Kamis, 29 Maret 2012

Karena Aku Mencintaimu 2

Semenjak acara perkemahan terakhir bersama Derry di kebun kopi miliknya aku berubah, paling tidak aku sudah berusaha berubah. Dan Derry telah berusaha dengan sangat sabar merubah aku dan Derry menjadi aku, Derry dan Tika. Kemanapun kami bertiga, sebenarnya aku tidak ingin menjadi penganggu bagi mereka berdua, tetapi Derry (bersama Tika) telah menjadikan aku menjadi sahabat mereka.

Tiga bulan menjelang ujian akhir SMA, aku, Derry dan Tika bersama dua belas pelajar lainnya dari sekolah kami mendapat kesempatan untuk mengikuti test BPPT (Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi) yang pada masa itu disebut dengan Proyek Habibie. Pada test pertama Derry gugur, hanya aku dan Tika yang terus, tetapi ketika memasuki tahap akhir, Tika dengan alasan keluarga mengundurkan diri, sehingga hanya aku dan tiga orang lainnya yang mewakili propinsiku menuju tingkat nasional. Kami bertiga lulus. Selama 6 bulan kami berjuang, dan aku lulus di fakultas informatika Delf University of Technology di Delf Belanda, padahal pada saat itu aku sudah diterima di Jurusan informatika di suatu institute teknologi negeri di kota Bandung. Enam bulan kemudian mati-matian aku harus belajar bahasa belanda, karena untuk S1di sana bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda.

Kami berdelapan belas yang diterima di Belanda, sebagian besar dari kami masuk di UT Delf itu, tapi tak satupun yang sejurusan dengan aku. Ketika aku berpisah dengan Derry, aku memeluk dan mencium pipinya, aku sengaja agak mengarah ke bibir, terasa basah oleh air mataku yang mengalir. Terima kasih Der, terima kasih atas cintamu, engkau tetap mengaggapmu sahabat disaat seharusnya engkau membenci aku.

Kami tiba di Delf pada bulan Juni, musim panas. Musim panas di Belanda merupakan surga bagi mata baik laki-laki dan perempuan (juga bagi aku). Hampir semua orang berpakaian minim, laki-laki hanya menggunakan celana pendek, kadang-kadang tidak memakai celana dalam, kelihatan kelaminnya bergoyang-goyang dan terlihat jelas di celana hawainya yang tipis, bahkan kadang-kadang kelihatan kelaminnya nongol dan mereka tidak berusaha menutupinya.

Teknik informatika tempatku kuliah merupakan bagian dari faculty Information Technology and Systems. Ada sekitar 1.800 mahasiswa kuliah di fakultas ini dari seluruh dunia, 200 orang diantaranya masuk bersamaan denganku yang dibagi di 4 kelas, masing-masing 50 orang.

Pada hari pertama memasuki kuliah, pelan-pelan aku menaiki tangga depan fakultas teknologi informasi dan sistem di Makelweg 4, Jalan Julianalaan, gedung 36 . Di dalam kelas tak satupun kukenal, yang menarik perhatianku adalah ada orang 6 berwajah asia dan 8 orang berkulit hitam (dari suriname) dan sisanya kulit putih. Acara perkenalan berlangsung menarik, aku memperkenalkan diri, ketika kusebut Indonesia, serentak suara kaget terdengar. Semua orang lancar berbahasa belanda, kecuali aku dan 6 Asia lainnya yang ternyata berasal dari Korea.

Hari pertama itu, aku merasa adalah orang yang terakhir yang keluar kelas, karena aku ingin tidak ada orang yang mengajakku ngobrol di jalan (padahal memang agak sulit mencari orang di Delft yang sukarela mengajakmu ngobrol, apalagi di universitas besar seperti ini). Tiba-tiba aku kaget sekali ketika seseorang menepuk punggungku. “Belum pulang”. Bahasa Belandanya bagus. Aku menggeleng. Marco sedang menatapku, senyumnya begitu manis, apalagi ditambah dua lesung pipitnya. Dia menarik kursi duduk depanku. Dia hanya bercelana pendek, aku yakin dia tidak pakai celana dalam, kuharap aku dapat melihat kelaminnya. “Kakekku dulu pernah bertugas di Indonesia”. Mataku terbelalak. Seakan bisa menebak apa yang ada di otakku, Marco buru-buru menambahkan, “dia staf duta besar di Jakarta”. “tentu saja” jawabku. “Kamu tinggal di Delft ?, suatu pertanyaan biasa, mengingat susah sekali mencari tempat tinggal bagi orang asing di Delf ini, sebab universitas ini tidak ada asramanya, mahasiswa kadang-kadang harus tinggal di Haque atau di Rotterdam. “Aku mahasiswa beasiswa” kataku, dan tinggal dengan teman lainnya dari Indonesia.

Marco kemudian menjadi bagian dari hidupku, aku banyak mendapatkan pengetahuan bahasa belanda dari dia,. Apalagi aku sering diajak ke rumah kakeknya yang fasih berbahasa Indonesia, sehingga pengetahuanku bertambah luas. Kami sering mengunjungi perpustakaan di lantai dua gedung 36 tempat kami kuliah. Mrs. Marina Lebedeva, penjaga perpustakaan selalu menyambut kami dengan ramah jika kami datang, karena dia merasa bahwa orang asing harus bersatu di Belanda ini, Mrs Lebedeva adalah imigran dari Croatia. Bahkan pada hari sabtu dan minggu kami juga sering ke perpustakaan pusat, karena perpustakaan fakultas tutup pada hari sabtu dan minggu. Padahal di sana kami hanya ngobrol, apa saja, sekaligus melatih bahasa Belandaku.

Rasanya aku memiliki saudara baru di negeri asing ini. Akupun sering menginap di rumah Marco, walaupun tradisi menginap di rumah teman merupakan sesuatu yang langka di sana, tetapi orang tua Marco menyambutku dengan hangat.

Marco, dia sering memelukku di saat tidur, bahkan dia tidak segan-segan berganti baju dan bertelanjang bulat di mukaku, dia juga sering mandi sambil telanjang di kanal-kanal yang banyak berada di sekitar universitas kami. Suatu pemandangan yang menarik dan gratis. Mandi di kanal adalah merupakan hal yang biasa di sana, tidak ada yang melarang, semuanya telanjang, bahkan kadang-kadang berjemur di pinggir kanal sampai sore.

Satu tahun sudah aku di Belanda. Suatu sore di musim gugur, angin bertiup sangat kencang, aku sedang berada di kamar Marco sambil memandangi daun-daun berguguran, coklat, kuning dan merah, suatu perpaduan yang menarik. Tiba-tiba Marco masuk kamar sambil manawarkanku untuk mandi. Pada cuaca seperti ini, siapa sih orang belanda yang mau mandi ?, tapi untuk orang Asia, yang biasa mandi dua kali sehari, tawaran seperti itu tidak akan disia-siakan. Aku mandi di air hangat, duh enaknya. Selesai mandi dengan handuk yang masih melilit pinggang aku keluar kamar, tidak kulihat Marco di sana. Tiba tiba aku merasakan di dorong. Marco mendorongku, aku jatuh tengkurap ke tempat tidur, Marco tertawa. Alangkah tampannya dia, tanpa busana dengan alat vital yang tegang. Marco menerkamku, menarik handukku sehingga aku telanjang. Aku berusaha mendorong Marco, tetapi tenaganya lebih kuat, dia menekan dadaku, membuka pahaku yang merapat, menekan selangkangannya di selangkanganku, dia menciumi seluruh tubuh dan leherku sambil bergerak maju mundur di atas tubuhku yang telanjang. Marco bermasturbasi di atas tubuhku. Beberapa waktu kemudia Marco ejakulasi, ia memeluk diriku rapat-rapat sambil menggerang-gerang.

Ketika Marco turun dari tubuhku secara reflek aku berlari ke kamar mandi sambil menyambar pakaianku, kubersihkan seluruh tubuhku yang basah oleh keringat dan sperma Marco. Hatiku menangis. Aku tidak ingin ini terjadi, tempat dimana seharusnya aku memulai hidup baru tanpa Derry. Marco mengetok-ngetok pintu kamar mandi memanggil namaku, tapi aku diam saja. Beberapa saat kemudian aku keluar kamar mandi, tak kuperdulikan permintaan maaf Marco, kuambil tas ku dan pulang ke flat ku.

Andi teman sekamarku tidak ada di tempat ketika aku pulang. Aku berusaha tidur melupakan kejadian dari tadi ketika pintu kamarku diketuk beberapa kali, Marco datang fikirku. Tetapi ternyata Emerg, petugas flat yang mengantarkan surat padaku. Tuhan, dari Derry.

Lebih dari setahun aku sudah “melupakan” Derry dan Tika, sengaja aku tidak memberi kabar ke sana, mungkin Derry sudah menganggapku sedemikian sombongnya sehingga tidak ada kabar berita dari Belanda ini. Ternyata dalam suratnya Derry yang kuliah tidak di kota kami mencari alamatnya ke rumahku ketika libur, ibuku sampai kaget karena aku tidak memberikan alamatku pada Derry. Maafkan aku saudaraku, aku berbisik sambil mencium surat itu. Aku menitikkan air mata. Aku akan segera berhubungan denganmu sesering mungkin.

Marco berkali-kali meminta maaf padaku, dan aku memaafkan dia, tetapi aku tak ingin berteman dekat lagi dengan dia, aku akan mencari teman baru lagi. Fryda, gadis yang dari awal masuk sekolah selalu mengejarku, kita kubuka pintu hatiku untuknya. Kucoba menjalin cinta dengan dia, seorang wanita cantik dari Amsterdam. Bukanlah suatu yang gampang merubah orientasi seksual, dari kecenderungan gay menjadi biseksual. Tapi harus.

Kuselesaikan kuliahku dalam waktu 4.5 tahun, setengah tahun lebih cepat dari waktu normal dan yang lebih menggembirakan lagi, orientasi seksualku mulai berubah, aku bisa merasakan cinta yang sebenarnya. Semuanya kumulai dari diriku, dengan penderitaan, dengan rasa menyalahkan, kenapa aku diciptakan dengan sesuatu yang berbeda, di saat orang seusiaku berdebar-debar menantikan cinta, tetapi aku harus menyimpan cinta. Disaat orang berbahagia menikmati cinta, aku harus menikmati sakit hati. Tetapi semua itu sudah aku lempar. Jika aku tidak bisa menjadi hetero seksual, minimal aku harus menjadi biseksual, itulah tekadku.

Dari beasiswa BBPT itu aku diharuskan mengikuti jenjang S2 di Universitas yang sama, aku mengambil Master di Fakultas itu juga, suatu master internasional, di jenjang ini bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris, bukan bahasa Belanda seperti di S1 dulu. Pada saat ini ada dua orang Indonesia yang bergabung.

Enam bulan kemudian, Marco juga ikut bergabung di kelas internasional ini, tetapi statusnya adalah adik tingkatku (di Delft University of Technology penerimaan mahasiswa adalah 2 kali setahun dengan 4 kali wisuda). Marco selalu mendekatiku dan berusaha menjadikanku temannya kembali. Aku selalu meyakinkan dia, bahwa dia tetaplah sahabatku yang banyak membantuku memperbaiki bahasa Belandaku.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.