Jumat, 23 Maret 2012

Ketika Cinta Memberi Makna

Dalam keremangan kamar itu ia menatapku. Keheningan terasa begitu mendominasi, padahal suara televisi yang sedang menyiarkan berita malam cukup keras, belum lagi alunan lagu-lagu sarat makna yang diputarnya.

“Kenapa kamu diam saja ?” Perlahan ia berbisik, menguak kesenyapan diantara kami. “Katakanlah apa yang ada di pikiranmu, jangan diam saja.”

“Bukan aku yang harus mengatakannya, Fan.” Aku balas menatap bola mata beningnya. “Tapi kamu Kamulah yang harus bercerita tentang semuanya. Ada apa sih sebenarnya ?”

“Ngga ada apa-apa, kok.” Efan mengelak halus.

“Fan, please jangan berbohong lagi. Sebenarnya aku sudah menyiapkan diri waktu kamu menerima telepon itu. Aku sudah tahu ada yang tidak beres denganmu sejak tiba disini tadi. Sikap pendiammu yang jauh dari sosok cerewet kamu di telepon, gerak-gerikmu yang canggung, semuanya seakan memberi sinyal kepadaku bahwa ada yang tidak beres.”

Efan menghela nafas panjang dan berat. “Kenapa kamu bisa ngomong begitu ?”

“Memangnya aku buta ? Tentu saja dari semuanya. Sikap pendiammu, gerak-gerikmu, lagu-lagu yang kauputar. Ada apa sih sebenarnya ?”

Ia diam lagi. Aku tak tahan dengan sikap diamnya. Dalam hati aku menjerit. Ingin supaya ia mengutarakannya jujur padaku, apapun itu.

“Selalu…..ketika ada lembaran baru…selalu ada embel-embel…” Berat ia menghela nafas.

Aku tak mengerti apa maksud perkataannya.

“Maksud kamu ? Siapa sih yang menelepon tadi ?” tanyaku penasaran.

Jawabannya meluncur nyaris bagai bisikan dari bibirnya. “Mantanku.”

Entah sejak kapan, jantungku yang sudah berdebar, berdebar makin keras. “Mau apa dia ?” tanyaku hati-hati.

“Dia maksa balik.”

Debaran jantungku kian menghebat. Firasat buruk langsung merambati setiap sudut otakku. “Dan kamu menerimanya lagi ?”

“Tentu saja tidak.”

Bukannya lega dengan jawaban itu, aku malah mengejarnya dengan pertanyaan lain.

“Kau masih mencintainya ?”

“Yah…namanya mantan…rasa itu sih masih ada…”

Aku tersentak.

“Tapi…sekarang udah ngga sebesar dulu…” Ia melanjutkan.

“Lalu bagaimana ?” Aku terus mendesak.

“Entahlah.” Ia membalikkan badannya memungungiku. Suaranya bergetar. “Aku capek dengan semua ini. Setiap kali akan memulai lembaran baru, selalu saja ada embel-embel. Selalu saja terbentur dalam masalah yang sama. Aku lelah. Mungkin sebaiknya aku berhenti saja. Aku sekarang ngga kepingin punya siapa-siapa.”

Alih-alih mereda, debaran jantungku semakin liar. Apakah apa yang kutakutkan akan jadi kenyataan juga ? Rasa dingin pelan-pelan namun pasti merambati punggungku.

“Jadi…?” tanyaku tersendat. Aku tak dapat meneruskan kata-kataku. Kumohon jangan yang itu ya Tuhan. Kumohon…

“Kayanya aku mau mundur aja.”

“Apa ? Apa maksudmu ?”

Ia mengulangi perkataannya, namun aku sudah tak mendengarnya lagi. Pernyataannya yang pertama sebenarnya sudah cukup jelas bagiku tanpa ia harus mengulanginya lagi. Apa yang aku takutkan ternyata terjadi juga. Aku gemetar hebat. Mati-matian aku berusaha meredakannya dan kelihatan tenang di hadapannya.

“Tapi…kenapa…?” Hanya itu yang mampu keluar dari bibirku.

“Aku sudah capek dengan kehidupan ini.” Ia menjelaskan. “Selalu saja terbentur pada masalah yang sama. Aku stress. Sejak dulu aku ingin menyudahinya, tapi selalu saja tergoda untuk melanjutkannya. Namun kali ini aku harus mengambil keputusan dengan tegas.”

“Ada apa sih sebenarnya ? Kenapa kau selalu mengatakan terbentur pada masalah yang sama ?”

“Ya itu. Ketika aku akan memulai lembaran baru, selalu saja yang lama datang menganggu. Memaksa untuk merajut kemlai lembaran lama. Aku adalah orang yang tidak bisa menyakiti perasaan orang lain. Apalagi perasaan orang yang kucintai. Kan lebih baik begini ? Dengan begini aku bisa menghadapi gangguannya tanpa perlu menyakitimu.”

“Apanya yang menyakitiku ?” Aku mulai tak mengerti dengan kata-katanya. Seolah masih ada yang disembunyikan, sesuatu yang aku tak tahu apa.

“Yah kamu masih jadi pacarku, kan aku ngga enak tiap hari harus menerima telepon dari dia, nanti hal itu akan menyakiti kamu. Kalo sendirian, kan aku bisa bebas menghadapi dia ?”

Sejujurnya dalam hati aku tak mengerti apa yang akan membuatku cemburu, dan aku juga tak mengerti mengapa ia tak langsung berkata kasar saja pada mantannya agar jangan mengganggunya lagi. Aku benar-benar tak mengerti, selaput merah seolah-olah turun menutupi mataku. Aku tergugu dalam kegelapan, memandang punggungnya dalam kebisuan, sementara pikiranku menerawang ke masa-masa awal pertemuan dengannya.

*

Semuanya dimulai dari chatting.

Dari chattinglah aku mengenal dia. Namanya Efan. Nicknya kalau tidak salah co_ganteng_UPH, dan waktu itu aku tak dapat menahan diriku untuk tidak menggodanya. Kuketik saja asal-asalan di layar sebaris kalimat.

“Apa tuh uph ? Upahan ya ? Berapa tarifnya ?”

Balasannya datang tak lama kemudian. Marah tapi bernada geli.

“Eh kurang ajar kamu, kok upahan sih ? UPH kan Universitas Pelita Harapan.”

Aku tertawa membaca kalimat itu. “Sori deh, aku kan ngga tau. Abisnya nick kamu UPH gitu, kan jadi ngiranya upahan.”

“Kalo upahan kan uph, ini kan hurufnya gede semua,” tulisnya tidak mau kalah. “UPH kepanjangannya Universitas Pelita Harapan.”

“Iya deh. Kalo gitu asl kamu dong.”

Perbincangan pun mengalir lancar. Dari pembicaraan di chatting au tahu namanya Efan, umurnya 24, tingginya 175 beratnya 70, selain kuliah, dia juga seorang model. Aku bahkan sempat tukeran foto. Tapi saat itu aku tertarik untuk menggodanya, jadi ia kuberi foto palsu.

Wajahnya di foto tidak terlalu tampan. Mulanya aku juga tidak seberapa suka dengan mukanya itu, tapi lumayanlah, cakep juga. Dan kayanya orangnya baik. Aku pun tukeran nomer telepon, dengan janji ia akan meneleponku malamnya.

Ternyata malamnya ia tidak menelepon. Aku langsung memberinya cap pembohong seperti yang kuberikan kepada beberapa orang sebelum dia yang ingkar janji padaku. Tapi betapa terkejutnya aku ketika ia menelepon keesokan harinya dan minta maaf. Dia bilang dia tidak bisa menelepon karena ada sesuatu hal (aku lupa apa alasannya waktu itu)

Singkat cerita, hubungan lewat telepon pun berlanjut. Tanpa kusadari perasaan sayang mulai tumbuh. Bagaimana tidak, setiap hari dia meneleponku selama setengah jam. Bagaimana aku bisa tidak punya perasaan kepadanya ? Belum lagi SMS-SMS penuh perhatian yang senantiasa menemani hari-hariku. Bagaimana aku bisa mengelak dari jerat cintanya ?

Hubungan kami pun berlanjut. Surat-suratnya datang mengisi hari, yang kubalas dengan surat-surat dan puisi-puisiku. Hari-hari yang kulalui terasa begitu indah, apalagi aku punya seseorang yang bisa diajak berbagi dan sayang padaku. Di telepon pun kami tidak hanya membahas hal-hal yang umum saja, terkadang bila sedang ‘hot’, kami bertelepon sex. Seperti pada suatu malam.

“Kamu pakai baju apa sekarang ?” tanyaku iseng. Teganganku memang lagi tinggi waktu itu.

“Kaos oblong putih,” jawabnya heran. “Memangnya kenapa ?”

“Celana ?”

“Celana kolor biasa. Memangnya kenapa sih ?”

“Dedeku bangun nih.”

Dia tertawa. “Dasar kamu.”

“Ngga pa-pa kan sekali-sekali ?” bisikku manja.

“Ngga pa-pa.”

“Taruh tanganmu di atas dede kamu dan gesekkan perlahan,” perintahku. Nafasku mulai terasa cepat.

“Udah, terus ?”

“Pelan-pelan buka celana kamu, biar dede kamu bisa hirup udara malem yang dingin ini.” Aku melanjutkan.

“Ntar mengerut dong ?” protesnya sambil tertawa.

“Ya diusahain supaya jangan mengerut dong. Sekarang urut perlahan.” Keringatku mulai bermunculan seiring gerakan tanganku yang kian cepat.

Ia mendesah. Menikmati.

“Bagaimana ? Enak ?”

“Yaaaa,” desahnya disela-sela nafasnya yang memburu. “Kamu ?”

“Enak…”

Selama beberapa saat kami terdiam, menikmati sensasi perasaan yang melanda.

“Ohh, aku udah mau keluar nih,” ujarnya agak tersengal.

“Aku juga…ayo…terus…”

“Ahhhh…”

“Ahhh…”

Aku ngga tau apa dia bener-bener keluar apa ngga, tapi desah nafas ketika mencapai puncak tidak dapat ditiru, kan ?

“I love you,” bisikku beberapa saat kemudian.

“Love you too.”

Dua bulan kemudian dia menyatakan cintanya padaku. Kami resmi jadian. Frekuensi telepon mulai berkurang. Ini atas saranku juga. Aku tak mau dia mengeluarkan biaya banyak hanya untuk telepon. Tapi sms tetap berjalan seperti biasa.

Hari-hari pun berlalu, ujian semakin dekat, liburan juga. Kami membahas rencanaku ke Jakarta, ke tempat tinggalnya.

“Udah deh, kamu kesini, ntar aku bayarin. Masa kita bf-an tapi ngga pernah ketemu.”

“Tapi taon ini aku ngga dikasih jatah duit buat pulang ke Jakarta.”

“Ntar aku bayarin deh, ok ?”

Akhirnya aku setuju dengannya dan pergi ke Jakarta. Namun apa yang aku dapati disana hanyalah kekecewaan. Aku tak mengerti mengapa orang bisa berubah begitu drastic, dari mencintai menjadi tidak mencintai, dari perhatian menjadi tidak perhatian sama sekali, dari cerewet menjadi diam seribu bahasa. Mungkin lagu Pelangi Di Matamu benar, mungkin suatu nanti akan diungkapnya semua, isi di hatinya, karena ia sekarang sedang benci bersikap jujur padaku.

Akhirnya aku pun pulang ke Surabaya, membawa sejuta luka di hati, luka yang sampai kapanpun tidak akan pernah tersembuhkan. Anehnya, aku tidak dapat membencinya karena perbuatannya ini. Aku malah merindukannya. Setiap hari sejak kepulanganku ke Surabaya, aku terus merindukannya. Saat itulah aku sadar, cinta telah memberi makna hidupku yang selama ini berjalan datar-datar saja. Cinta telah memberi makna pada puisi-puisi yang sering kucipta, cinta telah memberi makna setiap cerita pendek maupun novel yang selama ini kutulis. Namun , siap-siaplah mengerti, bukan hanya makna cinta, namun juga makna kehidupan yang terisimpan di baliknya.

Kini beberapa waktu telah lewat dari saat itu, namun aku masih tak dapat melupakannya, bayang wajahnya terlalu jelas melekat di benakku. Desah suaranya terlalu kuat terekam dalam rongga telingaku, dan namanya terlalu dalam terukir dalam sanubariku. Waktu tidak membantuku sama sekali untuk melupakannya, waktu malah berpihak padanya. Detik-detik dan menit terbuai rayuannya. Jam pun ikut memusuhiku. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain terpenjara oleh rasa kesepian dan kehilangan.

Saat dimana aku paling bisa melupakannya ialah ketika aku sedang mandi. Ketika aku menggosokkan sabun di sela-sela tubuhku, membersihkan semua kotoran yang melekat disana, saat itulah aku begitu berkonsentrasi sehingga lupa padanya. Memang walaupun aku bisa melupakannya sejenak, bayang wajahnya kembali menyerbuku ketika aku selesai mandi, itulah sebabnya aku suka sekali mandi. Sehari aku bisa mandi berkali-kali, dan semuanya kulakukan untuk melupakannya. Untuk melupakannya…

Efan, ketahuilah bahwa di dunia ini ada seseorang yang mencintaimu, di bawah bentangan langit yang sama, ada seseorang yang senantiasa mendoakan kebahagiaanmu, setia menunggumu kembali…Aku…

Efan, siap-siaplah hidupmu berubah karenanya. Hanya ada dua pilihan ketika cinta memberi makna dalam hidupmu. Yang satu, kau akan mendapatkan segalanya. Surga dunia akan kaujelang. Yang lain, kau akan kehilangan segalanya, neraka dunia kaujelang.

Sekarang kegiatan sehari-hariku adalah duduk di mejaku, ditemani lagu Mencintaimu, menulis puisi, dan mandi. Aku tak tahu sampai kapan ini akan berakhir, mungkin sampai ada malaikat baru datang, dan membawaku ke dunianya yang indah. Sampai cinta memberi makna untuk kedua kalinya…

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.