Jumat, 30 Maret 2012

Karena Aku Mencintaimu 3

“Dim, minggu pagi kamu mau kan datang ke pertemuan gank kita di rumah Juanda ?” Dany memandangku sambil menarik kursi duduk tepat di depanku. “Aku….. mungkin tidak bisa Dan…, aku mesti ikut ekstra kurikuler Silat itu”. Kening Dany mengernyit, dan dengan nada keheranan dia berkata “Kamu masih mau ikut kegiatan kampungan itu ?”, tanpa menunggu jawabanku Dany menghempaskan kursi yang diduduki dan membentur mejaku. Aku terkejut.

Aku tahu Dany kecewa. Dany, Johan, Juanda dan Abdi adalah sahabat-sahabatku sejak aku kelas satu SMP hingga di akhir kelas dua SMP ini. Kami adalah lima sahabat kental, yang pada mulanya memiliki kegemaran yang sama. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan ada yang tidak cocok lagi, mereka tidak lagi memperhatikan pelajaran, mulai merokok, bolos, kebut-kebutan dan tindakan-tindakan lain yang umumnya mulai dilakukan anak-anak yang mulai beranjak remaja, yang kurasa tidak baik untuk diikuti.

Silat, tentu bukanlah olah raga favorit siswa SMP ini, sama sekali tidak menarik. Hanya sekitar seratus orang yang mengikuti dari 700 an siswa yang ada. Pelatih silat ada dua orang, kami menyebutnya kak Fendi dan kak Usri, mereka baru kelas tiga SMA. Aku sangat menyukai mereka, mungkin karena aku tidak punya kakak laki-laki, jadi aku sangat terkagum-kagum dengan mereka.

Aku melamun rupanya, kelas masih sepi karena masih istirahat, teman-teman masih mengobrol di depan kelas, tertawa-tawa gembira. Tiba-tiba jantungku berdegup keras, Iwan, anak kelas II-4 lewat, tenang dan lurus memandang. “si tampan lewat” desis mulutku. Untung tidak ada orang lain, sehingga tidak ada yang mendengar.

Aku tahu, saat Iwan lewat semua mata akan memandang dirinya dengan terkagum-kagum, tapi Iwan adalah air yang mengalir, tak perduli dengan semua yang terjadi disekelilingnya. Aku tidak mengenal dia, atau setidaknya kami tidak saling mengenal. Aku sudah berusaha berkenalan dengan dia, tetapi tidak ada jalan yang dapat mempertemukan kami. Dia tidak aktif di OSIS, dia tidak ikut silat, dia tidak ikut apa-apa, dan dia orang yang pendiam………., bagaimana mungkin aku bisa mengenalnya. “dia juga tidak tahu aku, bahkan mungkin tidak menyadari bahwa aku ada di sekolah ini” hatiku mengingatkanku. Aku menarik nafas.

Hari minggu adalah hari yang menyenangkan buatku, karena aku bisa berlatih silat, kini aku sudah sabuk biru, tetapi bukan karena silatnya, tetapi karena aku dapat memandang kak Fendi dan kak Usri, memperhatikan mereka melatih kami hingga berkeringat. Tapi minggu ini ternyata lain, ada latihan gabungan dengan anak SMP lain, banyak sekali pelatihnya, kami dibagi berdasarkan tingkat masing-masing, dan sialnya untuk sabuk biru dilatih oleh pelatih SMP lain itu. Pelatihnya besar dan kasar sekali, suaranya serak dan mahal senyum. Aku jadi kehilangan semangat.

“Perhatikan kuda-kuda” teriaknya. “karena kuda-kuda adalah kekuatan utama kita” dia berjalan berkeliling tempat kami latihan. Aku jadi sebel. Mataku mencari-cari kak Fendi atau kak Usri yang sedang melatih kelompok lain, tetapi jarak mereka terlalu jauh. Tiba-tiba tanpa kusadari ada yang menendang kakiku, biasanya pelatih memang menendang kaki bagian samping, sehingga jika posisi kuda-kuda tidak bagus, maka orang akan terpeleset. Kali ini kuda-kudaku sama sekali tidak bagus, sehingga aku bukan hanya terpeleset, melainkan jatuh, kepalaku jatuh mengenai tanah, kepalaku tiba-tiba pusing. Beberapa orang berteriak kaget, aku memejamkan mata.

Badanku terasa diangkat dan didekap, terasa nafasnya menghembus mukaku. “Bawa ke ruang UKS” hanya itu yang kudengar. Aku berusaha membuka mata, tapi susah sekali, pandangan terasa berputar-putar. Ditempat tidur UKS seseorang membuka bajuku dan melonggarkan celana silatku, kurasakan ada yang mengurut kepala dan punggungku. Aku merasa agak nyaman. Kemudian tubuhku dibalik dan dadaku terasa diurut. Aku membuka mata, jantungku berdenyut. Ternyata kak Usri yang merawatku, aku mencoba mengulurkan tangan, tapi tidak bisa. Kak Usri mengusap rambutku dan mengurutnya, “kamu tidak ada-apa, kan ?”, aku mengangguk. Aku ingin kak Usri tetap berada disampingku dan membelaiku, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku, karena tak mungkin aku berkata itu.

Besoknya, berita aku jatuh pagi-pagi sudah tersebar, ketika aku lewat, Dany tertawa terkekeh-kekeh dengan bunyi yang dibuat-buat. Aku ingin menonjok mukanya. Aku agak terhibur juga saat beberapa teman menyampaikan simpati dan mengata-ngatai Pelatih dari SMP lain yang kasar itu.

***********

Waktu terus berlalu, kami naik ke kelas tiga, dan kak Fendi dan kak Usri tamat sekolah. Hari ini adalah hari yang menyedihkan, mereka berdua harus kuliah di kota lain, selesai latihan kami berkumpul membentuk lingkaran untuk acara perpisahan. Kak Usri berpesan untuk terus mengikuti silat, tak satukalipun matanya memandangku, aku sedih sekali, aku menangis, aku kecewa. Silat tentu tak menarik lagi, dan aku tidak akan ikut latihan lagi. Dany tentu akan gembira.

Selesai acara itu, aku masih duduk di bawah pohon akasia, orang-orang telah sepi. Ketika hari semakin siang, aku melangkah ke kamar mandi, aku ingin mandi. Ketika aku membuka salah satu pintu kamar mandi. Kak Usri di sana, tengah telanjang bulat, aku menatap wajah kak Usri, tapi aku tahu kemaluannya besar dan berbulu lebat, jauh berbeda dengan rambut kemaluanku yang baru mulai tumbuh. Secara reflek aku meminta maaf, dan berusaha menutup pintu, tetapi kak Usri melarangku keluar dan mempersilahkanku masuk ke kamar mandi. Jantungku berdegup kencang, aku mengharapkan sesuatu. Kak Usri berpakaian didepanku dan keluar. Aku meneruskan mandi dan berpakaian, ketika selesai, aku buru-buru hendak pulang, aku ketemu kak Usri. Rupanya dia menungguku. Aku gembira sekali, kami ngobrol ke sana kemari.

Kak Usri tahu aku belum pulang, tadi dia tidak ingin menatapku karena dia akan menangis jika memandang wajahku. Ketika aku jatuh dulu, bukan kebetulan jika kak Usri yang kelihatan sangat khawatir dan sangat perhatian denganku, dia telah kehilangan adiknya yang seumuran denganku karena kecelakaan. Ternyata kak Usri telah memperhatikanku lebih dari yang kutahu. Ketika kami berpisah aku memeluknya, air mataku mengalir. “aku mengenang adikku lewat dirimu, dan aku ingin kamu menjadi adikku” bisik kak Usri sambil memelukku. ”Aku mau kak” jawabku, tetapi dalam hati aku berbisik “Aku ingin lebih dari itu”.

***********

Aku semakin jauh dengan gank-ku, Dany, Johan, Juanda dan Abdi. Aku merasa mereka semakin liar dan kehilangan sopan santun. Apalagi sekarang, tak satupun dari mereka yang sekelas denganku di kelas tiga ini. Aku ingat ketika pengumuman kenaikan kelas (yang biasa dilakukan di aula sekolah dan diumumkan untuk tiap kelas juara 1, 2 dan 3) tak satupun dari mereka yang menduduki tempat itu, beda sekali dengan saat kami kelas satu dan awal kelas dua, kami berlima selalu menjadi juara di masing-masing kelas. Kecuali aku tentu saja, yang tetap menjadi juara kelas. Usai acara pengumuman dan pembagian rapor, aku mendatangi gank-ku, tetapi pandangan mata sinis mereka ditujukan kepadaku, yang seolah-olah berkata, “kau sudah bukan bagian dari kami”. Tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami, kesunyian yang panjang dan kosong. Menyakitkan sekali. Semenjak penolakanku ikut kegiatan minggu karena aku lebih memilih silat, tak pernah sekalipun aku diajak kegiatan mereka lagi.

Aku tidak meninggalkan mereka. Mereka yang meninggalkanku, mereka telah meninggalkan tujuan gank itu dibentuk, yaitu untuk belajar. Aku tetap di dalam aula, hingga satu persatu mereka meninggalkan tempat duduk. Aku menangis, aku sendirian, ku peluk buku raportku lekat-lekat. Masih kuingat pandangan tajam Dany menghujam mataku, mempersalahkanku. Ingin ku raih tangan Dany untuk meluruskan semuanya, sahabatku sejak SD, kami berdua adalah cikal bakal gank itu. Tapi Dany menarik tangannya.

Dikelas tiga, kami diminta membuat laporan tertulis mengenai apa saja, secara berkelompok sebanyak 5 orang, siswanya harus tidak dalam satu kelas, tetapi seluruh murid kelas tiga akan digabung dan diundi untuk menentukan kelompoknya. Aku berharap dapat sekelompok dengan gank-ku lagi, atau paling tidak salah satu dengan mereka. Tapi harapanku tidak terkabul. Ketika pengumuman kelompok, tak satupun dari mereka yang sekelompok denganku. Aku kecewa.

Istirahat kedua, kami kelompok tugas akhir berlima berjanji untuk bertemu, ternyata aku sekelompok dengan Iwan. Sesuatu yang tak kuduga sebelumnya, bahwa nama Deptiawan adalah nama lengkap Iwan. Akhirnya aku bisa mengenalnya juga.

Kami berlima menjadi dekat, karena kami memiliki kepentingan yang sama membuat tugas akhir, tetapi yang lebih khusus adalah aku semakin dekat dengan Iwan. Kami sering main ke rumah, bahkan beberapa kali Iwan tidur di rumahku. Kami selalu berboncengan motor berdua. Kami sering pergi ke pinggir sungai di suatu hutan yang indah dengan motor. Duduk di atas batu sungai sambil bercanda. Iwan, alangkah bahagianya aku mengenalmu.

Nilai tugas akhir kami mendapat nilai 8.5, suatu nilai yang tertinggi disekolah, kami merayakan keberhasilan ini di rumahku. Gank lamaku tahu. Keesokan harinya, entah sengaja atau tidak, gank lamaku sudah berada di tempat parkir, dan berlalu ketika aku parkir motor sambil tertawa yang dibuat-buat, ada sakit yang makin sakit dihatiku.

Waktu berlalu, ujian akhir dan pembagian NEM tiba, Aku juara umum, tetapi ternyata tak satupun gank-ku yang masuk SMA Negeri, aku sedih sekali, sahabat-sahabat kecilku, mereka semua juara ketika SD dan kelas satu SMP. Maafkan aku, aku tak mampu mengajak kalian menuju hal yang lebih baik, aku telah mengecewakan kalian, tapi yakinlah tak ada niat sedikitpun untuk membiarkan kalian semua jatuh.

Aku menemui Dany yang sengaja sendirian di taman samping sekolah. Kuulurkan tangan pada Dany, dia tidak bereaksi. Kupegang tangannya. “Dan……….”, aku memanggilnya. Matanya memandangku, ada sedih disana. “Aku sudah mengecewakan keluargaku, Dim”, suaranya bergetar. “tapi kau bisa menebusnya di SMA Dan” bisikku. Dany mengangguk. Sedih di mata Dany berubah menjadi air, kuusap pipinya dengan telapak tanganku, Dany memelukku. Kelak dikemudian hari, Dany adalah salah satu kandidat program BPPT dari sekolahnya bersama denganku, walaupun akhirnya dia gagal, tetapi dia masuk sebuah institut terkenal di kota Bandung. Kami tak pernah bertemu lagi hingga saat ini, termasuk juga dengan Juanda, Johan dan Abdi. Aku sudah berusaha mencari mereka, tapi tak pernah berhasil.

***********

Iwan sebetulnya masuk ke SMA yang sama denganku, tetapi dia harus sekolah ke kota lain ikut kakaknya yang bekerja di sana. Aku kecewa sekali.

Sebagai acara perpisahan, aku dan iwan mendatangi sungai tempat biasa kami bermain. Aku bernostalgia, kuceritakan bagaimana aku ingin mengenalnya sejak kelas satu, tapi dia sulit sekali didekati. Tetapi pengakuan Iwan lebih membuatku terkejut.

“Dimmy, kamu adalah bintang yang jauh untuk di dekati orang seperti aku. Kamu adalah bagian dari kelompok elite, bersama Dany, Johan, Juanda dan Abdi, kalian adalah orang-orang kaya dan tampan, kelompok orang yang pintar dan juara kelas, kamu aktif di OSIS, pusimu selalu masuk majalah dinding, engkau juara melukis, bacaan puisi dan prosamu mampu mengiris hati pendengarnya. Kamu begitu populer Dimmy, tak seorangpun di sekolah ini yang tidak mengenalmu”. Sambil duduk di atas batu sungai Iwan memelukku dari belakang, tangannya melingkari pinggangku dan jatuh di atas kemaluanku. Dagunya menempel dipundakku. Aku melayang.

“Tapi aku Dim, aku adalah bagian dari kelompok kurang beruntung, aku orang miskin, untuk melanjutkan sekolah di kota inipun, kami tak mampu, sehingga aku harus ikut kakakku ke kota lain, yang berarti aku harus meninggalkanmu, aku juga tidak sepandai kamu, dan aku tidak bisa apa-apa, tak ada yang mengenal dan tidak ada orang yang mau mengenalku. Adalah keberuntungan dapat mengenalmu dan menjadikanmu sahabat, walaupun mungkin kamu tak menganggapku sebagai sahabatmu” Dekapannya semakin erat. Seandainya aku tahu dari dulu Wan, tentu aku akan mencarimu dan menjadikanmu sahabat sejak kelas satu, bukan di kelas tiga, saat kita hanya bertemu beberapa bulan saja.

Kupegang tangan Iwan erat-erat sambil kutekan kuat-kuat. Aku tak ingin kehilangan saat-saat ini, dan aku ingin merasakan tiap detiknya lebih lama. “Wan, mutiara tetaplah mutiara, meskipun dalam lumpur yang dalam sekalipun, dan kamu adalah mutiara itu, sinarmu tetaplah cemerlang”. “Kamu tak perlu menjadi orang kaya, pintar dan terkenal untuk menjadi orang baik, karena kamu telah memiliki keteladanan yang baik dalam dirimu. Kamu mampu berbuat lebih, tetapi kamu tidak melakukannya, karena engkau hanya melihat kekuranganmu, tapi melupakan kelebihanmu”.

“Betulkan begitu Dimmy?” Tanya Iwan ragu. “aku yakin apa yang ku katakan Wan” jawabku pasti. “dan kau harus berjanji untuk menjadikan dirimu menjadi yang terbaik ditempat barumu itu”. “Aku berjanji Dim”. Dekapan Iwan semakin hangat, banyak kata-kata yang kami ucapkan, namun lebih banyak makna yang kudapat dari sikap geraknya kepadaku, aku ereksi, dan aku yakin dia juga begitu. Aku membalikkan badan, kucium pipi Iwan dan iapun melakukan hal yang sama. Sambil main-main ku gosok selangkangannya. Betul dia ereksi. Iwanpun membalas, kami saling tertawa-tawa saling menggosok kemaluan dan saling membalas lalu berlari-lari menghindar. Aku sebenarnya tak ingin menghindar, tetapi bagaimana mungkin ?. Sore terakhir bersama Iwan, sore yang membahagiakan.

Iwan akhirnya kuliah di salah satu IKIP negeri dan menjadi guru pada suatu daerah terpencil, sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Aku yakin, semua muridnya akan berkata “guruku tampan sekali”. Aku hanya mendapat kabar saja mengenai itu semua, kami tidak pernah bertemu lagi, kami hanya beberapa kali saling telpon.

***********

Ketika aku sudah menikah dan memiliki seorang anak, atas suatu keperluan aku harus kembali ke Indonesia sendirian, Ketika berjalan-jalan di Sarinah Thamrin, setelah selesai urusan di BPPT, seseorang memanggil namaku. Tentu aku heran, aku bukan berasal dari Jakarta dan sudah lama aku tidak ke Indonesia, tetapi ada orang mengenalku. Aku menoleh, sesorang yang sangat kurus menghampiriku. “Dimmy adikku, apa kabar” katanya .” Adikku ?”, “siapa yang dulu pernah berkata itu ?”, hanya kak Usri. Tetapi dia dulu sangat tampan ?.

“Kak Usri” kupegang bahunya dengan kencang, tetapi orang itu menepiskan kedua tangannya. Aku kaget. “Betul Dim, aku Usri”.

Kami makan di McDonald Sarinah, ditempat paling pojok, dan mendengarkan cerita kak Usri, kisah belasan tahun lalu. “Aku dulu sangat mencintaimu, lebih dari seorang adik, tapi itu tak mungkin, umur kita berjarak 5 tahun. Kamu seorang pria kecil yang tampan”. “Ketika acara perpisahan kakak untuk kuliah dulu, aku tahu kamu belum pulang, kamu duduk sendiri, itu memang kuharapkan. Aku dikamar mandi menunggumu masuk, ternyata benar, kamu masuk pada saat aku sedang telanjang bulat, aku senang sekali, sebenarnya aku ingin melakukan sesuatu yang lebih padamu, tetapi ketika engkau masuk dan menatap wajahku, aku merasa malu, naluriku berkata, bahwa aku tidak boleh melakukan yang buruk pada adikku, karena dia adalah belahan hatiku”.

Kepalaku terasa di pukul godam terasa berdenyut-denyut. “Kak Usri……….., kakak……???” kataku, suaruku parau suara pecah.

“Betul Dim….. aku gay, tetapi karena aku mencintaimu, aku tidak melakukan itu padamu dulu, karena aku takut, kamu bisa seperti aku nantinya, kamu adalah adikku yang hilang, dan aku tak boleh melukai adikku sendiri” Air mata kak Usri mengalir, kak Usri melarangku menghusap air matanya. “aku kena AIDS, Dim, dan jangan sentuh aku, aku takut kamu tertular, aku tadi juga melepaskan tanganmu dari bahuku, karena aku tak ingin kamu tertular, karena itu Dimmy, jangan terlalu mengikuti nafsu mudamu, engkau akan menyesal nantinya seperti kakak, hiduplah dengan lurus, karena akan ada kehidupan lain setelah dunia ini”. “Aku tidak takut dengan kakak, aku mencintai kakak” kataku sambil bangkit dari kursi dan memeluknya. Suaraku makin parau, seandainya kak Usri tahu. Tapi memang dia tak perlu tahu.

Kak Usri pergi meninggalkanku, tanpa meninggalkan alamat dan telpon, tiba-tiba dia pergi dari sisiku dengan pura-pura pergi ke WC, dan hingga saat ini aku tak tahu kabarnya lagi.

Satu persatu orang yang kucintai pergi dari sisiku, dengan segala kenangan yang manis dan pahit. mungkin itu anggapanku. Mungkin sebaliknya Dany, Johan, Juanda, Abdi, Iwan, Derry dan kak Usri merasa, akulah yang telah meninggalkan mereka, hanya yang tidak mereka tahu adalah bahwa aku mencintai mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.