Kamis, 03 November 2011

Oase Laut Utara 10: Morning Blues

Dua malam sudah kami menginap di rumah kebun milik Om Tei. Dua malam yang penuh dengan cinta dan gelora birahi. Dua malam pula aku terus berusaha membujuk agar Bahar mau singgah di mess sepulangnya nanti dari kebun ini. Tapi dia tetap bersikukuh tak mau memenuhi permintaanku. Sikapnya ini sempat membuatku kesal.

"Abang takut ketemu Pak Gun, ya?" aku memulai menyinggungnya waktu kami berdua sedang berbaring menjelang waktu tidur.
Bahar menggeleng, "Bukan begitu Mas. Kehadiranku di mess nanti pasti akan bikin kaget dia, dan ini bisa membuat suasana jadi tak enak"

Bahar menyebut Pak Gun dengan sebutan 'dia'. Seperti ada rasa antipati. Alasan yang dikemukakan Bahar pun rasanya juga terlalu berlebihan. Sebab sejauh yang kukenal, Pak Gun orangnya cukup toleran dan pengertian.

Kedatangan Bahar ke Manado kemarin memang mendadak. Demikian juga kepergian kami ke kebun ini. Dan Pak Gun belum tahu itu semua. Aku memang tak selalu pamit bila meninggalkan mess, kecuali untuk urusan yang penting. Apalagi pikiranku waktu itu lebih banyak terpusat pada kehadiran Bahar yang mendadak, jadi tak sempat pamitan dengan orang mess.

"Abang terlalu berlebihan.." kataku setengah menggumam. ".. Sebenarnya, ada apa sih, Bang?" lanjutku ingin mendapatkan jawaban yang lebih jelas dan tegas.

Bahar terhenyak mendengar intonasi kalimat terakhirku yang sengaja kubuat serius. Matanya menatapku, seperti menyimak sesuatu.

"Kenapa?" tanyaku membalas tatapannya itu.

Bahar menarik nafas sebentar, "Ehmmhh..," ia mendesah sebentar, lalu, ".. Saya hanya risih saja dengan orang-orang di mess nanti.."
"Terutama risih dengan Pak Gun, kan?" sahutku menambahi. Dan Bahar diam tak menyahut.

Selama ini aku dan Bahar memang, dan tentu saja, menjaga kerahasiaan hubungan kami. Barangkali Bahar merasa risih, karena di mess sudah ada orang yang telah mengetahui hubungan kami, meskipun orang itu-Pak Gun-tak ada bedanya dengan kami berdua. Jadi kenapa harus risih?

Hingga menjelang tidur, Bahar tetap tak memberikan jawaban apakah ia jadi mau mampir ke mess atau tidak.

"Ya sudah.., terserah..," akhirnya aku menyerah dengan sikapnya yang tetap diam.

Hari ketiga akhirnya menjadi sebuah antiklimaks. Pagi-pagi, begitu bangun tidur, aku rasanya sudah mau uring-uringan. Barangkali kalau tak berada di rumah Om Tei, mungkin sudah kulampiaskan kekesalanku menghadapi sikap Bahar semalam yang kukuh itu.

Pagi itu rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Aku masih duduk tepekur di pinggir ranjang membelakangi tubuh Bahar yang masih terlelap, ketika tiba-tiba kurasakan tangannya menggapai punggungku. Aku hanya meliriknya sesaat. Malas untuk menanggapi.

"Mas.." tegurnya dengan suara masih parau. Aku tak menyahut. Diam.

Tubuhnya lalu beringsut mendekatiku. Masih dalam posisi berbaring, kedua tangannya lalu dilingkarkan ke pinggangku dari belakang, seperti tengah memeluk guling. Aku tetap duduk tak bergeming.

"Sudah bangun belum, sih?" tegurnya mencoba menggodaku yang tetap diam tak menanggapi. Aku harus bisa bertahan dari godaannya yang kadang-kadang memang jahil itu. Makanya aku segera berdiri, menepis kedua tangannya dari pinggangku dan beranjak masuk ke kamar mandi. Menutup pintunya. Klik! Langsung mandi.

Sebelum pintu kamar mandi kututup tadi, sempat kudengar Bahar berteriak 'Hey!' memprotes sikapku yang tak mengacuhkannya pagi ini.

Air mandi yang sejuk lumayan meredakan emosiku yang sudah tersulut sejak semalam. Sebenarnya aku paling benci bila pagi-pagi sudah uring-uringan. Bisa-bisa kebawa terus sepanjang hari. Bahar tahu persis kebiasaan jelekku itu.

Ada sekitar seperempat jam aku membersihkan badan. Ketika keluar dari kamar mandi, sayup-sayup kudengar alunan lagu blues. Kupikir Om Tei yang menyetelnya. Karena orang tua itu memang suka sekali dengan musik jenis ini dan cukup banyak pula koleksi piringan hitamnya. Tapi ternyata Bahar yang punya kerjaan.

Kulihat ia tengah bersandar menghadap keluar jendela kamar sambil merokok. Ia masih dalam 'pakaian tidurnya', bercelana dalam saja. Tubuhnya tampak bergoyang-goyang pelan mengikuti irama blues yang sendu, romantis dan mendayu-dayu itu.

Sebenarnya, bias matahari pagi yang menerobos jendela besar di kamar ini telah menciptakan sebuah siluet yang indah pada tubuh tegap yang hanya terbalut cawat putih tipis itu. Tapi aku mencoba tak menghiraukannya. Aku harus segera berpakaian karena saat itu tubuhku hanya terbalut handuk saja.

Tapi, sialan! Lemari pakaian tak bisa kubuka. Beberapa kali kutarik pintunya, tapi tak mau terbuka juga. Tampaknya terkunci dan kuncinya entah kemana. Pasti Bahar yang bikin ulah, gerutuku langsung menuduh, karena ia yang kemarin memasukkan tas dan pakaian kami ke lemari ini. Bagaimana aku bisa berpakaian? Dia kalau sedang usil, ada saja kelakuannya.

Kubalikkan badanku dan kutatap tubuhnya yang masih bersandar santai menghadap keluar jendela. Kudengar ia bersiul-siul di sela-sela isapan rokoknya. Aku hanya bisa mendengus. Sebal!

Tiba-tiba tubuhnya berbalik dan melihatku. Dia menghentikan siualannya dan mematikan rokoknya pada tepi jendela dan membuang puntungnya keluar. Lalu tersenyum ke arahku.

"Eh, Mas Har. Sudah selesai mandinya?" tanyanya seperti basa-basi, tapi nada suaranya lebih terdengar seperti meledek.

Aku diam, kesal. Dia masih terus tersenyum, lalu melanjutkan siulannya mengikuti lagu berikutnya. Tubuhnya kemudian pelan-pelan menuju ke arahku sambil sedikit bergoyang-goyang mengikuti irama blues. Tangannya terentang seolah mengajakku untuk ikut menikmati irama lagu itu.

Sebenarnya kalau sedang tak kesal, akan kutanggapi kegilaannya pagi ini. Karena goyangan tubuh yang hanya bercelana dalam itu terlihat sexy, sangat sexy. Apalagi sesekali pinggulnya sengaja bergerak secara erotis. Menyentak-nyentak mengikuti bunyi bass irama blues yang khas berdentum-dentum. Tapi aku tetap diam saja. Bahkan sesekali aku menutup mataku dan menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menunjukkan bahwa aku sedang tak mau menanggapi candanya pagi ini. Tapi anehnya, pejaman mata dan gelengan kepalaku itu kurasakan bukan sebagai sikap penolakan, tapi lebih disebabkan karena aku sulit untuk menepis godaannya.

Melihat sikapku, Bahar tak jadi menghampiriku. Tinggal beberapa tapak lagi ia menghentikan langkahnya. Tapi sikapnya tetap santai. Jarinya menjentik-jentik, kepalanya bergerak-gerak dan pinggulnya bergoyang-goyang pelan di tempat ia berdiri. Bibirnya bersenandung menikmati irama.

"Mana kunci lemarinya?!" akhirnya aku keluar omongan dengan nada kesal sambil menadahkan tanganku ke arahnya.
"Di sini.." katanya tenang sambil menunjuk ke bagian depan celana dalamnya. Sementara tubuhnya terus bergoyang-goyang dengan santainya. Dasar tengil!
"Bang! Aku serius nih!"
"Aku juga serius..," dia tetap tenang sambil bersiul-siul.

Akhirnya kubanting tubuhku ke kursi dekat lemari pakaian dengan perasaan jengkel. Tak tahu musti berbuat apa lagi. Kalau saja kondisiku tidak hanya berbalut handuk seperti ini, aku pasti sudah keluar meninggalkannya sendirian di kamar ini.

Dia kalau semakin dikejar biasanya malah semakin menjengkelkan. Tapi apa lagi yang bisa kuperbuat? Mau tak mau aku terpaksa duduk memperhatikan tingkahnya yang pagi ini seperti anak kecil ingin diperhatikan. Barangkali dia sedang kerasukan setan kebun!, umpatku.

Lagu berikutnya terdengar sangat kental irama bluesnya, membuat gerakan Bahar makin menjadi-jadi. Sesekali kedua tangannya diangkatnya ke atas, menampakkan bulu lebat yang tumbuh subur di sepanjang ketiaknya. Sambil mengangkat tangan begitu, pelan-pelan pinggulnya bergerak ke kiri dan ke kanan. Maunya erotis, tapi aku lebih melihatnya seperti seorang binaragawan yang tengah beraksi. Hampir saja aku tertawa geli melihat gayanya yang konyol. Tapi aku masih gengsi menampakkan reaksiku atas kegilaannya itu.

Dasarnya Bahar memang sedang berniat untuk menggoda. Dan ia tahu persis bagaimana harus menggodaku. Kini, masih dengan tangan terangkat dan pinggul berputar-putar pelan, tubuhnya lalu berbalik membelakangiku. Kemudian pelan-pelan kedua tangannya turun ke arah pantatnya. Mengelus-ngelus, meremas dan lalu memutar-mutar kedua bongkahan padat yang tertutup celana dalam putih itu. Hey, dari mana dia belajar menari dengan gaya striptease seperti itu?

Aku akhirnya harus tersenyum. Tapi aku akan tetap tak akan menanggapi keinginannya pagi ini. Akan kulihat sampai sejauh mana ia akan tahan. Kubiarkan ia memanaskan sendiri tungku birahinya, dan biar ia sendiri yang menuntaskannya. Aku tak mau terlibat! Bahkan seseru apapun pertunjukkan yang dipertontonkan padaku; seperti ketika kedua tangannya pelan-pelan mulai memelorotkan bagian belakang celana dalamnya, sehingga sedikit demi sedikit belahan dan bukit pantatnya yang berbulu itu mulai terkuak. Lalu ditingkahi dengan goyangan yang erotis.

Kulihat beberapa kali matanya melirik ke arahku dan tersenyum. Kelihatan sekali ia mau menggodaku. Cepat-cepat aku pasang muka acuh tak acuh, meski dalam hati aku mulai senang dengan hiburan gratis yang dipertontonkan padaku.

Aku belum pernah melihat pertunjukan striptease. Apa dan bagaimana striptease itu, aku pun tak pernah membayangkannya. Apalagi striptease yang dilakukan oleh laki-laki. Tapi pagi ini, ada orang yang dengan sukarela memberiku gambaran bagaimana striptease itu. Mungkin bukan gambaran yang memuaskan, karena Bahar bukanlah profesional untuk itu. Ia melakukannya karena ingin menggoda dan merayuku yang pagi ini sedang ngambek berat.

Musik blues masih terus mengalun dari piringan hitam milik Om Tei. Bahar masih dalam posisi memunggungiku. Kedua tangannya kini pindah ke bagian depan celana dalamnya, sementara bagian pantatnya tetap dibiarkan terkuak. Tangannya lalu membuat gerakan-gerakan tertentu yang seolah tak boleh terlihat olehku. Nampaknya ia ingin membuatku penasaran. Tapi aku tahu apa yang sebenarnya tengah dilakukannya: ia tengah merangsang miliknya sendiri. Kulihat beberapa kali bukit pantatnya mengempis berkonstraksi seperti tengah menahan rasa nikmat.

Sialan! Aku mulai terpengaruh. Milikku yang tertutup handuk itu mulai bereaksi. Tapi kubiarkan saja. Aku tetap duduk santai dan kedua tanganku tetap bertelekan di kedua lengan kursi. Hanya kini nafasku mulai agak sesak menahan getaran yang mulai memercik-mercik.

Dan percikan itu berubah menjadi desiran-desiran yang kuat ketika tiba-tiba kulihat Bahar memelorotkan celana dalamnya hingga terlepas ke lantai. Tapi posisinya masih membelakangiku, hingga aku tetap tak bisa melihat kondisi tubuh bagian depannya. Yang mulai kudengar hanya sayup-sayup lenguhannya meningkahi musik blues yang tampaknya kini tak lagi dihiraukannya. Dia lebih asyik bermasturbasi!

Aku menelan ludah melihat gerakan-gerakan tubuhnya dari belakang. Tampaknya nikmat sekali ia melakukan onani. Sesekali kepalanya mendongak dan mengeluarkan desahan yang merangsang. Aku tak tahu apakah kini Bahar masih ingin menggodaku ataukah ia sudah larut dalam keasyikannya sendiri. Biarlah, toh aku tadi juga berjanji tak akan menanggapinya.

Tiba-tiba ia membalik tubuhnya menghadapku. Tentu saja kondisi kemaluannya sudah sangat meradang. Kulit dadanya tampak memerah sehingga makin menambah gelap bulu-bulu yang tumbuh di sekitarnya. Nafasnya ngos-ngosan dan wajahnya serius menatapku, seperti orang sedang marah. Aku balas tatapannya dengan pandangan yang serius dan mimik muka yang seolah mengatakan: 'mau apa kau?'.

Tadinya kupikir ia akan mendatangiku. Ternyata tidak. Tubuhnya malah bergerak mundur sambil terus menatapku, menuju ke ranjang. Lalu dalam posisi telentang dan bersandar pada bantal, ia meneruskan acara swalayannya di atas kasur. Kali ini aku benar-benar tergoda demi melihat posisi dan gerakannya di atas ranjang sambil asyik mengocok-ngocok. Ia memberiku sebuah pertunjukan striptease yang meskipun amatiran tapi cukup menggoda. Tapi, kembali gengsiku mengingatkan nafsuku, bahwa aku harus bisa bertahan dari godaannya pagi ini, sampai kuperoleh jawaban: ia mau singgah di mess-ku.

Blues masih mendayu-dayu di kamar ini. Musiknya jadi terdengar lebih romatis-erotis. Cocok untuk mengiringi orang tengah bercinta. Sayangnya pagi ini kami sedang tidak bermain cinta. Kami sedang perang urat syaraf!

Di atas kasur Bahar masih sibuk meloco miliknya. Benda bulat panjang berwarna kecoklatan itu kini tampak meluncur-luncur dalam genggamannya. Kulit batangnya tampak mengkilat. Mungkin basah oleh olesan air liurnya atau cairan lendir yang memang terlihat sudah keluar dari ujung kepala kemaluannya. Urat-urat di sekitar batangnya pun tampak menonjol, menandakan betapa tegang dan kerasnya benda itu saat ini.

Aku sendiri kini dalam kondisi yang tak jauh berbeda. Hanya tanganku tak beraksi. Kubiarkan si kecil bandel meronta-ronta di balik handuk. Tonjolannya nyata sekali menyembul. Meronta ingin keluar dan 'dikeluarkan'. Lendir precum-ku juga sudah keluar dan tampak merembes ke serat handuk. Menimbulkan bercak basah pada ujung tonjolan itu.

Posisi dudukku kini agak menyandar ke belakang dengan kedua kaki terentang menjuntai. Kedua sikuku tetap bertelekan di kedua sandaran kursi. Aku sengaja berbuat begitu demi melihat Bahar mulai melirik-lirik ke arahku, terutama ke gundukan di selangkanganku. Barangkali dia heran karena aku sudah terangsang tapi tetap tak bergeming. Kini, giliran aku membuatnya penasaran.

Kulihat dia dengan nafas yang memburu terus mengocok dan mengocok. Sesekali ekspresinya menyeringai seperti menahan sesuatu yang seharusnya dikeluarkannya. Matanya yang mulai sayu itu terus memandangku dengan tatapan yang sudah sulit untuk diartikan.

Tiba-tiba ia menghentikan kegiatannya, lalu memberi isyarat, tepatnya memohon, padaku untuk naik ke atas ranjang. Tak tahan lagi rupanya. Aku menggeleng menanggapi isyaratnya. Ia mendengus kesal. Dan aku merasa setengah meraih kemenangan.

Setengah kemenanganku semakin nampak ketika kulihat Bahar pelan-pelan mulai beringsut turun dari ranjang. Batang miliknya terayun-ayun seiring langkahnya menuju ke arahku. Lagu blues, entah yang ke berapa, seperti mengiringi langkahnya yang pelan namun penuh dendam, bagai koboi berjalan menuju arena duel.

Aku tetap diam di kursi. Menanti apa kelanjutannya. Karena ia kadang penuh dengan kejutan. Tapi ternyata tidak. Pahanya langsung mengangkangi kedua kakiku yang selonjor di pinggir kursi. Tangannya lalu mencoba menyingkap handuk yang melilit di pinggangku, tapi segera kucekal. Ia melotot. Aku menatapnya dengan tenang."Mau apa?!" kataku setengah meledek.

".. Please.." Bahar mendesah. Memohon.
"Apa.., Bang..?" tanyaku kali ini dengan nada benar-benar meledek.

Ia tak menjawab, tapi malah meremas-remas kemaluannya yang dari tadi mengacung beberapa inchi di depan wajahku. Seolah memberi isyarat padaku apa yang diinginkannya. Aku mengangguk, pura-pura memahami maksudnya yang memang sudah aku pahami.

"Boleh saja..," kataku santai, "Tapi, Abang harus janji dulu..," kataku mengultimatum.
"Ya" jawabnya cepat-cepat dengan nafas yang masih memburu. Padahal aku belum mengatakan permintaanku agar ia berjanji mau ikut aku ke mess.
"Ya, apa?" tanyaku mendesak.
"Ngembaliin kunci lemari," jawabnya sekenanya.

Aku tak bisa lagi menahan ketawaku mendengar jawabannya yang pura-pura bodoh itu.

"Bukan ituu!!" kataku sambil mencubit pahanya. Ia mengaduh.
"Apa dong?" ia masih pura-pura bodoh.
"Sudah ah! Sana! Sana..!" kudorong tubuhnya dengan kesal. Kali ini aku benar-benar kesal. Aku capek menghadapi candanya.

Aku hampir berdiri ketika tangannya menahan bahuku dan mendudukkanku kembali. Ia lalu membisikiku, minta maaf dan berjanji mau singgah di mess sepulang dari kebun ini..

Oh, akhirnya.. Aku hanya bisa menghela nafas. Kenapa harus pakai acara marah dulu untuk menerima jawaban seperti itu, hah? Aku kembali mengumpat.

"Maaf ya.." katanya sekali lagi, tapi kali ini kata maafnya sekaligus dipakai untuk meminta ijin agar tangannya boleh merogoh ke celah handuk yang kupakai.

Kali ini aku tak berontak dan mendiamkannya. Tak kucekal lagi tangannya. Kubiarkan ia meremas-remas agar semua kembali menegang. Kubiarkan tangannya menyingkap handukku dan mengeluarkan isinya. Lalu jari-jarinya bermain-main dengan liarnya. Tanganku sendiri sengaja tak bereaksi, tetap bertenger di kedua sisi sandaran kursi. Aku bahkan tak menyentuh tubuhnya sama sekali. Masih ada sedikit rasa 'kesal' padanya.

Ketika semua sudah siap, Bahar mengambil ancang-ancang mengangkangiku dan mencoba menyelipkan milikku ke sela-sela pantatnya. Agak susah. Karena celah itu belum lentur benar. Tapi bukan Bahar namanya kalau tak berusaha. Kepala kemaluanku yang tumpul membulat itu dioles-oleskannya di sekitar celah miliknya. Menimbulkan rasa geli pada kami berdua. Merangsang lendirku keluar lebih banyak sehingga mulai melumasi liang kecil miliknya yang juga mulai terasa membasah.

Aku tetap tak bergeming dari posisi dudukku. Sementara Bahar terus menggunakan milikku untuk merangsang bagian bawah tubuhnya. Sampai akhirnya aku mulai merasa sesuatu telah menjepit milikku. Lalu pelan-pelan seperti terisap dan akhirnya terlahap seluruhnya oleh sebuah liang liat ketat yang berdenyut-denyut. Tak sengaja pantatku sedikit terangkat ke atas, hingga milikku makin tertusuk lebih dalam..

Bahar mengira aku telah memberi reaksi padanya. Maka pelan-pelan diputarnya pinggulnya, bagai tengah mengaduk sesuatu. Aku hanya bisa memejamkan matanya menikmati lumatan-lumatan pada batangku yang ditimbulkan oleh gerakan itu.

Akhirnya kami melakukannya pagi itu. Aku tak lagi diam pasif. Kuimbangi semua gerakan-gerakan Bahar di atas tubuhku. Aku cukup dalam posisi duduk bersender dan menyentak-nyentakkan pinggulku ke atas. Menusuk dan mengocokkan batangku bila sudah masuk sampai pangkalnya. Sementara Bahar tak henti-hentinya mengulir dan menggenjot pantatnya. Batang kemaluannya tampak mengangguk-angguk di atas perutku. Sedikitpun Bahar tak tampak lelah, meskipun ia harus menekuk lututnya berkali-kali.

Akhirnya dialah yang pertama kali memuncratkan cairan kepuasannya. Banyak dan menyembur ke arah perut dan dadaku. Memang dialah yang memulai semua ini. Orgasmenya menurutku datang terlalu cepat, tak seperti biasanya. Mungkin ia sudah demikian meradangnya.

Puncak kenikmatanku datang tak beberapa lama kemudian, setelah Bahar dengan sisa-sisa tenaganya membuat gerakan pantat sedemikian rupa hingga aku mengerang kenikmatan mencapai puncak. Keringatnya yang deras mengalir bercampur dengan keringatku sewaktu kami berpelukan di atas kursi itu. Sesekali aku masih menyentakkan pantatku ke atas, menusuk. Dan Bahar membalasnya dengan memutar pantatnya, meremas. Lalu yang tinggal hanya dengus dan desahan nafas kami berdua.

Musik blues masih mengalun. Tapi cahaya matahari di luar sana sudah mulai terang. Siang ini kami akan balik ke mess di Manado.

"Bang, mana kunci lemarinya?" kataku mengingatkan sambil kudorong tubuh bugilnya dari pangkuanku.
"Kunci??" wajah Bahar tampak kebingungan. Ia berdiri sambil celingak celinguk.
"Tadi katanya ditaruh di celanamu," aku mengingatkan lagi

Tiba-tiba tawa Bahar meledak. Lalu pelan-pelan ia berjalan ke arah lemari pakaian. Lalu dengan gaya meledek, digesernya pintu lemari dan..

"Bukan ditarik Mas.. Tapi digeser.." ia memeragakan cara membuka lemari.

Ya ampun! Aku cuma melongo. Hampir kupukul dia kalau saja tak segera menghilang ke kamar mandi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.