Selasa, 29 November 2011

1st Spring

Selama enam bulan pertamaku di kota ini, aku mencari tahu sebanyak mungkin mengenai seksualitas, entah itu melalui buku ataupun berbagai jenis informasi-informasi yang bisa kudapatkan. Dan semuanya, pada akhirnya, mengarahkanku kepada bahwa aktivitas seksual yang kulakukan merupakan 'penyimpangan' seperti yang dikatakan oleh para ahli seksologi yaitu homoseksualitas. Well, walaupun sudah mengetahui berbagai teori dan kenyataannya, aku tidak merasa keberatan sekalipun, atau bahkan merasa malu. Mungkin dikarenakan aku membuka pikiranku sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang namanya beban berat di bahuku.

Dan, oleh karena itu, aku mempunyai satu tujuan belajar internet. Aku ingin tahu lebih banyak mengenai dunia ini. Aku ingin menemukan teman yang memiliki 'kesamaan' denganku. Dan yang paling penting, mencari berbagai informasi yang bisa membuatku berhati-hati dalam melangkah. Karena, seperti yang diingatkan oleh beberapa teman chatting-ku, salah melangkah dalam dunia homoseksual dan dunia normal, entah itu salah satunya atau keduanya, akan berakibat kibat fatal.

Selain itu juga aku bekerja paruh waktu untuk menghabiskan waktu luangku diluar jam kuliah dan belajarku. Selian itu juga, aku ada mengikuti les bahasa Mandarin untuk persiapanku entah untuk keperluan apa saja di masa depan. Kalau bahasa Inggris, aku sudah menguasainya lebih dari cukup untuk sekedar berbicara saja. Mungkin aku memiliki sedikit bakat dalam bahasa. Dan dengan cara ini, aku membelikan diriku sendiri sebuah HP keluaran terbaru pada saat itu: N 3330. Sedikit membantu untuk melakukan segala kegiatan dan komunikasi, khususnya untuk duniaku yang 'khusus' itu.

Bulan kedelapan aku tinggal di kota itu, aku mulai memberanika diri untuk keluar ke komunitas homoseksual yang ada di kota tersebut. Yang membuatku sangat terkejut, ternyata komunitas homoseksual di kota ini jumlahnya lebih banyak daripada yang bisa kuperkirakan, walaupun aku memilih untuk tidak langsung membuka diriku begitu saja kepada semua orang di komunitas ini.

Pria pertama yang kutemui adalah seorang pemuda kuliahan semester terakhir yang bekerja paruh waktu disebuah perusahaan swasta. Seorang pemuda yang berumur sekitar 23 tahun, lebih tua dariku sekitar 3-4 tahun pada saat itu. Dia tinggi, tampan dan putih, tubuhnya berisi dikarenakan teratur mengunjungi sebuah gym di kota ini, mengendarai sebuah mobil-sebetulnya aku tidak mengharapkan hal ini, dan berpenampilan sangat perlente. Dan pada waktu pertama aku melihatnya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia mengendarai mobil, aku langsung jatuh hati pada penampilan fisiknya. Well, namun semua hal tidak sesederhana itu saja, kan?

Dia membawaku dan mengenalkanku kepada beberapa teman-temannya. Aku memintanya untuk tidak terlalu menampilkan aku kedepan. Dia menghargaiku, dan aku menyukainya. Kami menjadi lebih sering keluar hanya berdua saja. Entah itu sekadar jalan-jalan, window shopping, internet surfing, makan bareng, atau bahkan berolahraga berdua diakhir minggu. Aku tidak tahu mengapa, namun aku suka menghabiskan waktu bersamanya, dan aku tidak pernah merasa bosan ataupun lelah.

Saat ini kami berdua sedang berada didalam mobilnya. Kami baru saja dari sebuah restoran untuk makan malam kami. Sepanjang jalan kami banyak bercerita, atau lebih tepatnya aku yang lebih banyak bercerita, Terutama tentang aku dan teman SLTA-ku yang bernama Opay. Setelah beberapa kali bersama, aku memutuskan untuk bercerita bagaimana aku bisa 'bergabung' bersama mereka.

"Gitu, ya?" katanya tertawa keras.
"Itu mah udah ML lagi!"
Aku juga tertawa, "Maklumlah. Kan masih polos waktu itu."

Dia membelokkan mobilnya kearah yang tidak seharusnya jika hendak mengantarku pulang.

"Lalu, sekarang gimana nih kalian berdua. Kan jauhan?"

Aku tidak menyadari bahwa dia telah membelokkan mobilnya.

"Gak, lah. Kami waktu itu cuman temenan aja. Mana ada pikiran yang lain. Hanya 'having fun with friend' aja, kurasa."
"Beneran nih?" tanyanya menantang.
"Don't miss him?"
"Ngapain lagi?" aku tertawa ngakak.
"Waktu itu masih polos. Mana ngerti yang lainnya selain saling buat enak?"

Dia menghentikan mobilnya. Sesaat kemudian aku tersadar bahwa bisa saja aku berada entah dimana.

"Fung," aku memanggilnya.
"Kita dimana nih?"

Fung beringsut mendekat. Dan sesaat kemudian, ia sudah duduk diatas pangkuanku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku hingga aku bisa merasakan nafasnya.

"Coba kulihat." katanya pelan semakin mendekatkan wajahnya.
"Seberapa banyak kepolosanmu yang masih tertinggal."

Sesaat kemudian aku sudah merasakan bibirnya pada bibirku. Aroma dan pesonanya yang begitu maskulin memabukkanku. Aku langsung membuka mulutku, menerimanya. Benar-benar tanpa perlawanan sama sekali. Bibirnya terasa basah dan hangat. Lidahnya meliuk-liuk piawai. Aku merasakan kejantanannya yang mengeras dibalik celana yang dipakainya, bersamaan dengan milikku juga. Fung lebih merapatkan dirinya kepadaku, menekankan kejantanannya yang sudah sekeras baja ke perutku. Sambil menciumiku, dia bergerak dengan penuh irama. Lembut dan memabukkan.

Pria kedua yang pernah kucium dalam hidupku. Namun yang pertama yang pernah kucium sepanas ini. Lidah kami bertemu, saling bertaut. Bibir kami saling menjepit dan mengulum. Dan bahkan sedikit menggigit sesekali. Ia sesekali membisikkan kata-kata yang memabukkan ditelingaku sambil mencumbuinya. Lalu menjalar ke leherku. Tangannya, tanpa kusadari melepaskan kancing kemejaku perlahan-lahan. Tangannya menyelip kedalam, membelai perlahan dadaku, puting susuku sebelum akhirnya memerosotkan kemejaku dari bahuku. Pada saat bersamaan iramanya menjadi liar, dan lebih mendesak.

Pada saat itu juga aku terkesiap. Aku berusaha menarik diriku menjauh sekaligus mendorongnya sekuat tenaga pada saat yang bersamaan. Tubuhnya membentur dashboard mobil dan menimbulkn bunyi yang sedikit keras. Tubuhku gemetaran tidak keruan, dan sesaat kemudian aku merasakan menelan sesuatu yang asin dan bibirku terasa perih. Sepertinya aku mendorongnya tepat pada saat dia menggigit bibirku.

Setelah sadar dari keterkejutannya, Fung mencengkram bahuku dan menekanku ke jok kursi mobilnya.

"Ada apa ini?" kemarahan terbersit dalam nada suaranya. Cengkramannya kuat sekali.
"Seharusnya aku yang bertanya." Aku meringis.
"Ngapain nyium aku seperti itu?"

Dia mendekatkan wajahnya..

"Bukankah kamu juga mau?" katanya berbisik. Namun tidak ada kelembutan dalam suaranya yang seperti biasa.
"Kalo ngga, ngapain pake acara ngebalas segala?" geramnya.
"A-aku.." aku tidak bisa memberikan alasan. Bahuku terasa semakin sakit.
"Le-lepaskan aku! Sa-sakit, Fung." Aku berusaha untuk melepaskan diri.
"Ngapain kok kasar?"

Seperti disiram air sedingin es, Fung tersadar. Perlahan, ia melepaskan cengkramannya pada bahuku. Setelah memandangiku sesaat, dan bibirku yang berdarah, ia kembali ke kursi kemudinya dan menyalakan mobil. Selama perjalanan pulang dia tidak berbicara sepatah katapun.

Demikian juga dengan diriku. Sementara Fung mungkin menyesali apa yang dilakukannya, aku lebih memikirkan mengapa aku sebegitu lemahnya jika berhadapan dengannya. Ini bukan hanya terjadi sekali ini saja. Beberapa kali di kamar kostku, di toilet restoran tempat kami singgah untuk makan malam, di closed-cyber yang biasa kami kunjungi. Dan pada beberapa kesempatan itu, hanya beberapa kali saja Fung bereaksi seperti ini.

Apa yang sebenarnya salah denganku? Aku mencair secepat lilin dihadapan nyala api didekatnya. Namun demikian, disaat-saat yang menentukan, tiba-tiba aku merasa seharusnya tidak begini. Begitu membingungkan.


Selama seminggu Fung tidak menghubungiku. Dan aku juga tidak mencoba untuk menghubunginya. Dan pada saat itu, sepi sekali rasanya. Seperti menjadi seseorang yang mempunyai ekstra waktu luang, tetapi tidak tahu bagaimana melewatkannya.

HP-ku berbunyi. Bunyi yang khas yang hanya kuatur untuk seorang saja. Fung yang menelepon! Aku bergegas mengangkatnya, "Halo?"

"Kuang?" ia memanggil nama chinese-ku.
"Ntar malam sempet gak?"
"Kenapa?"
"Mm.." Fung sepertinya ragu untuk berbicara.
"Datang ke rumahku, ya?!" ajaknya.
"Kita makan di rumahku." Lalu ia menambahkan cepat-cepat, "Kayak biasa."
"Ok." aku berusaha terdengar biasa. Hatiku sangat gembira.
"Kayak biasa. Sampe ntar malam."

Malamnya aku datang ke apartemennya. Sosoknya muncul dibalik pintu yang dibukakan olehnya. Ya Tuhan! Tampan sekali. Walaupun saat ini dia hanya memakai pakaian santainya saat berada dirumahnya sendiri, tapi tetap saja, bagiku dia adalah yang tertampan yang pernah kulihat.

Aku langsung masuk seperti biasanya. Walaupun ada sedikit perasaan kaku setelah kejadian terakhir yang kemarin, kehangatan sikapnya meluluhkan kekakuanku. Aku mengikutinya kedapur. Dia masih sedang memasak saat aku datang.

"Mo ku bantu, ngga?" tanyaku saat kami hanya terdiam dan tidak berbicara.
"Eh," katanya tidak memfokuskan pendengarannya padaku.
"Boleh."

Dan saat-saat berikutnya merupakan saat yang mungkin menjadi salah satu yang tidak akan terlupakan olehku. Memasak bersamanya sangat menyenangkan, dan entah kenapa bisa seperti itu bagiku. Sentuhan kecil saat kami bersentuhan secara tidak sengaja, mengalirkan kejutan-kejutan listrik kecil keseluruh tubuhku yang membuat perasaanku hangat, dan bahkan mulai terbakar. Kecanggunganku sepenuhnya hilang saat kami berdua duduk dan menyantap makan malam kami. Kami kembali berbicara. Sepertinya aku tidak merasa perlu untuk mendengarkan permintaan maafnya mengenai kejadian yang kemarin, dan sepertinya Fung juga merasa tidak perlu meminta maaf karena aku sudah memaafkannya.

"Kamu mandi duluan deh. Bisa pake bajuku dulu." katanya kepadaku. Saat aku datang ke tempatnya, aku sendiri baru pulang kerja.
"Aku mo beresin semuanya dulu, ok?"
"Ok." aku tersenyum.
"Thanks."

Aku langsung menuju kamar mandinya yang berada didalam kamarnya. Maklumlah, namanya juga apartemen bujangan. Sedikit lebih praktis jika kamar mandinya ada didalam kamar. Air hangatnya sudah dinyalakan, sehingga saat meluncur ketubuhku dari showernya, serasa memijatku dengan lembut. Perhatian kecilnya yang seperti ini membuatku membuncah bahagia.

Aku tidak menyadari saat Fung juga memasuki kamar mandi dalam keadaan telanjang. Aku menjerit perlahan saat ia mendekapku dengan erat.

"Sstt..!" desisnya menenangkan.
"Aku menginginkanmu."

Dan betapa kalimat sesederhana itu langsung membuatku luluh tak berdaya. Aku menurut saja saat dia membalikkan tubuhku dan memberikanku ciuman. Rasanya seksi sekali, bercinta dengannya dibawah siraman air. Tubuhnya yang basah berkilauan tertimpa cahaya lampu. Aku meletakkan kedua tanganku pada dadanya, dan membalas ciumannya. Dia menginginkanku, dan aku akan memberikan diriku, semuanya tanpa ragu, karena dia menginginkannya.

Tangannya menjalar keseluruh tubuhku. Membelai, memijat, menyentuh seringan kepakan sayap kupu-kupu dan pada saat yang mulut dan lidahnya juga mencumbu seolah aku ini adalah air yang haus. Aku memejamkan mata dan menengadahkan kepalau keatas, menikmati setiap jengkal sentuhan lembutnya. Aku mencoba untuk berkata-kata, namun yang keluar dari tenggorokanku tidak lebih dari sekedar erangan nikmat.

Lalu aku merasakan mulutnya pada kejantananku. Mengecup, menghisap, dan menjilat. Ditambah kedua tangannya yang terkadang menggosok pelan, memijat atau meremas. Belum lagi bulu halus yang tumbuh di dagunya memberikanku tusukan kecil yang geli namun nikmat. Aku, untuk yang pertama kalinya, merasakan apa yang disebut kesulitan bernafas. Mungkin lebih parah daripada seorang penderita asma.

Fung melepaskan mulutnya dari kejantananku. Sesaat aku mencoba untuk menghirup udara sebanyak mungkin, namun sesaat berikutnya mulutnya kembali menciumku. Dadaku terasa sangat panas, entah karena kekurangan udara atau entah apa. Debaran jantungku dapat kudengar sendiri ditelingaku. Tubuhnya, sesekali saat aku menemukan kesadaranku, gemetar begitu hebatnya seolah ia berusaha sangat-sangat keras untuk tidak kehilangan kendali dirinya. Dengan cepat dia menggendongku ke dalam kamarnya tanpa mengeringkan diri.

Dia merebahkanku ke atas ranjangnya dan tubuhnya yang besar menindihku. Entah sengaja atau tidak, ia sepertinya mengunciku supaya aku tidak bisa bebas bergerak. Atau kepalaku sudah sebegitu pusingnya sehingga bahkan untuk membedakan mana atas dan bawah juga sudah tidak sanggup lagi.

Dan benar saja. Kendali dirinya lepas. Bagaikan serigala liar, Fung mencumbuku habis-habisan. Dan tujuannya menahan tubuhku supaya aku tidak bergerak secara berlebihan jika ia mencumbu bagian tubuhku yang paling sensitif. Bagaikan anjing kelaparan yang menemukan tulang, mulut dan lidahnya mencumbui setiap jengkal tubuhku. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dan tanpa kusadari, sesaat kemudian, ia sudah berusaha menyatukan tubuh kami berdua. Pada saat berikutnya, tubuhku bereaksi pada saat aku merasakan nyeri yang langsung lenyap secepat kilat saat dia memasuki tubuhku. Namun sepertinya hal ini membuatnya menemukan kembali kendali dirinya.

"Sakit?" tanyanya gugup. Aku menggeleng.
"Maaf."

Dan berikutnya, ia melakukannya dengan lembut dan perlahan. Ia menginginkanku, dan bisakah aku mengartikannya sebagai bahwa ia mencintaiku? Dadaku terasa hangat. Aku baru saja menyadari perasaanku selama ini. Aku mencintainya.

Perlahan, irama tubuhnya menjadi semakin cepat dan kasar. Sepertinya ia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya. Namun aku lebih suka ia melepaskan kendali dirinya. Penguasaannya, kejantanannya, kekuatannya terlihat dengan sangat jelas pada waktu itu. Keliarannya telah menjadi setara dengan seekor serigala.

Kami semakin menanjak mendekati puncaknya. Aku merasakan ada suatu kekuatan yang harus dilepaskan. Kedua tanganku mencengkram seprai di kiri kananku. Tangannya pada kejantananku, tahu bahwa aku akan segera mencapai puncak. Kegilaannya membawaku terbang seperti seekor merpati yang terbang dilepaskan melalui sebuah jendela yang terbuka lebar menuju terangnya sinar mentari.

Aku merasa melayang, dan dalam perasaan melayang tersebut, aku mendengar dan merasakan bahwa dirinya juga telah melepaskan kekuatan yang terpendam lama di dalam tubuhnya dalam sentakan yang kuat. Aku mencintainya, benar-benar mencintainya.

Aku yang mengharapkan pelukan mesra darinya sesudah kami berdua bercinta ternyata tidak mendapatkannya. Perasaan sepi langsung menusuk hatiku. Fung bangkit begitu saja dan meninggalkanku.

"Fung?" panggilku penuh tanda tanya.

Dia mengacuhkanku. Dia berjalan menuju lemarinya, mengambil sesuatu lalu melemparkannya kepadaku.

"Ambillah." katanya kasar.
"Apa ini?" tanyaku.

Dan sesaat kemudian aku sadar. Ia melemparkan sejumlah uang kepadaku. 100 lembar 50 ribuan.

"Apa ini maksudnya?"
"Bukankah ini yang kau inginkan?" dia mengambil pakaiannya yang berserakan di mana-mana dan memakainya secepat mungkin.
"Bukankah ini yang kau incar? Dan kau layak mendapatkannya untuk permainanmu yang seperti itu"
Lalu katanya sinis, "Walaupun kau memakai trik susah didapat?"

Dan aku langsung memahami maksudnya. Hatiku serasa tertusuk. Aku memunguti pakaianku dan memakainya secepat mungkin. Aku merasa mataku panas, dan hatiku terasa tersayat-sayat.

"Aku pergi saja." kataku pendek, berusaha untuk menahan emosi yang hampir meluap keluar.

Dia berbalik menghadapku. Wajahnya dan sinar matanya tidak terbaca.

"Bukankah ada yang tertinggal?" tanyanya sinis sambil menggangguk ke arah uang yang masih tergeletak di atas ranjangnya.
"Oh, ya." kataku pendek. Berusaha untuk tidak menampakkan emosi sama sekali.
"Benar." aku mengambilnya dengan tangan yang bergetar keras.

Aku memandangi uang tersebut. Sesaat aku ragu, namun sesaat kemudian, kemarahan yang membakar diriku membuatku melakukannya. Aku mengoyakkan sebanyak mungkin yang bisa kukoyakkan lalu kulemparkan kembali tepat ke arah wajahnya. Ia terkejut.

"Ini pantas untukmu." kataku terengah menahan amarah.

Aku merasakan airmata yang hendak bergulir jatuh. Secepat mungkin aku membalikkan tubuhku dan melesat pergi meninggalkannya sendiri. Aku menangis sepanjang jalan. Sebelum akhirnya kelelahan emosiku membuatku terduduk disebuah bangku taman yang sudah kosong dan sepi. Bahuku terguncang makin keras. Aku menangis dalam isakan yang teredam.

Sebenarnya apa yang sudah kulakukan sehingga dia bersikap seperti ini kepadaku? Apa maksud semua perkataannya? Apa yang kuincar dari dirinya? Dan apa yang membuatnya berpikir begitu? Apakah salah kalau aku ingin mencintainya?

Lalu pemahaman memasuki benakku. Kemungkinan dirinya pernah disakiti dengan cara yang sama oleh seseorang. Sederhana malah, keinginannya menyakiti orang lain sebelum dirinya disakiti adalah suatu bentuk perlindungan dirinya akan hal-hal yang seperti ini. Ketakutannya akan pengkhianatan perasaannya yang mendorongnya untuk melakukan hal seperti ini. Dia takut aku jatuh cinta pada hartanya, bukan dirinya.

Namun kebutaannya, keinginannya untuk terus menutup mata dan hatinya menyakitkanku. Ada baiknya jika aku berhenti menemuinya. Dan akan lebih baik jika nantinya dia tidak akan menemuiku lagi. Mungkin bab kehidupanku yang dipenuhi dirinya sudah sebaiknya ditutup dengan baik.

*****

Aku saat ini sedang berada tiga kota jauhnya dari tempat tinggalku sebelumnya. Aku mentransfer kuliahku ke kota tempat tinggalku sekarang. Aku juga berhenti dari pekerjaanku yang lama. Aku ikut dengan salah seorang teman baikku dan tinggal ditempatnya. Well, dia juga seorang gay, teman terdekat dimana tempat aku untuk curhat. Dan dia bersedia untuk membantu saat mendengarkan ceritaku.

Hari ini aku sendirian saja dirumah kontrakan kami berdua. Temanku, yang gay itu, dia adalah seorang gigolo. Mencari cinta dan uang dari homoseks yang senang bermain-main. Mungkin itulah dulu anggapan Fung terhadapku.

Dan aku kembali memikirkan dirinya. Dan pada saat itu juga aku biasanya akan merasakan kesepian yang amat sangat. Dan biasanya, jika sudah seperti itu, aku akan pergi keluar untuk mencari udara segar. Dan kemudian akan pulang dengan mata yang sembab memerah. Aku menahan keinginan untuk mengulangi hal yang sama seperti yang sering terjadi belakangan ini. Aku menyibukkan diri dengan merapikan rumah.

Temanku mengatakan bahwa aku adalah termasuk kumpulan orang-orang bodoh yang langka. Tidak akan pernah ada cinta sejati diantara para gay. Mereka akan menyatakan cinta padamu dan akan selingkuh dibelakangmu saat mereka menjumpai seseorang yang lebih menarik. Lalu akan memutuskanmu dan pergi dengan pacar barunya. Jika aku memegang prinsip seperti ini, maka aku akan terus disakiti.

Terus terang saja, bagi temanku, apalagi mempunyai cinta sejati sepertiku ini, untuk memiliki cinta palsu penuh nafsu seperti yang biasanya saja sudah sulit. Kebanyakan dari mereka hanya akan melakukan cinta semalam. Dan dia menasehatiku untuk tidak mengharapkan bajingan itu-begitu cara temanku menyebut Fung-untuk kembali dan mencariku untuk mengatakan cinta. Jangan-jangan dia malah sudah punya pacar baru yang akan diperlakukannya sama seperti yang dilakukannya padaku.

Aku jadi mengingat hal yang tidak perlu, batinku. Aku meneruskan merapikan rumah untuk mengalihkan perhatianku kepada hal-hal yang tidak perlu, ingatan-ingatan yang menyakitkan.

Terdengar ketukan pelan di pintu..

"Roy?" aku memanggil. Mataku secara otomatis memandang jam dinding di ruang tamu saat menuju pintu depan.
"Kok cepat pulangnya?" aku tidak mendegar adanya jawaban.
"Sepi pelanggan ya malam ini?" aku menambahkan sambil tertawa, lalu aku membukakan pintu depan.

Sosok yang sudah kukenal itu berdiri disana, didepan pintu rumah kontrakanku. Sosok perlente yang masih kucintai hingga sekarang, walaupun kelihatannya lebih kurus dan tidak terawat. Bulu-bulu halus di dagunya seperti sudah lama tidak dicukur. Secara otomatis, dengan gerakan yang cepat, aku menutup pintu.

Namun dia lebih cepat. Seolah menduga apa yang aku akan lakukan, dia sudah menahannya dan mendorongnya kembali terbuka. Ia melangkah masuk dengan perlahan. Otomatis aku bergerak mundur dan meletakkan sapu yang kupegang didepan dadaku untuk mencari perlindungan.

"Kuang, please.." tangannya berusaha menjangkauku. Aku melangkah mundur.
"Ada urusan apa datang kesini?" kataku ketus.

Sesaat aku terpandang matanya. Jernih, dan terdapat kesedihan di sana.

"Aku perlu bicara." Aku berusaha untuk berani. Luapan emosi kembali bergejolak di hatiku.
"Tidak ada yang perlu untuk dibicarakan. Segalanya sangat jelas." kataku tegas.

Aku mendengar suara-suara di luar pintu. Sepertinya ada yang mengomel.

"Dasar laki-laki sialan. Padahal sudah mau. Eh, malah kabur ketakutan waktu ditelepon istrinya. Lebih parah lagi dari ban.."

Roy, teman sekontrakanku langsung berhenti di tengah kata-katanya yang emosional begitu melihat aku dan Fung. Mulutnya ternganga. Fung juga kaget, khususnya mungkin dengan dandanannya yang terlalu berlebihan.

Kami terdiam agak lama sampai Roy memutuskan untuk mengatakan sesuatu, "Eh," katanya ragu.
"Apa aku mengganggu." Roy sudah pernah melihat Fung dari photonya yang masih kusimpan hingga saat ini.
"Ya." kata Fung bersamaan dengan aku yang mengatakan, "Tidak."
"Eh," Roy kelihatan bingung.
"Aku perlu bicara dengannya berdua saja." Fung meminta dengan suara memohon. Dia merogoh koceknya, "Ini," dia menyerahkan kunci mobilnya.
"Pakailah, dan ada sedikit uang di mobilku yang mungkin bisa kau pakai selama aku dan Kuang ngobrol sebentar."

Roy kebingungan. Aku menggelengkan kepalaku satu senti ke kiri dan kanan, dan berharap Roy mau mengabulkannya. Dia terlihat sedang berpikir. Lalu dengan wajah yang tiba-tiba tersenyum, dia mengambil kunci dari tangan Fung.

"Makasih." katanya pendek.
"Roy!?" kataku tidak percaya.
"Maaf, Kuang." Roy memandangku dengan penuh permintaan maaf.
"Tapi memang ada hal yang harus kalian bicarakan. Akan lebih mudah baginya" Roy mengedikkan kepalanya ke arah Fung, "jika kau mau menyingkirkan sapumu dulu."

Lalu dengan tertawa sambil menggelengkan kepala Roy menghilang di balik pintu depan. Siulannya terdengar riang hingga lenyap dikejauhan.

Fung menutup dan mengunci pintu dengan menggunakan slot pengunci.

"Nah." dia berbalik menghadapku.
"Kumohon, kita benar-benar perlu bicara."
"Bukankah semuanya sudah kau buat dengan jelas waktu itu." kataku sakit hati.

Aku tidak menyadari bahwa Fung mendekat perlahan sekali.

"Maafkan aku." katany sedih.
"Aku tidak berpikir."
"Aku memang hanya mau uangmu, kok." kataku pedas.
"Kuang, please.." nada suaranya memohon dengan amat sangat.
"Sikapmu yang seperti ini sangat tidak membantu."
"Aku hanya menyatakan yang sebenarnya."
"Benarkah itu?" tanyanya menantang.
"Benarkah itu apa yang kau rasakan sebenarnya?"
"A-aku.." tiba-tiba saja kata-kataku sulit untuk keluar.

Untuk hal yang satu ini aku tidak bisa berbohong. Aku menundukkan kepalaku. Tubuhku serasa lemas tidak berdaya. Aku merasakan kedua tangannya yang kuat merengkuhku dengan lembut, membawaku kedalam pelukan hangatnya.

"Komohon," rintihnya.
"Katakan bahwa itu tidak benar."
Bahuku mulai terguncang sesekali, "I-itu b-benar."

Aku merasakannya menghela nafasnya.

"Kumohon." bisiknya ditelingaku.

Sesaat aku langsung bisa merasakan bahwa sesungguhnya dia juga merasakan rasa sakit yang sama besarnya seperti yang kurasakan saat dia melakukannya pada waktu itu.

Airmataku bergulir jatuh. Bahuku terguncang dengan keras.

"Oh, Tuhan!" serunya dalam rintihan.
"Maafkan aku, maafkan aku." mohonnya berulang-ulang.

Dalam tangisku aku berkata, "Aku tidak tahu, dan bahkan tidak peduli bahwa kau membawa mobil mewah atau tidak. Yang kulihat waktu itu hanya sosokmu yang berdiri didepanku. Dan waktu yang kita habiskan bersama. Aku.. Aku sangat menyukainya." dan hatiku terasa sangat berat saat akan mengatakannya, tapi aku harus.

"Dan aku.. Aku mencintaimu." airmataku bergulir jatuh semakin deras.

Dan, entah bagaimana, hatiku tiba-tiba terasa ringan. Sesuatu yang menghimpit dadaku, yang membuatku sulit untuk bernafas serasa menghilang begitu saja. Fung memelukku lebih erat sambil mengucapkan kata-kata maaf berulang-ulang. Dia mengangkat wajahku dan menghapus airmataku dengan ibu jarinya. Aku menatap ke kedalaman pancaran sinar matanya dan sepertinya aku mengetahui apa maksudnya. Dia mengecupku dengan lembut.

"Aku juga mencintaimu." katanya lembut, namun ada ketegasan dalam nada bicaranya.
"Maafkan aku." pintanya sekali lagi.

Dan lagi, dia menciumku. Lembut, perlahan dan penuh kasih. Aku menyambut segala perasaannya yang begitu jelas dan tulus. Ku kalungkan kedua lenganku pada lehernya. Aku bergantung padanya, perasaan ini, benar-benar membutuhkannya.

Entah sejak kapan, ciuman kami berdua mulai membakar diri kami berdua. Dia menatap mataku dalam-dalam. Aku menganggukkan kepala, dan dia kembali menciumku. Bibirku dan bibirnya bertemu, lidah dengan lidah. Dagunya yang tidak bercukur malah membuatnya semakin kelihatan maskulin. Sekali lagi-seperti yang pernah kurasakan pada saat aku bercinta dengannya-kekuatan, keperkasaannya dan kehangatannya terasa begitu jelas. Juga ketegangannya. Kami berdua tertawa pelan.

Dia jelas memujaku. Memperlakukanku seolah aku adalah keramik antik Cina yang mudah pecah. Kepalaku menjadi sangat pusing, dan saat berikutnya, yang kutahu tiba-tiba dia sudah berada diatasku. Tubuhnya yang telanjang membuatku terpesona, dan akan selalu begitu. Dan kemudian, pada saat dia menyatukan tubuhnya dan tubuhku, sekali lagi diucapkannya kalimat yang tidak akan pernah bosan kudengar walaupun diucapkannya berkali-kali.

"Aku mencintaimu.."

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.