Senin, 31 Oktober 2011

Love in Hong Kong

Aku melihat jam tanganku yang sekarang ini menunjukkan pukul 05.30 pagi waktu Malaysia. Alarm yang membangunkanku dari tidurku yang nyenyak masih berdering disebelahku. Sesegera mungkin aku bangun dan bersiap-siap, karena aku harus mengejar pesawatku ke Hong Kong jam 06.30 pagi ini waktu Malaysia.

Sesampainya di airport Kuching, jam menunjukkan pukul 06.25. Aku benar-benar nyaris terlambat! Walaupun begitu, aku tetap saja terburu-buru, karena untuk segala urusan imigrasinya akan cukup repot dan memakan waktu. Belum lagi harus mencari dimana Gate pesawatku menuju Hong Kong. Dalam ketergesaanku, tanpa sengaja aku menabrak seorang Bule yang amat tampan dan menjatuhkan beberapa barang bawaannya.

"I'm sorry." kataku sambil membantunya membereskan kembali barang-barangnya yang terjatuh.
"It's ok!" balasnya sambil tersenyum manis. Hatiku langsung runtuh melihat senyuman itu.

Oh, ya. Sepertinya aku lupa mengatakan bahwa aku adalah seorang pria yang berumur 22 tahun dimana orientasi seksualku adalah kepada sesama jenis. Jadi, orang Bule tadi, tentu saja, menjadi salah satu target perhatianku. Apalagi Bule tersebut 'hot' banget!

"Here they are." kataku sambil memberikan barang-barangnya yang kubereskan akibat kecelakaan kecil tadi. Aku tersenyum kecil."Sorry, I get to go."
"Nope."

Perjalanan di dalam pesawat kuhabiskan untuk membayangkan seandainya aku bisa dekat dengan orang Bule tadi dan memiliki suatu hubungan khusus dengannya. Jadi bisa dikatakan perjalanan yang cukup menarik, untuk permulaannya saja.

Pesawatku singgah di bandara international yang ada di Singapore. Jadi untuk 30 menit kedepan aku punya waktu untuk mengisi perut dan juga cuci mata di sana. Setelah makan di sebuah cafe di sebelah Barat dari gate pesawatku, aku mengunjungi sebuah toko buku. Di sana aku langsung menuju ke rak majalah. Apakah aku belum bilang bahwa liburanku kali ini hanya ada aku sendiri saja? Disitulah asyiknya.

30 menit berikutnya aku sudah ada di pesawat lagi. Dan hal yang membuatku sangat gembira, Bule tadi yang kutabrak sewaktu di airport Kuching, ternyata duduk disebelahku. Dan syukurnya, ingatannya juga cukup tajam, sehingga dia juga mengenalku. Namanya David. Segera saja aku mengajaknya berbincang-bincang sedikit. Ternyata tujuannya sama denganku, Hong Kong.

Sesampainya di airport international Hong Kong, dengan berat hati aku harus melepasnya. Walaupun hanya sebentar saja, namun pertemuan kami memberikan kesan yang mendalam di hatiku. Semoga saja bisa bertemu kembali.

Minggu pertama liburanku kuhabiskan dengan berjalan-jalan mengunjungi beberapa tempat liburan yang ada di Hong Kong: Central Park Garden, Ocean Park, Tsim Sha Tsui Harbor, dan banyak lagi. Namun baru awal minggu kedua aku baru bisa menemukan dimana tempat clubbing bagi para 'teman-teman' sepertiku di Hong Kong.

Aku mengunjunginya pada hari berikutnya dimana waktu baru saja beranjak malam, sekitar pukul 06.30pm waktu Hong Kong. Tempat itu tidak terlalu ramai pengunjungnya. Aku bertanya kepada bartender yang ada di tempat itu dengan bahasa Kantonese yang kaku.

"Kamu bukan orang sini ya?" tanya bartender tersebut. "Kalau ingin clubbing, paling bisanya hanya sekitar jam 08.00pm."
"Oh, begitu." jawabku kecewa
"Tapi kalau mau coba, naik aja ke atas. Memang sudah datang beberapa orang tadi." katanya membesarkan hatiku.

Aku datang hari berikutnya ketempat yang sama. Dan sama seperti kemarin, aku hanya bertemu dan berbicara dengan beberapa orang saja. Kebanyakan yang aku temui adalah para gigolo yang bekerja di sana, dan sedikit pengunjung. Namun tidak ada satupun yang menarik minatku untuk sesuatu seperti holiday relationship.

Keesokan paginya aku mengunjungi pasar murah di Mong Kok. Pasar murah ini sejenis dengan lelong di Indonesia. Aku melihat ke beberapa tempat dan membeli beberapa barang yang menarik hatiku: baju, tas, dompet, jam tangan, dan macam-macan souvenir. Saat aku berada di sebuah stand pakaian, sebuah suara menyapaku.

"Kuang?"
"Yup." aku berbalik menghadapi si penyapa. "Whoa! Hi, David!"
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dalam Bahasa Inggris.
"Shopping." jawabku pendek."Benar-benar kebetulan banget! Lagi ngapain di sini?"
"Sama." katanya sambil mengangkat bahu."Kulihat kamu borong cukup banyak."
Aku tertawa renyah, "Yah, begitulah." kuangkat belanjaan ditangan kanan dan kiriku."Kamu sendiri gimana? Ada beli sesuatu, nggak?"
"Dikit." dia menunjukkan belanjaan yang dipegang tangan kanannya."Sudah makan siang nggak?"
"Sebenarnya abis dari sini baru mau nyari tempat yang enak buat makan." aku mengeluarkan 2 lembaran 20 HK$ untuk membayar si penjual."Mau kutraktir?"
"Boleh," dia mengangkat bahunya."Selama bukan KFC, McD, dan Pizza Hut, kamu bisa ntraktir aku makan. Aku sudah cukup bosan makan itu."
"Jangan khawatir, aku sendiri enggak begitu suka."
"Bagus!" serunya.

Kami berdua makan siang di restoran kecil ala Kanton yang terdapat didekat pasar murah tersebut. Setidaknya David menikmati menunya. Sementara aku sendiri menikmati waktu dimana aku bisa sekali lagi bertemu dengan David dan bisa makan siang bersama. Benar-benar suatu kejutan yang menakjubkan. Aku selalu bertanya-tanya di distrik manakah David tinggal di Hong Kong sekarang ini. Selalu memikirkan kira-kira kapan aku bisa bertemu kembali dengannya semenjak perpisahan terakhir di Hong Kong International Airport. Tanpa diduga bisa bertemu secepat ini.

"Hey, Dave," aku memanggilnya dengan nama panggilan yang kurasa manis untuknya."Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Holiday." dia agak terkejut dengan nama panggilan yang kugunakan.
"Ehm, kamu enggak keberatan kalau kupanggil 'Dave', kan?"
Dia tersenyum, "Ok. Aku suka nama panggilannya."
"Holiday, yah. Jadi kamu tinggal di hotel?" pancingku.
"Eh," katanya sangat membantu memberiku petunjuk."Ya." jawabnya dengan nada yang tidak begitu yakin.
"Bukankah mahal tinggal dihotel?"
"Yup. Kira-kira begitu." dia mengangkat alisnya."Kamu sendiri bagaimana?"
"Aku tinggal di tempat kakakku. Dia tinggal dan bekerja di sini lalu menikah." Aku tersenyum, "Sudah punya satu keponakan, lho!" ujarku bangga.
"Congratulations! Bagus sekali."

Kami menikmati makan siangnya dan terus bercakap-cakap mengenai diri kami sendiri masing-masing. Selalu saja terpikirkan olehku: 'Astaga, seandainya saja dia 'sama' denganku, mungkin sudah kuajak kencan'. Walaupun dia ramah sekali, kadang-kadang terpikir olehku bahwa 'ramah'-nya Dave hanya sekedar baik saja terhadap orang lain.

"Ada kemungkinan kita ketemu lagi enggak ya?" tanyaku saat kami sudah selesai dengan makan siang kami.
"I'm not so sure."
"Seandainya saja bisa. Kamu orangnya menyenangkan."

Dave agak terkejut dengan keterus teranganku.

"Hey, kuberikan nomor HP kakakku yang selalu kubawa kalau aku keluar."

Aku mengambil selembar kertas memo dan menuliskannya.

"Kamu bisa menghubungiku kapan saja jika ingin kubawa ketempat-tempat rekreasi yang bagus, atau jika ada sesuatu." kuberikan nomorku kepadanya.
Nada suaranya agak ragu saat berkata, "Well, aku enggak begitu yakin tentang ini. Bukankah akan agak.."
"Merepotkan?" potongku cepat.
"Tentu tidak!" kataku.
"Sekarang aku sudah menganggapmu sebagai teman. Dan setidaknya aku sudah datang ke sini beberapa kali, maksudku ke HK ini, dan mungkin sudah tahu banyak tentang tempat ini daripada kamu, kecuali kamu sudah datang ke sini lebih dari 5 kali." kataku sambil tertawa.
"Ambil saja. Telepon saja aku kapanpun kamu merasa ingin atau butuh." kutekankan nada bicaraku pada beberapa kata terakhir.
"Ok." dia tersenyum. "Thanks for this and the lunch."
"Nope." aku balas tersenyum."Thanks for your time. Bye."
"Bye"

Beberapa hari kemudian aku masih mengharapkan telepon dari Dave, walaupun aku tahu hal ini tidak akan mungkin terjadi. Dan Dave memang tidak menelepon sama sekali dalam beberapa hari itu, sampai..

"Hallo, siapa ini?" aku baru saja mengangkat telepon dari seseorang yang tidak kukenal di HP ku. Tidak ada jawaban. Sejenak kemudian aku tersadar, "di sini Kuang, siapa di sana?" ulangku dalam bahasa Kanton yang agak kaku.
"Bisa datang ke sini dan jemput teman kamu? Madison Bar dan Cafe di Madison Shopping Centre. Cheung Sam Fo Rd,2/F14 Blk."
"Ok," kucatat dengan cepat alamatnya."Tapi siapa temanku?"
"Seorang bule berumur sekitar 30-an tahun, dan aku menemukan nomormu di sakunya.."
"Ok, aku ke sana dalam 15 menit."

Aku bergegas mencari stasiun MTR terdekat di Tsim Sha Tsui Harbor dan langsung mengambil jurusan Admiralty. Butuh waktu sekitar 10 menit di dalam stasiun Admiralty sebelum aku bisa menemukan jalan keluar stasiun yang benar untuk menuju Madison Shopping Centre. Dan sekitar 5 menit berikutnya menemukan jalan yang benar berikut Madison Bar dan Cafe-nya.

Aku masuk secepat mungkin dan melayangkan pandanganku kelantai 1 ini. Tidak ada bule yang perlu dijemput karena mabuk. Aku bergegas kelantai 2, "Maaf, anda tidak bisa lewat sini." kata pramusajinya. "Ini klub pribadi."

"Maaf?" tanyaku setengah tidak sadar dan juga setengah tidak mengerti."Aku tidak boleh lewat?" tanyaku dalam bahasa Inggris.
"Ya." tegas pramusajinya.
"Tapi barusan aku ditelepon dan katanya aku perlu menjemput seseorang yang mungkin lagi mabuk atau apa." aku sendiri dapat mendengar kepanikanku.
"Kalau begitu tanda pengenal anda?"
"Passport?" tanyaku sambil mengeluarkan passportku. "Aku seorang pendatang, sama seperti orang yang perlu kujemput ini. Apakah kamu benar-benar tidak dapat membantu?" tanyaku penuh harap.
Dia melihat passportku, "Ok, ikut saya."

Pramusaji tersebut mengantarku ke lantai 2. Aku kembali melihat sekelilingku. Masih tidak ada. Apakah di lantai 3?

"Apakah ada lantai ketiga di sini?" tanyaku.
"Ya, tapi itu.." katanya menerangkan, aku bergegas menuju lantai 3 tanpa menunggu untuk diantar. "Hey, tunggu!"

Sesampainya di atas, aku dihadapkan dengan gambaran yang mengejutkan. Semua orang diruangan ini laki-laki, dan mereka adalah homoseks! Mengabaikan perasaan janggal yang ada di dalam hatiku, aku sesegera mungkin mencari Dave. Dan dia kutemukan di depan meja bartender."Dave?" panggilku.

"Dia sudah begitu sejak tadi." kata bartendernya."Kamu yang tadi di telepon?"
"Ya," jawabku singkat."Dave?"ku guncang bahunya yang kekar.
"Hey, tunggu!" pramusaji yang tadi masih mengejarku."Anda tidak boleh.."
"Tidak apa-apa," potong sang bartender cepat."Aku yang meneleponnya."
"Dia mabuk berat. Apakah anda tidak bisa melakukan sesuatu?"
"Sebaiknya anda bawa dia pulang sebelum dia membuat keributan di sini. Tadi hampir saja terjadi saat seseorang mendekatinya." bartender tersebut memberikan sebotol air mineral dingin. "Beri dia ini. Mungkin akan membantu."
"Thanks."

Aku langsung memapah Dave keluar dari sana. Walaupun hatiku bertanya-tanya mengapa Dave ada di tempat seperti ini, atau tepatnya mengapa Dave memilih tempat ini untuk minum, aku tetap lebih bertanya-tanya bagaimana caranya dan kemana aku bisa membawanya pulang.

Kubawa dia ke taman terbuka terdekat, masih di Madison Shopping Centre. Ku sandarkan dia disalah satu kursi taman yang ada. Aku mencoba membuatnya meminum sedikit air mineral yang diberikan bartender tadi. Aku juga mencoba menyegarkan wajahnya dengan menyeka wajahnya dengan saputanganku yang sudah kubasahi dengan air.

"Dave?" panggilku sekali lagi. Dia hanya mengerang sebagai jawabannya.

Ok, jadi keadaannya cukup gawat. Kami berdua tidak bisa berlama-lama di sini, kecuali kami ingin dibawa ke pos polisi terdekat dalam 2 jam kemudian. Aku mencari-cari ke dalam sakunya, setidaknya jika bisa menemukan kartu identitas, passport, kunci hotelnya, atau sesuatu.

Kemudian aku menemukan sebuah kunci mobil di saku kirinya berikut karcis parkir di Madison Park Centre B2. Cukup mendebarkan saat aku harus merogoh sakunya dalam keadaan seperti ini. Setiap lekuk otot pahanya yang keras cukup menggodaku untuk melakukan tindakan yang agresif. Dan aku menemukan kartu tanda pengenal kerjanya di dalam jasnya. Dia punya flat di sini! Di daerah Sha Tin. Jadi yang harus kulakukan hanya mencari mobilnya di area parkir dan mengantarnya ke alamat yang ada di kartu tanda pengenalnya.

1 jam kemudian aku sampai di depan flat tempat Dave tinggal. Kemungkinan sebuah flat dengan developer swasta karena bangunannya begitu megah. Well, setidaknya dia sedikit berbohong kepadaku, pikirku. Aku memarkir mobilnya di tempat parkir yang disediakan dan membawanya masuk ke dalam resepsionis flat. Aku tidak mendapatkan kesulitan dengan penjaga kunci-sepertinya Dave sering membawa beberapa temannya kerumah dan tiak jarang dia pulang diantar dalam keadaan mabuk-dan segera membawanya ke flatnya di lantai 4.

Aku langsung membawanya ke dalam kamar di flatnya. Flat yang bagus dan lumayan luas. Mungkin bisa kusebut sebagai aparteman kecil. Kubaringkan Dave di tempat tidurnya dan melepaskan sepatunya serta ikat pinggangnya. Aku sempat berpikir untuk menggantikan pakaiannya sebelum terpikir olehku apa yang akan aku lihat dan apa yang akan aku lakukan nanti. Well, ternyata tidak seberani sikapku yang di luar, tentu saja. Walaupun aku berniat untuk mencari holiday gay relationship, belum tentu aku berani melakukannya jika hal itu telah tersedia. Dave jelas seorang gay, kecuali jika dia punya alasan lain yang masuk akal dan sangat kuat untuk menjelaskan mengapa dia bisa sampai minum-minum di bar tempat para homoseks berkumpul.

Handphoneku berbunyi pas disaat aku sedang mencari sesuatu yang dingin di kulkas untuk kuminum, "Ya?"
"Kuang? Kamu tadi kemana? Sekarang sudah jam berapa? Emangnya kamu enggak pulang?" ternyata kakakku!
"Eh, itu.." aku kebingungan untuk menjelaskannya."Kayanya malam ini aku enggak pulang." tegasku. "Dengar dulu," potongku cepat saat kakakku ingin protes."Akan panjang lebar kalau aku jelaskan. Tapi aku dapat teman di sini dan dianya lagi mabuk. Aku kemarin ada kasi no HP ke dia, jadi aku di telepon sama bartender tempat dia minum-minum. Sekarang aku ada dirumahnya. Aku enggak bisa ninggalin dia sendiri di sini. Bahanya. Besok aku baru pulang, pagi-pagi. En temanku ini bakal kuseret kerumah ntar untuk minta maaf ama Ling Cie, Ok?"

"Tapi.."
"Sori. Tapi aku rasa nggak ada ide yang lebih baik dari ini. Sudah enggak ada bis lagi ke Yuen Long dan MTR hanya sampai Tsuen Wan. LTR juga sudah off, kan? kalau mau minta Cie Fu jemput, ini sudah jam berapa? Bukannya Cie Fu besok masih perlu kerja?"

"Tapi.."
"Pokoknya Ling Cie percaya ama aku. Aku enggak apa-apa kok. Hp tetap aku hidupkan sampai besok. Jangan takut aku ngapa-ngapain ato di apa-apain ama temanku ini. Dia bisa dipercaya kok, ok?" aku mendengar Dave mengerang."Dia kayanya sudah agak sadar. Aku tutup teleponnya. Pokoknya jangan khawatir, ok? Ya?"
"Terserah kamu deh. Pokoknya hati-hati."
"Aku tahu. Thanks banget. Bye." teleponnya pun terputus.
"Dave? Sudah merasa agak baikan?" aku kembali ke dalam kamar tidurnya.

Aku melihatnya berusaha bangun. Sepertinya dia ingin melakukan sesuatu. Dan aku tersadar. Secepatnya aku mencari tempat yang bisa menampung dalam ukuran yang agak besar. Tepat pada waktunya sebelum Dave muntah, aku sudah menyodorkan tempat itu kedepan wajahnya.

"Gimana rasanya?" aku menepuk-tepuk pundaknya. "Sudah agak enakan?"
"Oh, man! Really dizzy" serunya. Kemudian ia tersadar, "Kuang?"
"Yup."
"Lagi ngapain kamu di sini?" tanyanya heran.
"Sebaiknya kamu bersandar dulu. Kebetulan kamu sudah sadar. Kubuatkan teh hangat, ya?" aku mengatur bantalnya agar Dave dapat bersandar dengan nyaman."Tunggu, ya."

Aku kembali beberapa menit kemudian, "Ini." kuberikan secangkir teh pahit hangat kepadanya.
"Thanks." dia menyeruputnya. Alisnya berkerut.
"Tidak pakai gula." aku tersenyum lemah.
"Anyway, thanks." katanya. Aku memijat-pijat tengkuknya."Gimana kamu bisa di sini?"
"Bartendernya meneleponku. Dia menemukan catatan nomor HP ku yang kuberikan padamu kemarin entah gimana caranya. Aku datang, dan kubawa kamu pulang."
"I'm really sorry for this."
"Nope." bibirku tersenyum.
"Nice massage." Dave memejamkan matanya. "Also nice person you are."
"Well, just helping friend." aku mengangkat bahuku. "Kalau boleh kutanya," aku merasa agak ragu."Ada apa? Kok kamu sampai begini? Dan kenapa di tempat kaya begitu?" matanya menatap langsung mataku."Kalau keberatan cerita, jangan dijawab." Aku tersenyum gugup.

Kami terdiam untuk beberapa saat. Ku ambil cangkir tehnya yang telah kosong dan langsung beranjak kedapur untuk membersihkannya. Aku merasa agak sedikit tidak nyaman. Aku lupa jika orang Barat paling tidak suka jika urusan pribadinya di campuri. Aku berusaha untuk berlama-lama didapur. Setidaknya jika aku kembali dia sudah tertidur atau bagaimana.

"Kuang?" sosoknya muncul di pintu dapur.
"Dave?" aku bergegas mengeringkan tanganku. "Kok bangun dari tempat tidur?" aku langsung mendekat kepadanya, bermaksud memapahnya kembali ketempat tidur. Tiba-tiba tubuhnya oleng, "Hey!" aku secepatnya menagkapnya. Kami berpelukan. Wajahnya yang lesu tepat berada di depan wajahku. Dadaku bergemuruh."Seharusnya kamu tetap ditempat tidur."

Matanya masih menatap mataku secara langsung. Aku hendak memanggilnya. Namun sebelum sempat namanya selesai kusebutkan, bibirnya yang hangat sudah menciumku dengan hangat. Kehangatannya langsung menjalar keseluruh tubuhku bak listrik yang menyengat. Dia ahli dalam mencium. Kedua tangannya memelukku dengan erat. Dia menciumku dengan sangat intens, makin lama makin dalam. Tanganku berada di dadanya, ingin menolaknya, namun tidak kuasa. Pertahananku perlahan luruh. Lidahnya bergerak masuk, mencumbu seluruh sudut mulutku, agresif dan penuh keinginan. Nafasnya begitu memburu, dan aroma alkohol serasa memenuhi paru-paruku. Sesaat aku tersadar. Aku melepaskan diri.

"Dave?" suaraku sangat parau, hampir-hampir tidak dapat keluar."A-apa maksudnya ini?" tanyaku lemas, menahan getaran diseluruh tubuhku.
"A-aku.." tampaknya Dave sulit berkata-kata hingga pada akhirnya."Maaf."
"Ku bantu kamu ketempat tidur." kataku pendek. Dadaku masih berdebar kencang. Dia menciumku, menciumku dengan panas!

Kupapah Dave kembali ketempat tidur. Kami berdua tidak berkata-kata sepatah katapun. Kurasa suasananya agak menjadi renggang sesudah yang tadi, khususnya dari dirinya. Sementara aku sendiri menahan gejolak hati antara terkejut, gembira dan takut.

"Ok, ayo kita baringkan dirimu." kataku sesudah beberapa saat. Namun pada saat aku ingin menukar posisi sehingga lebih mudah membaringkannya, aku tersangkut kakinya dan serta merta aku jatuh ke atas tempat tidurnya dengan dia diatasku.

"Maaf." kataku sangat risih.
"Apakah kau tadi keberatan saat kucium?" tanyanya langsung."Sepertinya kamu juga seorang gay karena kamu bereaksi dengan ciumanku."
"A-aku.. Dave.." suaraku terdengar lirih. Kata-katanya sedikit menusuk. Dia masih mabuk, pikirku mengingatkan diriku sendiri."Kau mabuk" akhirnya kata-kata dipikiranku tercetus.
"Aku cukup sadar saat menciummu." katanya tegas. Wajahnya semakin mendekat. Aku dapat merasakan ketegangannya.
"Dave, aku.." nafasku semakin terasa sesak. Mulutku seolah terkunci oleh pesonanya.
"Aku tahu kau suka. Sejak pertama kali ketemu." dia berbisik sekarang. Nafasnya yang beraroma alkohol menghembus wajahku."Sekarang aku sudah ada di sini. Kenapa takut?"
"I-itu.. A-aku.." wajahnya semakin mendekat. Ketegangan dan kehangatannya makin terasa."Ja-jangan.."
"Jangan apa?" bisiknya menantang."Jangan lakukan atau jangan berhenti?" kurasa ia dapat merasakan gemuruh didadaku, karena aku juga dapat merasakan gemuruh didadanya.

Dave langsung menciumku begitu tidak ada jawaban dariku. Dia sangat hangat, menantang dan tegas. Aku tidak dapat menolaknya. Walaupun ini yang kuinginkan, walaupun ini yang kutunggu-tunggu, walaupun kutahu esok harinya mungkin aku akan merasakan hatiku terluka oleh karena kejadian malam ini, aku tidak kuasa menolaknya. Tidak, aku tidak ingin menolaknya. Aku menginginkannya seperti ia menginginkan diriku.

Kami berdua berciuman dengan amat panas. Kami berdua sudah terbakar bara api, bukan, kami sendirilah sumber api tersebut. Ketegangannya, kekuatannya begitu terasa. Seperti saat aku merasakan ketegangan dan kekuatanku sendiri. Lidah bertemu lidah, saling mencumbu, memuaskan dahaga satu dengan yang lain, menimbulkan dahaga yang lain yang perlu dipenuhi.

Dengan nafas yang sangat memburu kami saling bercumbu. Tidak mengenal waktu dan tempat. Aku hanya merasakan sekejap hembusan nafasnya yang hangat ditubuhku, kehangatan kulitnya, kekekaran tubuhnya untuk mengetahui bahwa kami berdua sudah telanjang. Dia menatapku dalam seolah berkata: 'Aku tidak akan menyakitimu', sebelum dia mencumbu setiap bagian dari tubuhku. Lidahnya menjelajah setiap inci tubuhku, selembut sayap kupu-kupu, menggelitik seperti angin semilir. Tenggorokanku mengeluarkan suara yang aku sendiri belum pernah mendengarnya: erangan kebinatanganku. Dave semakin dekat ketempat yang paling kuinginkan untuk disentuh dan dicintai olehnya, "Dave?" ujarku lirih.

Dia menjawab dengan gumam yang tidak jelas sebelum merasakan keteganganku. Dia mencumbunya, dia mencintainya! Nafasku semakin memburu bak seekor kuda jantan yang dipacu mendaki bukit terjal. Erangan-erangan yang tidak terkendali keluar dari mulutku. Dave membawaku dekat sekali, hampir mencapai puncak sebelum ia berhenti.

"Dave?" suaraku terdengar lirih.
Dia tertawa lembut, "Belum adakah orang yang menyentuhmu seperti aku?"
"Kau yang pertama." aku dapat merasakan wajahku memerah. Dave terkesiap."Jangan," pintaku saat dia hendak menarik diri. Aku merangkulnya mendekat, memeluknya. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku."Walaupun kau yang pertama, tapi aku percaya padamu. A-aku.."
"Ya?" terdengar harapan dalam suaranya.
"Jangan berhenti." kataku lirih."Aku ingin kita bercinta."

Kemudian kami kembali berciuman. Semakin panas, terbakar dalam kobaran api asmara. Dia kembali ingin mencumbuku, namun aku menghentikannya. Kedua tanganku mencari dengan gemetar, ingin menemukan kejantanannya. Lalu, sangat hangat, kuat dan tegang. Dave mengerang saat kedua tanganku menemukan dirinya. Dave melepaskan erangannya dileherku sambil menciumi leherku saat kedua tanganku bermain dengan mainan baru yang kutemukan. Namun semakin aku bermain, semakin besar hasratku untuk merasakannya sendiri.

Aku ingin mencumbu dan mencintai kejantanannya seperti yang telah ia lakukan padaku. Tubuhnya menegang saat aku melakukannya. Dave mengerang tidak terkendali. Aku dapat merasakan ketegangannya bertambah semakin hangat saat dia mendaki puncak kenikmatan. Dave menarik diri tepat sesaat sebelum ia lepas kendali. Aku dapat melihat kobaran api dimatanya sesaat sebelum ia berganti posisi. Aku terkesiap. Ia ingin kami berdua saling mencumbu kejantanan kami masing-masing. Namun aku tidak perduli. Yang kuinginkan adalah mencumbu dirinya. Kami saling menikmati, saling merasakan ketegangan dan kekuatan diri pasangan masing-masing. Kami terhanyut ke dalam kenikmatan indah sebelum akhirnya Dave memutuskan untuk mulai bercinta.

"Tahan aku jika aku menyakitimu." bisiknya dalam nafas memburu.
"Ya." aku mengangguk gugup saat merasakan kejantanannya yang keras hendak bersatu dengan tubuhku. Dave mencoba dengan lembut dan perlahan. Nafasnya semakin memburu. Dadaku semakin berdebar kencang. Dave tertawa gugup saat gagal untuk yang pertama kali, sebelum akhirnya sebagian kejantanannya masuk ke dalam tubuhku.

Ia berhenti bergerak, "Sakit?" Aku menggeleng sambil tersenyum. Walaupun terasa sedikit nyeri, namun rasa nikmat yang kurasakan dapat mengatasinya. Dave terus bergerak masuk semakin dalam sebelum akhirnya tubuh kami benar-benar menyatu. Ia melenguh, aku mendesah. Ia berdiam saat berada di dalam tubuhku sejenak, lalu menciumku, lalu kami mulai bercinta. Dave mencintaiku dengan sangat lembut dan perlahan, sebelum akhirnya ia melepaskan kendalinya. Ia bagai seekor kuda jantan liar yang mengawini pasangannya.

Liar, tidak terkendali, sangat kuat dan perkasa. Kenikmatan yang kami rasakan semakin memuncak. Aku merasakan gejolak kuat di perut bawahku yang hendak menerobos keluar. Suatu tenaga yang lama terpendam. Namun ternyata Dave yang mencapai puncak kenikmatan terlebih dahulu. Dave menindihku dengan keras, memelukku erat-erat, membisikkan namaku berulang-ulang diantara erangannya, dan seluruh tubuhnya mengejang. Dan aku terbawa oleh gelombang puncak kenikmatannya sehingga aku melepaskan tenaga terpendam yang kurasakan di perut bawahku.

Kami saling merasakan puncak kenikmatan kami, saling mengerang, memanggil nama masing-masing dengan tubuh yang mengejang, berkeringat dan merasakan kehangatan nyata puncak kenikmatan kami. Beberapa saat sesudahnya, saat puncak kenikmatan kami mereda, Dave memelukku kian erat. Aku membalasnya. Kami tetap begitu selama beberapa saat hingga Dave berguling ke sampingku dan kembali memelukku lagi.

"Apakah aku menyakitimu?" gumamnya.

Aku menyembunyikan wajahku di dadanya yang hangat dan basah oleh keringat. Aromanya begitu mempesona."Tidak." Kemudian aku memainkan puting susunya."Kau membuatku melayang."

Dave tertawa, "Benarkah?"
"Aku mencintaimu." ujarku parau.

Kami terdiam agak lama sesudah aku mengucapkan hal itu. Aku sendiri terkejut aku dapat mengucapkan hal itu kepadanya secara langsung seperti ini. Mungkin Dave akan berpikir bahwa hal ini terlalu cepat, atau, ini adalah ungkapan yang biasa didengar setelah bercinta-mungkin di Barat seperti itu. Satu tanganku membelai punggungnya yang kekar, dan satu lagi masih betah bermain-main dengan puting susunya. Sementara itu Dave sendiri membelai rambutku. Tanganku yang memainkan puting susunya bergerak semakin kebawah dan kebawah lagi, ingin menemukan kembali mainannya.

"Siap membawaku kembali melayang?" godaku parau.
"Whoo, whoo!" serunya. Aku merasakan kejantanannya bangkit dengan cepat."Iye-iye, Kapten!" dan kami kembali lagi menikmati percintaan kami.

Esok paginya aku terbangun disebelahnya, terbangun dalam pelukannya, dalam perlindungan tangannya yang kekar. Sekujur tubuhku lemas. Kami, saking menikmatinya, hingga lupa waktu. Kami berdua kembali bercinta setelah selesai seolah ada bara api yang tersisa yang kembali terbakar. Mungkin kami berdua tertidur kelelahan menjelang pagi. Aku tersenyum mengingat percintaan kami semalam.

Kupandangi wajah yang terlihat amat santai saat tidur itu. Bulu-bulu halus di dagunya tumbuh semakin panjang. Bulu-bulu yang menggelitikku semalam. Aku membelainya, wajahnya, dadanya yang kekar, bahunya yang bidang, tangannya yang kuat, perutnya yang rata, kembali kedadanya dan mengistirahatkan tanganku di sana. Seandainya saja ia menjadi kekasihku. Seandainya saja ia bisa berada disisiku selamanya. Seandainya saja..

Hatiku serasa tersayat disaat mengingat kenyataan bahwa cepat atau lambat kami akan berpisah. Pilu rasanya saat aku mengingat dimana pada waktu aku akan mengingatnya hanya sebagai kenangan. Dan hal yang paling menyakitkanku adalah bahwa aku mencintainya. Aku mencintainya bahkan sebelum aku menyadarinya.

Hal ini terjadi bukan karena seks hebat yang baru saja kudapatkan darinya. Namun kehangatannya, kekuatannya dan keberaniannya yang menjeratku. Dan semakin erat aku terjerat, semakin dalam aku mengenalnya, semakin ia membuka dirinya kepadaku. Mungkin itulah yang membuatku jatuh cinta kepadanya.

Aku hendak beranjak dari tempat tidurnya, dan pada saat itulah dia menahanku di pinggulku, "Kuang?"
"Ya?"
"Can I have my morning kiss?" tanyanya manja.

Aku tersenyum, dan kemudian aku mengecupnya. Dia menahanku untuk menciumku. Aku hampir tidak dapat menolaknya, apalagi saat merasakan kejantanannya yang menegang, ingatanku kembali melayang ke malam dimana kejantanannya yang begitu kuat membuatku melayang.

"I'm sorry." Aku menahannya dengan kedua tanganku didadanya."You go to work today, don't you? "

Dave menarikku mendekat, "I don't think so." suaranya terdengar lebih manja dari yang tadi."Gimana?" dia mengangkat sebelah alis matanya dan memasang wajah nakal.

"Sorry, Dear." aku memberinya satu kecupan lagi."Tapi semalam aku sudah berjanji akan pulang pagi sekali kepada kakakku dengan menyeretmu untuk minta maaf. Aku tidak ingin membuatnya lebih cemas daripada semalam."

"Oh!" Dave tersadar."I'm sorry." ia segera beranjak dari tempat tidurnya. Ketelanjangannya membuatku tersayat kembali, mungkin kenyataan bahwa dia tidak lagi merasa bahwa aku orang luar yang membuat kesopanannya terlupakan."Ayo." dia menungguku di depan pintu kamar mandinya."No seks, aku janji." ia tertawa nakal.

Aku tersenyum kalah dan menuruti ajakannya. Dave sudah menyalakan kerannya. Airnya hangat. Dia menungguku di bawah pancuran. Aku menghampirinya. Namun aku tidak menatap langsung wajahnya. Aku tidak ingin segala perasaanku yang tergambar dimataku terlihat olehnya. Dia merangkulku dan mengusap punggungku. Dadaku kembali berdebar kencang. Aku agak menjauh darinya.

"Kuang?"
"Biar kusabuni tubuh depanmu ya?"
"Ok." tawanya terdengar begitu renyah.

Kami saling membersihkan diri. Sentuhan-sentuhan kecil yang amat berarti kembali menyalakan kejutan-kejutan listrik kecil pada diriku. Dave menyentuh daguku dan mengangkat wajahku. Tidak, jangan tatap matanya. Aku memejamkan mataku perlahan-lahan. Sebagian karena aku tidak ingin ia mengetahui perasaanku, sebagian lagi karena air pancurannya memasuki mataku. Sesaat kemudian aku merasakan bibirnya yang hangat menciumku. Secara naluriah aku menyambutnya. Kami bermesraan! Dia bercinta dengan mulutku dan seluruh isinya!

Aku memejamkan mataku kuat-kuat. Terasa panas membara. Aku tetap tidak kuasa menolaknya. Dia terlalu kuat dan berani dan menantang, sementara aku serapuh lilin dihadapan nyala api dirinya. Mencair begitu tersentuh. Sangat menyakitkan. Apakah aku menangis? Atau hanya terharu yang tanpa airmata? Seandainya aku menangispun, airmataku akan menyatu dengan air pancurannya dan lenyap tak bersisa. Seperti suatu saat nanti kami akan berpisah.

Kami tidak banyak berbicara selama ia mengantarku pulang kerumah kakakku di daerah Yuen Long. Ia memang berusaha mengajakku berbicara selama beberapa saat. Ia memang berusaha memancing pembicaraan dengan bercerita tentang dirinya. Namun setelah beberapa lama berbicara dengan jawaban yang hanya "Yeah." dan "Oh." dan "Ok." dariku, dia menyerah. Kami membisu selama sisa 15 menit yang menyiksa.

Dave meminta maaf langsung kepada kakakku. Berkali-kali setiap ia punya kesempatan mengucapkannya. Dia berusaha menjelaskan situasinya, tentunya tanpa detail-detail yang dapat membuat kakakku curiga bahwa aku adalah seorang gay. Aku tentu saja sudah memberi tahunya bahwa di dalam keluargaku, tidak ada seorangpun yang tahu tentang homoseksualitasku.

"Aku mau antar dia sebentar." kataku datar kepada kakakku saat Dave pamitan untuk pulang.
Aku mengantarnya sampai ketempat ia memarkir mobilnya."Hati-hati."
"Thanks." katanya agak sedikit lebih kaku. Ia kembali menjadi semakin seperti dirinya yang penuh sopan santun. Mungkin karena aku menarik diri darinya."Benarkah kamu enggak ingin kita ketemu malam ini?"
"Sebaiknya jangan." aku membuang wajahku. Jangan sampai menatap matanya."Mungkin lusa. Hp ke aku aja, ya." Aku berusaha sebisa mungkin menyembunyikan perasaan yang tergambar dimataku dan menatapnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Ok." ia semakin mengambil jarak. Sesaat ia terlihat tidak tahu harus berbuat apa."Bye."
"Bye."

Seharian penuh aku memikirkan tentang aku dan kami berdua. Yah, mungkin memang hanya akan menjadi holiday relationship yang menyenangkan. Mungkin aku bisa menganggapnya seperti itu. Bukankah Dave juga begitu? Bukankah ia hanya menganggapku sebagai teman yang menyenangkan yang bisa diajak tidur bersama?

Namun aku masih bisa mengingat kata-kata yang ia ucapkan: 'Aku tahu kau suka. Semenjak pertama kali bertemu. ' Apakah maksudnya itu? Apakah hanya suka sebagai daya tarik fisik, atau yang lebih ke dalam lagi?

Mungkin seharusnya aku tidak melibatkan perasaan dalam hal ini. Mungkin masih belum terlambat. Anggap saja kami berdua bertemu dalam liburan ini dan merasa cocok, lalu kami tidur bersama, saling memuaskan hasrat kami masing-masing. Mungkin lebih baik begitu.

Walaupun sudah berpikiran demikian, perasaanku tidak terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Mungkin aku butuh waktu bagi diriku sendiri.

Aku menatap jauh kedepan, ke arah sungai besar yang memisahkan aku dengan Central Distric. Beberapa ferry melintas sesekali membawa penumpang dari Tsim Sha Tsui ke seberang. Angin semilir membelaiku dengan lembut, aku sangat menikmatinya. Hp ku yang tiba-tiba berbunyi membawaku kembali ke kenyataan, "Hallo?"

"Hey, Honey." suara merdu Dave terdengar."Dimana nih?"
"Tsim Sha Tsui Harbor. Cultural Museum Building, dekat Clock Tower."
"Sedang ngapain di situ?"
"Looking at views?" Aku kembali memandang jauh kedepan."Merasakan hembusan angin."
"Ok." tawanya terdengar renyah."Aku ke sana bentar lagi, ok?"
"I'm going nowhere. Bye." aku memberikan satu kecupan kepadanya. Terdengar tawanya sebelum teleponnya terputus.

Yah, mungkin ada baiknya seperti ini. Hanya berkenalan dan jatuh cinta pada saat-saat ini saja. Dimana saatnya akan berpisah, dia pasti akan melupakanku. Karena itu aku juga harus bisa melupakannya.

Dave merangkulku saat dia datang. Aku menatap matanya dan memberikan senyuman yang lembut sebelum kembali menatap jauh kedepan. Dave mengikutiku, menatap jauh kedepan.

"Aku enggak tahu apa yang bisa dilihat atau dirasakan kalau seperti ini."
Aku tersenyum, "Abis kamu cowok, kan?"
"Hey!" dia tertawa."Emangnya kamu bukan cowok?"
"Aku cowok," aku memandangnya. Ada ketegasan dalam suaraku."tapi dengan tingkat kepekaan yang lebih seperti cewek." kataku sambil lalu."We leave?"
"Can't wait for it." Kami berjalan beberapa saat sebelum ia bertanya, "Gimana kakakmu? Dia tahu kamu keluar ama aku?"
"Hanya untuk dinner." aku memandangnya dengan wajah permintaan maaf."Sorry, enggak bisa nginap ke tempatmu lagi secepat ini. Bisa jadi curiga ntar."
"Well, aku ngerti." ia merangkulku lebih erat."Walk faster. Hargai waktu yang kita punya."
"Or," aku menyeringai nakal padanya, "Run!"

15 menit kemudian kami sampai ke flatnya. Kami agak sedikit terburu-buru. Mungkin masih sempat berseks ria sedikit setelah makan malam.

"Mau pesan makanan apa nih?" tanya Dave.
Aku langsung memeriksa dapurnya, "Apa yang kamu punya di kulkas." aku melihat-lihat."Ok, aku yang masak."
"Ok. Jadi tidak pesan makanan luar. Bagus, sudah lama enggak makan masakan rumahan." ujarnya setengah sadar. Saat aku sudah mulai memasak, wajah terkejutnya muncul dipintu dapur, "Kamu bisa masak?!"
"Apa aku belum bilang?" aku tertawa.
"That's great!" dia mendatangiku."Aku enggak pernah bisa ngerjain pekerjaan rumah."
"Yeah, tapi ngerjain anak orang bisa." gumamku.
"What?"
"Nothing." aku berbalik memandangnya, "mau makan apa nih?"
"Well, apa ya?" ia kelihatan berpikir sejenak."Fresh salad, beacon or pork sounds delicious. Or.."
"Whoo..!" aku menghentikannya, "Look at your freezer, Mr. When the last time you go for shopping?"

Ia tersenyum lembut, "Masak apa saja yang bisa kau masak. Akan kumakan, kok." Ia melipat kedua tangannya di depan dadanya."Boleh kan aku melihatmu di sini?"
"Whatever." aku kembali melanjutkan masakku.
"Oh," katanya seperti tiba-tiba teringat sesuatu."Pastikan semuanya enak."
"Ok."

Aku terus memasak. Perlu upaya yang cukup keras untuk mengabaikan bahwa dia sedang memperhatikanku, bahwa sekarang ini aku adalah seekor kelinci yang sedang diintas seekor elang. Dan bahwa aku sedang bemain-main dengan api dan akan segera terbakar. Beberapa saat kemudian, sang elang terbang mendekat ke arah mangsanya.

Dave memelukku dari belakang. Dia mendaratkan kecupan-kecupan kecil di tengkukku dan menggigit serta menjilat telingaku. "Apakah aku mengganggu?" godanya.
Bak kelinci yang telah tertangkap cakar sang elang, aku menjawab "Tidak."

Aku terus berpura-pura masih memasak, padahal seluruh tubuhku telah terjalar api asmaranya. Dave terus mencintaiku begitu rupa.

Setiap inci tubuhku tidak terlewatkan oleh sentuhannya yang selembut angin semilir yang bertiup. Dave membuka kemejaku dan menyelipkan tangannya untuk membelai dadaku. Sentuhannya yang ringan bak kepakan sayap kupu-kupu di puting susuku membuatku menggeram.

"Aku.. Tidak akan selesai.. Ka-lo kamu begini." kataku terengah.
"Biarkan saja." bisiknya di telingaku. "Lupakan makan malamnya." dia membalikkan tubuhku sehingga berhadapan dengannya. Lalu bibirnya yang hangat menempel pada bibirku. Sang elang sudah mulai menyantap mangsanya, dan si kelinci, tidak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan dirinya dimangsa.

Dan tiba-tiba saja, seperti ledakan bom, sesuatu meledak dalam diri kami berdua. Dan kami berdua mengganas, seperti terburu-buru ingin tiba di suatu tempat. Entah bagaimana caranya kami keluar dari dapurnya dan sudah berada di sofa di ruang tamunya dengan meninggalkan jejak kemeja dan celana panjang kami dimana-mana.

Terengah-engah, Dave menjauh dariku. Masing-masing hanya dengan pakaian dalam. Dave yang pertama membuka miliknya dengan anggun namun gagah. Pertama kalinya aku melihatnya dalam keadaan telanjang. Dia begitu indah. Bahunya yang bidang dengan dada yang kekar dan berotot. Perut yang rata dan kejantanannya yang menegang indah. Sosok sempurna seorang pria. Ia tetap berdiri di sana, membiarkanku memandangnya sepuas mungkin, menikmati pandanganku yang penuh rasa takjub."Biarkan aku melihatmu." bisiknya.

Wajahku terasa panas. Aku belum pernah bahkan bertelanjang dada di depan keluargaku sendiri sekalipun. Namun entah bagaimana aku mempunyai keberanian untuk itu. Perlahan aku menanggalkan pakaian terakhir yang tertinggal di tubuhku, dan kemudian menegakkan tubuhku. Dia melihatku, seluruhnya.

"You're beautiful." bisiknya. Aku tahu dia berusaha keras untuk terlihat sabar. Nada mendesak dalam suaranya tidak dapat disembunyikan.
"You too." kataku parau.
"Mendekatlah."

Aku berjalan ke arahnya. Perlahan. Lalu aku jatuh ke dalam pelukannya. Entah bagaimana rasanya aku sangat pas sekali berada di dalam pelukannya. Dadanya dengan dadaku, perutnya dan perutku, pinggulnya dan pinggulku, serta kejantanannya dan kejantananku. Mulut dan lidahnya bermain-main di telingaku, leherku dan kembali menciumku dengan panas. Lidah kami saling bertaut, berkutat dan mencicipi satu sama lain.

Setelah lama menciumku, Dave kembali mencumbui leherku. Terus turun dan semakin turun ke dadaku. Punggungku melengkung penuh kenikmatan. Aku memanggil-panggil namanya saat mulut dan lidahnya berada pada puting susuku, namun suara yang terdengar olehku sendiri adalah suara yang sama sekali tidak kukenal.

Setiap inci tubuhku tidak terlewatkan oleh sentuhannya yang selembut angin semilir yang bertiup. Dave membuka kemejaku dan menyelipkan tangannya untuk membelai dadaku. Sentuhannya yang ringan bak kepakan sayap kupu-kupu di puting susuku membuatku menggeram.

"Aku.. Tidak akan selesai.. Ka-lo kamu begini." kataku terengah.
"Biarkan saja." bisiknya di telingaku. "Lupakan makan malamnya." dia membalikkan tubuhku sehingga berhadapan dengannya. Lalu bibirnya yang hangat menempel pada bibirku. Sang elang sudah mulai menyantap mangsanya, dan si kelinci, tidak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan dirinya dimangsa.

Dan tiba-tiba saja, seperti ledakan bom, sesuatu meledak dalam diri kami berdua. Dan kami berdua mengganas, seperti terburu-buru ingin tiba di suatu tempat. Entah bagaimana caranya kami keluar dari dapurnya dan sudah berada di sofa di ruang tamunya dengan meninggalkan jejak kemeja dan celana panjang kami dimana-mana.

Terengah-engah, Dave menjauh dariku. Masing-masing hanya dengan pakaian dalam. Dave yang pertama membuka miliknya dengan anggun namun gagah. Pertama kalinya aku melihatnya dalam keadaan telanjang. Dia begitu indah. Bahunya yang bidang dengan dada yang kekar dan berotot. Perut yang rata dan kejantanannya yang menegang indah. Sosok sempurna seorang pria. Ia tetap berdiri di sana, membiarkanku memandangnya sepuas mungkin, menikmati pandanganku yang penuh rasa takjub."Biarkan aku melihatmu." bisiknya.

Wajahku terasa panas. Aku belum pernah bahkan bertelanjang dada di depan keluargaku sendiri sekalipun. Namun entah bagaimana aku mempunyai keberanian untuk itu. Perlahan aku menanggalkan pakaian terakhir yang tertinggal di tubuhku, dan kemudian menegakkan tubuhku. Dia melihatku, seluruhnya.

"You're beautiful." bisiknya. Aku tahu dia berusaha keras untuk terlihat sabar. Nada mendesak dalam suaranya tidak dapat disembunyikan.
"You too." kataku parau.
"Mendekatlah."

Aku berjalan ke arahnya. Perlahan. Lalu aku jatuh ke dalam pelukannya. Entah bagaimana rasanya aku sangat pas sekali berada di dalam pelukannya. Dadanya dengan dadaku, perutnya dan perutku, pinggulnya dan pinggulku, serta kejantanannya dan kejantananku. Mulut dan lidahnya bermain-main di telingaku, leherku dan kembali menciumku dengan panas. Lidah kami saling bertaut, berkutat dan mencicipi satu sama lain.

Setelah lama menciumku, Dave kembali mencumbui leherku. Terus turun dan semakin turun ke dadaku. Punggungku melengkung penuh kenikmatan. Aku memanggil-panggil namanya saat mulut dan lidahnya berada pada puting susuku, namun suara yang terdengar olehku sendiri adalah suara yang sama sekali tidak kukenal.

Muncul rasa dahaga yang lain dalam diriku, dan Dave seolah dapat menangkap sinyalnya. Dia menciumku sejenak sebelum ia berlutut di depanku. Tangannya menyentuh kejantananku, membelainya perlahan. Mulut dan lidahnya kemudian mengambil kendali. Aku mengeluarkan suara yang dalam di tenggorokanku. Aku tidak ingin ia berhenti dan aku menginginkan lebih lagi. Ia benar-benar pencinta yang ulung. Ia mencintaku seluruhnya, seolah tidak ingin meninggalkan apapun.

Ia membawaku duduk di sofa dengan aku berada di pangkuannya sebelum kedua kakiku menjadi lemas karena cumbuannya pada kejantananku. Ia tersenyum padaku, dan lagi, berusaha terlihat sabar, namun kobaran api dimatanya tidak dapat membohongiku bahwa ia ingin segera melakukannya, bercinta denganku. Naluriku mengatakan, jika aku sedikit mengulur waktu, mungkin akan membuatnya mengamuk habis-habisan.

"Let me love you." kataku sambil mengecup bibirnya sebelum kecupanku turun ke dadanya yang bidang. Belajar dari pengalaman dengan apa yang dilakukannya kepadaku, aku melakukan hal yang sama pada dirinya. Mulut dan lidahku bermain-main dengan puting susunya, yang tiba-tiba mengeras begitu tersentuh lidahku. Mengetahui bahwa naluriku benar, aku menggila, membuatnya menggeram dalam tenggorokannya. Kedua tanganku beristirahat pada kejantanannya. Pinggulnya mulai membuat suatu ritme gerakan beberapa saat kemudian. Aku membawa mulut dan lidahku semakin kebawah. Keinginan untuk merasakan seperti apa kejantanannya dimulutku menimbulkan keberanian yang besar untuk melakukannya. Dan aku melakukannya. Dan aku membuatnya lepas dari kekangnya. Dengan satu gerakan panjang yang luwes, dia menarikku ke atas tubuhnya dan langsung menyatukan tubuhnya dan tubuhku. Aku dapat merasakan kejantanannya berdenyut keras di dalam diriku.

"Pernah main kuda-kudaan?" geramnya.
"Tidak," aku tertawa."Tapi mungkin aku joki yang unggul."

Dan, dengan diriku melingkupi dirinya, kami mulai bercinta. Ritme tubuhnya kacau karena ia telah kehilangan kendali dirinya. Namun aku tidak ingin menjadi joki yang buruk. Aku mengambil alih kendali. Aku kembali memasangkan paksa kekang pada seekor kuda jantan yang liar namun tidak berdaya untuk melawan. Segera aku mendengar erangan frustasi dari dalam tenggorokannya. Aku memainkan perlahan tapi pasti dan sambil menikmati. Aku bermain-main dengan kendali dirinya dan bahkan diriku sendiri. Aku pun mungkin tidak akan dapat bertahan lama dalam mengendalikan diriku.

Tidak tahan lagi dengan permainan yang kumainkan, Dave langsung membuatku terbaring di sofa dengan dia diatasku."Good game, Honey." geramnya."But now let's play mine."

Dan kami kembali bersatu. Kali ini Dave benar-benar mengamuk. Dan aku sendiri terbawa arusnya tidak lama kemudian. Susah payah aku bertahan melawan arusnya, namun tetap tidak berdaya. Apalagi saat tangannya bermain dengan kejantananku, aku benar-benar terbawa arus kegilaannya.

Dengan cepat perasaan bahwa sesuatu akan meledak keluar berkumpul di perutku. Namun Dave sepertinya sudah meledakkannya duluan. Dia berteriak, bukan mengerang. Namun ia masih melanjutkan ritme kegilaannya. Nafasnya sangat memburu. Ketegangannya masih berlanjut. Dahaganya masih tersisa, atau bahkan menjadi lebih besar. Beberapa saat kemudian, aku merasakan sensasi yang tidak terkatakan. Bagaikan merpati yang terbang menuju ke arah pintu yang terbuka dengan cahaya terang di luar sana. Bahkan lebih. Serasa ada banyak cahaya, atau mungkin ledakan besar disetiap sel otakku. Terasa samar, namun Dave juga sedang mengalami hal yang sama denganku. Dia tidak lagi mengerang dileherku, tapi menggigitku pada pundakku. Aku, yang terlarut dalam keindahan ini, bahkan tidak merasakan sakit.

Lama kami terhanyut dalam keadaan ini sebelum kami berdua terbaring lemas. Arus kegilaan kami ternyata menghabiskan banyak tenaga. Nafas kmai berdua perlahan, amat sangat perlahan, menjadi tenang dan damai. Dave menatap langsung ke dalam mataku."Apa aku menyakitimu?"
Mengabaikan rasa perih akibat gigitannya, aku tersenyum."Nggak."
"Gimana dengan ini?" tangannya membelai daerah sekitar bekas gigitannya."Maafkan aku."

Aku memeluknya semakin erat."Nggak pa-pa, kok." kubelai rambutnya."Tanda yang akan membuatku mengingatmu sampai ia menghilang." kataku penuh makna. Aku masih mencintainya."Sama seperti tanda-tanda yang lain." aku mengatakan tanda-tanda merah di bagian tubuhku yang lain.

"Aku lepas kendali." sesalnya.
"Aku suka." kataku sekali lagi dengan penuh keyakinan."Ini akan membuatku mengingatmu nanti. Bahkan jika mereka sudah hilang."
"Kapan kamu pulang ke Indo?"
"Lusa."
"Apa?" katanya terkejut.
"Hei," aku menenangkannya."Just enjoy the time that we still have."
"I'll miss you."

Pernyataannya menyakitkanku. Apakah dia hanya akan merindukan kehangatan tubuhku atau seluruh diriku? "Me too." kataku lirih."Tapi masih ada besok, kan?"

"Why so fast?"
"Hey," hiburku. Dave akan membuatnya semakin sulit bagiku jika sikapnya seperti ini."Cheer up, Honey. Just take and have fun with all we have now, ok."
"So, you'll stay?" rengeknya.
"I think so." perasaan panas yang kukenal membakar mataku.
"So shall we start another round?"
"Why not." dan pada saat itu juga Dave langsung kembali mencintaiku.

Aku memejamkan mataku, merasakan sensasi yang sudah kurasakan saat ia mencumbu kejantananku tadi, dan membiarkan setitik airmata mengalir dari sudut mataku.

Selama dua hari berturut-turut aku menginap di tempatnya. Aku tidak perduli lagi apa yang akan kakakku katakan nantinya. Walaupun seribu alasan mungkin tidak akan dapat menutupi keanehan sikapku semenjak aku bertemu dengan Dave. Apapun resikonya akan ku bawa ke atas bahuku sendiri, karena aku mencintainya, sangat mencintainya.

Dihari keberangkatanku, paginya aku terbangun dalam pelukannya yang hangat. Sekali lagi, aku memandanginya. Berusaha untuk mengukir kenangan di dalam hatiku sebelum aku pergi menginggalkannya. Tanganku menjelajahi bahu dan lengannya yang kuat dan kekar. Akan kuingat bahwa aku pernah bersandar padanya dan merasa terlindung dalam dekapannya. Begitu pula dadanya yang bidang, tempat ku menyerahkan diri dalam pelukannya. Dan bibirnya yang hangat, yang pernah mencintaiku dengan begitu rupa.

Ku kecup pelan bibirnya sebelum aku beranjak bangun dari tempat tidur. Aku berusaha untuk tidak membangunkannya. Masih terlalu pagi, karena aku tidak menginginkan salam perpisahan. Namun terlintas dipikiranku mungkin ada baiknya jika aku menyampaikan apa yang kurasakan padanya, walaupun disaat-saat terakhir.

Tidak, ini akan membuatnya semakin sulit. Aku merapikan diri sambil memikir dan menimbang apakah baik jika aku menyatakannya atau tidak. Bagaimana perasaannya jika aku menyatakan bahwa aku jatuh dalam perangkap permainan cinta liburanku dan ternyata aku jatuh cinta padanya.

Lima belas menit kemudian aku sudah berada di dalam MTR menuju Tsuen Wan, MTR terdekat ke kota tempat kakakku tinggal sebelum aku menggunakan LTR menuju Yuen Long. Begitu tiba, kakakku rupanya sudah siap mengantarku ke airport. Aku meminta maaf setiap kali ada kesempatan saat kami berbicara disepanjang jalan karena sikapku yang tidak sopan akhir-akhir ini semenjak aku bertemu dengan Dave. Kakakku agak sedikit keberatan, namun Abang iparku mengatakan bahwa hal ini bagus untukku. Setidaknya aku menjadi punya teman di sini, dan bahwa kakakku terlalu khawatir.

1 jam kemudian, kami sampai di airport. Aku menyelesaikan segala proses check in dan bagasi sebelum akhirnya aku harus berpisah dengan kakakku, Abang iparku dan keponakanku yang masih kecil. Aku akan datang lagi, pasti, namun tidak secepat itu. Hatiku setengah berharap Dave akan ada di sini, namun sebaiknya tidak begitu. Aku berbohong bahwa hari ini Dave harus bekerja pagi-pagi sekali.

30 menit kemudian aku sudah lepas landas. Saat pesawat sudah mengangkasa, aku menatap bagian mana saja daratan Cina yang masih terlihat olehku dan aku kembali teringat kepada Dave. Dia tinggal di salah satu bagian dari daratan tersebut. Aku tersenyum kecil saat mengingat kembali saat-saat kebersamaan kami berdua. Saat ini, dimana aku pulang menuju ke negaraku, kota tempat aku tinggal dan bekerja dan hidup, rasanya aku meninggalkan sebagian hatiku di tempat dimana seorang yang bernama Dave tinggal dan bekerja dan hidup.

*****

Dave menatap lemas ke arah papan keterangan keberangkatan pesawat. Dia tahu bahwa pesawat yang membawa bagian dari hidupnya telah lepas landas. Terlambat baginya untuk menyadari bahwa ia telah menemukan bagian dari dirinya, yang membuatnya lebih sempurna lebih daripada selama ini yang dialaminya.

Sekitar 1,5 jam yang lalu, saat ia terbangun dari tidurnya dan mencari-cari kuang, ia tidak tahu bahwa sang kekasih telah pergi meninggalkannya. Dia menemukan sebuah memo kecil di atas meja makan dengan sepiring sarapan dengan sebuah sosis panggang yang diletakkan tegak lurus di atas piring, sebuah telur mata sapi disampingnya dengan saus sambal berbentuk hati diatasnya, dan sosis goreng yang dipotong kecil-kecil dan disusun membentuk huruf 'U'.

"Damn!" geramnya."Kemana saja mataku!" nafasnya terputus-putus."It's too late, too late."

*****

"Kuang, tolong diperiksa berkas-berkasnya." pinta salah seorang teman kerjaku.
"Tinggalkan aja dulu. Akan kuperiksa." pintaku kepadanya.

Aku memandangi berkas-berkas pekerjaanku. Tidak bagus, sangat tidak bagus. Liburan kali ini bukannya malah memberikan refreshing, tetapi malah membuatku semakin kuyu. Aku tidak menyangkal bagian dimana aku bersenang-senang dengan segala jalan-jalannya dan kunjunganku ke berbagai tempat, namun saat pikiranku kembali kepada Dave, aku seperti tidak tahu harus berbuat apa. Dave benar-benar telah merubah hidupku seluruhnya.

Tapi, untuk yang entah ke berapa kalinya dalam dua bulan ini semenjak aku kembali dari liburanku, aku bertekad untuk melanjutkan hidupku dan tidak perpaku pada masalah ini saja. Masih banyak yang bisa kulakukan.

Aku berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan yang harus kulakukan hari ini. Tidak baik jika harus menunda pekerjaan, atau membuatnya tertunda. Dan seperti biasa, hari-hari ini terlewatkan olehku dengan begitu saja. Tanpa ada kejutan-kejutan kecil seperti..

'Hentikan!' kataku kepada diriku sendiri. 'Sampai kapan aku akan mengingatnya terus?'

Sebuah SMS masuk ke HP ku. Aku segera membacanya.

From: Ardy Merak

Hey, ntar mlm kita jln yuk!!kt unang ad co ckp yang ngjk ketemuan. mau enggak?bls cpt. Kmpl ditmpt biasa.

Aku langsung menghapus SMS tersebut sambil berusaha untuk tidak kembali memikirkan Dave. Setiap kali teman-temanku yang 'senasib dan sepenanggungan' mengajakku keluar bahkan hanya sekedar jalan-jalan saja sudah membuatku lemas duluan. Apalagi ketemuan dengan 'anak baru'. Karena bagiku tidak ada yang dapat menggantikan Dave.

Sepulang kerja aku langsung menuju rumahku yang terletak didaerah Siaga. Selesai mandi dan makan aku langsung terbaring di atas tempat tidurku. Menatap langit-langit tanpa melakukan apapun, hanya mendengarkan koleksi Kenny G yang kusukai.

Tiga bulan berlalu semenjak liburanku. Malam ini malam minggu. Aku tidak keluar kemana-mana dan hanya duduk di depan TV sambil terus-menerus mengganti saluran. Tidak ada acara yang menarik bagiku sama sekali, kecuali 'Who Wants to be a Milionaire'. Dan aku terlalu lelah untuk bermain game komputer 'General: Zero Hours' yang biasa kumainkan. Mood-ku juga sedang buruk seperti biasanya setiap malam minggu. Karena aku tidak akan bisa berbuat apa-apa jika keluar dan jalan-jalan dikota. Tidak ada yang dapat kulakukan. Orang tuaku sudah mengatakan bahwa mereka minta dikunjungi besok saja karena mereka ada acara khusus malam ini. Dan celakanya mereka memberi tahuku disaat-saat terakhir sehingga aku menyesal mengapa aku tadi tidak pergi ke rental vcd langgananku. Jadi kesimpulannya, aku tidak akan melakukan apapun hingga besok sore.

"Arghh!!" teriakku melepaskan kekesalanku. Bertepatan pada saat itu terdengar bunyi ketukan dipintu. Aku bangkit dan duduk terdiam sesaat. Aku yakin tadi terdengar ketukan di pintu. Tapi apakah pintuku atau pintu tetangga? Karena aku tidak biasanya menerima tamu pada malam minggu.

Terdengar lagi ketukan di pintu. Kali ini aku mendengarkan dengan seksama. Benar-benar ketukan di pintuku. Siapa yang memutuskan untuk datang pada malam ini dan jam segini? Aku tidak mendengarkan suara kendaraan bermotor apapun. Siapapun juga yang datang pasti berjalan kaki dan memutuskan untuk nekad meloncati pagar yang sudah kukunci. Aku mencoba untuk melihat dari jendela, namun orang itu terlalu dekat ke pintu. Aku hanya dapat melihat punggungnya saja."Siapa?" tanyaku

"Buka pintu," pintanya dengan logat bahasa Indonesia yang aneh."Tolong buka."
"Siapa di sana?" Tidak ada jawaban."Siapa, ya?"
Lama aku dan dia terdiam. Aku sudah memutuskan untuk meninggalkannya saja sampai dia berkata, "Kuang?"

Suara itu! Tidak salah lagi. Aku langsung membuka pintu rumahku dan langsung terlihat sosoknya yang tinggi tegap, berdiri dihadapanku."Dave?"

Ia langsung mendorongku masuk dan menutup pintu dibelakangnya. Aku mundur menjauh, tapi ia terus melangkah mendekat.

"Dasar brengsek." ia semakin dekat, dan aku sudah terpojok di dinding ruang tamu."Pergi begitu saja."

Aku tidak bisa mundur lagi. Perasaan bahwa aku adalah seekor kelinci yang akan dimangsa sang elang kembali muncul."A, aku hanya membuatnya mudah bagi kita." kataku tergagap.

Dave kelihatan marah sekali dari pada yang seharusnya. Ia menekan kedua bahuku ke dinding dengan kedua tangannya."Kau pikir gitu, ya?" bisiknya dalam geraman."Kau telah membuatku jadi orang brengsek dengan cara begitu."

"A, aku.."
"Ngapain harus nunggu disaat seperti itu untuk mengatakan bahwa kau cinta padaku?"
"Aku sudah mengatakannya sebelumnya." kemarahanku ikut bangkit."Dan yang kudapat adalah penolakanmu."
"Aku mabuk." katanya singkat.
"Tapi kau cukup sadar untuk bercinta denganku." bantahku cepat."Apa maumu datang ke sini?"
"Aku," Dave makin mendekatkan wajahnya ke arahku. Bibirnya dekat sekali dengan bibirku saat berkata, "Kau akan tahu."
"A-apa maksud, mu?" aku tergagap. Cengkeramannya pada bahuku semakin kuat.
"Bukankah," nafasnya yang beraroma mint menyegarkan menyapu wajahku."seorang tuan rumah harus memberikan sambutan yang ramah? Apalagi aku ini tamu khusus." aku tidak bisa berkata-kata. Bibirnya langsung menciumku dengan panas.

Aku adalah sebatang lilin, sementara Dave adalah api yang berkobar. Jika lilin dibakar oleh api, maka ia akan meleleh. Dan sekali lagi, seperti saat-saat sebelumnya, aku menyerahkan diri dalam pesonanya. Aku membiarkannya kembali menjelajah ke ke dalaman mulutku. Lidah kami kembali bertemu setelah sekian lama dan saling berkutat, membelit lebih erat dari sebelumnya.

Dave melepaskan ciumannya. Nafasnya terengah, sama sepertiku. Dia menarik satu nafas panjang, lalu berkata, "I love you."
Aku tidak dapat berpikir apa yang akan kukatakan untuk membalasnya. Hatiku serasa melambung ke awang-awang."A, aku.."
"Shh..!" bisiknya menenangkanku."Just take what we have and enjoy it, ok?"

Aku tertawa pelan. Ia mengatakan kata-kata yang persis sama seperti yang kuucapkan. Aku menyambutnya ke dalam pelukanku dan menciumnya."Yeah," kataku parau."Yeah." Aku menciumnya lebih dalam lagi.
"Anyway, I haven't taken any bath since this day time. So, I'm stink." katanya menggoda saat aku melepaskan kancing kemejanya."You want me to have bath first?"
"We still have much time for that next morning, my love." aku meletakkan kedua tanganku didadanya, merasakan kekuatan yang terpancar darinya."Right now, I just wanna take our time and enjoy it. Ok?"

Gilirannya tertawa pelan saat aku mengatakan hal itu. Dave kembali menciumku, dan kami saling menelanjangi satu sama lain dengan perlahan. Kami akan bercinta.

Dan sekarang ini aku akan membuka diriku sepenuhnya kepadanya. Tidak ada lagi perasaan yang disembunyikan, begitu juga dengan dirinya. Sebab Dave adalah kekasihku dan aku adalah kekasihnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.