Kamis, 03 November 2011

Oase Laut Utara 12: Dokter Cinta

Bahar datang menjemputku sekitar jam satu, ketika matahari sedang terik-teriknya membakar ubun-ubun.

"Sudah makan 'Bang?" sapaku begitu ia tiba di kedai Pak Tua tempat aku menunggu.
"Belum," jawabnya pendek. "Kita makan siang di sini saja, ya?" ajaknya kemudian.

Setelah pamitan pada Pak Tua, kami kemudian menuju warung makan yang terletak sekitar seratus meter dari kedai ini. Bahar makan lahap sekali. Kelihatan ia sedang lapar. Padahal kalau mau, dia bisa saja makan di rumah. Tapi barangkali ia memang mau makan bareng aku. Sebuah kesetiaan yang kadang membuatku segan terhadapnya.

"Hei! Bahar!" suara teguran mengagetkan kami berdua.

Untuk kedua kalinya aku terkejut, karena orang yang menegur Bahar ternyata laki-laki yang kujumpai di gubug mandi tadi! Hhh! Bisa gawat nih, pikirku. Tapi untungnya laki-laki itu bersikap wajar ketika melihatku. Seolah kami belum pernah bertemu sama sekali. Kulihat Bahar dengan antusias menyambut sapaan laki-laki itu.

Mereka lalu saling menanyakan kabar masing-masing dan kemudian terlibat dalam pembicaraan yang akrab. Aku agak was-was juga kalau-kalau pembicaraannya menyinggung aku. Sampai akhirnya Bahar memperkenalkanku pada laki-laki itu.

"Samuel. Panggil saja Sam.." jabatannya akrab.
"Sam, masak kau nggak kenal dengan Pak Harsoyo? Dia kan yang dulu pernah penelitian di daerah sini," Bahar mencoba mengingatkan temannya itu.
"O iya! saya baru ingat! Pantas, sepertinya saya sudah pernah lihat," kepura-puraan Samuel membuatku agak jengah. Kenapa ia harus bersandiwara seperti itu? Toh, seandainya Bahar tahu bahwa kami sudah saling kenalan, itu suatu hal yang wajar.

Tentu saja ia dan aku bermaksud menyembunyikan kejadian yang kami alami bersama tadi. Tapi seharusnya ia tak perlu menyembunyikan kenyataan bahwa kami berdua sudah saling ketemu. Pasti ada alasan kenapa ia takut perkenalan kami diketahui oleh Bahar. Jangan-jangan ia tahu aku dan Bahar punya hubungan khusus atau, justru ia sendiri yang punya hubungan khusus dengan Bahar?

"Makan, Sam," Bahar menawari.
"Terima kasih, aku sudah makan tadi. Sekarang aku musti ke laut. Ada proyek," katanya sambil siap-siap berdiri.

Sam lalu pamitan pada kami dan mimik wajahnya seolah mengisyaratkan padaku untuk tetap merahasiakan kejadian dengannya tadi pagi.

"Teman lama, 'Bang?" tanyaku begitu Sam berlalu ke arah bibir pantai.
"Ya. teman di kapal dulu," jawab Bahar sambil mengunyah.

Jawaban Bahar makin membuatku penasaran pada laki-laki bernama Samuel itu. Sepertinya ia punya hubungan tertentu dengan Bahar. Apalagi sebagai 'teman kapal'. Entah kenapa, aku kini kok jadi punya persepsi khusus dengan yang namanya orang kapal.

Rasa penasaranku akhirnya terjawab pada malam harinya.

Pekerjaan bersih-bersih dan beres-beres rumah sudah selesai semua. Malam ini kami bisa santai, ngobrol sambil nonton TV. Bahar berbaring santai di atas tikar berbantal tangannya sendiri. Dan aku tengkurap bersandar di dadanya.

"Kok tumben, manja sama saya?" kata Bahar meledek
"Emangnya harus manja sama siapa?" balasku
"Tauk!" jawabnya seenaknya.
"Sama Pak Gunawan?" gantian aku yang meledek.
"Tuh 'kan, diungkit lagi," kata Bahar sambil memencet pipiku dengan gemas.
"Jadi aku harus manja sama siapa dong?"
"Sama siapa saja, asal jangan Gunawan!" katanya dengan nada tertentu.
"Oke, kalau begitu, manja sama.. Siapa ya?" aku lalu pura-pura berpikir, "hmm.. O ya, kalau manja sama Samuel, boleh nggak?"

Bahar diam tak menjawab pancinganku. Ia malah mengusek-usek ujung hidungnya dan menarik nafas. Lalu dengan entengnya menjawab "Silakan, kalau mau sama dia." Silakan?
"Memangnya kenapa dengan dia?" aku penasaran. Seolah ada sesuatu di balik jawabannya tadi.

Akhirnya, setelah aku desak, Bahar bercerita bahwa Samuel adalah bekas narapidana (!) yang kini ditinggal pergi oleh istri dan anak-anaknya (Oo begitu, jadi bukan karena ia selingkuh, kataku dalam hati). Dia dipenjara karena dituduh terlibat dalam kasus percobaan pembunuhan yang sebenarnya menurut keterangannya merupakan upaya membela diri. Semua diawali dari keributan yang berakhir dengan pertengkaran. Waktu itu Sam dan temannya itu dalam keadaan mabok akibat minuman keras 'cap tikus', minuman berkadar alkohol tinggi khas Sulawesi Utara.

Sam sempat diganjar hukuman delapan belas bulan, dan baru keluar sekitar enam bulan yang lalu. Sejak itulah orang-orang menjadi antipati terhadapnya, termasuk keluarganya sendiri. Sekarang ia hidup sendiri dan bekerja secara serabutan. Kasihan, kataku dalam hati.

"Waktu terjadi peristiwa itu, ia masih kerja di kapal?" tanyaku
"Ya, tapi di kapal yang lain. Tadinya kita memang pernah satu kapal," jawab Bahar. "Ia sebenarnya orang yang baik, sayang sekali ia sulit menghilangkan kebiasannya bermabok-mabokan. Banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat kebiasaan buruknya itu. Dan itu pula yang membuat hubungan kami jadi renggang, apalagi setelah pindah kerja ke kapal yang berbeda.."
"Jadi, Abang pernah dekat dengan dia?"
"Dulu dia satu bilik dengan saya waktu di kapal yang pertama."
"Ooo..!!" tiba-tiba aku keceplosan mengomentari ucapan Bahar dengan nada tinggi. Kentara sekali kalau suaraku bernada seolah-olah aku punya kesimpulan bahwa ada sesuatu antara Bahar dan Samuel.
"Kenapa? kok 'Ooo.. '?" Bahar menatapku tajam, tapi sesaat kemudian senyumnya mengembang."Mas curiga ya?"
"Kan, Abang dulu pernah cerita kalau..," kalimatku terpotong karena tiba-tiba Bahar menyekap kepalaku ke arah dadanya sampai aku gelagapan.

Rupanya ia kheki, karena jawabannya tadi justru malah mengingatkanku pada ceritanya tentang kehidupan para lelaki di kapal (baca 'oase' seri-1). Dan kini misteri Samuel rasanya hampir terjawab.

"Ternyata masih ingat cerita di 'oase' dulu ya.." kata Bahar, "Kapan dong kita ke sana lagi?" ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sudah deh 'Bang, jangan ngelantur, ada kejadian apa sih antara Abang sama Sam?" desakku.
Yang kutanya malah garuk-garuk kepala, lalu, "Ya, begitulah..," akhirnya ia menjawab dengan nada segan.
"Begitu gimana? Cerita dong.." desakku lagi sambil mengelus-elus bahunya, berusaha membujuk.
"Nanti cemburu.." ledeknya. Aku menggeleng, meskipun agak ragu.

Bahar lalu beranjak duduk dan siap-siap untuk bercerita. Sementara aku tetap berbaring miring di depannya, siap-siap untuk menyimak cerita yang sejak tadi siang bikin aku penasaran.

Kejadiannya sudah cukup lama. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Itu adalah pertama kali Bahar kerja di sebuah kapal, dan langsung akrab dengan Samuel yang lebih senior. Mereka ditempatkan pada bilik yang sama. Tadinya mereka tak pernah menduga akan terjadi 'hal-hal yang diinginkan' di antara mereka. Sampai akhirnya karena terdesak oleh situasi dan kondisi kapal yang serba darurat, lambat laun mereka terbawa juga dengan sisi lain kehidupan orang kapal, termasuk dalam memenuhi kebutuhan biologis! Maklum, karena tak ada satu pun wanita di sana, semua lelaki. 'Batangan' semua!

Awal mulanya adalah dari bilik mereka. Yang namanya laki-laki, biasanya kalau tidur seenaknya saja. Cuma pakai celana dalam atau bahkan telanjang sama sekali. Demikian pula yang kadang-kadang dilakukan oleh Bahar maupun Sam. Dan itu sebenarnya bukan masalah bagi mereka, karena mereka tidur pada ranjang yang terpisah. Sampai suatu saat mereka akhirnya saling mengaku bahwa sebenarnya mereka masing-masing pernah memergoki secara diam-diam ketika salah satu dari mereka sedang melakukan onani menjelang tidur. Sejak itulah mereka menjadi terbuka satu sama lain, termasuk dalam urusan seks.

Sam punya beberapa koleksi gambar porno warisan temannya, yang menggambarkan adegan panas laki-perempuan dalam berbagai gaya dan posisi. Barang itulah yang seringkali menemaninya ber'swalayan'. Tak jarang Bahar juga meminjam untuk tujuan yang sama. Bahkan kadang-kadang mereka melakukannya bersama bila kebetulan sedang sama-sama 'naik darah'. Dan akhirnya hal itu berkembang menjadi sebuah 'kerja sama yang baik' untuk saling membantu dalam menyalurkan hasrat seksual mereka.

Kejadian yang paling jauh yang pernah mereka lakukan adalah sebatas saling menggesekkan 'barang' mereka sampai ejakulasi. Ini kadang-kadang mereka lakukan sambil berdiri atau berbaring di ranjang. Tapi yang jelas, hal itu selalu mereka lakukan di dalam bilik, karena pada saat sedang 'main-main' itu, biasanya mereka lakukan dalam keadaan sama-sama telanjang. Sedangkan untuk onani, prinsipnya bisa mereka lakukan di mana saja, asal tempatnya aman. Mereka bisa melakukannya di kamar kecil, di haluan kapal (bila kebetulan sedang mendapat tugas jaga bareng), atau di sudut kapal lainnya yang cukup aman untuk ber-onani ria.

Sekilas aku terbayang adegan waktu Sam bermasturbasi di gubug 'derita' tadi pagi. Tiba-tiba ada sedikit rasa khawatir kalau-kalau kejadian di gubug itu sampai ke telinga Bahar. Tapi kalau melihat sikap Sam tadi siang, sepertinya ia ingin merahasiakan peristiwa itu dan juga menginginkan aku untuk bersikap begitu. Barangkali ada sesuatu yang ditakuti Sam apabila kejadian denganku diketahui oleh Bahar. Aku tak tahu dan tak mau tahu tentang hal itu. Bagiku, yang lebih penting adalah menjaga rahasia peristiwa 'gubug derita' itu.

Bahar masih menjelaskan panjang lebar kejadian-kejadian yang ia alami bersama Sam. Tapi kebanyakan acara 'main-main' mereka lakukan kalau memang sedang sama-sama naik birahinya. Di luar itu, hubungan mereka wajar-wajar saja. Karena pada dasarnya, Bahar dan Sam memang tidak pernah saling tertarik secara seksual. Kondisilah yang memaksa mereka berbuat itu semua. Jadi kalau berada di luar bilik, mereka bersikap biasa-biasa saja. Padahal sebenarnya banyak sekali kesempatan dan tempat, kalau mereka mau berbuat apa saja, sebagaimana dilakukan oleh beberapa rekan mereka di kapal.

"Lalu, perasaan Abang terhadap Sam gimana?" tanyaku
"Biasa saja. Sekarang apalagi! Mas tahu sendiri kan, Sam bukan type saya..,"

Sebenarnya banyak kebiasaan-kebiasaan orang di kapal itu yang memungkinkan terjadinya kontak seksual di antara komunitasnya, termasuk Bahar dan Sam. Bayangkan, mereka biasa mandi rame-rame di laut. Dan sebagian besar dari mereka biasanya mandi dengan bertelanjang bulat. Kemudian sehari-harinya mereka juga berpenampilan seenaknya. Bertelanjang dada dan hanya bercelana pendek atau sarungan saja. Bahkan tidak sedikit pula yang hanya bercelana dalam saja ketika melakukan aktivitas sehari-hari. Sebenarnya Sam dan Bahar pun termasuk yang melakukan kebiasaan-kebiasaan itu. Tapi memang dasarnya mereka tidak punya niatan yang 'jauh', maka di antara mereka berdua tidak pernah terjadi hal-hal aneh pada saat-saat seperti itu.

Ada sebuah kekonyolan yang diceritakan Bahar. Di antara rekan mereka ada yang sesekali tanpa malu-malu mempertontonkan kemaluannya sendiri bila sedang tegang karena datang birahinya. Lalu orang itu berkeliling kapal sambil berteriak-teriak 'Isep! isep! isep!, kocok! kocok! kocok!' seolah menawarkan miliknya untuk diisap atau dikocok. Yang lain biasanya hanya menanggapinya dengan tertawa-tawa atau gelengan kepala melihat kegilaan itu.

"Oral seks? Ciuman? Tidak pernah sama sekali!"

Bahar menjawab dengan tegas pertanyaan yang kuajukan apakah ia pernah melakukan itu dengan Sam. Seolah-olah ia jijik melakukan hal itu.

"Kenapa?"
"Waktu itu saya 'kan belum kenal begituan, Mas. Jadi nggak pernah kepikiran berciuman dengan sesama laki-laki, apalagi oral seks. Si Sam apalagi. Ia benci dengan kelakuan beberapa rekan di kapal yang kadang-kadang agak bebas dan terbuka dalam hal begituan."

(Pada kesempatan yang berbeda, Bahar mengungkapkan bahwa ketika pertama kali bekerja di kapal itu, ia memang 'terpaksa' melakukan hubungan semacam itu karena kondisi yang mendesak. Tapi ketika ia pindah kerja ke kapal yang lain yang lebih besar-dan berpisah dengan Sam-secara perlahan Bahar mulai terbiasa dan bisa menikmati hubungan semacam itu, bahkan ia melakukannya sampai jauh. Apalagi setelah ketemu dengan si Portugis. Silakan baca 'oase' sebelumnya).

Jam dinding berdentang delapan kali. Tapi Bahar masih asyik bercerita tentang teman-temannya di kapal. Dan terus terang aku semakin tertarik dengan pengalaman-pengalamannya itu. Di luar kisah-kisahnya dengan Sam, ternyata banyak terungkap tentang hal-hal sepele yang diceritakan Bahar, tetapi cukup 'menyengat'.

"Selain dengan Sam, Abang pernah dengan yang lain?" tanyaku. Ia menggeleng. Dan aku percaya saja.
"Jangankan ngajak main, bercanda sama kami saja mereka pikir-pikir," kata Bahar kemudian.

Ia lalu bercerita bahwa ada satu dua teman mereka di kapal yang kadang-kadang bercandanya kelewat batas. Guyonan-guyonan mereka biasanya kasar, porno dan cenderung jorok. Bahkan kadang-kadang ada yang sampai betot-betotan 'burung' atau main pelorot-pelorotan celana, lalu melemparkannya ke laut. Di lain waktu bila kebetulan ada salah seorang ketahuan sedang 'tegang'-entah karena sedang naik libidonya atau terangsang oleh sesuatu-maka ada saja temannya yang usil meremas miliknya sampai yang punya berteriak-teriak. Bahkan kadang-kadang ada yang lebih usil memelorotkan celana orang itu sehingga siapapun yang ada di sekitar situ bisa melihat dengan jelas kondisi kemaluan orang yang sedang tegang itu.

Sam dan Bahar termasuk yang tidak pernah mendapat perlakuan usil seperti itu. Karena mereka termasuk 'berwibawa' di mata rekan-rekan lainnya dan dianggap bukan bagian dari orang-orang yang 'sakit'.

"Ooo.. Jadi, dulu Abang belum 'sakit'?" aku menggodanya

Ia tersenyum."Kan yang bikin 'sakit' Mas Har!" sahutnya becanda. Ditinjunya bahuku, lalu direngkuhnya dan diajaknya aku untuk berbaring kembali di tikar. Bahar lalu membisikiku kata-kata rayuan dan 'meralat' ucapannya bahwa bukan aku yang menyebabkannya 'sakit', tapi akulah laki-laki pertama yang membuatnya bisa 'jatuh hati' bukan semata-mata karena nafsu.

Sebenarnya aku sudah tahu dan bisa merasakan itu semua sejak awal. Bahar mungkin memang tak sepenuhnya 'sakit'. Tapi mungkin ia punya sedikit 'bakat' untuk itu, dan kemungkinan yang paling besar adalah Bahar seorang biseks (tapi aku tak pernah menyinggung hal itu dan tak pernah memasalahkan itu).

"Kalau 'sakit', memangnya kenapa?" tanya Bahar menanggapi pertanyaanku tadi.

Kupeluk tubuhnya yang kini kembali berbaring telentang berbantal tangannya sendiri.

"Kalau sakit, mau diobati nggak?" aku balik bertanya.
"Tergantung.."
"Tergantung sama yang menggantung, ya?" aku mencoba meneruskan kalimatnya sambil ketawa.
"Bukan..," sahutnya datar, menyalahkan jawabanku.
"Lalu, tergantung sama apa dong?"
"Tergantung sakitnya apa."
"Lha, Abang sedang sakit apa?" aku tak mau kalah.

Dia lalu menunjuk ke bibirnya sambil tersenyum. Semula aku nggak 'ngeh'. Tapi kemudian-hmm-aku tanggap dengan maksudnya.

Maka, akupun lalu mencoba 'mengobatinya' dengan sebuah ciuman. Cuma sebentar lalu kulepas lagi. Tapi ia mau terus dilanjutkan, ".. Belum sembuh..," katanya manja. Tapi kupenuhi juga permintaannya.
"Terus, sakit apa lagi?" kataku sambil masih menciumi bibirnya.

Kini tangannya menunjuk ke arah bawah tubuhnya.

"Sakit perut?" aku pura-pura bodoh, sambil kupegang perutnya. Ia menggeleng.
"Apanya yang sakit? jempol kaki?" tanyaku lagi.
"Bukan..," kali ini ia merengek persis anak kecil.
"Itu tuh yang sakit..," dan kulihat ia mengangkat-angkat pinggulnya ke atas, sehingga tampak tonjolan di bagian depan celananya.

Kupegang bagian yang kini tampak membesar itu, dan kuremas-remas.

"Bengkak ya? Aduh kasihaan..," kataku sambil terus meremas bagian itu. Ia mengangguk dengan sorot mata dibuat memelas.
"Mau diobati?" tanyaku lagi.
"He' eh.."
"Sudah berapa lama sakitnya?" balasku bergaya seorang dokter
"Ada sekitar setengah jam yang lalu, Pak Dokter..," ia mulai merespon candaku
"Coba dibuka celananya. Biar Bapak periksa, ya."

Tangannya lalu mulai melepas kancing celananya dan menarik resletingnya ke bawah, membuka dan berusaha mengeluarkan isinya. Seperti biasanya, ia tak memakai celana dalam. Sehingga dengan mudah aku langsung bisa menggenggamnya.

"O, ini sih bukan sakit. Jadi nggak perlu diobati," kataku enteng sambil berusaha menutup kembali celananya. Tapi ia kembali merengek dan menahan lenganku.

"Coba Pak Dokter periksa bagian bawahnya..," katanya sambil mengarahkan tanganku ke kantong pelirnya. Dan segera kulanjutkan dengan sebuah remasan di sana. Ia mengerang.
"Sakit?" tanyaku
Ia menggeleng. "Enak, Pak Dokter..," sahutnya sambil meringis. Huh! Manja sekali pasien ini!
"Kalau begitu, coba buka semua pakaiannya.." kataku

Akhirnya, kami pun main 'dokter-dokteran' (maksudnya bergantian menjadi dokter). Karena ternyata aku juga ketularan 'penyakitnya'. Sehingga kami harus saling 'mengobati' dengan obat yang sesuai dengan bagian yang 'sakit'.

Tubuh kami kini sudah sepenuhnya polos telanjang. Sebenarnya, bergelut di atas tikar bukanlah sesuatu yang nyaman untuk dinikmati. Tapi malam ini adalah malam pertama kami bermain cinta sejak kedatangan kami ke Sangir empat hari yang lalu. Dan rasanya tak ada lagi hal yang mampu menghalangi kami untuk menyalurkan hasrat yang sudah menggelegak ini. Rasanya kami akan kehilangan sebagian waktu bila harus beranjak ke kamar tidur. Maka, berlangsunglah semuanya secara apa adanya di atas tikar yang terhampar di depan pesawat televisi yang kini tengah menayangkan acara 'Dari Desa ke Desa'. Sementara permainan dokter-dokteran kami sudah mencapai episode"Dari ujung rambut hingga ujung kaki, dari rambut atas hingga rambut bawah". Dan karena tampaknya seluruh tubuh kami sedang dilanda 'penyakit', maka kami harus saling melakukan 'pemeriksaan' secara merata.

Berbagai macam 'obat' ia minta dan aku mencoba memberikan semua 'resep' yang aku punya, demikian sebaliknya. Mulai dari resep obat 'isap' atau obat yang harus 'dikocok lebih dahulu sebelum digunakan', dan resep-resep lainnya yang biasa-biasa saja, sampai yang luar biasa.

Pasien yang satu ini mengerang ketika kuberikan resep 'obat isap' di bagian tubuhnya yang sedang meradang. Dan tekanan tangannya pada kepalaku seolah menyuruhku untuk memberinya dosis yang berlebih. Kuberi lebih. Ia minta lebih lagi. Kuberi lagi. Lagi dan lagi. Mulutku sampai pegal. Entah bagaimana lagi aku bisa menyembuhkannya..

Akhirnya, ia malah memberiku contoh bagaimana cara mengobati yang baik.

"Harus dikocok lebih dahulu sebelum digunakan..," katanya tersenyum sambil berbalik dan meraih penisku lalu mengocok-ngocoknya sebelum melumatnya dengan penuh nafsu.

Gantian aku yang kini mengerang kenikmatan. Beberapa kali kakiku sempat bergetar karena isapan kuat yang ia lakukan. Tampaknya resep yang ia berikan cukup manjur. Kurasakan desiran halus mulai mendera-dera di sekujur kantung zakarku yang kini tergencet oleh dagunya yang berewokan. Rasa geli makin bertambah ketika ia dengan sengaja menggesek-gesekan dagu itu di kedua bola kecil milikku sambil mulutnya terus mengenyot-ngenyot.

Tapi pengobatannya ternyata tak berhenti sampai di situ. Pelan-pelan tanpa kusadari, ia mulai melakukan terapi 'tusuk jari' di celah bawah tubuhku! Membuatku makin kegelian dan menggelinjang-gelinjang tak karuan.

Aku mulai mengeluh tak kuasa lagi menahan keinginan."Baanghh.. Please..," berkali-kali kudesahkan kata-kata itu. Memintanya untuk bertindak lebih jauh. Rasa 'sakit'ku makin tak tertahankan saja. Ingin rasanya segera di'sembuh'kan.

Dan semuanya akhirnya mencapai penuntasannya ketika ia memberiku resep obat yang paling manjur: sebuah 'suntikan' dengan satu-satunya alat suntik yang ia punya. Alat suntik yang besar, pejal dan penuh urat di sekujur batangnya. Entah sudah berapa puluh kali ia melakukan tusukan, ketika isinya akhirnya memancar dengan deras membanjiri sela-sela pahaku.

Begitulah, aku yang semula adalah 'sang dokter' akhirnya disembuhkan oleh pasienku sendiri. Dan malam itu kami bergantian melakukannya sampai '3X sehari 1 tablet'. Barulah kemudian kami benar-benar sembuh dari rasa 'sakit' yang sudah berkepanjangan selama empat hari terkahir ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.