawa lalu memegang kemaluannya dan mencoba mengamatinya sendiri.

"Masa sih?" katanya seolah tak percaya. Matanya lalu beralih ke arahku.
"Punya Dik Har kayaknya lebih gede. Coba.." katanya seolah menyuruhku.

Kini gantian aku yang mencoba memegang bagian depan celanaku dan mengelusnya seolah sedang mengukur besarnya.

".. Ehhmm.. Sebenarnya, punya saya lagi 'gini'.." tanganku mencoba membentuk simbol bahwa aku sedang ereksi. Rasanya aku tak perlu lagi malu-malu di depan Pak Gun. Toh, ia juga sedang telanjang di hadapanku.
"Wah, kalau banding-bandingan begini, akhirnya kita jadi kontes burung nih.." kata Pak Gun sambil ketawa.
"Pak Gun.. Mau lihat punya saya..?" aku mencoba untuk berani menawarkan
"Boleh juga. Biar adil.." katanya sambil mendekatiku.

Aku lalu melepas celana renangku dan dalam sekejap batang kemaluanku sudah mencuat. Pak Gun sudah berada di depanku. Dadaku rasanya mau meledak, sampai-sampai harus kutarik nafasku dalam-dalam.

Kulihat Pak Gun takjub memandangi milikku yang sedang dalam posisi meradang itu.

"Boleh..?" tanyanya sambil tangannya terulur dan mencoba menggenggam milikku.

Aku menahan nafas ketika mulai merasakan sentuhan tangan Pak Gun pada bagian tubuhku yang paling sensitif itu. Terasa otot milikku itu makin membesar dalam genggamannya.

"Ini sih bukan gede lagi, tapi ukuran kuda!" komentarnya sambil sedikit memberi remasan. Aku menggeliat. Geli.

Tanpa diminta, aku pun lalu menggenggam milik Pak Gun dan mencoba meremas-remasnya. Semula ia agak tersentak dengan gerakan tanganku yang tiba-tiba itu. Namun kemudian membiarkan perbuatanku.

"Biar adil, punya Pak Gun juga harus dibangunkan.." kataku seolah memberi alasan perbuatanku. Kami lalu tertawa bersama.

Sore itu warna langit mulai teduh dan warna lembayung mulai muncul membayang merah. Di kamar bilas ini pun kurasakan suasananya makin memerah, makin memanas. Karena acara berbilas ini akhirnya telah berkembang jauh.

Tangan kami akhirnya saling asyik meremas satu sama lain. Dalam genggamanku, milik Pak Gun terasa hangat dan kenyal. Meskipun sudah berumur, otot itu masih terasa padat dan kencang. Bagian kepalanya mempunyai ukuran di atas rata-rata. Dan bentuknya bagus mirip jambu air. Bulat lonjong dan mengkilat.

"Kok, belum bangun Pak?" tanyaku merasakan milik Pak Gun yang hanya bereaksi membesar saja.
"Maklum. Perlu perjuangan.." katanya sambil masih terus meremasi milikku dan menjaganya agar tak menjadi kendur.

Perlu perjuangan? Oke! Kini kubuat gerakanku tidak lagi meremas. Kuganti dengan mengocok.

"Coba pakai sabun" dia menganjurkan aku untuk berbuat lebih jauh.

Maka sejenak aku melepas kocokanku dan membuat busa sabun sebanyak-banyaknya di telapak tanganku. Lalu kulumurkan ke sepanjang batang kemaluannya. Dan tanganku kemudian mulai melakukan gerakan mengocok lagi. Kulihat Pak Gunawan tersenyum melihat ulahku.

Tiba-tiba tangannya meraih sebagian busa sabun yang meleleh di tanganku, lalu mengoleskannya pada batang kemaluanku. Dan memilin-milinnya. Tanpa sadar aku melenguh kenikmatan. Kembali Pak Gun tersenyum melihat reaksiku.

Busa sabun itu telah mempercepat reaksi kami. Sesaat kemudian milik Pak Gun jadi membesar dan semakin mengencang. Milikku yang sudah keras pun makin menghangat dan tampak makin meradang. Tapi kami tampaknya tak berniat untuk mengakhiri acara saling merangsang ini.

Tadinya, kita memang 'berniat' hanya kontes burung saja. Saling membandingkan ukuran masing-masing. Dan kini kedua 'burung' itu sudah siap untuk dibandingkan. Jadi, apakah cukup sampai di sini saja?

"Mau diteruskan..?" Pak Gun mencandaiku.

Entahlah, nyatanya tangan kami masih saling meremas. Mata kami sesekali saling bertatapan dan sesekali melihat ke bawah seolah ingin membandingkan ukuran satu sama lain. Milik Pak Gun sedikit di bawah ukuranku. Tapi bagian kepalanya lebih besar dari milikku. Kami masih sempat bercanda ketika membandingkan kedua benda bulat panjang itu.

"Punya Dik Har keras sekali.." komentarnya sambil membuat pijitan agak keras.
"Punya Bapak bentuknya bagus.." balasku
"Batangmu pejal.." tangannya mengurut sepanjang batang kemaluanku. Aku bergidik kegelian.
"Helm Pak Gun gede.." kupegang dan kuremas-remas pelan kepala kemaluannya yang bulat membesar itu. Gantian ia menggelinjang.

Aku lalu mencoba menggenggam kantung pelirnya yang sedari tadi kubiarkan saja. Bagian itu terasa padat dan berkulit tebal. Kedua 'telor'nya lebih besar dari milikku. Ketika aku mencoba meremasnya, Pak Gun spontan menarik pantatnya ke belakang. Rupanya ia kegelian. Namun aku terus berusaha mempertahankan genggamanku di bagian itu. Pak Gun lalu berusaha membalas meremas buah pelirku juga. Aku menghindar. Tapi hanya pura-pura. Dan kubiarkan tangannya menggenggam dan meremasi kantung kemaluanku itu. Tanpa sadar, kami tertawa seperti dua anak kecil tengah bercanda.

"Ssst Pak.. Gimana nanti kalau ketahuan orang.." tiba-tiba rasa was-wasku muncul

Pak Gun hanya menatapku kocak sambil menahan suara ketawanya yang biasanya lepas itu,"Mau segera diselesaikan apa?" tanyanya kemudian

"Pak Gun sendiri gimana?" aku balik bertanya. Dan ia mengangguk.
"Kita keluarkan bersama ya.." lanjutnya masih dengan nada kebapakan sambil mempergencar gerakan tangannya.

Langit di atas sedang dalam puncak warna merahnya sebelum menuju malam. Satu dua lampu mess sudah mulai dinyalakan. Kamar bilas itu untuk beberapa saat menjadi sepi. Hanya terdengar suara kocokan tangan kami yang diselingi desahan tertahan yang keluar dari mulut kami berdua. Beberapa kali kudengar Pak Gun mendesis seperti tengah menahan sesuatu. Matanya memicing terus ke arahku dalam pandangan yang sulit aku mengerti. Keringat mulai membasahi kening kami berdua. Mulut Pak Gun sebentar mendengus, sebentar menguncup mendesis. Aku sendiri hanya bisa meringis dan menahan nafas beberapa kali.

Ketika erangan yang keluar dari mulutnya makin meracau, kupercepat gerakan tanganku di bawah sana. Tangan kiri Pak Gun sampai memegangi bahuku seperti butuh penyangga, sementara tangan kanannya tetap aktif bekerja di bawah. Semenit kemudian ia menjerit tertahan dan muncratlah cairan hangat miliknya membasahi perutku. Spontan tangannya mendekap tubuhku erat-erat dan membenamkan kepalanya di sela bahu dan leherku. Pantatnya bergerak tak karuan, menyentak-nyentak ke depan menekan pinggul dan daerah sekitar kemaluanku.

Aku mengimbangi gerakan orgasmenya itu dengan memeluk pinggangnya yang gempal itu dan membuat gerakan sedemikian rupa sehingga batang kemaluan kami saling menggosok. Air mani Pak Gun membuat gerakan itu jadi licin dan menimbulkan rasa geli yang nikmat.

Akhirnya aku pun mencapai orgasme dalam pelukan Pak Gun yang kini gantian menopang tubuhku agar tak limbung karena ledakan puncak birahi. Tiba-tiba nafsuku memicu kenekatanku untuk mencari-cari bibir Pak Gunawan. Dan ia membiarkan aku menciumnya lumat-lumat. Ah! Kumisnya terasa bermain-main di lubang hidungku. Aku tak peduli. Aku terus melumat bibirnya sambil merasakan kenikmatan orgasme yang tengah menjalar ke sekujur tubuhku. Tak kusangka Pak Gun membalas ciumanku dengan hangat. Lidah kami saling menjulur dan berpilin-pilin. Oh My God! akhirnya, aku berhasil mencium laki-laki ini. Dia ternyata 'the great kisser' dan tampak sekali kalau sudah berpengalaman. Aku sangat menikmati semua respon yang ia berikan untuk menambah kenikmatan orgasmeku. Ia memperlakukanku dengan cara yang matang dan kebapakan, membuat puncak birahiku jadi terasa total.

Dan senja merah pun makin meredup. Mendekati malam.

Kami masih berpelukan dan sesekali badan kami bergetar oleh sisa kenikmatan yang belum sepenuhnya reda. Beberapa saat kemudian Pak Gun membisikiku sesuatu, tapi aku tak menangkap apa yang disampaikan. Ia lalu mencium pipiku dan menarikku ke bawah shower dan langsung membuka kran. Aku kaget ketika tiba-tiba air sudah menyemprot tubuh kami berdua.

O, kini aku baru faham apa yang dibisikkannya tadi. Tampaknya acara berbilas harus kami lakukan sekali lagi. Tapi kali ini betul-betul cuma berbilas saja. Karena di luar senja sudah mulai merambat menjadi malam..

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.