Rabu, 02 November 2011

Oase Laut Utara 03: Dan Hujan Semakin Deras

Hujan di luar makin deras. Tetes airnya menimpa-nimpa atap seng dan menimbulkan bunyi agak berisik. Kami berdua masih di atas sofa. Berpelukan. Di TV sedang ditayangkan acara berita. Tapi kami tak punya konsentrasi lagi untuk menyimaknya. Bahar menatapku, lalu mengajak masuk ke kamar tidur. Tubuhnya yang sudah setengah telanjang itu langsung menuju ke kamar tidur sedangkan aku siap-siap untuk menutup pintu dan jendela rumah, lalu mematikan TV.

Begitu masuk ke kamar, kudapati Bahar sudah tergolek, telanjang bulat di atas tempat tidur. Baju kaosnya telah tersampir di sandaran kursi dekat ranjang.

Lelaki ini, makin hari makin membuat hidupku bersemangat saja. Segala yang ada padanya mampu memberiku warna dan jiwa tambahan. Dan malam ini tampaknya ia tak sekedar ingin memberiku warna, tapi sebuah pelangi!

Aku mulai mencopoti pakaianku sendiri. Dan tak lama kemudian tubuhku pun sudah polos tanpa penutup apapun.

Kudekati Bahar dengan perasaan berdebar. Mata kami terus bertatapan. Dia mencoba tersenyum padaku. Tapi aku terlalu tegang untuk membalasnya. Dalam jarak dekat baru kusadari bahwa di tangan kanannya sudah tergenggam sebotol kecil baby oil..

Baby oil? O.. o.. o.. Aku sadar sekarang, rupanya inilah rencana Bahar yang sejak sore tadi membuatku penasaran.

".. Kemarin, waktu mampir ke kota, aku sempatkan untuk membeli ini.." tanpa kutanya dia menjelaskan sambil menunjukkan botol kecil berwarna bening itu.

"Buat apa?" aku masih ingin berpura-pura. Padahal sudah bisa kutebak untuk apa baby oil itu akan digunakan.

Bahar tampaknya tak peduli lagi dengan kepura-puraanku. Tanpa banyak bicara dibukanya tutup botol kecil itu lalu ditariknya tanganku dan beberapa tetes minyak bening itu dituangkan ke telapakku.

Bahar mengambil posisi duduk bersandar bantal, melipat kedua lututnya ke atas dan membuka kedua pahanya lebar-lebar, seperti yang dilakukannya di sofa tadi.

Begitu ia merasa siap dengan posisinya, Bahar lalu memintaku untuk mengusapkan baby oil itu ke sekitar selangkangan terutama di sela-sela pantatnya.

Tanpa banyak bicara lagi, kuturuti permintaannya. Seketika kulit di daerah itu jadi basah dan licin berlumuran minyak yang sebenarnya untuk bayi itu. Ya, tapi malam ini ia memang akan jadi bayi bagiku. Bayi besar.

Selanjutnya aku tak perlu lagi diajari bagaimana harus berbuat. Tanganku langsung mengusap-usap dan mengaktifkan jari tengahku dengan gerakan menggelitik secara perlahan, menelusup masuk ke celahnya, menciptakan gerakan-gerakan yang membuatnya makin gelisah, dan makin gelisah.

Sementara aku asyik bermain jari, tanpa setahuku Bahar menuangkan baby oil ke tangannya sendiri dan kemudian mengusapkannya ke sekujur batang dan kepala kemaluanku yang sudah mulai membesar.

Aku tersentak ketika tangannya yang basah penuh minyak itu tiba-tiba menyergap dan menggenggam. Tampaknya Bahar juga ingin membuat dan menyiapkan agar 'rudal'-ku dapat melakukan tugas tempurnya dengan baik.

Maka dimulailah acara saling rangsang untuk menciptakan letupan-letupan api birahi di antara kami. Gerakan tangannya tak kalah cekatannya dibandingkan gerakan jariku. Tangan itu bergerak pelan tapi mantap, membuatku terinspirasi untuk teknik gerakan yang sama.

Beberapa saat kemudian, akibat stimulasi yang kuberikan serta teknik-teknik rangsangan lainnya yang dipandu oleh Bahar sendiri, kurasakan celah di belakang tubuhnya mulai melentur. Namun tampaknya itu belum cukup untuk memulai permainan.

Kata Bahar, perlu sedikit suasana yang agak rileks agar kondisinya bisa segera 'siap pakai'. Dia sesekali meminta tanganku untuk berhenti, baru kemudian memintaku untuk beraksi lagi, lalu rehat sejenak, beraksi lagi, mengulir lagi, begitu seterusnya sampai celah miliknya terasa makin longgar dan makin lentur.

"Sekarang Mas.." desah Bahar memberi sinyal padaku.

Aku memandangnya serius, ingin meyakinkan kesiapannya. Ia mengangguk pelan. Aku menarik nafas.

Beberapa bulan yang lalu, ketika kami sedang menikmati indahnya masa-masa sebagai pasangan baru, Bahar seringkali menunjukkan dan mengenalkan padaku berbagai variasi perilaku seks yang pernah dialaminya, termasuk seks anal. Namun saat itu kegiatan kami hanya sebatas permintaan untuk saling merangsang bagian belakang tubuh yang sensitif itu saja. Belum pernah melangkah jauh hingga penetrasi.

Memang, lambat laun timbul juga keinginanku untuk menikmati hal tersebut. Dan tampaknya Bahar-lah yang lebih menginginkan bahwa hal itu suatu saat dapat dilakukan oleh kami berdua. Namun sejauh ini ia tak pernah memaksakan keinginan itu. Hingga malam ini..

Permohonan Bahar untuk segera memulai aku turuti dengan mulai mengatur posisinya agar lebih enak dan leluasa. Aku sendiri mengambil posisi setengah merangkak di atas tubuhnya. Kupegang bagian belakang lututnya lalu kupentang dan kudorong kedua pahanya sehingga hampir menyentuh dadanya.

Dengan kondisi demikian, pantat Bahar tampak lebih bebas menghadap ke atas. Pelan-pelan aku mulai menyiapkan diriku dengan menggosok dan mengocok-ngocok batang kemaluanku yang masih belepotan baby oil itu.

Dan, beberapa detik kemudian pelan-pelan kubimbing otot pejalku ke celah miliknya..

Kulihat Bahar memejamkan mata, menanti saat-saat mendebarkan buat dirinya. Sesaat kemudian matanya kembali terbuka ketika bagian kepala kemaluanku mulai menyentuh. Senti demi senti aku berusaha menekan ke bawah dan memberi dorongan pada ujung batangku yang membulat itu agar makin terselip masuk. Bahar mengimbanginya dengan menekan pantatnya ke atas, seolah ingin menyambut kehadiran organ tubuhku yang paling disukainya itu.

Gerakan Bahar memang cukup membantuku. Mulut kecil miliknya itu sedikit demi sedikit mulai melahap pisang ambon hingga masuk sampai seperempat bagian. Rasa geli campur nikmat langsung menyergapku. Tampaknya demikian juga yang dirasakan olehnya. Ooohh inikah! inikah kenikmatan yang sering disinggung Bahar setiap kali kami punya kesempatan bermain-main dengan tubuh bagian belakang kami?

Belum apa-apa, ia sudah mulai bereaksi dengan lenguhannya yang khas. Kedua pahanya pun terbuka makin lebar, seolah ingin mempersilakan dan memberiku jalan untuk masuk lebih dalam lagi.

Kubalas sambutannya itu dengan menekan pinggulku lebih ke bawah, kali ini agak kuat, kusertai dengan gerakan sedikit mengulir. Sehingga aku tampak seperti seorang pekerja tambang sedang mengebor sesuatu.

Demi merasakan apa yang kuperbuat, Bahar terus memberiku semangat melalui lenguhan-lenguhannya yang terus keluar dari mulutnya. Kadang-kadang terdengar erangan yang tersendat, seperti tengah menahan sesuatu yang sulit untuk dikendalikannya.

"Sakit Bang?" tanyaku was-was mendengar lenguhan itu.

Tapi dia menggeleng dan malah menatapku sambil tersenyum dan menyeringai yang menurutku lebih tampak seperti ekspresi kenikmatan.

"Punya Mas.. Gesekannya terasa.. Banget.." kata Bahar dengan suara tersendat-sendat karena luapan birahinya.

Sesekali pinggulnya diangkat ke atas seperti tak sabar ingin melahap seluruh batang kemaluanku yang kini sudah setengah bagian terjepit di sela pantatnya.

Permainan ini memang dia yang minta dan dia juga yang merencanakan. Dan tampaknya ini sudah lama menjadi obsesinya. Katanya suatu ketika, ia ingin hubungan kami benar-benar menjadi sebuah hubungan yang sempurna. Waktu itu aku tak terlalu bisa menangkap maksudnya. Persepsiku hanya pada suatu hubungan yang mendalam saja. Ternyata sejauh ini ia punya harapan yang lebih jauh dari yang sebenarnya ingin aku harapkan juga.

Maka, malam ini kubiarkan dia mengatur semua keinginannya. Kuturuti kemauannya. Aku akan pasrah dan bergerak bagai mesin saja buatnya. Bukan berarti aku tak menginginkannya. Aku pun sangat surprise dengan semua ini. Karena inilah pengalamanku pertama kali, dengan orang yang aku sukai lagi. Atmosfir kamar tidur pun saat itu jadi terasa lain. Sangat, sangat romantis..

Seperti inikah suasana pengantin baru di malam pertamanya? Ya, malam ini akhirnya tak ubahnya seperti sebuah malam pertama pengantin. Malam pertama untukku, malam pertama dariku untuk dia, malam pertama untuk kami berdua.

Aku penuhi semua permintaan Bahar termasuk untuk beraksi lebih keras lagi agar seluruhnya masuk. Kuoleskan lagi baby oil di sekitar batang yang belum tertancap dan juga di sekitar celah miliknya. Aku lalu menggenjot lagi pelan-pelan, menekan sambil sedikit memutar-mutar. Desiran demi desiran pun mulai merayap di sekujur syaraf kemaluanku.

Pelan-pelan bagian tubuhku yang paling sensitif itu melaju masuk ke dalam. Aku mulai merasakan sebuah liang yang lembut dan licin, tapi cukup kuat, menjepit. Kemaluanku terasa berdenyut-denyut kenikmatan. Sepertinya Bahar punya mulut di bawah sana. Badanku sampai bergidik. Oh, aku kuatir tak mampu menahan orgasmeku yang mulai terasa mendesak-desak di pangkal batangku.

Kutarik nafas panjang dan kuhentikan sejenak serangan rudalku. Bahar tampaknya mengerti. Dia menatapku lagi sambil tersenyum. Wajahnya masih memerah, tapi ada rasa puas yang terpancar. Ia merasa sejauh ini permainan kami lancar-lancar saja.

Tangannya yang sedari tadi terentang ke atas, kini diarahkan ketubuhku dan kemudian meremas kedua bongkahan dadaku yang penuh keringat. Tangannya lalu mengusap-usap bulu dada yang tumbuh di sekitarnya. Sesekali puting susuku dicubitnya dengan gemas, sehingga membuat aku kegelian dan puting itu jadi memerah dan menegang keras karenanya.

Beberapa kali badanku sampai meliuk karena cubitan-cubitannya. Namun ternyata itu hanya siasat Bahar saja. Ketika ia sekali lagi mencubitku dengan cukup kuat, kontan gerakan liukanku jadi makin menyentak dan akibatnya pinggulku terdorong ke depan, sehingga.. Menyebabkan batang kemaluanku ikut maju dan menusuk lebih dalam! Akkhh!

Tak sadar kami mengerang secara bersamaan karena datangnya rasa nikmat yang ditimbulkan oleh gerakan reflek itu. Spontan pinggulku membuat gerakan maju mundur, sehingga makin lama makin amblaslah seluruh batang kemaluanku sampai ke pangkalnya. Meluncur-luncur licin sepanjang dinding yang lembut dan hangat. Kemaluanku bagai berada dalam genggaman tangan sutra yang mengelus dan terus mengelus-elus. Membuat aliran darah ke batang penisku makin deras. Mengeraskan syaraf-syaraf yang ada. Dan membuat nafas menderu-deru dari hidung dan mulut kami.

Bahar lalu mulai membelitkan kedua kakinya pada pinggangku dan akupun lalu berusaha memeluk dia sambil kuciumi bibirnya dengan bernafsu. Nafas kami saling memburu dan erangan kami tersendat oleh mulut kami yang terus lumat berciuman. Tubuh kami telah menyatu. Benar-benar menyatu dan lengket tak mau lepas. Bagai dua ekor anjing ketika sedang kawin.

Kunaik-turunkan pantatku, karena kurasakan jalan masuk yang semakin lancar saja. Sementara di bawah sana kaki Bahar melingkar mendesak-desak makin erat seolah meminta aku melakukan tusukan lebih dalam lagi.

Sesekali kulakukan gerakan-gerakan erotis; memutar dan mengulir bergantian, membuat Bahar makin meningkatkan belitan kakinya. Kuku tangannya terasa mencengkeram punggungku. Dalam kondisi biasa mungkin aku sudah kesakitan dicengkeram seperti itu.

Suara lenguhan kami makin keras terdengar. Bagai kerbau tengah terluka. Melenguh, mengerang, lalu melenguh lagi. Kenikmatan..

Sosoknya memang bagai kerbau. Kulit dan dagingnya tebal lagi liat. Tubuhnya kekar dengan bagian-bagian tertentu berotot kokoh. Kulitnya yang gelap, makin mendekatkan perumpamaan itu. Dan saat ini kerbau itu tengah menggelepar-gelepar penuh keringat di bawah tubuhku. Bunyi lenguhannya setiap kali terdengar seiring hujaman yang kulakukan. Kadang ia mengerang bila aku sedikit saja mengendurkan aksiku. Seolah tak rela aku menarik nafas barang sejenak, dan menuntutku untuk terus membuatnya tersentak-sentak.

Ternyata, nikmat sekali rasanya permainan seperti ini. Seluruh otot di kemaluanku bagai meluncur-luncur, serasa dipijit-pijit dan diremas-remas oleh sesuatu yang lembut dan licin. Apalagi bila Bahar melakukan konstraksi pada otot cincin yang ada di celah tubuhnya itu. Rasanya seperti menjepit lalu mengisap-isap dan menyedot batangku. Membuat mulutku megap-megap saking enaknya.

Bahar sendiri tampaknya sangat, sangat meresapi permainan ini. Matanya kulihat 'merem-melek' menikmati setiap genjotanku dan mulutnya sebentar-sebentar menguncup dan mengeluarkan suara mendesis, seolah-olah menahan sesuatu yang tak kuat ditanggungnya.

Aku terus berusaha membantu dia untuk mencapai puncak kenikmatannya. Batang kemaluannya yang beberapa saat luput dari perhatianku, kali ini mulai kugenggam. Ujungnya sudah basah penuh cairan. Precumnya banyak sekali! Ketika kucoba melakukan gerakan mengonani dia. Tubuh Bahar langsung menggeliat, punggungnya melengkung saking nikmatnya.

Ternyata gerakan tanganku yang naik turun itu membawa kenikmatan tidak hanya pada dia, tapi juga padaku, karena otot di sekitar pantatnya jadi ikut ketarik dan berkonstraksi seiring gerakan kocokanku. Batang kemaluanku makin terasa bagai diisap-isap oleh lubangnya yang rasanya makin licin itu.

Beberapa kali Bahar meregangkan punggung, dan kepalanya mendongak ke belakang disertai suara teriakan tertahan. Tubuhnya yang besar padat itu menggeliat-geliat tak terkendali. Anehnya, gerakannya tampak lentur bagi pemain akrobat yang terlatih. Wajahnya memerah mengekspresikan puncak birahi yang sangat kuat. Dan..

"Aaagghh.. Aaahh" Bahar berteriak beberapa kali sebelum akhirnya batang kemaluannya yang sedang kugenggam itu memuntahkan cairan kental dengan derasnya. Tumpah tak terkendali. Dalam genggamanku, otot yang ada di sekujur batang itu terasa makin membesar dan mengeras.

Air maninya muncrat beberapa kali dalam jumlah yang banyak hingga membasahi bulu yang ada di dada dan perutnya. Kental dan baunya sangat khas. Lelehan cairan kental itu juga meleleh sebagian di tanganku, hangat rasanya.

Kucoba untuk memilin-milin batang kemaluan Bahar dengan lelehan cairannya sendiri. Kumulai dari ujung kepala hingga pangkalnya. Naik turun. Ia sampai menggelinjang, lagi-lagi bagaikan kerbau disembelih, karena merasakan perbuatan tanganku itu. Matanya terus terpejam tapi mulutnya menganga dan mengeluarkan lenguhan-lenguhan kepuasan.

Sementara rasa nikmat yang menjalari di tubuhku pun makin memuncak sejak tadi. Karena bersamaan dengan datangnya puncak kenikmatannya, otot di sekitar pantat Bahar menjadi makin mengkerut rapat, sehingga milikku makin terjepit dan terjebak dalam lorong liat yang ketat. Aku sampai tersengal-sengal merasakan jepitan otot itu, apalagi disana kurasakan pula ada gerakan yang berdenyut-denyut. Ingin rasanya menahan desakan lahar dari pangkal kemaluanku yang makin lama makin kuat, mendesak ingin segera dimuntahkan.

Dan akhirnya aku pun tak kuasa lagi untuk tidak menuntaskan puncak birahiku yang sedari tadi kutahan. Kujejalkan rudalku sekuat tenaga dengan sekali sodokan yang kuat, kugesek-gesekkan pada sekujur dinding yang ada di sana, lalu meledaklah lava panas, mewakili kenikmatanku, membanjiri lubang sempit milik si manusia kerbau itu.

Disertai dengan letupan-letupan rasa nikmat yang sulit kulukiskan, mulutku hanya bisa mendesis-desis bagai kepedasan. Oh, orgasme ini datang sangat intens sekali..

Beberapa kali pinggulku menyentak-nyentak, mengikuti setiap muncratan yang terjadi. Mulutku hanya bisa berbisik-bisik memanggil nama Bahar.

"Baanngg.. Oohh.. Banngg.. Ooohh" yang kupanggil hanya membalasnya dengan mengelus-elus perutku.

Kugoyang terus pinggul dan pinggangku. Tapi kali ini aku tak bisa lagi mengontrol iramanya. Hingga setiap gerakan yang kulakukan menimbulkan suara mirip kecipak, sebagaimana suara yang ditimbulkan bila sebuah benda padat bergesekan dengan sesuatu yang basah.

Di ujung kenikmatan yang mulai mengendur, badan kami beberapa kali masih sempat bergetar merasakan sisa puncak birahi yang sangat intens tadi. Hingga tubuhku jatuh tengkurap lemas menindih kedua pahanya yang terpentang lebar dan basah penuh keringat. Kami kemudian saling berpelukan. Keringat benar-benar telah membasahi tidak hanya tubuh kami berdua, tapi juga sprei ranjang.

Di luar hujan masih terdengar meski tak sederas tadi. Sementara di ruangan hanya terdengar dengus nafas kami yang masih memburu tak karuan. Aku mencoba duduk dengan kedua telapak tangan bertumpu ke belakang. Batang kemaluanku yang belum sepenuhnya lemas itu masih terjepit di sela pantatnya. Masih terasa denyutan-denyutan yang kadang-kadang menimbulkan sedikit rasa gatal yang nikmat. Bahar lalu mencoba bangkit dari posisi telentangnya dan pelan-pelan mencoba duduk di atas tubuhku sambil berusaha tetap mempertahankan milikku agar tetap tertancap.

Kami sekarang dalam posisi duduk rapat saling berhadapan dengan kedua lutut saling bertumpangan. Bibir Bahar lalu menciumi seluruh wajahku dan berakhir di bibir. Kubalas dengan lumatan yang kuat. Lidahnya lalu bermain-main. Kubalas lagi dengan lumatan yang lebih kuat. Begitu seterusnya, sampai kami hampir kehabisan nafas.

Kami seperti tengah merayakan suatu kejadian besar yang baru pertama kali kami berdua lakukan. Hingga lupa bahwa bagian bawah tubuh kami sebenarnya masih menyatu.

Aku lalu mencoba mencabut batang kemaluanku yang sudah mulai mengendor itu. Tapi Bahar menahanku. Dia malah mendorong dadaku hingga aku kembali telentang di kasur dan kemudian ia mengambil posisi berjongkok di atas tubuhku. Mau apa dia?

Pelan-pelan ditariknya pantatnya ke atas, lalu sedikit demi sedikit keluarlah batang kemaluanku dari lubangnya. Sialan, rasa nikmat kembali mendera seluruh tubuhku. Bahar tampak meringis kegelian. Demikian juga aku. Rupanya inilah teknik Bahar bagaimana cara mencabut tetapi tetap mendatangkan kenikmatan. Akhirnya lepaslah seluruh milikku yang kini telah basah penuh dengan lumuran lendir. Tiba-tiba di antara kepuasan dan rasa lega, aku merasakan pula rasa kehilangan..

Dengan tubuh masih telanjang, Bahar lalu bangkit dari ranjang. Berjalan menuju meja, mengambil rokok dan menyulutnya. Asapnya terhembus kemana-mana. Ia lalu kembali menuju ranjang dan berbagi mengisap rokok denganku.

"Bagaimana Bang? enak?" tanyaku. Dia pernah bilang, enak rasanya merokok sehabis melakukan hubungan seks, seperti layaknya menikmati rokok setelah makan.
"Rokoknya atau..?" Bahar menjawab dengan pertanyaan lagi.
"Kalau dua-duanya bagaimana?" kataku sambil ketawa mendengar omongannya yang nakal itu.
"Dua-duanya sama-sama nikmat. Rokok yang ini membawa pikiran jadi segar kembali. Kalau 'rokok' yang satunya itu.. Hmm.. Membuatku benar-benar gila" jawabnya sambil melirik ke kemaluanku yang sudah mengendur.
"Rasanya aku jadi kepingin juga.." kataku kemudian.
"Kepingin rokok atau..?"
"Dua-duanya!" sahutku cepat sambil tertawa ngakak.
"Memangnya sudah siap untuk, 'merokok'?" tanya Bahar memberi tekanan pada kata 'merokok' yang artinya lebih mengarah pada anal seks.
"Mas kan belum punya pengalaman dibegitukan" lanjutnya.
"Abang yang harus menyiapkan"
"Tampaknya perlu waktu"
"Mengapa tidak kita mulai dari sekarang?"
"Sekarang? Besok saja.."
"Sekarang!"
"Besok!"
"Sekarang.. Please.." mintaku seperti anak kecil.

Bahar mendekatiku dan lalu mencoba memberiku 'nasehat', berteori tentang hubungan anal seks, mencoba memberitahu aku hal-hal yang dianjurkan dan yang tidak untuk dilakukan.

Tapi aku tak menggubris celotehnya itu. Aku lalu mengambil botol baby oil dan menyerahkannya ke Bahar. Kuangkat lututku lalu kubuka paha dan selangkanganku lebar-lebar sehingga celah pantatku tampak jelas. Bahar menatapku sambil geleng-geleng kepala.

"Kalau bandel, aku sundut lho!" katanya sambil mengarahkan rokoknya ke selangkanganku.

Aku hampir menjerit, tapi Bahar segera menarik kembali rokoknya sambil tertawa-tawa. Tangannya yang satu lagi lalu berusaha memelukku, kemudian ia berusaha membujukku dengan sebuah bisikan.

Aku tak akan menceritakan apa yang telah dibisikkan Bahar ke telingaku. Yang jelas aku hanya bisa mengangguk dan menuruti kata-katanya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.