Senin, 28 November 2011

The Blue Broadcasting

Pertama kali ini aku menginjak tanah melayu, Malaysia. Di sana aku ditawari pekerjaan oleh sepupuku yang berprospek besar untuk masa depanku nanti, yaitu menjadi seorang penulis dan kamerawan.
"Kamu pastilah lulus nantinya." Tegas sepupuku dengnan penuh keyakinan.
"Kau bercanda." Balasku tak percaya.
"Aku tak bohong kau tahu!" Serunya kembali.
Sampai aku menerima pekerjaan itu di negeri Jiran, aku masih belum percaya aku bisa diterima, mungkin saja sepupuku memakai uang pelicin untuk menembus stasiun televisi yang megah itu.

Baru beberapa hari bekerja, aku sudah bisa menikmati yang namanya menginap di hotel mewah karena event besar yang diadakan tempat kerjaku. Maklumlah, saya orangnya kampungan, baru melihat sebuah monitor LCD 17 inchi tempatku mengedit film mataku sudah membelalak dan mulutku tak berhenti bertanya kepada orang yang ada di depan layarnya. Kali ini sepupuku yang bernama Hadi (23) itu berbusana bak seorang milyuner saja, dia mengenakan setelan jas putih dengan tuksedonya yang lux. Aku heran saja sambil melongo.
"Dia sakit tidak yah?" Pikirku sambil menggaruk kepala.
"Aku mau jadi manajermu saja ya Bang." Katanya sambil memamerkan senyumnya yang lebar.
"Memang kenapa? Lagian ngapain pake-pake begituan segala?" Tanyaku saat ia tiba-tiba menarikku ke pintu yang menuju backstage studio 3.
"Kamu ditawarin sesuatu sama mister Canetti. Buruan!".
Nama itu sangat asing ditelingaku, 'Canetti' itu nama yang sangat aneh pikirku?

Tak jauh dari pintu, seorang bapak-bapak berbaju pantai yang coraknya penari hula-hula_lagaknya seperti seorang germo_berdiri tegak menikmati rokoknya.
"Ini dia Pak Canetti".
Hadi memperkenalkanku padanya, saat itu aku tidak tahu apa-apa.
"Hmm.. betul-betul barang bagus Hadi, kerja kamu sempurna." Katanya dengan aksen yang aneh, dia bukan orang Malaysia rupanya.
Pak Canetti tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk bersalaman, aku reflek saja membalas salamnya.
"Saya Canetti Moreno dari Filipina, senang bertemu dengan anda tuan..?" Sapanya sekaligus bertanya.
"Aaa.. Nugroho, nama saya Nugroho." Kemudian dia kembali tersenyum, tapi kali ini senyumnya aneh, seperti sedang menggoda wanita cantik saja.

Hari itu semuanya serba membingungkan, mulai dari sepupuku yang mulai bertindak konyol, lalu muncul Canetti yang tidak kalah anehnya juga. Aku tidak mengerti pembicaraan mereka saat itu, lalu mulai 'agak' jelas ketika ia membicarakan masalah penawarannya padaku. Pak Canetti ingin aku pergi ke filipina untuk menjadi kameramen di film yang beliau garap sekarang. Gajinya sudah tentu sangat menggiurkan bagi orang awam seperti saya. Apalagi akomodasi dan transportasi sudah ditanggung perusahaan beliau. Sepupuku ternyata sangat baik padaku, telah memberiku kesempatan dua kali, aku tidak tahu harus membalas dengan apa jasa-jasa yang ia berikan padaku. Tapi, yang menjadi pikiranku semalam suntuk adalah, apa maksud dari 'barang bagus' itu? Aku sama sekali tidak mengerti.

Sehari sebelum keberangkatan, saya dan Hadi sempat fitnes di gedung belakang kantor. Kami sedikit berbincang masalah pekerjaan-kesibukannya nanti setelah saya berangkat-dan mengapa ia begitu baik memberiku pekerjaan. Ia selalu tertawa saja dan menjawab ke arah yang jauh berbeda.
"Abang tak usah sungkan, saya baik karena saya sayang sama Abang." Katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih, saya sangat menghargainya." Balasku kembali.
Saat itu pertama kali kulihat wajahnya menjadi pucat pasi dan sedih. Atau mungkin hanya perasaanku saja.

Tiba hari keberangkatanku, Pak Canetti sudah menunggu di loket boarding pass. Penampilannya kali ini jauh berbeda, dia sudah lebih rapi dengan kemeja biru dan celana kainnya. Hadi bahkan mengantarku sampai di gerbang.
"Abang pergi dulu yah. Jaga diri baek-baek" Seruku padanya.
Kemudian setelah kukeluarkan koperku dari bagasinya Hadi tiba-tiba memelukku dengan erat, dan dia malah menangis seperti anak kecil.
"Lho-lho, kok.. kok.. kamu kenapa, kamu ini sudah besar, hoi! Denger enggak sih?".
Hadi mengabaikan kata-kataku, dia semakin mempererat pelukannya.
"Hati-hati ya Bang." Jawabnya saat masih memeluk erat tubuhku.
Aku hanya bisa pasrah melihat tingkahnya. Hadi yang berpostur proporsional dan atletis seperti ini, jika menangis tetap saja terlihat seperti bayi. Akhirnya ia melepas pelukannya, lalu aku pergi menuju ke arah Pak Canetti. Hadi tak henti-hentinya melambai-lambaikan tangannya melihat kepergianku. Tingkah aneh Hadi membuatku berpikir kalau dia itu anak yang rapuh, walaupun umurnya cuma lima tahun lebih muda dariku, mungkin karena sejak kecil dia tidak dibesarkan oleh orang tua kandungnya melainkan orang tua angkatnya di Malaysia.

Pikiranku buyar ketika melihat pesawat yang akan kutumpangi. Wah! -sifat udikku kumat lagi- pesawatnya sangat besar dan mewah. Saat memasuki badan pesawat, saya agak bingung melihat seat tempatku akan duduk, lalu seorang pramugari mengarahkanku menuju bangku di daerah depan. Malangnya tempat ini adalah kompartemen untuk penumpang yang merokok. Tambah lagi, saya alergi rokok. Saat kami duduk di bangku masing-masing, Pak Canetti merogoh sakunya dan mengeluarkan rokok dengan label 'dick'. Seingatku dick itu salah satu kosa kata bahasa inggris.
"Maaf Pak, saya asma." Keluhku pada Pak Canetti.
Ia akhirnya paham dan mengurungkan niatnya untuk merokok.
"Anda tidak merokok rupanya, nanti aku mintakan tempat dibelakang."
"Ah tidak usah Pak, itu bukan masalah."
"Kau yakin?" Tanyanya memastikan.
"Sudah cukup nyaman bagi saya Pak."

Perjalanan memakan waktu 90 menit, dan akupun mulai bosan. Untung pesawatnya dilengkapi fasilitas yang beragam, mulai dari TV satelit, musik hingga ke cergam. Sedangkan Pak Canetti, ia tidak jarang curi-curi pandang ke arahku. Terkadang dia memandang lekat-lekat wajahku, menilik tubuhku, dan seringkali dia memperhatikan anu-ku. Aku pura-pura saja tidak tahu, tapi ubun-ubunku serasa tersengat listrik karena tidak tahan. Akhirnya aku tidur saja sambil menutup mukaku dengan jaket agar dia tidak 'curi-curi' lagi.

Setibanya di bandara, kami berjalan hingga sampai di lapangan parkir. Kami telah ditunggu oleh sederetan mobil Corvette hitam, saat itu saya terus menelan liur karena keheranan, ini seperti kontrak besar saja. Nyaman sekali rasanya jika transportasinya juga ditanggung, apalagi kalau diantarnya pakai mobil semewah ini_kayak raja sehari_Lalu kami diantar sampai ke PNA (Phillippines News Agency) yang bercokol di pusat kota Manila. Pak Canetti masuk dan menjemput dua orang pria dari dalam gedung. Mereka serombongan dengan kami, dan sepertinya mereka adalah pegawai di kantor berita itu. Setelah kedua pria itu masuk ke mobil mereka, kami melanjutkan perjalanan. Kami menyusuri jalan keluar kota hingga ke sebuah pedalaman yang banyak ditanami pohon akasia, artinya kita ada di dataran yang cukup tinggi.

Rombonganku singgah di bungalo yang besar, awalnya kukira ini adalah pemberhentian pertama, tapi nampaknya, setelah para kru yang jumlahnya cuma 3 orang termasuk saya beserta kedua pria tadi dan Pak Canetti mulai berbenah, ternyata bungalo ini adalah lokasi syut-nya. Sayapun ikut berbenah dan mengangkut barang-barangku ke dalam. Kami dipersilahkan masuk oleh Pak Canetti dan diberi instruksi kalau jam 3 sore ada meet di balkon depan. Kami diberi kesempatan untuk beristirahat di kamar masing-masing.

Saya segera masuk ke kamar yang berlabel 'crew', dan setelah kubuka, mataku terbelalak lagi. Bungalo ini mewah juga, kamarnya saja seperti kamar hotel, ada jendela besar yang menghadap langsung ke arah pemandangan alam yang hijau, ada radiator pula, kamar mandinya dilengkapi pemanas air dan tambah lagi ada sebuah fasilitas komputer untuk keperluan internet atau office. Kurebahkan badanku ke kasurnya yang empuk dan hangat. Huuh..! Kulepas nafas panjang. Saat itu aku melamun sejenak, tapi tatkala ada suara kasak-kusuk dari ruangan sebelah, lamunanku sirna seketika. Karena penasaran, saya menempelkan telingaku untuk menguping. Sayangnya, walaupun terdengar jelas tetapi mereka memakai bahasa setempat yang sama sekali aku tidak mengerti. Karena belum puas, aku mengendap-endap kedepan pintu dan mengintip lewat celah kunci atau celah pintu untuk mengintip ke dalam. Walaupun aku tahu ini melanggar privasi, tapi aku menjadi semakin penasaran karena tahu kalau yang ada di kamar sebelah adalah kedua pria dari PNA tadi.

Kedua pria itu tinggi besar, berbadan kokoh, atletis dan berwajah tampan. Aku pikir mereka adalah aktor di film ini. Aku sudah mencium dari awal kalau-kalau ini adalah bisnis kotor, yaitu penggarapan film biru. Tapi anehnya, kenapa tidak ada aktrisnya yah? Masih asik mengintip, tiba-tiba pintu terbuka. Salah satu pria tadi memergokiku rupanya, dia menatapku dengan wajah tidak senang.
"Maaf, kukira aku salah ruangan, mungkin kamarku yang disebelahnya."
Mendengar kata-kataku, pria itu malah mengerutkan keningnya. Rupanya ia tidak mengerti dengan ucapanku. Kemudian ia meminta untuk berkenalan, ia memberikan namanya dan nama rekannya. Mereka adalah Brad (20) dan Reno (22), keduanya warga negara Singapura. Kami berbincang-bincang dalam bahasa inggris sedikit saja (karena aku agak kurang dalam bahasa inggris), cuma untuk tambah-tambah ikatan relasi katanya.

Setelah rapat kerja di balkon, akhirnya Pak Canetti mengaku kalau ini adalah film biru (hanya padaku karena memang saya tidak tahu dari awal). Tetapi saya terima saja, mumpung dapat pengalaman 'behind the scene'-nya film biru. Lalu Pak Canetti meneruskan bahwa film ini berjudul Tromang, itu diangkat dari nama produk gel pelicin. Tambah lagi perkenalan pemainnya adalah Brad dan rekannya, lalu mereka tiba-tiba saja berciuman di depan kami semua. Itu membuatku terkejut bukan mainnya. Ternyata ini film gay!

Jadwal syut-nya cuma 2 hari, itu untuk durasi 70 menitan saja. Karena itu, malamnya saya mempersiapkan diri dengan perlengkapanku, sekaligus memikirkan kedua pria itu yang tidak kusangka adalah homo, pantas saja perangai Pak Canetti terhadapku begitu aneh dan misterius, lalu.. bagaimana dengan Hadi, aku masih bingung dengan sikapnya itu terhadapku. Tapi setidaknya, aku sudah mengerti arti ungkapan 'barang bagus' yang dilontarkan Pak Canetti padaku. Bukannya GR sendiri loh.

Hari pertama kujalani begitu 'panas', karena melihat secara langsung aktivitas seks para gay dari balik lensa. Mereka beradu dengan erotisnya di atas ranjang di ruang utama, lalu babak ke 2 di kamar mandi, lalu malamnya di depan perapian. Setiap selesai bermain, mereka pasti saling memimikkan penis mereka, saling berebut cairan putih kental yang pasti mereka telan sampai habis tak bersisa. Wah-wah-wah.. aku bingung dengan jati diriku ini, melihat situasi seperti ini kenapa aku juga punya hasrat untuk melakukannya dengan sesama jenis. Pak Canetti selain menjadi produser, beliau juga bertindak sebagai Sutradara. Tapi ia tidak terlihat horny dengan menyaksikan hal yang sudah pasti disukainya di depan mata.

Hari kedua juga berjalan serupa, makin panas dan menggairahkan. Kali ini di tempat terbuka, di taman, lalu di dekat telaga buatan, dan terakhir di dalam garasi. Aku yang menyaksikan setiap detik framenya sudah tidak tahan lagi dengan nafsu seks yang meluap-luap, tapi aku bingung, apa aku harus meminta pada mereka atau sebaiknya cari jalan lain, onani misalnya. Malamnya, saya sudah tidak sanggup menahannya lagi, aku memeloroti celanaku, lalu duduk di atas ranjang, meludahi penisku dan mengocoknya. Saat itu aku tidak sadar, karena sedang asik-asiknya menikmati kocokanku sendiri sehingga tidak mengetahui kalau seseorang masuk ke kamarku. Aku juga tidak melihat siapa yang masuk karena kebetulan aku lagi merem. Tiba-tiba orang itu mengulum kepala penisku, dijilatnya, diisapnya dan dikenyotnya sampai basah semua batang kontolku. Ternyata orang itu adalah Pak Canetti.

Tanpa basa-basi sedikitpun, dia segera menelanjangiku, membuka kancing kemejaku satu per satu, menarik celana panjangku yang sedah merosot selutut. Kini aku hanya mengenakan singlet saja, lalu tanpa pikir panjang, segera kubuka baju Pak Canetti, dan ia akhirnya tidak tertutupi sesenti benang sekalipun. Badannya dipenuhi bulu halus, sedangkan bulu di selangkangnya lebatnya bukan main. Dia menari-nari kecil di depanku, meletakkan kedua tangannya di atas pundakku dan akhirnya mulai menciumiku sepenuh hati. Aku layani ciumannya dengan membalas juga dengan ganasnya. Pak Canetti bernafas berat, dia mengerang lembut di dalam pendengaranku, kemudian ia mulai menjilati seluruh permukaan wajahku, turun ke dadaku dan melahap ketiakku. Setelah puas dengan bagian kiri dan kanan ketiakku, dia turun menyusuri otot-otot perutku dan mulai mencium kontolku yang menegang dan mulai memerah.

Aku cuma bisa mengerang menahan rasa nikmat yang menjalar sampai ke seluruh permukaan kulitku. Segera Pak Canetti memasukkan kontolku ke dalam mulutnya. Begitu bernafsunya Pak Canetti sehingga dia seperti sedang mabuk saat mengisap kontolku. Tak lama kemudian aku tersadar, bahwa ini sudah diluar kewajaran. Segera kuhentikan tindakan Pak Canetti padaku.
"Hentikan Pak! Apa yang kita lakukan!" Sahutku dengan nafas masih memburu.
"Ayolah, saya ingin menyelesaikannya satu kali ini saja, ayolah sayang." Pintanya sambil mengelus-elus wajahku.
"Tidak, tidak, saya tidak bisa Pak, maafkan saya. Tolong anda keluar dari kamar saya!"
Setelah kuucapkan kata-kata tadi, wajah Pak Canetti menjadi merah padam, dia tampak kesal. Kemudian Pak Canetti keluar setelah mengenakan busananya kembali. Aku tahu resiko kehilangan pekerjaan sudah berada di depan mataku. Tapi itu terserah Pak Canetti, dialah yang mempunyai wewenang dengan keputusan itu.

Hari selanjutnya kami segera meninggalkan bungalo itu dan kembali ke Manila. Kami mengurus proses pasca produksi dan gaji para kru. Untungnya aku tidak mendapat masalah, saya tetap digaji dan tidak ada masalah dengan Pak Canetti. Hanya saja dalam perjalanan ke bandara tadi, dia bertindak acuh saja padaku. Setelah gajiku diserahkan, saya segera meninggalkan Filipina dan kembali ke Malaysia untuk menemui sepupuku. Setibanya di sana, saya pergi menuju ke apartemen miliknya. Dia ternyata tidak ada di sana, lalu resepsionis memberikanku sebuah pesan. Alamat baru milik Hadi, dia pindah ke Jakarta, akhirnya aku susul dia secepat mungkin.

Februari tanggal 12, hari dimana aku sudah tiba di Jakarta. Dan seminggu lagi adalah ulang tahun Hadi ke 24, aku harus hadir hitung-hitung membalas budi orang yang sudah berjasa dalam kehidupanku. Kucari alamat yang ditulis di pesan yang ia tinggalkan untukku, dan akhirnya aku menemukan sebuah rumah sederhana di salah satu perumahan di Jakarta timur. Kuketuk pintunya dan yang menyambutku adalah Hadi sendiri. Lucu sekali penampilannya, memakai sarung dan bertelanjang dada.

"A.. a.. Abang yah? Wah! Abang Nug (nama rumahku), Abang Nug." Sahutnya sambil kegirangan, ia memelukku lagi erat-erat.
"Eh.. Abang capek nih, mau istirahat, persilahkan masuk dulu kek."
"Maaf Bang, habis.. Hadi kangen banget sama Abang."
"Rumah kamu?" Tanyaku sambil melepas sepatu.
"Oh, ini rumah kontrakan Bang, kalo rumah saya ada di Bandung."
Kemudian kami masuk ke dalam dan Hadi mengunci pintunya karena sudah larut.

"Bagaimana Bang? Sudah rampung pekerjaannya?"
"Sudah-sudah." Jawabku sambil memperhatikan tingkah Hadi yang gelisah menatapku.
"Lalu..? Eng.. Apa ada sesuatu..?" Tanyanya penasaran
"Maksudmu..?"
"Ah.. tidak Bang. Oh ya, kalau mau mandi, kamar mandinya ada di belakang."
"Hadi.."
"Terus kalo Abang haus nanti saya buatkan air panas deh, mau teh atau.."
"Hadi!"
"Eh iya Bang!" Jawabnya setelah terkejut mendengar bentakanku
"Kenapa kamu mau berkorban banyak untuk saya?"
Hadi diam saja dan malah melongo.
"Kamu punya maksud?"
Hadi tetap diam saja.
"Ayo jawab!" Bentakku membuatnya terhentak kembali.

Dia berusaha menghindar tapi kutahan tangannya dan menghadapkan wajahnya dengan wajahku. Hadi tampak ketakutan, dia meneteskan keringat dan berusaha untuk tertunduk, tapi aku tahu jantungnya berdebar-debar tidak menentu. Saat itu kurasakan hangatnya setiap sentuhan kulit kami. Kutatap hangat matanya, lalu kudekatkan wajahku agar ia bisa mengerti maksud dan tujuan si 'penggoda' ini. Sesaat ia masih belum menyadarinya, tapi setelah kulepaskan nafas 'panas'ku ke mulutnya. Ia terkejut dan menatapku dengan penuh arti. Lalu aku mengiyakan keinginannya. Segera ia mencium lembut bibirku, kami saling melumat bibir satu sama lain. Dia memegang kepalaku seakan ingin mengisap seluruh permukaan wajahku ke dalam mulutnya. Kuisap seluruh liurnya masuk kedalam mulutku. Ia menggosok-gosokkan burungnya ke arah selangkangku. Saat itu aku tahu kalau Hadi masih memakai CD karena penisnya sudah sangat tegang dan membengkak dibalik CD-nya itu.

Kubopong dia ke kamar tidur, saking manjanya, dia terus memeluk leherku saat kugendong dan terus melumat bibirku dengan begitu bersemangat. Karena tak sabar, kulempar badannya di atas kasur dan terdengar bunyi 'krak' keras.
"Aduh!" Rintihnya kesakitan.
"Maaf, harusnya kamu tidak kuperlakukan seperti itu sayang. Maafkan aku yah."
"Tidak pa-pa Bang, memang ranjang tua kok, sudah lapuk." Lalu ia kembali menciumi bibirku.
"Sangat disayang," bisikku padanya.
"Saat kita ingin berbagi kasih, malah dapat fasilitas kurang memuaskan. Tapi tak apa, bila kita bersama, suasana pun akan serasa di surga", lanjutnya.

Kemudian kulepas kemejaku, tetapi ia malah menarik-narik bretelku. Katanya saya terlihat seksi dengan bretelku itu. Ia bangkit dan menciumi seluruh permukaan badanku, tak sesenti pun dilewatinya, terutama di bagian dada, beberapa kali ia mengisap dan menggigit putingku. Itu membuatku bergelinjangan karena merasa geli bercampur nikmat. Setelah puas, ia menarik celanaku sehingga tinggal CDku yang sudah hampir 'robek' karena kontolku sudah sangat membengkak. Dia menjilati daerah yang basah karena precumku yang sudah banyak keluar. Kulihat wajahnya semakin merah seperti kepiting rebus, ia segera menarik CDku dan mengulum kontolku. Oooh.. Nikmat sekali rasanya, nikmatnya merasuk hingga ke dalam tulang sum-sumku. Kupegang kepalanya dan kudorong kuat-kuat agar dia mengulum semua penisku. Semakin dalam semakin nikmat. Akhirnya Croot! Croot! Croot!, kumuntahkan spermaku ke dalam mulutnya, dan dia menelannya tanpa sisa.

Untuk sesaat kami berhenti sejenak untuk mengatur nafas, lalu saat Hadi mulai menciumi dadaku tanpa henti-hentinya, nafsu birahiku mulai bangkit kembali. Kujilat dada Hadi yang banyak ditumbuhi bulu terus hingga ke bawah perutnya, kejilati lubang kencing pada penisnya, rasanya asin dan gurih, ia juga banyak mengeluarkan sperma.
"Ahh! Ahh! Ahh!" Erangnya sambil menjambak rambutku.
Penisku kembali menegang, dan kali ini ia meminta lebih.
"Boleh tidak Abang menusuk kamu?" Tanyaku dengan suara lembut, dan ia mengangguk saja.
Tanpa pikir panjang, kuludahi penisku dan menjilati lubang analnya. Ia meronta-ronta karena merasa keenakan. Aku sudah tidak kuasa lagi menahan nafsu melihat pantatnya yang menggiurkan, akhirnya kusodok tepat dan Bless! Masuk juga akhirnya. Rasanya ada listrik berkekuatan 10.000 volt yang menyengat kepalaku, rasanya nikmat sekali. Langsung saja kumaju mundurkan pantatku dengan irama yang teratur sambil sesekali kucium lembut dadanya, pipinya, mulutnya sehingga si Hadi menjadi 'gila' merasakan nikmatnya permainan yang kuberikan.

Pesta seks kami dilanjutkan dengan berbagai macam gaya bersenggama yang entahlah apa itu namanya, yang jelas kami hanya memikirkan sisi keintiman kami saja, karena baginya, cinta yang kuberikan sudah cukup untuk membalas semua pengorbanan yang ia berikan padaku selama ini.

Semalaman kami terus nge-seks sampai persediaan kami habis semua. Ternyata Hadi pemain yang handal, tapi ternyata dia pertama kalinya melakukan itu, dan perasaannya terhadapku selama ini terus ia pendam. Sayangnya, dia memang selalu benar. Ya, saya benar-benar jatuh cinta padanya. Pada sepupuku sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.