Rabu, 02 November 2011

Oase Laut Utara 04: Bad News But Love

Tak selalu sebuah janji mendapat pemenuhannya. Pun tak setiap pemenuhan akan sesuai dengan pengharapannya.

Aku tak tahu harus bersikap bagaimana ketika pagi itu seorang rekan kerja Bahar datang mengantarkan sebuah surat dari sebuah perusahaan galangan kapal.

Galangan kapal? Sejak kapan di daerah Sangir ada galangan kapal?

Ternyata memang bukan dari daerah setempat. Pesan itu datang dari Surabaya! Sebuah amplop berwarna coklat. Aku kebetulan yang menerimanya, karena sampai jam 8 pagi ini Bahar masih tergolek pulas di tempat tidur. Semalam kami memang terlalu lelah dan sepakat untuk tidak menuntaskan segalanya malam itu. Masih ada kesempatan lain, kata Bahar kepadaku.

Tapi dengan adanya kejadian pagi ini? Aku agak kelu juga ketika menerima surat itu. Kepada kurirnya aku cuma sempat berbasa-basi singkat saja. Selanjutnya aku lebih banyak diam.

Tapi diamku bukan tanpa reaksi apapun. Dadaku yang bergemuruh rasanya sudah lebih dari sebuah reaksi. Perasaanku mengatakan ada sesuatu di balik amplop coklat itu. Mungkin sebuah pesan yang 'resiko'nya harus kutanggung.

Secara pasti aku memang belum tahu isi pesan itu. Tapi sepertinya sebuah panggilan proyek. Kalau tak salah Bahar pernah sedikit menyinggung tentang hal itu. Dan bila memang benar, itu artinya Bahar harus berpisah untuk sementara waktu denganku. Bisa sebulan atau dua bulan. Atau, jangan-jangan setahun? atau lebih dari itu? Inilah kenyataan yang belum bisa kuterima dan masalah ini belum pernah kami bicarakan bersama.

Amplop coklat itu masih di tanganku. Bagaimanapun aku tak berhak membukanya meskipun rasa penasaranku akan isi pesan itu sekuat harapanku agar apa yang kutakutkan tak terjadi.

Kuletakkan amplop di meja kecil dekat ranjang. Bahar tampak masih pulas. Dia tidur-seperti biasanya-dengan tubuh telanjang, hanya tertutup selimut. Dengkurannya halus. Seperti kucing. Tapi bagiku dia adalah kucing besar. Bahkan bila keliarannya muncul, lebih mirip singa jantan. O, Bahar. Aku menghela nafas menyadari lamunanku sendiri. Bangunlah Bahar, bisikku dalam pikiran yang masih dipenuhi rasa kepenasaran. Bangunlah dan buka amplop itu. Bacalah dan katakan bahwa itu bukan apa-apa. Bukan sebuah panggilan job atau proyek, atau apapun yang bisa menjauhkan jarak kita..

Seperti mendengar apa yang kupikirkan, tiba-tiba Bahar mendesah dalam tidurnya. Tubuhnya sedikit menggeliat dan berganti posisi tengkurap membelakangiku. Lalu dengkurnya kembali terdengar. Nyenyak sekali tidurnya si bayi besar ini. Kasihan kalau harus kubangunkan.

Aku hanya bisa memandangi garis punggungnya yang liat. Kulitnya tebal dan agak gelap, namun tampak bersih dan segar. Ada beberapa bekas guratan di situ. Mungkin bekas luka ketika mengangkut muatan kapal atau barangkali luka bekas cakaran atau tancapan kuku ketika bercinta. Memang, tak jarang aku yang melakukannya. Tapi goresan itu bisa diakibatkan oleh apa saja, dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Siapa saja?

Tiba-tiba rasa cemburu menyergapku. Bagaimana kalau dia jauh dariku dan berbagi cinta dengan orang lain. Siapapun orangnya, nggak laki nggak perempuan, pasti jatuh simpati dengan laki-laki yang ganteng ini. Karena dia tak cuma tampan, tapi juga baik dan.. Ah! kenapa aku jadi punya pikiran yang tidak-tidak dan egois seperti ini. Bukankah saat ini lebih penting membangunkan dan memberitahu dia tentang surat itu yang barangkali berisi berita yang selama ini jadi impiannya. Kenapa aku musti cemburu? Lagi pula selama ini hubungan kami tidak lagi hanya sekedar saling berbagi. Tapi sudah saling mempercayai. Lagi pula aku kan belum tahu isi surat itu. Lantas, kenapa jadi senewen begini?

"Bang.." spontan aku berbisik agak keras sambil mengusap dan meraba-raba punggungnya.

Terdengar lenguhannya. Sejenak kemudian tubuhnya berbalik telentang. Menggeliat. Kedua tangannya terentang. Dadanya yang bidang berbulu nampak mengembang lebar. Ujung selimut agak ketarik ke bawah sehingga bagian pusarnya menjadi terbuka menampakkan rimbunnya bulu-bulu yang tumbuh di sekitar perutnya.

Tapi mata Bahar masih tertutup dan dari mulutnya hanya keluar guMaman tak jelas.

"Bangun Bang, sudah siang" kataku agak kaku. Tercekat.
"Hmmhh.." gumamnya sambil memicingkan mata melihatku.

Aku mencoba tersenyum. Dia malah meringis. Kumisnya bergerak-gerak lucu. Kemudian terdengar hidungnya menarik nafas panjang, lalu mulutnya menguap lebar-lebar. Dasar!

Belum sempat aku bicara lagi, Bahar telah menarikku ke ranjang dan mendekapku dalam pelukannya. Diciumnya pipiku dalam-dalam. Lalu memelukku lagi. Tubuh telanjangnya yang sebagian tertutup selimut itu terasa hangat mendekapku. Di bagian bawah bisa kurasakan ada bagian tubuhnya yang terasa menonjol kenyal. Biasa, tanda alami bagi laki-laki kalau habis bangun tidur.

"I.. Love.. You.." bisiknya di telingaku seperti orang sedang mengeja. Kumis dan cukuran jenggotnya menggelitik, membuatku kegelian. Tapi Bahar malah terus merangsek dan lalu mulai menciumi leherku. Sial!, aku terangsang.

Memang menggairahkan sebenarnya kalau bercinta di pagi hari sehabis bangun tidur seperti ini. Tapi rasanya aku tak siap. Ada hal lain yang lebih menuntutku.

"Bangh.. Hhh.. Bang.." kataku mencoba menghentikan serangannya. Tapi tampaknya ia tak mau peduli. Bahkan kaosku sudah ditariknya ke atas. Dan kini mulutnya mulai sibuk menelusuri bidang dadaku dan melumati putingnya. Mau tak mau aku menghentikan penolakanku sejenak untuk menikmati kelakuannya yang kadang-kadang kayak anak kecil itu. Namun aku tetap tak bisa konsentrasi, apalagi membalas rangsangannya.

"Mas.." akhirnya keluar suaranya dan mulutnya lepas dari putingku begitu melihat reaksiku yang tak seperti biasanya. Aku menghela nafas dan menatapnya. Wajahnya mengekspresikan pertanyaan kepadaku. Kepalanya bergerak-gerak lucu ke kiri dan ke kanan, seolah menimbang-nimbang apa yang tengah menjadi pikiranku. Konyol juga nih orang.

"Bang," kataku agak tegas, "Tuh, barusan ada surat dari temanmu. Katanya surat dari galangan kapal.." Uh, lega rasanya bisa mengatakan semua hal yang dari tadi jadi 'ganjalan' itu.

Alis mata Bahar sejenak berkerenyit. Lalu pandangannya mengikuti telunjukku yang mengarah ke amplop coklat di atas meja. Ia segera keluar dari selimut, bangkit dari ranjang dan tak mempedulikan bahwa tubuhnya dalam keadaan telanjang tanpa penutup apapun. Disambarnya surat itu lalu dirobek bagian tepinya. Sambil berdiri di samping meja dibacanya segera isi surat. Wajahnya tampak tegang tapi juga penuh harap. Aku tetap berbaring diam di ranjang. Menunggu.

Tiba-tiba ia berteriak kegirangan sambil tangannya terangkat ke atas sehingga di mataku kini tampak sebuah pemandangan: tubuh telanjang seorang laki-laki, kekar penuh bulu, dengan tangan terangkat ke atas dan kepala mendongak kegirangan. Sangat bagus dan sexy memang. Namun aku belum bisa menikmatinya. Aku masih penasaran dengan isi surat itu.

Tubuh bugilnya itu lalu melompat ke tempat tidur dan kembali menindihku. Diciumnya bibirku lumat-lumat sampai aku agak gelagapan. Pelukannya erat sekali sampai aku terengah-engah.

"Mas, aku jadi dipanggil proyek kapal itu!" katanya setengah berteriak senang.

Tuh! Benar kan, batinku. Tapi di mana?

"Di Surabaya Mas!" lanjutnya segera, seolah tahu apa yang baru saja kupikirkan.

Oh my God!, oh my God! aku langsung menyeringai dan menoleh ke jendela, ke arah luar. Ada yang tertahan di tenggorokanku. Bahar sejenak diam begitu menyadari reaksiku. Beberapa saat kami saling terdiam. Aku masih memandang keluar jendela. Kurasakan mukaku kecut.

Tiba-tiba tangannya memegang kedua bahuku. Tapi kami masih tetap saling diam. Lalu dipegangnya daguku dan dipalingkannya wajahku menghadapnya. Kuturuti gerakan tangannya, tapi wajahku menunduk menghindari tatapannya.

"Mas Harso.." katanya lirih.

Wah, mulai nih, kalau dia sudah menyebut namaku dengan lengkap, biasanya sudah mulai serius.

"Mas Har.. Kecewa.. Dengan berita ini ya?" lanjutnya tersendat.

Aku masih diam menunduk. Tangannya lalu mengangkat daguku. Aku tetap diam. Dipandangnya wajahku lama-lama. Rasanya jengah juga diamati seperti itu. Aku lalu berusaha melepas tangannya dari daguku. Namun dengan sigap Bahar menahannya dan malah mencium bibirku. Mesra. Ah!

Emosiku runtuh. Beginilah biasanya cara Bahar menaklukkan kekerasan hatiku. Hanya kali ini ciumannya benar-benar romantis dibandingkan biasanya. Beberapa kali bibirnya sengaja mempermainkan kumisku. Kemudian turun lagi untuk mengecup bibirku. Lalu melumatnya dalam-dalam. Dan aku pun tak tahan lagi. Kubalas ciumannya. Kurangkul. Kudekap. Tapi aku tak kuasa menahan emosiku lagi. Mataku basah. Dan Bahar tahu itu, meski tangisku tak bersuara. Didekapnya tubuhku lebih erat. Dan ketika kutatap wajahnya, kulihat matanya tampak memerah dan ada genangan air yang membasah di sana.

Cukup lama kami berpelukan seperti itu. Bagian atas tubuhku yang sudah tak berkaos itu basah berkeringat. Berkali-kali tangannya mengusap-usap punggungku seolah mencoba mengeringkan butir keringat yang ada di sana. Tapi usapan itu lebih terasa sebagai upaya menenangkan perasaanku.

"Mas Harso.." katanya kemudian, "Aku.. Tak akan berangkat kalau Mas menginginkan aku untuk tak berangkat".

Aku agak kaget dengan pernyataannya itu. Membuatku makin bingung dan bimbang. Tapi spontan kugelengkan kepalaku tanda tidak sependapat dengan apa yang ia katakan barusan. Untuk beberapa saat kami sempat berdebat. Seperti biasanya emosiku hampir tak tertahankan. Dan seperti biasanya juga, Bahar menanggapinya dengan kepala dingin.

Demikianlah, pagi itu kami berusaha untuk saling menenggang perasaan masing-masing. Ada putusan yang harus diambil dengan segala dilema yang harus kami hadapi. Namun ada satu hal yang membuatku akhirnya benar-benar ikhlas melepas Bahar ke Surabaya. Kontrak proyek itu ternyata 'hanya' dua bulan saja. Dan baru minggu depan jadual keberangkatannya. Berarti kami masih mempunyai waktu dua hari lagi, sebelum berpisah-meski perpisahan itu untuk sementara waktu saja.

"Aku mandi dulu ya" katanya setelah perdebatan agak mereda. Sambil melenggang menuju kamar mandi, ekor matanya sempat melirikku nakal. Lalu cara jalannya dibuat-buat sesexy mungkin. Menggodaku. Huh! Awas kau!

Sebenarnya aku masih agak masyangul dengan kejadian pagi ini. Tapi setelah berdebat dan berunding tadi, rasanya tak ada yang perlu diributkan lagi. Bagaimana pun ini harus dihadapi sebagai dinamika dalam hubungan kami. Jadi jalani saja. Tak usah terlalu menjadi beban. Nikmati saja dan 'take it easy'.

Apalagi di depan kamar mandi Bahar malah senyum-senyum dan terus melenggang-lenggang memperlihatkan bongkahan pantatnya yang padat. Kelakuannya yang konyol itu membuatku jadi 'sadar' dari kegalauan dan malah tergoda untuk segera menyusulnya ke kamar mandi. Padahal tadi pagi aku sudah mandi bahkan sudah keramas segala.

Kulucuti sisa pakaianku sambil berjalan menyusul Bahar yang telah menyelinap masuk ke kamar mandi. Dan ketika sampai di ambang pintu ruang mandi, di luar dugaanku, Bahar ternyata telah menghadang dan langsung menyergap tubuhku yang sudah bugil itu! Aku kaget setengah mati dan menyumpah-nyumpah. Tapi dia malah tertawa ngakak.

Dengan gerakan yang gesit, dicengkeramnya pinggulku lalu dibopongnya tubuhku untuk didudukkan di pinggiran bak mandi. Kakiku secara reflek langsung merangkul menjepit pinggulnya. Bibir kami lalu saling berpagut liar..

Lupalah segala galangan kapal, segala Surabaya, segala proyek dan segala-galanya..

"Mas Har.." di sela-sela ciumannya, Bahar mencoba ngajak ngobrol.
"Hmmh..?" balasku dengan bibir berusaha untuk tetap saling menempel.
"Jangan.. Nakal.. Ya" jawabnya sambil mempermainkan lidahnya di atas lidahku.
"Hmmh?" bibirku tetap berusaha memagut.
"Jangan nakal selama kutinggal" jelas Bahar sambil melepas bibirnya dan kemudian menarik lehernya tegak ke belakang.

Lalu diusap-usapnya kumisku. Dipandangnya wajahku dengan mata redup.

"Dengan wajah seganteng ini, siapa sih yang tak tertarik?" kata Bahar kemudian.

Tangannya lalu turun memegang kedua bahu dan otot lengan atasku,

"Dengan tubuh sekekar ini, siapa yang tak tergoda?" lanjutnya.

Aku diam saja menanggapi komentarnya yang memang sudah sering kudengar itu. Kedua tangannya lalu turun ke pinggang, kemudian ke pinggul, lalu ke bongkahan pantatku, dan...

"Dengan bokong sepadat ini.. Dan.." lanjutnya sambil tangannya terus merayap ke depan melewati lipatan pahaku, kemudian berhenti menggenggam benda bulat panjang milikku yang sudah tegang membesar. Dan..

"Dengan pistol segede ini.." katanya sambil meremas gemas, ".. Aku tak rela kalau semua ini menjadi milik orang lain.."

Sambil berkata begitu, mata Bahar terus menatapku, serius. Mata dan alis mata itu laksana burung elang. Tajam dan menusuk. Aku sampai menelan ludah membalas tatapannya.

"Hmm.." kataku kemudian sambil menghela nafas, "Apakah Abang juga bisa menjaga 'ini' agar tidak bandel?" balasku sambil meremas miliknya yang ukurannya juga sudah membesar.

"Siapa yang mau dengan barang seram begini" katanya sambil menyentakkan pantatnya ke depan sehingga batang kemaluannya ikut maju dan hampir terbetot keluar dari genggamanku.

"Justru yang seperti ini yang dicari orang" kataku makin gemas, "Awas kalau dipakai macem-macem!"
"Terus bagaimana caranya supaya tak bandel?" logat Sangirnya mulai keluar.
"Ditinggal saja di sini" kataku sambil menahan tawa.
"Boleh!, tapi.. Bagaimana caranya?" balasnya tak mau kalah.
"Caranya.., simpan saja di sini.." kataku sambil menarik kantung zakarku ke atas sehingga tampak celah kecil di tengah-tengah dua bukit pantatku.

Muka Bahar langsung berubah merah. Beberapa kali kudengar ia menghela nafas. Hidungnya pun mulai memperdengarkan suara dengusan. Bagai banteng yang siap bertarung. Rupanya aku sudah membangunkan hasrat si banteng.

Bibirnya kemudian menyungging senyum dan kepalanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Rupanya guyonanku telah menyadarkannya bahwa semalam dia masih punya hutang padaku. Dan siang ini aku ingin semua hutangnya dibayar tuntas!

Posisiku masih duduk di pinggiran bak mandi, setinggi pinggul Bahar yang juga masih berdiri mengangkang di antara kedua gempal pahaku.

"Bagaimana?" kataku mencoba memecah kebisuan.

Bahar rupanya sudah tak mau berbasa-basi lagi. Dengan sigap, diangkatnya kedua pahaku ke atas melewati kedua bahunya, sehingga selangkanganku kini terpentang lebar dan punggungku rebah menggantung hampir menyentuh permukaan air di bak mandi. Aku agak kewalahan dan dengan kedua siku tanganku aku mencoba bertumpu pada tepian sudut yang lain.

Sejenak kemudian mulai kurasakan lembutnya busa sabun yang dioleskan ke seluruh daerah di bawah kantung pelirku. Rupanya Bahar mencoba membasuh daerah itu dan sekaligus ingin merangsangku dengan menggunakan sabun mandi. Makin lama busanya makin banyak dan meleleh, menetes-netes ke lantai kamar mandi. Suara tetesannya berpacu dengan suara desahan kami berdua.

Diperlakukan seperti itu, ingatanku langsung melayang pada kisah yang pernah diceritakan Bahar. Tampaknya dia ingin mengulang pengalamannya ketika pertama kali mengenal anal seks dengan seorang pelaut Portugis (Baca 'Oase' sebelumnya). Hanya kali ini, akulah sebagai si pelaku pengalaman pertama itu sedangkan dia gantian bertindak sebagai 'si Portugis'.

Bagaimana detail ceritanya antara Bahar dan Portugis, aku lupa. Namun usapan jari-jarinya seperti memandu kembali ingatanku. Dimulai ketika jari tengahnya mulai menelusup, keluar masuk memperlonggar jalan yang akan mengantarnya ke kenikmatan tak berujung. Kemudian telapak tangan yang lainnya kurasakan terus sibuk mengusapkan busa sabun ke daerah selangkanganku, lalu bergerak naik ke kedua bola adam milikku dan berakhir di sekujur batang pejalku yang kini sudah sangat keras. Gerakannya kemudian turun lagi ke bawah, mengusap lagi ke atas, mengurut, memijat demikian seterusnya. Aku benar-benar terangsang hingga badanku beberapa kali bergidik cukup keras.

Tiba-tiba rasa segar mengguyurku ketika Bahar menuangkan air untuk membasuh seluruh busa sabun di bagian bawah sana. Tampaknya bagian tubuhku yang sensitif itu sudah dianggap 'siap pakai' olehnya. Kuamati dia mengatur kembali posisi pahaku dan mulai mengambil posisi ancang-ancang. Ia tampak membungkuk dan tubuhnya pelan-pelan bergeser ke bawah. Aku siap menerima tusukannya..

Semula kupikir Bahar akan segera memulai permainan yang sebenarnya. Ternyata tidak. Karena kepalanya malah dibenamkan di antara kedua pahaku yang kini sudah bersih itu. Lidah dan bibirnya menjalar kian kemari dengan liarnya, untuk akhirnya terkonsentrasi bermain-main di sekitar celah pantatku. Segera saja rasa geli dan nikmat menyergapku di bawah sana dan berujung pada teriakan kecil di mulutku.

Kenikmatan seperti inilah rupanya yang pernah dialami Bahar ketika dipaksa oleh si Portugis dulu. Rasa nikmat terus menyerangku setiap kali syaraf yang lembut dan sensitif di daerah itu bertemu dengan lidah Bahar yang tebal, hangat dan basah. Apalagi Bahar tak pernah mau hanya berbuat apa adanya. Selalu memperlakukan aku lebih dari yang aku inginkan.

Beberapa kali tubuhku menggelinjang kenikmatan dan hampir terjatuh ke bak mandi. Namun tangan Bahar selalu saja sigap menahanku tanpa mengganggu keasyikannya bermain lidah di bawah sana.

"Bangghh.. Oohh.. Bannghh.." mulutku mulai meracau. Kenapa dia tak segera memulai. Kenapa juga aku tak memintanya. Suara desahanku pun makin kerap terdengar. Gemanya muncul di dinding-dinding kamar mandi. Makin lama desahanku berganti menjadi desisan dan rintihan-rintihan yang makin lama makin tak teratur iramanya, mengikuti keliaran gerakan mulut dan lidah Bahar di bawah sana.

Ia sama sekali tak mempedulikan rintihanku. Mulutnya tetap sibuk melamuti mulut kecilku yang ada di tengah bongkahan pantatku itu. Bahkan kini jari-jarinya ikut dikerahkan. Padahal rasa-rasanya aku sudah siap menerima kehadiran tubuhnya. Tapi biarlah ia menikmati semua permainan ini. Lagi pula, bukankah ia lebih berpengalaman dalam hal ini dan tahu kapan harus berhenti dan kapan harus memulai.

Di luar kesadaranku yang tertutup nafsu birahi, tiba-tiba wajahnya kurasakan sudah berada dekat di samping kepalaku.

"Kita ke kamar saja.." bisiknya agak terengah-engah.

Tanpa menunggu jawabanku, dibopongnya tubuhku ke kamar menuju tempat tidur. Langkahnya agak tergesa-gesa. Aku sendiri tak sempat mikir apa-apa. Tahu-tahu tubuhku sudah terbanting telentang di atas kasur.

"Aku siap Bang.." kataku lirih tapi mantap, setengah memaksa agar dia segera memulai.

Bahar langsung naik ke kasur dan mengangkangiku. Otot vitalnya sudah begitu meradang, tegang mendongkak ke arah pusarnya. Dengan cekatan tangannya mengatur posisi kakiku dan dengan satu tangan yang lain ia mulai mengarahkan sasaran. Ia sangat cekatan. Dan sebelum aku menyadari gerakan berikutnya, ia langsung menghujam..

Aku terpekik, bukan karena sakit atau kaget, tapi jejalan batang kemaluan Bahar demikian terasa gesekannya. Ini untuk pertama kali aku benar-benar menikmati tubuh Bahar dalam arti yang sesungguhnya. Ketika bagian tubuhnya itu makin masuk ke dalam, aku merasa benar-benar menjadi bagian dari hidupnya..

Terlalu banyak hal yang sulit untuk kulukiskan. Semuanya terasa lebih. Terasa penuh. Terasa menggesek. Semuanya terasa nikmat. Semuanya terasa intens..

Bahar mendesak. Aku menjepit.

Dia mengulir. Aku menggeliat.

Aku menggoyang. Bahar menyodok hingga ke pangkal.

Aku melenguh merintih. Dia memekik tertahan..

Siang itu akhirnya kami habiskan dengan bercinta sepuas-puasnya. Cuaca yang agak panas siang itu makin membuat keringat berlelehan. Namun itu semua tak mengurangi kegairahan kami berdua untuk terus memuaskan nafsu birahi yang ada di tubuh kami, hingga meraih puncak kenikmatan yang total.

Orgasmeku datang agak cepat dari biasanya. Saat itulah aku baru mengalami puncak birahi yang sungguh-sungguh berbeda dari yang sudah-sudah, dimana orgasmeku kali ini datang pada saat bagian tubuh Bahar yang paling kudambakan benar-benar menyatu dan berada dalam cengkeraman tubuhku.

Tak kusangka, batang yang besar pejal itu terasa lebih nikmat ketika meluncur-luncur dalam jepitan liang pelepasanku. Setiap geserannya memberikan jutaan rasa nikmat pada milyaran syaraf di sekujur tubuh. Apalagi Bahar memperlakukan aku dengan berbagai cara dan teknik yang belum pernah dilakukannya, sehingga membuatku terlambung ke langit-langit birahi yang sangat tinggi dan tak terjangkau oleh angan-anganku selama ini.

Oh, inikah kenikmatan itu? Yang banyak didambakan oleh para lelaki homoseksual. Tak kusalahkan Bahar bila dari dulu ia sering ngotot memintaku untuk melakukan ritual anal seks seperti ini.

Udara di luar masih terik. Dan kini untuk yang kedua kali Bahar melaju di atas tubuhku. Aku hanya bisa pasrah menikmati serangan rudal miliknya yang meluncur-luncur keenakan. Menikmati tekanan-tekanan sepanjang dinding syarafku yang denyutannya kadang tak terkendali. Kunikmati pula suara lenguhan Bahar yang bagai seekor kerbau liar terus meliuk-liukkan tubuhnya yang kekar dan basah mengkilat oleh keringat. Suara Bahar yang ber 'agh-ugh-agh-ugh' disela pacuannya, kadang diselingi dengan desisannya yang terdengar seperti orang tengah kesakitan.

Aku sendiri terus telentang dengan kedua kaki menekuk ke atas dicengkeram oleh tangannya. Pahaku berkali-kali harus berbenturan dengan perut Bahar yang terus bergerak maju mundur seiring ayunan pinggulnya. Sementara di bawah sana terdengar suara yang ramai bagi kecipak air laut menerpa sela-sela karang.

Kadang-kadang bila gerakannya agak reda, tangannya sesekali berusaha mengusap-usap permukaan batang penisku dan meremas-remasnya, hingga rasanya makin membesar dan mengeras. Mendapat rangsangan di dua tempat sekaligus tak jarang membuatku sampai mengerang-menggelinjang. Sungguh, hujaman di sela selangkanganku ditambah dengan kocokannya pada batangku bukanlah suatu rangsangan yang gampang kuatasi. Tak jarang aku sampai menjambaki rambut ikalnya yang basah oleh keringat. Dan bila Bahar tiba-tiba sengaja membuat sentakan pada pusat selangkanganku, maka seluruh tanganku akan membalasnya dengan mencengkeram punggungnya kuat-kuat. Ronde kedua ini ia bermain dengan energi yang tak kalah gencarnya dengan yang pertama.

Semua itu kembali mencapai penuntasannya ketika Bahar mulai mengatur posisiku sedemikian rupa sehingga tusukannya menjadi lebih leluasa, lebih dalam dan lebih bertenaga. Sementara aku pun dapat mengimbanginya dengan mengatur konstraksi otot cincin di sekitar liang pelepasanku sehingga denyutannya seolah seperti memijat dan menyedot-nyedot.

Tangan Bahar lalu mulai meng-onani milikku dengan genggaman yang kuat dan cepat. Tubuhnya sendiri terus berayun naik turun secara ritmis bagai tarian suku primitif. Dan ketika badanku mulai meliuk kesana-kemari tak terkendali karena desakan-desakan nafsu yang mencari penyalurannya, maka mulailah Bahar mengambil ancang-ancang menuntaskan 'tarian sex'-nya dengan melakukan satu dua kali hujaman yang panjang namun bertenaga.

Seluruh kamar telah menjadi sebuah arena teriakan dan lenguhan kami berdua. Dan kami akhirnya benar-benar berteriak keras ketika cairan birahi milik kami berdua muncrat tak terkendali. Berkali-kali. Seolah bersahut-sahutan.

Bahar meningkahi orgasmeku dengan terus menerus mengocok milikku sehingga air maniku memancar dengan kuat dan memuncrat membasahi tubuhku. Bau khas cairan kental itu segera merebak kemana-mana.

Sementara di pangkal kemaluanku, aku dapat merasakan sodokan-sodokannya mengalirkan rasa hangat dan menjadi lebih licin akibat tumpahan cairan spermanya di sepanjang celah pantatku. Suara kecipak pun makin keras terdengar seiring dengan tusukannya itu yang makin lama makin tak beraturan.

Untuk beberapa saat aku telentang penuh keringat. Sementara di atasku Bahar berusaha menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya. Ia masih sesekali tersengal sambil sesekali menggerak-gerakkan pantatnya, menikmati sisa-sisa denyutan orgasmenya.

Bahar lalu merebahkan tubuhnya di atas tubuhku. Diciuminya dahiku yang basah penuh peluh itu. Nafasnya masih memburu. Begitu pun aku. Matanya tampak sayu namun penuh kepuasan. Kasur terlihat basah di sana-sini. Basah oleh keringat dan bercampur dengan ceceran cairan birahi milik kami berdua.

"Mas.." katanya sambil merangkul leherku.
"Hmmh..?" sahutku seraya menciumi pipinya.
"Sudah nggak marah lagi 'kan?"
"Marah?" aku agak keheranan."Marah karena apa?"
"Sudah ikhlas 'kan?" ia bertanya lagi
"Apaan sih Bang?!" aku makin penasaran dengan kalimat-kalimatnya.
"Minggu depan 'kan Abang sudah harus berangkat.." katanya setengah berbisik.

Ya ampun! Pikiranku kini terbelah menjadi dua: bahwa kenikmatan hari ini terlalu indah kalau hanya kuharapkan sebagai sebuah mimpi, tetapi akan terasa pahit jika kuharap ini adalah sebuah kejadian nyata.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.