Rabu, 02 November 2011

Oase Laut Utara 02: Ujung Sebuah Hujan

Sore itu kami makan malam lebih awal, disamping karena Bahar sudah menyiapkan masakan, kami berdua tampaknya kelaparan karena baru saja mengeluarkan energi yang cukup banyak selama 'bermain-main' di kamar mandi tadi. Rupanya sewaktu pulang tadi Bahar sempat membeli ikan dan udang segar di pasar pelabuhan dan sekarang kami sedang menikmati udang dan ikan hasil masakannya itu dengan lahap.

Beginilah umumnya menu yang biasa kami makan. Nasi plus hasil laut lainnya yang kadang kami goreng, bakar, rebus sesuai selera. Sayuran sesekali kami masukkan dalam menu kami bila kebetulan ada di pasar. Di daerah ini sangat sulit mendapatkan sayuran. Kalau pun ada, harganya selangit.

Selesai makan kami berdua mencuci piring dan alat makan lainnya seperti biasa. Di luar senja hampir jatuh. Dari balik jendela, langit mulai semburat merah. Selama acara mencuci piring itu Bahar terus saja bersiul-siul dan mengajak bercanda. Kadang-kadang guyonannya nyerempet ke hal-hal yang porno dan biasanya aku tanggapi dengan yang lebih porno lagi. Ketawa Bahar yang lepas berkali-kali terdengar cukup keras. Selesai mencuci piring aku mengajak Bahar ke teras depan menikmati sunset.

Aku keluar duluan menuju teras dan menarik kursi rotan panjang yang biasa kami pakai untuk duduk berdua. Bahar menyusul dua menit kemudian. Di kedua tangannya sudah ada gelas minuman. Biasanya kopi kesukaan kami. Sedangkan di bibirnya sudah terselip rokok kesukaannya. Kami lalu duduk santai menikmati suasana senja yang setiap hari tampaknya lebih indah dari senja-senja sebelumnya. Bahar mengambil tempat duduk di sisiku lalu menyandarkan kepalanya ke bahuku. Kurangkul pundaknya. Kucium rambutnya yang ikal itu.

"Nggak merokok Mas?" katanya menawariku.
"Boleh. Mana?"

Bahar lalu menyodorkan rokoknya yang masih terselip di bibirnya itu kepadaku. Sebatang berdua. Alangkah mesranya suasana sore ini. Nikmat rasanya merokok dalam suasana seperti ini. Tangan Bahar lalu merangkul pinggangku dan kepalanya yang semula bersandar dibahu sekarang berpindah ke bidang dadaku.

"Kok hari ini kayaknya manja banget?" kataku sambil memencet hidungnya yang bangir itu.
"Aku kan lagi kangen sama Mas Harso" katanya pelan, "Untung kemarin yang punya kapal mau pulang lebih cepat, jadi rasa kangen saya nggak perlu ditunda lagi" lanjutnya sambil meminta kembali rokoknya yang ada di tanganku lalu mengisapnya dalam-dalam dan memberikannya lagi padaku. Sejenak Bahar menyeruput kopi kentalnya.

Selama kami tinggal bersama, Bahar memang tampaknya menjadi lebih perhatian terhadapku. Cenderung ngemong. Kadang kebapakan. Aku sih senang-senang saja. Sikapku sendiri juga tampaknya makin sayang sama dia. Kadang-kadang berpisah dua atau tiga hari rasanya cukup lama bagi kami. Seperti sekarang ini. Jadi begitu ketemu, biasanya kami melampiaskannya dengan kemesraan.

Bahar yang sosoknya sekilas tampak kasar itu sebenarnya adalah laki-laki yang lembut dan baik. Justru aku yang tampaknya kalem, sebagaimana prototype orang Jawa, kadang-kadang lebih emosional dibandingkan dia. Tak jarang hal ini sering menimbulkan keributan kecil di antara kami. Tapi biasanya Bahar bisa meredakan emosiku dengan kesabarannya dan terutama rayuannya.

Kami masih berduaan di kursi rotan panjang ini. Sambil sesekali minum kopi dan merokok bergantian. Bahar masih bersandar di dadaku dan aku masih duduk santai bersandar ke belakang. Langit di atas laut makin merah tapi tampak banyak dikumpuli oleh awan gelap.

"Mau hujan tampaknya" tiba-tiba Bahar menyela.
"Sok tahu ah!" sahutku menggoda, meskipun aku tahu dia memang jago membaca cuaca. Orang laut!
"Eh, nggak percaya?" balasnya
"Nggak" kataku agak ketus, "Kalaupun hujan terus kenapa?"
"Kalau hujan, kan acara kita malam ini makin asyik" balasnya sambil memegang daguku dengan gemas.
"Acara apa?" kataku pura-pura

Mendengar kalimatku itu, Bahar spontan mengangkat kepalanya dan lalu bangkit untuk kemudian berjongkok di depan posisiku yang sedang duduk bersandar. Melihat mimik mukanya, tampaknya dia kesal dengan jawabanku itu.

"Acara apa!" katanya kesal sambil memegang kedua pahaku,"ya acara ini!".

Sambil berkata "ini" tangannya mencengkeram bagian depan resleting celanaku. Seketika aku terlonjak sambil tertawa ngakak. Tapi rupanya dia tak mau melepaskan cengkeramannya dari daerah itu. Meskipun aku saat itu sedang memakai celana jeans, tapi genggaman jarinya tetap terasa meremas-remas kemaluanku.

"Bang! sudah ah, geli!" teriakku. Tapi dia malah menarik resleting celanaku ke bawah. Lalu dengan cepat tangannya merogoh masuk. Langsung menyentuh bagian tubuhku yang paling sensitif itu. Aku memang tak pakai celana dalam.

Matanya sejenak memandangku sambil terbelalak, seolah kaget bahwa aku tak pakai apa-apa di balik celana jeans itu. Padahal itu adalah kebiasaan kami berdua yang tak pernah pakai celana dalam bila sedang berada di rumah, dengan alasan antara lain untuk kesehatan. Seperti sekarang ini. Aku juga yakin Bahar pun pasti tak pakai apa-apa di balik celana kerjanya yang berwarna khaki itu.

Tangan Bahar masih terus menggenggam. Malah sekarang meremas-remas nakal. Aku diam saja, bahkan mengangkangkan pahaku lebih lebar. Sekejap saja batang kemaluanku sudah tegang dan membesar di genggamannya. Gerakannya lalu berganti dengan gerakan meloco. Pelan, pelan, tapi terasa nikmat sekali.

Bahar lalu perlahan-lahan mulai membuka kancing jeansku dan beberapa saat kemudian benda bulat panjang milikku seukuran pisang ambon itu mencuat keluar. Sejenak Bahar masih melakukan gerakan mengocok, lalu pelan-pelan mulutnya mendekat dan melahap bagian kepala kemaluanku yang bulat itu dan melumatnya dengan gemas. Lidahnya lalu menjilat-jilat, berputar di sekeliling "topi baja" itu.

Mataku terpejam meresapi setiap gerakan mulut dan lidahnya yang makin lama makin liar. Kenikmatan menjalar ke seluruh urat sarafku. Tanpa sadar mulutku mulai menggumam meningkahi suara mulut Bahar yang sayup-sayup terdengar berdecap sedang mengenyoti "botol" kesukaannya.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di langit. Aku baru sadar bahwa kami masih berada di teras luar, di atas bangku rotan. Bahar masih terus berjongkok di antara kedua pahaku. Ia tampaknya tak peduli dengan bunyi gemuruh itu.

"Bang.." kataku kemudian, "Mau hujan nih.."
"Ehm.." jawabnya sambil masih terus mengemuti milikku yang pelan-pelan mulai mengendur karena konsentrasiku terganggu suara gemuruh tadi.
"Bang! ayo kita masuk, nanti dilihat orang. Lagian sebentar lagi hujan turun" kataku sambil memegang kepalanya yang masih terbenam di selangkanganku.

Bahar lalu menarik mulutnya dari batang kemaluanku, dan menatapku dengan mimik wajah yang meledek.

"Tadi nggak percaya dibilang kalau mau hujan. Sekarang?"
"Iya deh, percaya" kataku mengalah, tak mau berdebat lagi karena gerimis sudah mulai membasahi teras.

Kami berdua lalu berlarian masuk ke dalam. Sialan, celanaku belum sempat dikancingkan lagi oleh Bahar. Sehingga begitu melewati pintu masuk, celana itu langsung merosot ke bawah. Bahar tergelak melihat kondisiku yang lucu itu. Aku menyumpah-nyumpah. Bahar makin ketawa ngakak.

"Mau diterusin nggak?" aku menggerutu sambil menahan gerakan tanganku yang sedang menarik celana ke atas. Setengah berharap Bahar akan meneruskan main-mainnya.
"Hmm? Nanti sajalah. Cooling down dulu" jawabnya sambil masih tertawa dan mengerlingkan mata. Nakal. Aku makin menggerutu. Bahar kemudian menyalakan TV di ruang tamu.

Terus terang, aku sebenarnya ingin permainan tadi diteruskan sampai tuntas. Tapi begitu melihat kerlingan matanya yang mengisyaratkan sesuatu, aku menuruti saja apa katanya. Mungkin dia sudah punya rencana lain. Let's see.

Kami berdua lalu duduk di sofa ruang tamu menonton acara TV. Kini giliran aku yang rebahan di pangkuannya. Dia tampak serius melihat film seri kesukaannya di TV. Sementara aku ribut mengomentari adegan-adegan yang sedang berlangsung yang aku anggap konyol. Seperti biasanya, dia tetap tenang dan diam saja menikmati acara di layar kaca itu. Paling-paling dia tersenyum atau tertawa kecil mendengar komentarku yang kadang-kadang kocak.

Lama-lama aku jengkel juga. Kuperhatikan wajahnya lekat-lekat.

"Serius amat sih Bang" kataku menggoda.
"Ssstt.." telunjuknya diarahkan ke bibirku menyuruh aku jangan berisik.
"Film jelek begitu ditonton" ledekku lagi.
"Sebentar lagi bubar kok" jawabnya singkat. Lalu kembali melotot serius ke TV.
"Mendingan kita yang 'main film'.." Aku mulai menggodanya.
"Ssstt.." lagi-lagi tangannya menutup bibirku. Bahkan sekarang jari-jarinya malah mempermainkan kumisku.

Diperlakukan begitu, aku langsung menarik telunjuknya dan lalu kugigit. Dia diam saja. Kugigit lagi. Kali ini lebih keras. Masih juga diam. Aku lalu mencoba gerakan lain. Telunjuknya kujilat-jilat dan kemudian aku mengulumnya dengan gerakan seperti sedang melakukan oral seks.

Beberapa saat aku melakukan aksi itu dan lambat laun tampaknya dia mulai bereaksi. Meskipun matanya masih menatap ke TV di depan, tapi kepalaku yang bersandar di pangkuannya itu mulai merasakan benjolan kenyal di balik celananya mulai agak mengganjal. Makin lama makin terasa mengeras. Diperlakukan begitu baru dia bereaksi. Dasar! Aku pun makin bersemangat mengulum jari telunjuknya yang besar dan berbulu itu.

Tiba-tiba tangannya bergerak ke sela bawah kepalaku yang masih bersandar di pangkuannya itu, lalu dengan cekatan tangannya membuka kancing celananya dan menarik resletingnya ke bawah. Lucunya, pandangan dia tetap lurus menonton acara di TV. Ohoi, rupanya dia mau aku melakukan yang lebih jauh lagi, tanpa mengganggu acara nonton TV-nya.

Badanku lalu berbalik mengambil posisi tengkurap sehingga kepalaku sekarang persis ada di depan resleting celananya yang sudah terbuka. Batang kemaluannya tampak masih terlipat ke bawah. Tapi sudah setengah tegang. Beberapa bulu kemaluannya tampak mencuat keluar. Bulu keriting di sekitar daerah itu tercium harum karena aroma sabun mandi tadi sore. Meskipun sebenarnya aku lebih menyukai bau asli dari tubuhnya. Jantan dan segar.

Kutarik batang yang masih terselip itu lalu pelan-pelan kukeluarkan dari sarangnya. Masih setengah tegang, tapi ukurannya sudah tampak gede dan agak hangat. Kulirik ke atas dia masih asyik menonton TV. Tak peduli dengan apa yang sedang kulakukan.

Kecuekannya itu kubalas. Otot kenyal yang kini ada di genggamanku sengaja kudiamkan saja. Kutunggu reaksinya. Beberapa saat barulah Bahar tersadar bahwa aku tak melakukan apa-apa terhadapnya lagi. Sejenak pandangannya lepas dari TV berganti ke arahku. Matanya memicing, dahinya berkerut dan bibirnya manyun seperti anak kecil minta sesuatu tapi tak dituruti.

"Please.." rengeknya. Manja banget nih orang, pikirku.

Sebenarnya aku tak betah juga membiarkan benda bulat panjang itu menganggur tergolek di genggamanku. Apalagi Bahar memang jagonya merayu meski hanya dengan mengandalkan ekspresi wajah saja.

Mulutku lalu mulai melahap dan kubenamkan seluruh wajahku ke pangkuannya. Sehingga seluruh otot yang mulai menegang itu masuk hingga ke pangkal tenggorokanku. Dia tampak terhenyak. Lalu kurasakan tangannya mulai memegang kepalaku dan mulai mengusap-usap rambutku seperti memberi semangat.

Bahar memang orang yang tak suka banyak bicara. Dia lebih banyak bertindak lewat sikapnya, ekspresi atau isyarat lainnya yang makin lama bisa mulai kupahami bahasa tubuhnya itu. Maka tekanan dan usapan tangannya bagiku sudah cukup bicara banyak, meminta aku untuk berbuat lebih banyak lagi.

Terus saja kujilati meriam kecil miliknya itu yang kulitnya sudah berlumuran dengan air liurku sehingga kini seluruh permukaan batang itu sudah basah dan mengkilat. Lalu bagian topi bajanya yang membengkak itu pun menjadi sasaran gerakan lidahku. Kujilat dan kuoles-oleskan lidahku ke permukaan daerah itu.

Kurasakan tangannya makin menekan kepalaku ke bawah, padahal apa yang kuperbuat menurutku sudah lebih dari cukup. Mau yang seperti apa lagi sih?

Matanya kulihat masih tertuju ke arah TV, namun konsentrasinya tampaknya mulai buyar. Sesekali ia melirik ke bawah, melihat perbuatanku, lalu memandang lagi ke TV. Baru tahu rasa dia, pikirku.

Di luar suara hujan mulai terdengar cukup deras. Kadang-kadang diselingi suara petir. Akankah datang badai malam ini? 'Badai' seperti apakah yang akan terjadi pada puncak birahi kami nanti?

Puas melumati seluruh bagian yang ada. Tanganku mulai merayap masuk lebih dalam ke pangkal selangkangannya, ke gumpalan kantung pelirnya yang membulat dan berkulit tebal. Bagian itu sudah mulai basah oleh keringat. Rambut yang tumbuh di daerah itu sangat lebat dan kasar. Dan aromanya sungguh seksi, serasa aprodisiak buatku..

Tanganku lalu menggenggam dan meremas-remas dua bulatan 'telor' yang menonjol di situ. Pelan dan lembut. Dia bereaksi. Pinggulnya mulai bergerak gelisah. Sesekali pantatnya sedikit terangkat ke atas, entah karena rasa geli dan nikmat akibat perbuatanku, atau ingin memberi kelonggaran agar tanganku lebih leluasa bergerak.

Bodo amat! Tanganku malah makin masuk ke bawah, lebih jauh, sehingga kini mencapai daerah antara pangkal kantung pelir dan celah pantatnya. Jariku mengusap-usap daerah itu. Bulu yang ada di sekitarnya laksana rumput yang tak pernah dicukur. Daerah ini pun kurasakan telah basah oleh keringat.

Aku tak hanya bergerilya di daerah itu saja. Jariku juga menari-nari nakal di sela lipatan pantatnya yang juga mulai terasa basah dan licin. Membuat ujung jariku meluncur-luncur. Membuat daerah sekitar pantatnya berdenyut-denyut.

Tiba-tiba, Bahar mengangkat pinggulnya, lalu berusaha melepas seluruh celana panjangnya ke bawah karena sedari tadi hanya terbuka sampai di bagian pinggul saja. Rupanya acara TV yang ditontonnya sudah selesai. Dan kini dia tampaknya mulai menanggapi aktivitasku.

Bahar lalu mengubah posisinya, duduk bersandar pada ujung sofa. Kini bagian bawah tubuhnya sudah terbuka, tak memakai celana panjang lagi. Ditariknya baju kaosnya ke atas sebatas dada, lalu kedua lututnya dilipat dan kedua pahanya dibuka agak lebar. Pose yang dibuat sungguh sangat menantang!

Kini terpampang jelas batang kemaluannya yang sudah tegang besar dan berotot itu mengacung hingga ke daerah pusar dan perutnya yang berbulu lebat. Sementara di bawah otot tegang itu menggantung indah dua bulatan sebesar telur ayam yang terbungkus oleh kulit tebal dan berkerut-kerut. Dan di bawahnya lagi, di tengah-tengah bongkahan pantatnya yang gempal dan berbulu itu tampak sebuah celah kecil. Legam oleh bulu dan basah oleh cairan keringat.

Aku tertegun menatap semua pemandangan yang ia ciptakan itu. Sungguh, Bahar memang laki-laki yang sexy. Aku sampai tak menyadari bahwa ia pun terus menatapku. Hingga tiba-tiba terdengar suaranya.

"Aku ingin Mas Harso melakukannya padaku.. Malam ini juga" katanya dengan suara agak serak terpengaruh nafsu birahinya. Nafsu yang tampak memancar dari matanya yang sedikit memerah dan berkaca-kaca. Di luar suara air hujan terdengar menimpa atap seng dengan ramainya. Tapi entah kenapa di ruangan ini suasana jadi agak mencekam.

"Bang..?" aku membalas permohonannya dengan pertanyaan dan menatap matanya dengan serius. Mataku juga agak berkaca-kaca. Aku tak bisa menyembunyikan keherananku. Aku sangat tahu apa yang Bahar maksudkan. Tapi aku sama sekali tak menyangka kalau dia memintaku untuk melakukan itu..

Memang, beberapa minggu yang lalu, saat hubungan kami sudah sangat akrab dan menyatu, kami pernah menyinggung satu masalah yang cukup sensitif. Sejauh ini kami telah melakukan apa saja yang bisa kami lakukan selama berhubungan, kecuali satu: anal seks.

Bukan apa-apa. Tapi kami merasa bahwa hubungan semacam itu memerlukan kesiapan khusus baik secara fisik maupun mental, khususnya bagiku. Mungkin bagi Bahar lain lagi, karena berdasarkan ceritanya sendiri, Bahar sudah pernah mengalami hal itu sejak pertama kali mengenal dunia homoseksualitas di lingkungan kerjanya.

Menurut ceritanya, Bahar pertama kali punya pengalaman demikian dengan seorang awak kapal asing (Portugis, kalau tak salah) dengan imbalan uang. Waktu itu usianya masih sekitar duapuluh tahun. Jadi sekitar sepuluh tahun yang lalu.

Waktu itu Bahar memang diajak berkencan sambil mandi bersama di kapal si Portugis itu. Semula Bahar hanya mau berkencan seperti biasa saja dan menolak ajakan untuk ber-anal seks karena belum pernah melakukannya.

Tapi karena awak kapal tersebut memaksa sambil terus memberikan rangsangan secara seksual kepada Bahar, maka Bahar pun terhanyut dan takluk terutama karena rasa sensasi yang timbul ketika bagian belakangnya dirangsang sedemikian rupa oleh si Portugis itu.

Masih menurut Bahar, di kamar mandi itu orang Portugis tersebut mula-mula memandikan dan membersihan seluruh tubuh Bahar, sambil melakukan stimulasi terutama pada bagian belakang tubuh Bahar baik dengan jari maupun dengan rangsangan mulut. Sebuah pengalaman 'fore-play' baru bagi Bahar.

Waktu itu Bahar merasakan rasa nikmat yang belum pernah ia rasakan. Daerah di sela-sela pantatnya menjadi terasa licin, lembut dan basah karena ludah si Portugis. Dan daerah itu ternyata sangat sensitif, bahkan hanya oleh sentuhan lidah yang lembut sekalipun.

Akhirnya setelah kondisi Bahar sudah dirasa"siap", orang Portugis itu lalu pelan-pelan dan sabar mencoba melakukan penetrasi dengan tanpa menghentikan rangsangannya terhadap Bahar. Kali ini malah dengan menggunakan jari tengahnya. Lalu ditambah jari telunjuk. Dan akhirnya tiga buah jari masuk semua. Membelai-belai celah milik Bahar yang makin lama makin melentur.

Dan akhirnya bobollah pertahanan Bahar. Jari-jari Portugis itu kemudian berganti dengan sebuah batang pejal dan kenyal.

Terjadilah adegan sodomi yang baru sekali ini dialami Bahar. Bagian bawah tubuh Bahar memang terasa sakit namun tak timbul luka. Mungkin karena sudah 'dipanasi' dulu sebelumnya. Namun di sela-sela menahan rasa sakit itu, Bahar ternyata merasakan juga sebuah rasa nikmat yang sangat lain dari kenikmatan yang pernah dialaminya selama ini.

Genjotan dan geseran batang kemaluan Portugis yang berukuran besar itu sangat terasa menggelitik seluruh urat syaraf yang ada di situ. Menimbulkan rasa geli yang sangat. Apalagi selama itu tangan si bule juga tak tinggal diam, giat memasturbasi Bahar.

Satu, dua, tiga.. Begitu kira-kira irama genjotan yang dibuat si Portugis. Seirama kocokan tangannya pada batang kemaluan Bahar. Hingga akhirnya Bahar tak mampu menahan orgasmenya yang dirasanya datang terlalu cepat. Namun rasa nikmat muncul sangat sulit untuk dilukiskan. Menurut Bahar, ia sampai menyemprot sekitar tiga-empat kali. Semua memancar kuat dan banyak.

Pada saat itulah, akibat orgasme, pantat Bahar menjadi ikut bereaksi dan berkonstraksi dengan kuat, sehingga makin menjepit batang kemaluan si Portugis. Maka akibatnya tak lama kemudian si bule itu pun mencapai puncak seksualnya hampir bersamaan dengan Bahar.

Sejak kejadian itulah Bahar mulai melakukan beberapa pengalaman serupa dengan rekan-rekannya di kapal atau pelabuhan yang ternyata sudah ada yang mempunyai pengalaman begituan lebih dulu. Namun dalam pengalaman selanjutnya, Bahar tampaknya cenderung lebih menyukai posisi sebagai pihak yang aktif ketika melakukan hal itu.

Itulah yang kini membuatku heran. Karena malam ini Bahar justru memintaku sebagai pihak yang aktif berbuat itu kepadanya.

Matanya masih terus memandangiku, aku sendiri bingung harus berbuat apa. Harus mulai dari mana. Karena aku belum pernah mengalami kejadian seperti itu. Meskipun tak jarang aku sering membayangkan bagaimana nikmatnya hal itu. Tak jarang pula aku sering merangsang sendiri daerah di sekitar itu, baik ketika sedang ber-onani maupun sedang bermain cinta dengan Bahar. Memang timbul kenikmatan tersendiri melakukan rangsangan di daerah sensitif itu. Apalagi bila..

"Mas.." tegurannya menyadarkan pikiranku. Aku gelagapan.
"Abang serius mau melakukan itu?" tanyaku tak percaya.
"Ya!" jawabnya singkat, masih dengan suara yang serak.

Hampir tenggelam oleh bunyi gemeretak hujan di luar sana.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.