Kamis, 03 November 2011

Oase Laut Utara 09: Reunion Shower

Ada dua hari dua malam ini aku santai-santai saja. Kegiatanku cuma jalan-jalan, nonton dan makan-makan. Pokoknya yang ringan dan santai. Yang agak 'berat' adalah waktu aku mau pesiar ke Tondano. Aku bermaksud meminjam mobil Pak Gun, tapi yang bersangkutan ternyata malah menawarkan diri untuk sekalian menemaniku ke sana. Kebetulan. Kami akhirnya berangkat berdua.

Usai jalan-jalan, putar-putar dan cari makan, Pak Gun sempat membisikiku sebuah ide nakal: booking kamar di salah satu hotel. Aku setuju saja. Dan kami pun lalu menghabiskan waktu untuk bermain cinta di sana. Pulangnya agak kemalaman.

"Bobo' yang nyenyak, ya" kata Pak Gunawan sambil tersenyum begitu aku turun dari mobil sesampai di depan paviliunku. Aku hanya ketawa ringan menanggapi kalimatnya yang sebenarnya ingin meledekku saja. Tadi aku memang agak kewalahan menghadapi hasratnya yang katanya sudah seminggu tak tersalurkan (katanya, lagi 'perang dingin' dengan istrinya).

Aku langsung mandi, terus tidur. Paginya (sebenarnya sudah agak siang) baru terbangun ketika aku mendengar dering telepon. Nada deringnya sepertinya bukan berasal dari luar. Dan ternyata memang dari pos penjagaan. Ada tamu menungguku, kata Satpam di sana. Siapa?

Aku segera cuci muka, ganti pakaian dan bergegas keluar. Di dalam pos penjagaan kulihat bayangan dua orang sedang berbincang. Tampak bayangan Satpam sedang menunjuk-nunjuk keluar dan yang seorang lagi hanya tampak bayangan punggungnya. Kedatanganku ke arah pos penjagaan tampaknya disadari oleh mereka. Karena begitu langkahku kurang tiga meter lagi ke arah mereka, yang seorang lagi-tampaknya dialah si tamu itu-bergegas keluar dan berdiri di depan pos penjagaan. Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan kumis dan berewok yang tampaknya sengaja dipiara.

Aku hampir meneruskan langkah, ketika dalam hitungan detik baru kusadari bahwa orang itu adalah Bahar!

Langkahku langsung seperti terkunci. Aku diam mematung. Begitu juga Bahar. Dia hanya memandangku dengan pandangan yang sulit kumengerti. Ada beberapa saat rasanya waktu seperti membeku. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa ia adalah tamuku dan harus kusambut.

Kujabat tangannya begitu sampai di hadapannya, "Apa kabar Bang? Kapan datang?"
"Kemarin siang," jawabnya pendek
"Kok nggak nelpon dulu?"
"Buat apa?"

Aku diam begitu mendengar jawabannya yang agak ketus itu. Padahal baru kali inilah kami berbicara setelah, entah berapa lama, kami tak saling berkomunikasi. Bahkan aku tak ingat kalau dalam minggu-minggu ini tugas Bahar berakhir, dan ia akan ke mess sesuai janjinya dulu. Pantaslah kalau kini ia bersikap seperti itu. Barangkali ia merasa bahwa aku melupakan jadual kedatangannya.

Tapi aku tak mau merusak suasana. Kuajak dia ke paviliunku. Tapi dijawabnya dengan gelengan kepala. Aku berusaha membujuknya, tapi ia tetap menolak, dengan ekspresi muka yang dingin. Akhirnya kami memilih untuk duduk di bangku yang ada di sudut pos penjagaan itu. Kulihat Satpam penjaga tak tampak lagi di ruangannya. Mungkin ia tahu diri untuk menjauh dari kami yang tampaknya ada gelagat sedang punya urusan serius.

"Kemarin siang," Bahar memulai membuka pembicaraan dengan nada datar, "begitu tiba di bandara, saya nelpon ke sini, tapi Mas Har sedang ke luar kota."

Aku agak kaget, tapi tak menanggapi. Aku menunggu kata-katanya lebih lanjut, apakah ia tahu aku perginya dengan Pak Gun?

Tapi Bahar tak melanjutkan kalimatnya. Membuatku makin penasaran. Dia hanya duduk tepekur agak membungkuk, dengan kedua tangan tertangkup di depan mulutnya. Beberapa saat kami saling terdiam. Terus terang aku agak tersiksa dengan suasana macam begini.

Beberapa saat kemudian dia seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi aku segera mendahuluinya. Aku takut ia mengucapkan sesuatu yang tak kumaui.

"Maafkan saya Bang.."
"Saya yang seharusnya minta maaf..," balasnya, "Saya.. Terlalu egois," lanjutnya sambil melirik ke arahku. Matanya memerah. Agak berkaca-kaca.

Aku jadi semakin merasa bersalah. Ingin sekali kurengkuh pundaknya dan memeluknya erat-erat. Dalam suasana seperti ini, aku baru menyadari betapa aku sangat mencintai laki-laki ini. Kerinduanku padanya yang selama ini kukubur seolah membuncah kembali begitu melihat matanya semakin berkaca-kaca. Ia menangis. Tanpa suara. Kedua tangannya terus menutupi mulutnya. Aku hanya bisa menatapnya trenyuh.

Menatap Bahar seperti ini, mengingatkanku pada kejadian-kejadian di Sangir dulu. Betapa ia begitu baik dan perhatian. Bila akhirnya timbul masalah di antara kami, sungguh itu bukan sesuatu yang aku inginkan. Barangkali dia juga tak menginginkannya.

Rona wajahnya yang memerah karena emosi terlihat begitu jelas. Apalagi kulitnya sekarang tampak lebih terang. Barangkali udara Surabaya tak sepanas Sangir. Cambang dan brewoknya tampaknya sengaja ia piara selama di sana. Penampilan barunya ini membuatnya makin menarik. Padahal, bisa saja ia sengaja membiarkan brewok itu bukan untuk penampilan, tapi lebih karena suasana hatinya yang sedang runyam memikirkan hubungan kami (kok aku tiba-tiba jadi ge-er begini?)

"Apakah.. Mas Har.. Masih mengharapkan kedatangan saya?" tanyanya tiba-tiba dengan suara agak serak. Terdengar emosinya sudah agak mereda.

"Yah!" spontan aku menjawab, seolah-olah ingin memberikan jawaban yang menyenangkan. Tapi aku memang benar-benar kangen sama dia. Sejenak mata kami bertemu. Kupaksakan untuk tersenyum. Dia lalu memegang tanganku tapi segera dilepasnya lagi begitu menyadari kami ada di tempat umum.

"Kita ke paviliun saja Bang," pintaku lebih lanjut begitu melihat emosinya agak reda.
"Nggak usah. Di sini saja," ia masih bersikukuh.
"Kenapa? Abang segan ketemu dengan Pak Gun?" kuberanikan diri untuk langsung menebak alasannya.

Ia diam saja sambil geleng-geleng kepala. Lalu tersenyum sendiri, datar. Senyum pertama sejak pertemuan ini, tapi pandangan matanya tetap kosong menerawang. Seperti ada yang mengganjal dalam pikirannya.

"Mas Har hari ini ada acara?" ekspresi suaranya tiba-tiba berubah.
"Nggak ada. Kenapa?"

Dia menarik nafas dan berdehem sebentar, "Saya ada rencana mau ke kebun milik paman di daerah Pandu. Mau ikut?" Bahar menunjuk tas ranselnya yang ditaruh dekat pintu pos jaga.

Ada kelegaan dalam hati, ketika menyadari bahwa suasana tampaknya sudah mencair. Dari dulu Bahar selalu bisa mengakhiri suasana emosional dengan kedewasaannya. Bahkan ketika emosi itu dipicu oleh dirinya sendiri, seperti yang terjadi siang ini.

"Oke. Saya mau ikut, tapi saya harus mandi dulu dan Bang Bahar harus mau mampir ke paviliun saya," kataku mulai merajuk
"Nggak," jawabnya pendek,"Nggak usah mandi," lanjutnya
"Bang! Aku baru bangun tidur, Bang. Masih bau, masih kucel.." aku mencoba menjelaskan
"Dan masih cakep.." sergahnya sambil tersenyum tipis.

Senyum kedua. Lebih manis. Lebih cakep. Kalau sudah begini, aku jadi mau menyerah saja. Ada saja yang dia lakukan untuk membuatku menuruti apa maunya. Ada saja.

"Mandi di kebun saja," katanya kalem sambil mencoba beranjak berdiri dari tempat duduknya, "Saya juga belum mandi kok," sambungnya dengan nada tertentu.

Ia selalu begitu. Apa yang dia inginkan kadang tak harus diucapkan. Aku harus bisa menangkap dan mengartikannya sendiri apa maksudnya. Tapi okelah, toh kebekuan makin mencair. Aku lalu minta waktu menyiapkan diri sebentar dan Bahar tetap bersikukuh untuk menunggu di pos jaga saja.

Akhirnya kami berdua berangkat ke Pandu dengan angkutan umum. Sepanjang jalan Bahar bercerita tentang pengalamannya selama di Surabaya. Aku senang menyimak semua kata-katanya. Bukan apa-apa, sudah lama aku kangen tak mendengar logat Sangirnya yang khas. Apalagi suara tawanya yang renyah itu. Kebetulan di bagian belakang hanya ada empat penumpang termasuk kami berdua, sehingga Bahar dan aku bisa saling bercerita dengan agak leluasa. Aku sempat mengomentari cambang dan berewoknya yang menurutku membuatnya makin keren. Kata Bahar, itulah hasil dari suasana hatinya yang kacau akibat pertengkaran kami selama ini (Ha! aku tadi tak ke-ge-eran 'kan?).

Perjalanan kira-kira masih setengah jam lagi ketika kedua penumpang yang lain turun di tengah jalan. Maka kini tinggal kami berdua. Perjalanan masih cukup jauh. Sejenak Bahar menatapku, lalu digenggamnya tanganku erat-erat, "I missed you..," bisiknya ke telingaku.

Aku diam saja, hanya mataku yang lekat ke matanya. Ingin sekali kukatakan bahwa aku pun merindukannya. Tapi gejolak emosi yang kurasakan malah membuatku tak bisa bicara. Kini mataku terasa perih. Berkaca-kaca. Bahar berusaha meredakannya. Tapi aku semakin ingin menumpahkan semua yang selama ini kupendam, sejak kami tak lagi berkomunikasi selama berminggu-minggu, sampai pertemuan kembali di pos jaga tadi. Bahar terus berusaha menenangkanku.

"Sudahlah, kita lupakan masalah yang kemarin-kemarin. Oke?" bujuknya sambil menggenggam tanganku lebih erat.

Akhirnya aku hanya bisa mengangguk. Dan ia lalu mengecup pipiku sebelum menarik kepalaku ke bahunya. Kami bersepakat seusai kunjungan ke kebun nanti, kami akan kembali ke Sangir. Melupakan masalah yang pernah ada dan memulai kembali semua seperti sediakala.

Akhirnya kami sampai ke tempat tujuan. Kata Bahar kami harus berjalan kaki dulu sekitar sepuluh menit sebelum masuk ke kompleks perkebunan milik pamannya. Sepanjang jalan dia bercerita mengenai Om Tei, begitu Bahar memanggil sang paman yang kini hidup seorang diri di sana. Isteri Om Tei yang meninggal dua tahun lalu adalah adik dari ibu Bahar. Pada saat pemakaman isterinya itulah terakhir kali Bahar ketemu dengan Om-nya.

Ternyata Om Tei seorang tua yang menyenangkan. Gayanya spontan dan energik. Tubuhnya memang terlihat sudah renta. Sebagian besar rambutnya yang keriting itu sudah abu-abu memutih. Tapi semangat hidupnya masih tinggi. Barangkali pekerjaan di kebun telah memberinya energi tambahan untuk tetap betah menempuh kehidupan ini.

Ia tampak akrab sekali dengan Bahar. Sejenak mereka berkangen-kangenan dalam bahasa Sangir. Dan aku harus rela sebagai pendengar pasif dan penonton saja, sebelum akhirnya Bahar mengenalkanku pada Om-nya.

"Nginap di sini 'kan?" tanya Om Tei ramah
"Tergantung Bahar, Om," kataku

Yang kusebut namanya hanya tersenyum mengangguk. Om Tei segera menyilakan kami masuk ke rumah kayu besar yang ada di kompleks kebun itu. Rumah yang asri penuh dengan tanaman hias dan pepohonan.

"Tapi Om, kita mau mandi dulu," kata Bahar sambil melihat ke arahku
"O ya, silakan," jawab Om Tei sambil menyilakan kami masuk ke teras depan
"Maksud saya, mandi di pancuran sana," Bahar mencoba menjelaskan. Gantian aku yang tanda tanya. Mandi di pancuran?
"Oh! Boleh, boleh, silakan. Setiap ke sini dia memang selalu menyempatkan mandi di sana," gantian Om Tei menjelaskannya padaku.
"Tapi maaf, kondisinya ya seperti itu," Om Tei seolah meminta permaklumanku.

Aku tersenyum saja. Tapi aku masih penasaran juga. Mandi di pancuran? Aku sempat mengerenyitkan dahi ke arah Bahar, minta jawaban. Tapi dia cuma senyum-senyum saja.

Bahar lalu mengajakku menuju ke sana. Rupanya yang dinamakan pancuran adalah tempat mandi di bawah tebing yang sekelilingnya dibuat semacam tanggul dari batu gunung dan rumbia dibuat sebagai dindingnya, sementara bagian atasnya dibiarkan terbuka. Sumber airnya berasal dari pancuran bambu yang memancar dari dinding tebing di atasnya, bagai air terjun mini. Air yang tertampung di bawahnya menjadi semacam danau kecil yang dikelilingi oleh batu gunung yang besar-besar. Beberapa saat aku terpana melihat pemandangan yang unik itu, sebelum tangan Bahar menarikku ke sana.

"Ayo!" ajak Bahar begitu masuk ke bilik mandi itu sambil mulai membuka pakaiannya.

Aku diam saja mengamati sekeliling. Aku ragu sekaligus penasaran. Ragu karena bilik ini meskipun sekelilingnya ditutupi rumbia dan batu gunung tetapi bagian atasnya terbuka sehingga langit, bukit dan pohon-pohon terlihat jelas. Tapi aku juga penasaran karena dengan sikap dan gerak-gerik yang ditunjukkan Bahar, hampir dipastikan dia akan mengajakku bercinta di bilik ini.

"Ayo!" ajaknya lagi begitu tubuhnya sudah telanjang tanpa pakaian sama sekali.

Kini aku terpana dengan pemandangan di depanku. Lama tak kulihat dia seperti itu. Segalanya memang masih seperti dulu. Hanya kali ini kulihat kulit tubuhnya sedikit lebih terang. Sehingga bulu-bulu yang tumbuh lebat di daerah dada dan perutnya makin jelas terlihat. Lalu di antara kedua pahanya yang kekar, di kerimbunan rambut legam keriting, miliknya tampak menggantung laksana kuda. Belum menegang tapi sudah tampak membesar. Entah sudah berapa lama aku tak menyentuh benda itu.

"Ayolah!" untuk ketiga kalinya Bahar mengajakku. Kedua tangannya terentang sambil mendekatiku.
"Di sini aman kok..," bisiknya seolah menjawab keraguanku. Lalu diciuminya pipi dan telingaku, menimbulkan rasa geli yang sudah lama tak kurasakan.

Keyakinanku akan sikap Bahar mendorong tanganku untuk melepasi sendiri kancing bajuku dan segera meloloskannya dari badanku. Sementara bibir Bahar masih asyik menelusuri daerah di sekitar telingaku. Tak jarang membuatku menggelinjang kegelian bila lidahnya yang tebal dan basah itu menelusup masuk dan menjilat-jilat. Aku harus mengerahkan tenaga sampai akhirnya bisa melepas seluruh pakaianku sendiri.

Begitu menyadari ketelanjanganku, Bahar langsung mendekap erat tubuhku dan mencium bibirku lumat-lumat. Tampak ia sangat menginginkan permainan ini. Pagutannya begitu kuat dan bernafsu. Sudah lama tampaknya ia tak melakukannya. Atau barangkali aku saja yang mungkin agak santai (karena kemarin habis bercinta dengan Pak Gun?). Cepat-cepat kutepis ingatan itu. Bukankah semua harus dilupakan? begitu yang diminta Bahar.

Maka segera kubalas ciuman Bahar dan mengimbangi lumatan bibir dan telusuran lidahnya yang rasanya tambah tebal. Tapi aku tetap saja tak berhasil mengimbangi, karena Bahar makin bernafsu dan memang kelihatan ia sudah lama tak melakukannya. Bibirnya sangat lahap dan gerakan lidahnya begitu liar. Aku gelagapan.

Pelan-pelan digesernya tubuh kami beringsut ke bawah pancuran. Dan ketika curahan air mulai menimpa-nimpa, rasa segar langsung terasa. Basahlah seluruh tubuh kami. Dalam kondisi basah kuyup begini, kulit jadi terasa lebih licin. Tubuh kami yang tengah bergelut itu terasa berpilin-pilin satu sama lain. Setiap sentuhan terasa meluncur-luncur licin. Menimbulkan rasa geli yang nikmat. Apalagi Bahar kemudian mulai menggesek-gesekkan bagian bawah tubuhnya. Gerakannya erotis sekali. Aku tak lagi sanggup mengimbangi. Kubiarkan apa saja yang diperbuatnya. Lebih-lebih ketika tubuhnya pelan-pelan merayap ke bawah dan begitu sampai di pangkal pahaku, mulutnya langsung menyergap.

Bahar adalah lelaki yang aku tahu persis apa yang diinginkannya. Apalagi dalam bercinta. Ia tak mau diinterupsi bila tengah asyik melakukan sesuatu yang ia inginkan. Tapi ia konsisten. Ia akan melakukannya dengan baik dan memuaskan kedua belah pihak. Maka kubiarkan mulut dan lidahnya beraksi di bawah sana. Aku tak bisa melihat dan memang tak mau melihat. Aku hanya mau meresapi apa yang tengah ia lakukan.

Tak hanya batang dan kepala kemaluanku yang jadi sasaran. Tapi seluruh daerah selangkanganku layaknya wilayah kebun yang harus dirambahnya. Lipatan pahaku beberapa kali diusik oleh kumis dan berewoknya yang sudah basah kuyup itu. Lalu lidah dan mulutnya cukup lama bergerilya di kedua bulatan pelirku. Cukup lama ia bermain-main di situ. Sebelum akhirnya gerakannya makin bergeser dan berhenti pada celah di bawahnya. Aku harus meregangkan salah satu kakiku dengan bertumpu pada salah satu batu besar yang ada di situ untuk memberi keleluasaan padanya bermain-main di bawah selangkanganku.

Lalu, entah sejak kapan, tubuh kami tiba-tiba sudah bergeser ke arah batu gunung besar yang ada di bilik mandi itu. Tahu-tahu Bahar telah mendorong rebah badanku dan meneruskan permainan mulutnya di lubang kecil bagian bawah tubuhku. Kedua kakiku disampirkan pada bahunya. Membuatnya makin leluasa menyiapkan diriku untuk persetubuhan yang tampaknya sudah lama tak dilakukannya.

Bagaimana aku bisa menolak semua ini. Rasa nikmat yang ditimbulkan melambungkanku ke atas langit biru yang bisa kulihat dengan jelas dalam posisi telentang seperti ini. Pohon-pohon tampak beroyang karena angin. Sementara tubuhku mulai gelisah bergoyang karena telusuran lidahnya. Serangga dan binatang di sekitar kebun terdengar bersuara-suara mungkin karena kelaparan. Sementara aku melenguh dan mendesah karena mulai menginginkan.

Ketika aku makin gelisah dan kedua kakiku mulai menyentak dan menjepiti kepala Bahar, perlahan baru ia mulai menyadarinya. Tubuhnya pelan-pelan mulai beranjak. Lalu diangkatnya kaki kiriku ke arah bahunya sementara kaki kananku dibiarkan menjuntai di atas batu gunung besar itu. Memposisikan aku sedemikian rupa sehingga selangkanganku terbuka, siap untuk sebuah permainan.

Kututup mata ketika kulihat ia mulai membimbing miliknya ke arah sasaran. Kurasakan sebuah benda pejal kenyal berusaha diselipkan ke celah tubuhku. Pelan tapi pasti. Lalu mulai kurasakan bagian yang membonggol mulai berhasil menelusup. Diulir-ulir sebentar untuk kemudian makin ditekan menembus ke dalam..

Kubuka mata. Bahar menatapku serius. Wajahnya basah kuyup oleh air pancuran. Air tampak menetes-netes dari cambang dan berewoknya yang juga basah kuyup. Matanya memerah penuh nafsu. Nafsu yang sedang tinggi-tingginya dan butuh penyaluran. Maka kuberikan isyarat padanya untuk segera melanjutkan. Dan ia menurut.

Sambil tetap terus menatapku, Bahar lalu mulai menekan pantatnya ke depan. Menekan dan terus menekan. Perlahan kurasakan gesekan batang kemaluannya masuk menelusur menggelitik dinding di sekujur liang pelepasanku. Aku sampai menggigil kenikmatan. Sementara ia kulihat mengigit bibirnya sendiri ketika seluruh kejantanannya telah berhasil tertancap masuk hingga ke pangkalnya. Sejenak tangannya mencengkeram kuat kaki kiriku yang masih tersampir di pundaknya. Seolah ingin meresapi sejenak terjadinya penyatuan tubuh kami.

Kembali aku menatap Bahar dari posisiku yang masih telentang. Kali ini ia mencoba tersenyum ke arahku. Meski wajahnya tampak tegang. Aku membalasnya. Bukan senyum itu saja yang kubalas. Tapi penyatuan tubuhnya pun kusambut dengan membuat gerakan tertentu pada bagian bawah tubuhku.

Tak beberapa lama kemudian secara perlahan Bahar mulai memacu tubuhnya. Maju mundur. Pelan. Pelan. Kemudian bergerak memutar-mutar. Sedikit tapi nikmat sekali. Lalu ada beberapa kali secara perlahan-lahan pula ia bergerak mencabut untuk kemudian menusukkannya kembali. Perlahan. Penuh penghayatan..

Di sela gemercik air pancuran, mulai terdengar desah dan lenguh kenikmatan dari mulut laki-laki yang pernah kuibaratkan bagai kerbau liar itu. Bahar sama sekali tak kuatir suaranya akan terdengar di sekitar kebun ini. Lenguhannya begitu lepas bahkan sesekali berteriak tertahan. Mungkin ia sudah paham dan yakin bahwa situasi di sini aman-aman saja. Om Tei yang sudah renta mungkin bukan sebuah ancaman yang perlu diwaspadai.

Aku di bawah telentang pasif saja. Lalu kucoba meraih batang kemaluanku sendiri dan mengocoknya pelan-pelan. Tapi tangannya segera merebutnya dan gantian dia yang melakukannya. Rupanya ia ingin memberi servis untukku. Maka sambil tubuhnya terus menggenjot, tangan kiri Bahar melakukan gerakan masturbasi padaku. Kali ini gantian akulah yang mulai melenguh kenikmatan. Karena tangannya begitu ritmis memilin dan meremas milikku. Seiring dengan hentakan pinggulnya yang makin lama kurasakan makin gencar mendesak-menyentak.

Dulu Bahar pernah mengatakan padaku bahwa hal yang paling disukainya ketika bermain seks dengan sesama lelaki adalah karena"ada sesuatu yang lebih nyata untuk dinikmati". Aku tak tahu maksudnya apa. Apakah yang dimaksud adalah anal seks, oral seks? Ataukah ketika dua kelamin laki-laki bertemu telah memberikan gambaran nyata pada si lelaki itu sendiri? Aku tak tahu. Biarlah Bahar punya persepsi sendiri. Setidaknya hal itu menunjukkan bahwa ia adalah orang yang punya sikap dan punya pikiran yang jelas terhadap suatu hal.

Entah pikiranku sedang kemana. Tahu-tahu di tengah jalan pendakian menuju puncak kenikmatan, tiba-tiba Bahar mencabut batang kemaluannya dan segera membalikkan tubuhku untuk tengkurap. Jemarinya lalu menelusup ke lipatan pantatku dan merangsang daerah itu. Tampaknya dia ingin memasukiku dari belakang. Dan aku pikir akan lebih leluasa kalau aku dalam posisi merangkak saja.

Batu gunung tempatku bertumpu cukup menolong, karena permukaannya yang halus akibat sering terkena air, sehingga lututku tak terasa sakit waktu aku memposisikan tubuh untuk merangkak.

Bahar terus merangsangku di daerah itu. Sesekali jari tengahnya bergerak menggelitik dan menusuk perlahan. Kadang berhenti di dalam dan bermain-main menelusuri sekujur dinding bagian dalam. Badanku sampai menggigil karena kegelian. Dan ketika segalanya telah dirasa siap, ia pun mulai melakukan penetrasi dari belakang dalam sekali genjot. Dan dalam posisi begini, tusukan dan kepejalan kemaluannya sangat terasa sekali.

Dia kini memeluk tubuhku dari arah punggung. Tangan kanannya kemudian mengarah ke selangkanganku dan langsung meraih ketegangan yang ada di sana. Meremas-remas lalu mengocoknya pelan-pelan. Sementara tangan kirinya mengatur posisi kepalaku sehingga kami bisa berciuman dari sisi samping. Suara lumatan dan kecupan beradu dengan suara lenguh kenikmatan kami berdua.

Sementara di belakang sana, kurasakan sekali kedua pantatku berkali-kali berbenturan dengan paha gempal miliknya. Benturan itu menimbulkan suara kecipak yang cukup keras karena kedua tubuh kami dalam keadaan basah oleh air pancuran. Sesekali ia menekan kuat pantatnya ke depan dan melakukan tusukan sedalam-dalamnya, lalu kedua pahanya menjepit pinggulku kuat-kuat. Sepertinya ia sedang kegemasan dan ingin menguasai tubuhku sepenuhnya.

Aku mengimbangi semua itu dengan mengatur konstraksi otot cincin di bagian belakang tubuhku. Bahar tampak kesenangan dengan apa yang kulakukan. Berkali-kali ia membisiki aku untuk terus menjepitnya seperti itu. Enak sekali, katanya.

Mulut kami masih sibuk saling melumat, ketika kurasakan nafasnya makin menderu dan mulutnya menggeram tak jelas.

"Mashh.. Aku mau keluar.. Mau keluarhh.. Ohh.. Ohh," ia mengerang-erang.
"Yah.. Yah..," aku mencoba meresponnya

Kuputar-putar pinggul dan pantatku dengan gencar dan terus kuatur ototku untuk menjepit miliknya yang sekarang terasa memenuhi lubang di belakang sana. Kami bekerjasama mencoba untuk segera mencapai puncak permainan birahi ini. Tangan kanan Bahar kini tak lagi mengocok milikku, tapi sudah meremas-remasnya dengan kelima jarinya. Liar dan kasar.

Aku pernah bilang pada Bahar bahwa ia mempunyai tangan yang bagus. Besar dan kokoh. Jari-jarinya kukuh. Lengannya gempal penuh bulu. Tapi ia menolak kupuji seperti itu. Katanya tangannya tak lebih dari tangan seorang kuli. Waktu itu kami sempat ribut dan aku sempat menggigit lengannya karena gemas akan keteguhannya mempertahankan pendapat. Entah apakah gigitanku masih ada bekasnya di sana.

Tangan itu kini masih terus liar meremas milikku. Seolah Bahar tengah meremas miliknya sendiri yang tertancap dalam di bagian belakang tubuhku.

Dan akhirnya semua berpuncak pada teriakan tertahan dari mulutnya yang terdengar memenuhi langit kebun. Orgasmenya datang!

Ia segera mencabut miliknya, membalikkan tubuhku dan menyemprotkan air maninya ke atas perut dan dadaku. Suaranya menggeram dan meracau tak karuan. Ada beberapa semprotan bahkan mengena ke wajahku. Setiap semprotan diiringi dengan desahan 'aahh' yang panjang dari mulutnya. Senang rasanya melihat ekspresi seorang lelaki dalam puncak birahinya. Apalagi ketika ujung kemaluannya menyemprotkan cairan putih kental berkali-kali, sebuah pemandangan yang sangat merangsang untuk dilihat.

Kupikir Bahar akan meredakan sebentar 'amarahnya'. Tapi belum juga tetesan terakhir tuntas keluar, Bahar sudah langsung menerkam batang kemaluanku dan melumatnya bagai anak kecil kehausan. Ia melakukannya dengan sangat serius seolah ingin segera menciptakan puncak kenikmatan buatku.

Aku kaget juga mendapat serangan mendadak seperti itu. Kugenggam kepalanya yang terus bergerak-gerak tak karuan di jepitan pahaku. Mulutnya kurasakan lebih sering melakukan isapan-isapan dari pada menjilat. Membuat tubuhku meregang menikmati kenikmatan isapannya yang kuat itu. Bibirnya memang tebal dan kuat. Itu yang membuatnya bisa memberikan layanan oral seks dengan baik. Apalagi lidahnya itu lebih banyak bermain-main di daerah kepala kemaluanku yang sekarang makin sensitif itu.

Maka tak lama kemudian mulai kurasakan ada desakan kuat dari dalam kantung pelirku, berdesir-desir mengalir sepanjang pipa kemaluan, dan akhirnya meledak pada pucuk kepala yang membulat. Memancar dan menyemprot keluar dan langsung dilahap oleh mulut Bahar.

Dia bahkan mengimbangi ejakulasiku dengan gerakan lidahnya. Membuatku meronta-ronta tak kuasa lagi menahan geli kenikmatan yang amat sangat. Tapi Bahar tak mau melepasnya, bagai anak kecil yang berusaha mempertahankan botol susu kesukaannya. Air mataku sampai keluar merasakan puncak birahiku itu. Mulutku hanya bisa mendesis-desis dan sesekali berteriak tertahan ketika mulutnya masih rajin mengisap bagian kepala kemaluanku yang ukurannya kini makin tampak membesar dan berwarna gelap mengkilap karena lendir. Lendirku yang bercampur dengan air liurnya.

Akhirnya aku diam dan hanya bisa tersengal-sengal saja selama ia melamuti batang kemaluanku. Mengulum dan menjilatinya hingga bersih. Kubiarkan saja. Toh, sudah lama ia tak melakukan itu padaku.

Aku tetap berbaring telentang di atas batu gunung itu, sampai akhirnya Bahar mendekapku dari belakang dan membisikkan kata-kata mesra padaku. Aku berusaha menoleh dan menciumnya.

"Kalau setiap kali Abang menjilatiku sampai bersih seperti itu, rasa-rasanya aku tak perlu mandi lagi."
"Betul?" tanyanya dengan mimik lucu. Aku mengangguk.

Tak kusangka ternyata anggukanku ditindaklanjuti olehnya dengan berusaha menjilati seluruh tubuhku. Aku sampai meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

Siang itu langit nampak biru. Pepohonan menghijau, dan tebing nampak angkuh dalam warna terakota. Siang itu akhirnya berujung pada sebuah keindahan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.