Rabu, 14 Maret 2012

Dokter Herman

Gara-gara cuaca akhir-akhir ini yang makin hari makin ngga menentu (kayak keadaan politik dan ekonomi di negeri ini aja), akhirnya aku K.O. juga.

Walaupun sudah mengeyam beberapa bungkus tablet Vitacimin selama beberapa hari, toh akhirnya radang tenggorokan disertai gejala pilek itu datang juga. Emang sih masih dalam tahap ringan, tapi mendingan langsung berobat deh daripada weekend ini ngga bisa pergi karaoke sama gank-ku.

Sesuai dengan anjuran dari teman sekantor, maka akupun mendaftar di tempat praktek . Masih kuingat bagaimana bersemangatnya Robby, teman kantorku, menyuruhku pergi dokter itu: “Udahh ... gitu aza koq repot!!! ... to the point azza ... ke ....dijamin Tokcer, Man!” sambil mengacung-acungkan jempolnya yang gendut itu. Aku sampai nih anak dapet komisi kali ya dari promosi-in tuh dokter, sampe segitunya.

Oh ya, mungkin ada baiknya bila aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku Budi (dan yang pasti aku ngga ada kakak perempuan yang bernama Wati, seperti dibuku-buku bacaan SD jaman dulu!), umur 30 thn, tinggi 168cm dan berat sekitar 70 kgs. Kulit boleh dikatakan cukup putih bersih dan postur tubuhpun cukup berisi dan atletis, mungkin karena kegemaranku akan berolahraga dan fitnes. Tampang sih lumayanlah, buktinya sudah ada beberapa cewek yang gua bikin patah hati. Bukan karena mereka tidak cantik, tapi aku lebih suka makan "pisang" daripada "donut".

So here I am, duduk bengong menunggu giliran di kursi sofa yang warnanya sudah agak kusam. Kalo diperhatikan: tempat praktek dokter ini lumayan juga: letaknya di daerah Cempaka Putih, bersih, penerangan yang cukup terang dan ber-AC. Di pojok kiri ruangan terdapat sebuah TV 20" sedang menayangkan drama-drama Korea yang akhir akhir ini emang lagi populer.

Di ruang itu ada beberapa pasien yang masih menunggu giliran juga sepertiku. Tidak ada yang menarik untuk dikecengi. Lagi asyiknya melamun, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara suster yang cukup keras: "Pak Budi, silahkan masuk!" Gila, nih suster pernah mimpin sekompi pasukan kali ya, suaranya sampe kenceng begitu. Tapi aku bersyukur ... akhirnya masuk juga sesudah menunggu lebih dari 1 jam.

Begitu masuk, aku mendapati ruangan berukuran 4X4 m yang cukup bersih dan terang. Tampak ranjang pemeriksaan yang terletak dipojok ruangan yang cukup bersih dan dialasi plastik bening.

Sementara di dekat pintu masuk terletak meja praktek sang dokter. Sambil tersenyum ramah, yang lagi mencuci tanganya di wastafel pun ramah menyapa: "apa keluhannya?" Akupun menjawab seadanya. Sempat juga aku perhatikan sang dokter. Ganteng juga nih ... walaupun agak sedikit tua (umurnya kutaksir sekitar 45-50an. Tubuhnya masih tegap dan gagah dengan bahunya yang lebar dan perut yang agak sedikit buncit. Rambut ikalnya dipotong pendek seperti tentara, dan beberapa bagian sudah ada terlihat memutih. Wajahnya terlihat kebapak-bapakan dan selalu dihiasi dengan senyum ramah dibawah kumisnya yang tebal itu.

Setelah sedikit proses tanya-jawab, akupun diminta untuk membuka kemejaku dan berbaring di ranjang pemeriksaan. Aku agak menggigil, karena tempat tidur itu letaknya berseberangan dengan AC di ruangan itu. Tak lama kemudian, pun menghampiriku dan memasang sabuk untuk mengukur tekanan darah, kemudian mulai sibuk memompa. Sempat aku perhatikan tangannya yang kekar dan berbulu lebat sibuk dengan aktifitasnya.

"Cukup normal." katanya, sambil melepaskan sabuk hitam itu dari lenganku. Kemudian diapun mulai memeriksa tubuhku dengan stetoskop. Entah disengaja atau tidak, ternyata tempat pertama yang ditempeli ujung stetoskop yang dingin itu adalah bagian putingku kananku (bagian tubuhku yang paling sensitif!). Brrr... dingin sekali ... dan dapat dibayangkan bagaimana Syuurr-nya aku seketika. Jangankan ditempel dengan benda dingin, disentuh sedikit saja putingku ini, gairahku langsung bergejolak.

Otomatis aku langsung ngga konsens lagi. Apalagi ketika puting kiriku yang kemudian juga mendapat giliran diperiksa, niatku yang semula ingin berobat sudah terlupakan, malah ingin memuaskan nafsuku yang langsung meluap-luap seketika.

Saat sibuk memeriksa bagian lain dari tubuhku, aku mulai berpikir keras untuk mendapatkan yang "lebih".

Akhirnya tiba-tiba aku dapat akal. "Dok, pangkal paha saya akhir-akhir ini koq suka keram ya?", kataku sambil memegang-megang pangkal paha kiriku disekitar selangkangan. "Sini, coba saya periksa!" kata . Dan akupun mulai melepaskan celena panjangku. Untung "Budi Kecil" masih mau diajak kompromi, masih dalam keadaan setengah tidur. Kalo sudah ereksi keras, khan malu aku!

Sambil menekan-nekan tempat yang kutunjuk, bilang, "ngga apa apa koq, ini cuma urat kaku. Sering olahraga yah? Mungkin kurang pemanasan. Saya urut sebentar juga baikan koq!" Sambil memijit-mijit ringan di sekitar pangkal pahaku untuk mengendurkan urat, tangannya beberapa kali menyentuh “dede-ku” yang masih mendekam dibawah CD putih ini. Akibat sentuhan yang tidak disengaja (atau mungkin disengaja...), lama kelamaan adikku ini pun bangun dan ngaceng abis, dan kepalanya yang basah oleh pre-cum, mengintip keluar dari ujung CD-ku.

Melihat adikku yang mengintip keluar, dengus nafas sang dokter terdengar makin berat dan cepat. Kelihatannya nafsu beliau juga sudah naik, kemudian : "Dik, saya buka ya celana dalamnya, ada bagian lain yang harus dipijit." Wah, sudah lampu hijau nih. Aku yang sudah lupa daratan saking nafsunya hanya dapat mengangguk dengan nafasku yang memburu. Tenggorokanku terasa tercekat dan ruangan itu rasanya menjadi dingin sekali, entah karena hawa nafsu yang sudah mengubur habis diriku ini, atau emang mesin AC diseberang yang rusak tak terkendali (which is unlikely, right?).

Dengan cepatnya CDku pun dipelorot kebawah, meninggalkan Budi Kecil yang berdiri keras dengan gagah berani (pejuang kali ...). Sang dokter pun mulai memijat, dan lama-kelamaan pijatan-pijatan itupun menjadi usapan-usapan di kontolku. Aku yang sudah tidak tahan segera bangun dan menggapai selangkangannya untuk meremas kontolnya. Bisa kurasakan kontol yang sudah tegang abis. Sambil meremas-remas kontolku, -pun membiarkan aku mempreteli celananya dan CDnya. Sementara untuk bagian atas dia masih mengenakan jas putih kedokterannya dan hanya membuka kancing kemejanya. Tapi itu sudah lebih dari cukup buatku karena aku bisa melihat dada bidangnya yang ditumbuhi bulu lebat yang menyambung sampai keperutnya yang agak sedikit gendut itu dan rambut kemaluannya.

Dengan leluasa aku pun menjilat, mengulum dan menghisap puting pak dokter yang sebesar biji kacang merah itu. Sementara tangan kiriku sibuk memainkan puting yang satunya lagi dan tangan kananku sibuk mengocok kontol 18cm-nya yang tebal (sekitar diameter 5,5 cm). Setelah itu akupun berjongkok dan mulai mengemuti kepala kontol pak dokter yang ekstra besar itu (kira-kira hampir sepertiga dari batangnya). Kujilat cairan di ujung lubangnya yang sudah menetes-netes akibat banyaknya cairan pre-cum yang keluar…. Asin !!!

Sesaat kemudian sang dokter pun menyuruhku duduk di ranjang pemeriksaan. Kemudian dia pun berjongkok dan asyik mengulum kontolku dengan rakusnya seperti anak kecil yang kedapatan permen lollypop. Jilatan-jilatannya dimulai dari ujung kepala kontolku, ke batang dan buah pelirku. Kemudian kakiku diangkat lebih tinggi, sehingga akupun berbaring dengan kedua kakiku yang terangkat ke atas. Sang dokterpun sibuk menjilati dan meludahi lobang pantatku, disertai dengan tusukan-tusukan jarinya kedalam lubangku. Kurasakan kenikmatan yang amat sangat bercampur dengan rasa geli pada buah pelirku yang tertusuk-tusuk oleh kumis dokter yang kasar.

Setelah beberapa saat, sang dokter pun berdiri dan mengangkat kakiku lebih tinggi sambil mengarahkan “meriam”-nya ke arah lubang pantatku. Agak ngeri juga membayangkan barang sebesar itu masuk ke dalam anusku. Selama ini anusku, paling besar juga cuma “dicekoki” kontol berdiameter 3,5 cm-nya Om Donny tetanggaku . “Pelan-pelan ya, dok!” kataku lirih. Sang dokter sepertinya juga mengerti bahwa benda miliknya memang memiliki ukuran yang jauh di atas standard. Maka setelah mengolesi lubangku dan batangnya dengan lubricant yang banyak, secara perlahan mulai memasuki diriku senti demi senti.

Dinding lubangku rasanya melar dan tertarik habis mengakomodasi kontol super pak Dokter. Untuk menghilangkan rasa sakit, aku berusaha memusatkan pikiran dan merilekskan diriku sambil mengenyot-ngenyotkan lubangku yang terasa amat penuh sekali. Ternyata tindakanku ini malah memicu birahi pak dokter. Beliau melenguh kenikmatan dan mulai memompa batangnya. Sulit dijelaskan rasanya karena rasa sakit yang ada juga diselingi rasa nikmat yang tiada tara saat ujung kontol pak Dokter menyentuh daerah G-Spot-ku.

Mungkin ada 10 menitan lebih sang dokter sibuk memompa diriku. Kontolku saking tegangnya sampai terasa sakit rasanya sudah mau meledak saja. “Dok, aku sudah tidak kuat … aku mau ke…luuarrrr!!!” bisikku lirih. “Ayooo, kita keluar sama-sama …” kata pak Dokter sambil mempercepat kocokan kontolnya. “Saya hitung sampai tiga: Satu … Dua … Tiga ….. !!! Aaarrrggghhhh !!!” teriak pak Dokter sambil menyemprotkan pejuhnya yang banyak berkali-kali di dalam lubangku, pada saat yang bersamaan akupun memuntahkan pejuhku yang menembak jauh sampai ke jas putih pak Dokter. Lubang pantatku terasa banjir dan saking penuhnya sebagian cairan itu ada yang langsung mengalir keluar membasahi pantatku dan ranjang pemeriksaan. Mungkin ini yang dimaksud Robby sebagai servis yang "Tokcer".

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.