Jumat, 30 Desember 2011

Bias

Percik air hujan membasahi dinding luar kaca jendela dihadapanku, sementara embun mulai berbentuk di bagian dalam kaca. Kurasakan bayangan Bang Anton menatapku lekat-lekat, wajah yang telah setahun belakangan ini menghiasi mimpi dan khayalku. Kuulurkan tanganku melukis wajah yang lekat di kaca jendela, butiran embun di dalam membentuk garis wajahnya. Tiba-tiba bayangan di depanku beteriak sambil mengetok-ngetok kaca yang kulukis. Aku terkejut, “buka pintu Andy”, teriaknya……….

Kak Anton tinggal diseberang tempat kostku, jaraknya hanya 5 meter, pakaian dan rambutnya basah, otot-otonya jelas terlihat di balik baju putihnya yang basah kuyub, “aku pinjam palu, sekalian minta paku juga, Ndy”. “mumpung hujan, ketahuan bagian mana yang bocor”. Tanpa perlu mengulang dua kali, permintaannya segera kupenuhi, “terima kasih ya”, katanya sambil tersenyum. Aku ingin memeluk tubuhnya yang basah itu, tapi tidak ada yang terjadi sampai dia berlalu.

Ini adalah tahun pertama aku tinggal di sini setelah Tony pergi dari rumahku, dan sejak kepergian Tony itu, aku menyewa di tempat ini, suasananya enak, dekat tempat kuliah, suasana akademisnya sangat terasa, dan yang penting yang tinggal di sini cowok semua.

Salah satu diantara mereka adalah Bang Anton, pria tampan dua tahun di atasku, umurnya sekarang 21 tahun, aku banyak sekali belajar dari dia, walaupun dia bukanlah orang yang sangat pandai, tetapi setiap ada kesulitan pelajaran, aku akan menuju ke tempat dia, wajahnya bersih, alisnya tebal, senyumnya begitu menawan. Aku ingin belajar terus dengan dia.

Hari ini aku kembali datang ke tempat kost dia (kami selalu menyebut sebagai tempat kost, padahal sebetulnya kamar kontrakan). Kulihat wajah Bang Anton tidak secerah anya, “kenapa Kak, sakit ya?”, dengan malas Bang Anton menggeleng. Tetapi aku memegang dahinya, tidak panas. “Jadi kenapa bang ?”, “itupun kalau boleh tahu” cepat-cepat aku menambahkan.

“Harga cengkeh menurun terus” kata Bang Anton. Aku langsung mengerti. Bang Anton adalah putra petani dari Sumatera yang bertanam cengkeh. Pada masa itu, BPPC baru dibentuk, organisasi yang dipimpin oleh Putra Soeharto, presiden pada saat itu, yang mengatur perdagangan cengkeh. Bagi sebagian besar masyarakat BPPC tidak berarti apa-apa, bagi BPPC ini adalah keuntungan, tetapi bagi petani seperti keluarga Anton, ini adalah awal kehancuran. “Jadi Abang kemungkinan tidak bisa bayar kontrak lagi”. Wajah Bang Anton menatapku…….. “Abang harus keluar dari tempat ini, ke tempat teman Abang, atau………” “atau apa Bang……” rasa cemas menyergapku. “atau kalau kamu tidak berkeberatan, Abang tinggal dengan kamu……………………”. Aku hampir melonjak, “tentu saja boleh Bang”.

Kami tidur sekamar, Bang Anton meminta untuk tidur di ruang duduk saja, tapi aku melarang (tentu saja aku melarang), bisa hilang kesempatan tidur bersama Bang Anton. karena kamar kami panas, Bang Anton tidur dengan setengah telanjang, hanya pakai celana pendek tanpa celana dalam dan tanpa baju. Aku tahu dia tidak pakai celana dalam karena aku bisa melihat kemaluannya tegang dan aku dapat melihat kantung bijinya keluar dari pinggiran celananya. Aku ingin memegang kemaluan dan menciumi tubuhnya, tetapi aku takut Bang Anton terbangun. Jika sedang beruntung Bang Anton kadang-kadang tidur mepet denganku sehingga, aku bisa “tanpa segaja” menyenggol kemaluannya, atau kadang-kadang Bang Anton tidur sambil menimpaku, ini lebih gampang lagi aku menekan-nekan kemaluannya tanpa dia sadar.

Bahkan Bang Anton sering tidak pakai baju dan celana dalam jika berada dalam rumah, sehingga aku bisa dengan leluasa melihat goyangan kemaluannya atau jika sedang beruntung kembali melihat bijinya keluar. Apalagi kalau habis kuliah, karena kepanasan, Bang Anton sudah kipasan di ruang tamu sambil tidur di lantai dan kaki dinaikkan ke kursi. Kalau sudah begini makin jelaslah kelihatan. Aku jadi kepingin segera pulang ke rumah jika habis kuliah, tak ingin kehilangan kesempatan emas ini.

Suatu hari, aku harus mengerjakan tugas dirumah temanku, mulai dari siang hingga malam hari, kemungkinan besar menginap di rumah temanku itu, aku sudah bilang Bang Anton mengenai hal itu. Tetapi ternyata pekerjaan kami cepat selesai sehingga jam 8.00 malam kami bisa pulang ke rumah masing-masing. Kulihat kamar kostku sudah mulai gelap, berarti Bang Anton sudah tidur, karena takut menganggu, aku membuka pintu dapur pelan-pelan (kami masing-masing memegang kunci cadangan), ku dengar suara-suara dari dalam kamarku, perlahan-lahan kulihat ke dalam kamar dari pintu yang setengah terbuka. Bang Anton tengah bergumul dengan seseorang, aku tak tahu pasti siapa, tetapi kemungkinan pacarnya-Yanti, mahasiswa seangkatanku. Posisi Bang anton di atas tubuh wanita itu, tubuhnya bergerak-gerak ke depan dan kebelakang, jelas terlihat biji kemaluan Bang Anton bergoyang-goyang, aku ereksi, aku terangsang. Lima belas menit aku menyaksikan mereka bergumul, sampai akhirnya Bang Anton berteriak dan menggerang-gerang. Betapa beruntungnya wanita itu fikirku. Sebelum mereka turun dari tempat tidur, segera aku berlari ke dapur, mengunci pintu pelan-pelan dan keluar. Malam itu aku tidur di kamar temanku yang tidak jauh dari kamar kami.

“Bagaimana belajarnya”. Itu yang dikatakan Bang Anton ketika keesokan paginya kami ketemu. “Sangat menarik, dan penuh pelajaran mengesankan” kataku sambil tersenyum. Juga penuh keringat, kataku dalam hati. Tubuh telanjang Bang Anton yang bergerak-gerak ritmis dengan biji yang bergoyang-goyang masih terbayang di depan mataku, cepat-cepat aku masuk ke kamar mandi dan mengambil sabun.

Perkembangan harga cengkeh sepertinya semakin memburuk, setiap kali Bang Anton membaca surat, wajahnya tidak lebih cerah dari saat membuka surat. Sampai suatu hari “Abang kelihatannya tidak bisa melanjutkan kuliah lagi dan harus pulang ke kampung dulu, untuk melihat seberapa sulit keadaan sebenarnya”. Mata Bang Anton kelihatan kosong. “Aku ikut”, secara reflek aku menjawab. Karena aku tahu Bang Anton tentu harus pulang setelah semesteran kami selesai, berarti aku juga sudah selesai semesteran dan libur.

Dua hari satu malam kami harus berkendaraan umum ke Sumatera, menuju kampung Bang Anton, suatu kampung di punggung bukit dan terletak dipinggir pantai, sepanjang sisi bukit dipenuhi pohon cengkeh, sangat indah.

Bang Anton merupakan anak tertua dari empat bersaudara, semua adiknya masih sekolah, yang laki-laki masih kelas 1 SMP sedangkan yang perempuan kelas 3 dan 1 SMA. Jarak Bang Anton dan adiknya cukup jauh. Mereka semua mirip Bang Anton, tampan dan cantik, karena kakek bang Anton keturunan Belanda.

“BPPC betul-betul telah menghancurkan kami, kamu lihat, banyak pohon cengkeh yang mati, kami tidak punya uang lagi untuk memelihara dan membeli pupuk, upah pekerja dan pupuk jauh di atas harga cengkeh”. Ayah Bang Anton berdiri di belakang rumah memandang kebun cengkeh di depan kami.

Harga cengkeh benar-benar terjun bebas, dari mulanya lebih dari Rp. 30 an ribu, menjadi Rp. 16 ribu, menjadi Rp. 8 ribu dan kini hanya Rp. 1.500 per kilonya.

Tapi untungnya selain petani cengkeh, ayah Bang Anton bekerja sebagai guru SMP di sana, sehingga dapat membantu sedikit untuk sekolah adik-adiknya Bang Anton.

Cuaca di kampung Bang Anton betul-betul enak, suasana pantainya masih terasa, bahkan beberapa penduduk, setelah harga cengkeh turun mulai beralih kembali menjadi Nelayan, walaupun sebagian dari mereka memang sudah berprofesi sebagai nelayan sejak dulu. Aku dan Bang Anton sering melihat mereka turun dari laut atau melihat orang menarik pukat di pantai. Mereka hanya pakai celana dalam tipis, yang membuat bentuk kemaluan mereka tergambar jelas, tapi susah mengukur besarnya.

Sebenarnya aku ingin sekali ikut sekali-sekali ke laut, Bang Anton sudah meminta pada beberapa nelayan untuk ikut, dan mereka berjanji untuk mengajak. Padahal, bukan melautnya yang membuat aku ingin ikut, tetapi harapan melihat lebih banyak lagi mereka yang telanjang pada saat mereka ke laut yang mendorongku ingin ikut.

Pada suatu malam, kami tidur agak cepat, belum lagi jam 7 malam. Seperti a Bang Anton tidur tanpa pakaian, dan kali ini, seperti kebanyakan pria di kampung itu, Bang Anton hanya pakai sarung saja, tanpa apa-apa lagi dibaliknya. Aku agak susah tidur dengan cara seperti itu, karena sama sekali tidak a, tapi aku bisa tidur tidak pakai baju dan hanya celana pendek.

Dalam tidur aku bermimpi ada daun-daun basah menyentuh pipi dan leherku, mataku cepat-cepat membuka mata, kurasakan dalam remang-remang lampu teplok Bang Anton menjilati pipiku, leherku dan turun ke dadaku, tangannya meremas-remas lenganku, dada, pinggang dan pahaku. Aku ereksi. Bang Anton menarik kain sarungnya hingga telanjang bulat, kemaluannya telah tegang. Tiba-tiba Bang Anton menciumi perutku, aku menegang saat Bang Anton menghisap-hisap dengan kuat perutku sambil berpindah-pindah dan mengarah pahaku menuju ke kemaluanku. Aku masih pura-pura tidur, tapi aku tahu Bang Anton dapat mengira bahwa aku sudah bangun karena aku ereksi.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar, suara ayah Bang Anton terdengar “Ton, pak Amsal mengajak kamu melaut malam ini”. Bang Anton meloncat turun dari tempat tidur dan segera memakai celana dan memakai kain sarungnya. Aku berdoa agar Bang Anton menolak ajakan itu. Tetapi, ketika pintu terbuka Bang Anton mengiyakan dan meminta tunggu sebentar, aku kecewa.

Ada dua belas orang termasuk kami siap melaut, pak Amsal mengingatkan bahwa mereka hanya pergi malam ini saja dan besok pulang. Melihat orang menjala dan memancing ikan betul-betul menyenangkan, tapi melakukannya sendiri betul-betul sulit, tak satu ikanpun yang dapat kupancing. Dan yang lebih parah lagi, tak satupun dari mereka yang telanjang, membuka bajupun tidak, bahkan mereka memakai kaos sweater tebal dan penutup kepala. Menjelang jam dua aku mengantuk dan minta ijin untuk tidur di kabin. Aku berharap Bang Anton datang kepadaku dan melanjutkan tindakannya seperti tadi. Perut dan pahaku terlihat merah berbentuk bulat di beberapa tempat karena isapan Bang Anton tadi. Tapi harapanku sia-sia, Bang Anton tidak pernah datang ke kabin, bahkan untuk melihatkupun tidak. Mereka tidak tidur sampai pagi dan mendarat kembali ke pantai besoknya. Ikan yang dapat ditangkap lumayan banyak, tapi aku merasakan tidak enak badan, aku lemas sekali.

Bang Anton segera mengajakku pulang, mandi, sarapan dan aku langsung minta ijin untuk tidur. Bang Anton memandangku cemas, dia memegang dahi dan leherku, tangannya yang kokoh terasa hangat, aku ingin memegang dan mencium tangannya, tapi naluriku melarangnya. Aku tidur sampai siang dan ketika bangun aku merasa agak baikan. Sore ini aku mengajak ke kebun Bang Anton di punggung bukit. Hanya berdua.

Pohon-pohon cengkeh dari jauh terlihat langsing dan sangat indah, tetapi ketika mendekat, terlihat merana. Ranting-rantingnya tampak mengering, rumput yang dari jauh terlihat hijau dan datar, ternyata adalah ilalang yang setinggi pinggang, tidak ada yang bersedia membersihkan tanaman yang sudah tidak berharga apa-apa itu.

Berkali-kali Bang Anton mendesah, Sambil duduk di pondok yang kosong berkali-kali pula dia berkisah tentang indahnya pepohonan ini ketika dia masih kecil hingga tamat SMA. Bang Anton menatapku, mata Bang Anton berkaca-kaca, Bang Anton menangis, ada jutaan Bang Anton lain di Indonesia pada masa itu yang harus menangis dan menderita karena BPPC, aku memeluk Bang Anton, tapi aku hanya mampu memeluk satu Bang Anton, jutaan lain mungkin tak mampu berbicara apapun. Ini adalah Bang Anton yang dulu begitu kokoh dan kuat, aku ingin menangis juga, tapi bayangan Bang Anton yang tengah bergumul di kamarku dan Bang Anton yang tengah mencium tubuhku membuatku ereksi. Aku memeluknya makin kuat. Air mata Bang Anton terasa hangat dibahuku, tubuhnya berguncang.

“Aku sudah bicara dengan Bapak tadi, dan kami sudah memutuskan bahwa aku akan berhenti kuliah…………”. Suara Bang Anton bergetar dan pecah, aku tahu ada perih di hatinya.” Paling tidak untuk sementara……………….”

“Aduh Bang…… yang betul………” Aku mencoba membesarkan hatinya. Tapi aku tahu, seperti juga ribuan pohon cengkeh tahu, situasi tidak lebih baik dari yang Bang Anton ucapkan. Hembusan angin laut semakin menusukku. Pembicaraan kami makin panjang dan lama

Aku marah, aku marah sekali, tapi kepada siapa ?, aku tak mampu apa-apa. Bayangan orang, yang katanya dari BPPC masih jelas dimataku, betapa angkuhnya memaksa dan mengancam para petani untuk menjual cengkeh hanya kepada mereka, aku membayangkan berapa banyak uang yang dia terima dari selisih harga BPPC dan selisih harga beli dia dari Petani………..

“Aku akan tetap di sini, aku akan membantu Bapak mengajar di sekolah ini dan usaha lain yang menghasilkan”, suara Bang Anton agak tenang, tapi aku tidak. Bayangan kehilangan Bang Anton lebih menyakitkan daripada yang seharusnya Bang Anton rasakan karena kehilangan masa depannya. “Tuhan, jangan pisahkan kami”.

Bang Anton banyak bercerita tentang ketakutan dan harapannya, tentang cita-citanya dan tentang cintanya yang harus terpisah karena pacarnya-Yanti tidak mungkin ikut dia. Kubiarkan Bang Anton mencurahkan segala isi hatinya. Bicaralah Bang, agar hatiku (bukan sekedar hati Bang Anton) menjadi lega, walaupun sebenarnya aku juga ingin mengucapkan harapanku pada Bang Anton, tapi bagaimana mungkin ?.

Langit sore kian merona merah, hari akan beranjak petang, malam tentu akan gelap sekali, karena tidak akan ada bulan malam ini (karena kalau malam terang, tentu malam kemarin kami tidak akan mendapat ikan di laut, itu kata nelayan yang mengajak kami ketika kutanya mengapa harus ke laut pada malam gelap, bukannya memilih malam terang). Dalam cahaya kuning, kuusap wajah Bang Anton, wajah kami begitu dekat, sehingga nafas kami begitu hangat terasa, Bang Anton memegang bahuku menarikku makin dekat ke arah wajahnya, aku berusaha menunduk justru itu malah membuat keningku tepat di bibirnya, bibir Bang Anton menelusuri mataku, hidungku dan menuju bibirku, hisapannya begitu lembut dan manis, kemudian menelusuri leherku, Bang Anton menghisap kuat, aku khawatir warna merah seperti di perut dan pahaku waktu itu. Aku sangat terangsang dan mengikuti apa yang diinginkan Bang Anton, celana panjang dan kaosku sudah terbuka di buka Bang Anton, kemudian Bang Anton membuka baju dan celananya, kami berpelukan tanpa busana. Bang Anton menjilati dan menghisap dadaku, perutku dan pahaku, tapi dia tidak menyentuh kemaluanku. Tanganku gemetar memegang kemaluan Bang Anton, terasa hangat, aku menggosok-gosoknya dengan pelan-pelan, kantung bijinya terasa lembut dan lunak, ukuran bijinya kira-kira sebesar telur ayam kampung, nafas kami memburu. Bang Anton membuka kakiku, menekan-nekan kemaluannya di samping kemaluan dan perutku, aku benar-benar terangsang, keringat kami membasah, Bang Anton terus memaju mundurkan selangkangannya seperti orang yang sedang bersetubuh, makin lama makin cepat dan makin kuat menekan. Beberapa waktu kemudian aku merasakan ejakulasi, aku peluk Bang Anton erat-erat sambil menghisap bahunya. Beberapa menit kemudia Bang Anton ejakulasi di atas perutku, teriakan dan erangannya terasa nikmat ditelingaku, rasanya aku mendengarkan suara yang sama pada saat Bang Anton ejakulasi di atas tubuh Yanti.

Kami mandi di sumur deket pondok itu, melakukannya persetubuhan lagi dan mandi lagi. Sekitar jam sembilan malam kami berjalan di jalan yang gelap sambil berpegangan tangan.

Kini Bang Anton telah menjadi guru di SMP kampungnya, kami tidak pernah bertemu lagi. Aku yakin para siswa di sana beruntung memiliki Bang Anton yang pandai dan tampan. Tapi kami masih sering berkirim surat, bercerita tentang kegiatan kami, tapi tak pernah sekalipun kami membicarakan pengalaman di pondok itu.

Aku selalu merindukan Bang Anton, dirinya yang begitu mempesona dan kerinduan mengulangi pengalaman di kampungnya, tapi aku tidak menginginkan melakukannya dengan orang lain, aku hanya ingin Bang Anton. Sampai beberapa waktu kemudian, aku membaca sebuah artikel di suatu web site : “seorang pria hypersex selalu ingin melampiaskan hasratnya, bahkan dengan seorang lelaki sekalipun, tetapi bukan berarti dia homosex, dia tetaplah lelaki normal”. Aku tertegun dan menyadari bahwa sebenarnya Bang Anton adalah pria Hypersex dan bukan seperti yang aku harapkan……………

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.