Rabu, 28 Maret 2012

Karena Aku Mencintaimu

Lambat-lambat aku menuruni tangga sekolah menuju kelasku. Sekolahku memang unik, karena berada di atas bukit, jadi kalau menuju ke kelas tidak naik tangga melainkan turun tangga. Hari masih pagi jadi belum banyak siswa yang berlalu lalang. Udara memang cerah, sehingga tetes embun diatas rumput mulai tidak betah dan menghilang tersengat sinar mentari. Aku membelok lewat kelas I 5 ketika tiba-tiba Derry muncul sambil berteriak “haaaa”. Jantungku hampir copot. Mataku melotot menatap Derry yang tertawa terpingkal-pingkal……… Dim..Dim…….. teriaknya, kamu jangan melamun dong. Pagi-pagi begini melamun, bisa hilang rejeki.

“Sialan Der, kamu harus tanggung jawab kalau aku sampai mati berdiri gara-gara kamu ngagetin aku seperti itu”. “iya deh, aku minta maaf” katanya sambil menepuk pipiku. Anganku terasa melayang.

Derry, temanku sejak kelas satu. Dua tahun lebih kami selalu sekelas dan kini di kelas tiga inipun kami selalu sekelas, dan nama kami di absenpun tidak pernah jauhan karena namanya dimulai dengan sama-sama D. Derry dulu, baru Dimmy namaku. Kamipun duduk lebih sering sebangku, walaupun kadang-kadang tidak juga, karena ada wali kelas yang kadang-kadang sok ngatur memindahkan tempat duduk orang seenak perutnya sendiri..

Eh, aku duluan ya….. kalau kamu mau melamun……, kamu tidak akan pernah sampai ke kelas. Belum sempat aku menjawab Derry berlalu dari depanku sambil melambai-lambai tangannya.

********

“Dim, kamu sedang ada kerjaan nggak ??”, Tonny, temanku dari kelas 3 IPA 2 mendekatiku. Aku menggeleng. “kenapa ??”. “Bantuin aku nulis surat dong”. Aku tersenyum mengiyakan. Tonny adalah orang kesekian yang minta bantuanku menulis surat. Semua orang disekolah ini tahu, aku adalah orang yang paling laris menulis di mading sekolah. “Nulis surat ke siapa sih??” aku pura-pura bodoh. Aku tahu, dan semua orang juga pasti tahu, Tonny sedang mengincar si Rini teman sekelasku. “Rini” jawab Tonny sambil berbisik. “Tepat” fikirku

Perpustakaan adalah tempat yang tepat untuk menulis surat, sambil pura-pura membaca dan berdiskusi, tidak akan ada yang memperhatikan itu. Aku mendiktekannya dan Tonny akan menuliskannya, kepala kami hampir beradu, nafas Tonny terasa memantul dari meja ke wajahku. Secara sepintas aku mencuri pandang ke wajah Tonny. “Engkau beruntung Tonny” aku membathin, Engkau memiliki wajah yang begitu tampan dan badan yang begitu atletis. Tanpa surat inipun semua wanita, termasuk Rini akan bertekut lutut mengharap cintamu. “ kenapa kamu tidak bilang langsung saja ke Rini, Ton ?” tanyaku pura-pura bodoh…. Haaa…… matanya yang bening membulat menatapku. “Aku bisa pingsan Dim. Apalagi kalau sampai ditolak”. “Tidak akan” fikirku, Tetapi yang keluar dari mulutku adalah “iya, ya, kalau surat paling-paling dibakar atau disobek”. Tonny tertawa, kalau dia nolak, paling juga aku nggak akan ketemu dia lagi. Malu.

Dari jendela perpustakaan aku melihat Derry melintas menuju kantin bersama Tika. Jantungku berdegup. Ada apa ini ?. Aku pura-pura tak perduli. “Gimana Ton ?” tanyaku pada Tonny selesai dia membaca suratnya. “Bagus sekali” katanya sambil mencium surat merah jambunya yang wangi. Terima kasih ya, imbalannya nanti, kalau sudah dapat jawaban dari doi. Biasanya aku akan protes jika teman lain yang minta dibuatkan surat mengatakan seperti itu, karena aku akan minta traktir untuk surat yang ku buat dan traktir lagi jika jawaban dari doi-nya diterima. Tapi kali ini tidak. Bayangan Derry dan Tika yang telah berlalu lebih menyita perhatian benakku untuk memikirkannya.

Jadi, gosip tentang Derry dan Tika itu benar, atau paling tidak mendekati benar. Aku menggigit bibirku, jantungku berdegup lebih kencang lagi.

Tapi kenapa ?, pohon akasia di halaman sekolah bergoyang ditiup angin seolah mentertawakanku, bunga-bunga kuningnya berguguran. Aku hampir berteriak kaget, ketika Tonny menepuk punggungku dan mendorong kursinya sambil terteriak “terima kasih Dim”. Ternyata aku masih di Perpustakaan, yang kini makin sepi sesepi hatiku. Dengan enggan aku meninggalkan perpustakaan ketika terdengar bel masuk kelas. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah hari ini. Aku ingin pulang, aku tidak ingin bertemu Derry, aku ingin menghibur hatiku.

Debu jalanan menerpa mukaku, aku tak perduli, sinar matahari begitu panas menyengat, aku lebih tak perduli………. Siapa yang perduli aku ??

“Derry dan Tika”. Aku menarik nafas dalam-dalam. Suatu pasangan yang ideal, yang satu tampan dan yang satu cantik. Kedua-duanya bintang di sekolah, sama-sama pandai dalam pelajaran, Derry pandai main Basket dan Tika jago nyanyi.. Aku bisa apa. Aku mendesah. Seorang ibu menatapku terheran-heran mendengar desahku yang bernada kesal. Aku pura-pura tak tahu.

Tika pindah dari sekolah lain ketika kami kelas dua, tetapi kami tidak pernah sekelas. Dia langsung melejit, menjadi juara kelas, aktif di OSIS dan menjadi populer di kalangan cowok sekolah, sekaligus membuat cewek iri. Termasuk aku tentu saja, apalagi kini dia telah “merampas” Derry dari aku. Aku menggigil ketika memasuki halaman rumahku. Ku hempaskan tubuhku dikasur dan menatap langit-langit. Anganku melayang, bayang Derry membayang. Kukhayalkan Derry menghibur dan mengatakan bahwa semuanya tidak benar. Tapi bagaimana mungkin ???

Aku mengingat beberapa kali Derry tidur dirumahku dan aku tidur di rumahnya. Derry kalau tidur sangat lelap, terkadang dia memelukku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku takut dia terbangun. Kadang-kadang aku aku nekad juga memegang pipinya dan memegang kumisnya yang baru tumbuh halus-halus. Bibirnya yang merah jambu setengah terbuka, indah sekali, aku ingin menciumnya.

Aku kadang-kadang rela tidak tidur cepat-cepat dan memaksakan diri untuk bangun pada malam jam 3, karena aku tidak ingin kehilangan momen melihat wajahnya yang tampan dan pada jam-jam seperti itu banyak posisi tidurnya yang menarik. Bajunya kadang-kadang tertarik sehingga aku dapat melihat pusarnya, celana pendeknya tertarik dan terangkat sehingga aku dapat melihat bijinya nongol, dan selalu pada saat-saat seperti itu dia ereksi sehingga celananya kelihatan kembung. Dan yang paling menyenangkan adalah jika aku datang ke rumahnya, dia hanya memakai celana pendek jeans, karena jika begitu, aku pasti bisa mengintip bijinya yang keluar dari bagian bawah celananya, merah jambu mengkilat.

“Dim, ada telpon” Ibuku memanggilku, “dari Derry”. Deg, jantungku seolah-olah berhenti. Diantara keraguan untuk menerima atau tidak, aku lari ke arah telpon dan mengambilnya. “Hallo Der” suaraku terdengar sumbang. Aku benci itu. “Hai Dim. Kamu tidak masuk setelah istirahat tadi, kenapa ?, kamu sakit ya” Kata Derry. “Tidak” jawabku. “tidak tubuhku, tapi hatiku” ucapku dalam hati. “Aku cuma agak pusing sedikit tadi, tapi sekarang sudah baikan”. “Syukurlah” kata Derry lagi, “berarti siang ini kamu bisa dong datang ke pertandingan Basket”. Pertandingan basket ??, cuma untuk menyaksikan Derry dan Tika semakin dekat ?. “Mungkin kali ini aku tidak bisa datang Der” ucapku pelan-pelan. Menyesal aku bilang sudah baikan, seharusnya aku bilang aku masih sakit. sunyi sejenak “minggu depan mungkin bisa” aku buru-buru menambahkan. “Baiklah” kemudian punyi tuuuut panjang, tanda telpon diseberang sana sudah dimatikan, tanpa kata-kata sebelumnya. Mungkin Derry marah padaku, karena akulah partnernya main basketnya yang paling diharapkannya datang, karena kemarin aku sudah janji dan lagi bintangnya selalu aku dan Derry. Padahal terus terang, aku lebih suka main volley daripada basket, tetapi demi Derry aku rela main basket berpanas-panas, aku berlatih keras agar ku menjadi dekat dengan Derry. Sekali lagi demi Derry. Tetapi sekarang ??. Buyi tuuut itu berubah menjadi nada tulalit, aku tersadar dan menutup telepon.

********

“Kita kalah”. Itulah ucapan pertama ketika Derry menemuiku besok harinya, wajahnya kelihatan kesal. “Maafkan aku aku Der”, “tapi sebenarnya aku masih sakit kemarin sore”. Aku tidak bohong. Tapi Derry sudah tidak perduli, karena dari pintu kelas, Tika melambaikan tanganya memanggil Derry.

Derry. Mataku terasa panas. Haruskan aku tidak masuk kelas lagi hari ini. Sedangkan ini baru permulaan, berarti aku bisa tidak masuk kelas setiap hari. Apakah aku harus pindah sekolah agar tidak melihat mereka lagi?.

Tiba-tiba aku tersentak. Cengeng sekali aku. Terbayang wajah dua adik perempuanku, ayah dan ibuku. Masak mereka harus ikut menanggung perasaanku yang sedang hancur ini. Mereka mencintaiku. Dan aku tak ingin Derry merusaknya. Maksudku Tika yang merusaknya.

********

“Dim. Ada apa dengan kamu?” Sore itu Derry datang ke rumahku. “Kamu sekarang lebih sering diam dan tidak bersemangat, kamu marah sama aku ya?”. Aku tertawa “tentu tidak Der, aku tidak apa-apa”. Tetapi suaraku bergetar, suara tawaku rasanya seperti bunyi pintu yang bertahun-tahun tidak diminyaki. “Masalah pribadi biasa, dan tidak ada hubungan dengan siapapun di sekolah kita, apalagi dengan kamu”. Rasanya aku mendengar seperti suara yang hampir menangis, parau. Aku coba kendalikan diri. “Benar Dim, kamu tidak marah sama aku ?, tetapi apa masalah pribadimu kalau aku boleh tahu”. “Masalah pacar barangkali” Derry mencoba bercanda. Tapi punggungku terasa tertusuk besi dingin, tembus di jantungku. Aku tertawa, tanganku memukul punggung Derry. “Macam-macam kamu Der, mana ada yang mau sama aku. Kamu kan bersama aku terus sejak kelas satu. Aku mana ada pacar kan”. Aku menyindir Derry tentu saja. Tetapi kau tidak pernah memperhatikan aku, hatiku menuntut. Aku terus tertawa. Tetapi Derry tidak suka. Dia mencengkram pangkal lenganku dengan keras. “Dim, aku serius nih, aku kan temanmu, mungkin aku bisa bantu”. Cengkramannya terasa sakit, tetapi aku suka itu. Peluk aku Der, dekap aku, hibur aku. Tetapi aku melepaskan cengkramannya, sayang sebetulnya, “betul Der, aku tidak apa-apa, aku hanya butuh hiburan. Mungkin aku harus mencari udara segar. Sudah itu…… bereeeesssss semua”.

********

Derry mengajakku untuk berkemah untuk melepaskan stressku (ini istilah Derry) menginap di kebun ayah Derry hanya berdua. Sebuah tempat yang indah, kebun yang penuh tanaman kopi yang dilalui oleh sungai berbatu-batu. Kami memasang tenda di pinggir sungai yang landai tapi tidak becek karena banyak batu-batu koralnya. Tempat yang sejuk karena berada di punggung sebuah bukit. Kami mengobrol dengan asyik. Suasana yang aku impikan sejak dulu (walaupun kami sering berkemah di tempat ini berdua, tetapi situasinya beda, kala itu belum ada orang lain diantara kami). Sore sabtu itu Derry memutuskan untuk tidak mandi karena cuaca dingin. Tapi aku tentu saja protes. Bau alasanku, walaupun terus terang, kalau aku tidak memaksanya mandi, kapan lagi aku bisa melihat Derry hanya memakai celana dalam dalam keadaan basah hingga kemaluannya jelas di balik celana dalamnya. Tetapi Derry mengajukan syarat, dia mau mandi tanpa pakaian apaun, karena dia tidak mau membawa barang basah esok harinya. Berat katanya. Tentu saja aku setuju. Jam 3 sore kami mandi, karena jika lebih sore lagi akan lebih dingin lagi. Kami mandi dengan asyik, mataku tak lepas mencuri pandang ke selangkangan Derry. Kemaluannya berwarna coklat muda, penuh bulu dan disunat. Indah sekali. Dan yang lebih menyenangkan, ternyata kami tidak membawa handuk sama sekali, jadi untuk mengeringkan badan kami hanya menjemur diri di atas batu besar. Kemaluan Derry tampak semakin indah, bijinya menggantung merah jambu. Aku ereksi, untung aku membawa kaos yang kututupkan ke kemaluanku, sehingga Derry tidak mengetahuinya.

********

“Dim, kita sudah berteman hampir tiga tahun, baru kali ini aku melihatmu begitu aneh, kau kelihatan tidak semangat dan seakan-akan membenciku”. Derry memandangku dengan tajam, matanya berkilat-kilat terbias api unggun dihadapan kami. Dia sudah beberapa kali menuduh bahwa aku membencinya. Aku memandangnya. “Itu tidak benar Der, aku tidak pernah membencimu, tapi aku hanya punya masalah pribadi saja”. “Masalah apa?, kenapa aku tidak boleh tahu, Dim ?, aku sahabatmu kan, siapa tahu aku bisa membantumu”, Derry meletakkan tangannya di atas pahaku. Tuhan. Jantungku berdesir. “Aku mencintai seseorang, yang ternyata tidak mencintaiku”. Aku tidak bohong. “Siapa dia Dim?” Derry menatapku heran, “semua gadis di dunia ini pasti memimpikan mendapatkan seorang pria seperti kamu”. Tapi tidak seorang pria seperti kamu, aku membathin, kali ini hatiku menangis. “Biarlah aku yang menyimpan orang yang kucintai itu Der, aku akan merawat cinta itu dan menjaganya hati-hati. Toh cinta tak harus memiliki, biarlah aku memilikinya dari jauh”. “Sekali lagi Dim, siapa gadis itu ?” Derry memaksaku. Gadis ?, fikiran itu yang selalu ada di kepala Derry. Aku menggeleng. “Kau tidak percaya aku Dim ?, ku kira aku adalah orang yang kamu percaya” kata Derry sambil menatap api unggun. “Apakah dia itu Tika” Derry menatapku makin lekat, ”jika memang dia, aku rela memberikannya untuk kamu”. “Tentu bukan Tika, Der”, tapi hatiku berkata “ya”. “Dan karena aku percaya kamu Derry, aku tidak akan mengatakannya, tapi aku berjanji padamu untuk menjadi aku yang dulu, yang tetap menjadi sahabatmu, dan kamupun harus berjanji tetap menjadi sahabatku”. Derry menatapku, akupun menatapnya, secara refleks kami saling berpelukan. Aku menangis. Derry memelukku dengan erat. Tuhan ijinkan aku memilikinya.

********

Bias sinar mentari tetap bagaikan lima belas tahun yang lalu, pohon-pohon akasia itu sudah semakin tua namun makin kokoh. Lima belas tahun yang lalu aku berada di sini. Mencintai seseorang yang kini sudah berkeluarga dan memiliki 3 orang anak. Kami tidak pernah bertemu muka lagi sejak perpisahan SMA, tetapi kami tetap berkirim surat, kemudian telpon dan akhir-akhir ini e mail. Tapi sebentar lagi aku akan menemuinya. Menemui sahabatku yang menjadi belahan hatiku sampai aku berjuang untuk melepaskan diri darinya dari orang yang aku cintai menjadi seorang sahabat.

“Dad, you said that you want to bring me to your old friend, our new uncle”. Anakku yang pertama yang berumur 5 tahun memprotesku karena terlalu berlama-lama di sekolahku dulu. “of course honey, we’ll go there”. Anakku yang kedua yang berumur 2 tahun duduk sambil lambai-lambai tangannya dan berteriak-teriak memanggilku di mobil bersama istriku menanti kami.

********

Ketika tamat SMA, aku mendapat beasiswa dari BBPT untuk bersekolah di Belanda, selesai master enam tahun kemudian, sebuah perusahaan riset di Jerman mengajakku bergabung dan mengganti semua biaya sekolahku, tiga tahun kemudian aku mendapat posisi di Inggris sebagai marketing manager di perusahaan Jerman itu.

Sepuluh tahun aku berjuang untuk melepaskan dunia Derry dari diriku, melebur diriku menjadi orang lain, dan setelahnya aku menikah dengan orang Inggris berdarah sepertiga inggris, sepertiga Armenia dan sepertiga Azerbaijan dan memiliki dua anak. Kini aku sedang berkendara menuju rumah Derry dan Tika. Dua orang sahabat yang kucinta dan aku tidak akan menukarnya dengan apapun.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.