Selasa, 25 Oktober 2011

Baru Kusadari bahwa Aku Gay

Nama saya Joe umur saya 17 tahun (170/50). Sebenarnya banyak cewek yang bilang saya ganteng dan ingin saya menjadi pacar mereka, tetapi saya selalu
merasa enggan terhadap wanita. Hal ini baru kusadari mengapa..

Pada suatu sore, di lapangan badminton di salah satu klub olahraga di Jakarta. Saya sedang menunggu kakak perempun saya Eva(nama telah disamarkan), ia sedang menyelesaikan sesi terakhirnya dengan lawan tandingnya Lia(nama telah disamarkan). Saya di sana sebenarnya bukan untuk menonton pertandingan mereka yang membosankan itu tetapi saya berada di sana hanya untuk
menjemputnya.

Beberapa saat kemudian saya terpana, seorang lelaki yang tampan dan gagah mampir di depan saya. Saya bisa melihat gumpalan otot dada yang menonjol dari baju klubnya yang tipis. Ia menawari saya untuk bermain badminton dengannya. Saya menolak karena saya sama sekali tidak punya persiapan. Dengan gentlenya ia menarik tangan saya ke tengah lapangan, Ia memberikan saya setangkai raket dan shuttlecock. Rupanya saya diminta untuk melakukan service. Saya gugup karena sudah lama sejak saya terakhir kali bermain badminton. Kakak saya dan Lia sedang duduk kecapekan di bangku, hasil pertandingan mereka seri. Entah kenapa tiba-tiba pipi saya yang putih merona merah ketika saya menatap wajah pria tampan itu.

Kupukul shuttlecocknya beberapa kali tetapi meleset. Ini membuat saya tambah tengsin saja. Saya menundukkan kepala sambil berjalan menuju pria tersebut. "Saya menyerah" ucapku. "Tak apa-apa, apa kamu mau latihan bersama saya, kapan-kapan?" ujar cowok cakep ini dengan tersenyum manis. Ini membuat jantungku berdebar-debar. Saya hanya mengangguk-anggukan kepala saya.

"OK, baiklah. Nama saya Rudi." ucapnya lugas. "Kapan kamu punya waktu untuk latihan?". Saya spontan menjawab, "Be..Besok!"
Hanya dalam beberapa saat kami sudah tenggelam dalam obrolan kecil yang akrab. Tapi pembicaraan kami dipotong.

Eva, kakak perempuan saya memukul-mukul bahuku. "Oi Joe.. Antar kakak pulang dulu nih, udah sore. Besok ada ujian sosiologi nih." ucapnya mendesah karena kecapekan. Saya mengiyakan. Saya berpamitan dengan Mas Rudi dan segera menuju pelataran parkir di luar gedung. Saya membonceng kakak saya pulang dengan sepeda motor. Dalam perjalanan pulang, yang terngiang-ngiang dalam benakku hanya wajah innocent Mas Rudi.

Di rumah, saya menanyakan banyak pertanyaan ke Eva tentang Mas Rudi. Rupanya Mas Rudi ialah senior klub badminton. Ia sedang merekrut personil-personil pria baru untuk bergabung dengan klub badminton tersebut. Kupikir ini adalah kesempatan yang pas buat saya untuk sering-sering bertemu Mas Rudi. "??" tiba-tiba saya merasa aneh dan bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Apakah saya tertarik pada Mas Rudi? Apakah saya suka padanya? Kenapa perasaan ini belum pernah saya rasakan pada wanita - wanita yang lain? Tanpa terasa hari semakin gelap dan saya sudah merentangkan tubuhku yang kurus di tempat tidur. Jantung saya berdetak-detak. Saya kembali mempertanyakan diriku. Pertanyaan yang benar-benar menentukan garis hidupkku..
APAKAH SAYA INI SEORANG GAY?! Pertanyaan ini menghantuiku dan membuat saya semalaman nggak bisa tidur, saya memaksakan diriku untuk berkata saya bukan seorang G A Y tetapi ketika terbayang wajah Mas Rudi, saya tidak berdaya. Saya ingin bersamanya, merasakan kehangatan tubuhnya yang mempesona.

Riuh burung-burung yang bersiul membuka cakrawala pagi. Saya berangkat ke sekolah seperti biasanya dengan angkutan umum. Di sekolah, saya ditegur guru-guru karena seharian kerjaku melamun saja. Lamunan tentang Mas Rudi tentunya. Setelah pulang sekolah, saya langsung berganti pakaian dan datang menuju klub badminton siang-siang bolong. Saya berharap bisa langsung ketemu Mas Rudi. Tetapi harapanku sia-sia. Sesampainya di sana, ruang badminton masih kosong. Saya duduk di bangku di ruangan
tersebut. Menunggu dan terus menunggu. Kutatap raket Badminton di Kabinet, saya mengambil satu beserta shuttlecocknya.

Saya memegang pegangan raket badminton dengan posisi Shakehand. Shuttlecocknya saya lambungkan ke udara dan disusul pukulan dasyat dari net raketku. Yes. Saya berhasil. Plok! Suara keras terdengar. Rupanya Shuttlecock tersebut menghantam hidung-? Hidung seorang pria, ia kesakitan. Saya memicingkan mata. Kulihat sosok seorang yang sepertinya pernah kulihat. Rupanya dia Mas Rudi! Saya amat bahagia. Saya segera menghampirinya dan menyapanya.

"Halo, mas. Sa..saya sudah siap dengan latihannya!" Mas Rudi menatapku dengan alis yang menungkik ke atas.
"Oh.. Joe yah kupikir siapa. Masih siang sudah gila latihan yah?" ia berkata sambil tersenyum
"Ah, nggak kok." Saya membalas, di belakang Mas Rudi ada seorang pria yang seumuran saya. Ia berjalan ke depan. Saya risih melihatnya, wajahnya yang congkak dan selalu memandang rendah saya.
"Ah-Kebetulan sekali, mari saya perkenalkan, Joe-Ini Gilbert(nama telah di samarkan), Gilbert ini Joe." Ucap Mas Rudi.
Saya mengulurkan telapak kanan saya untuk bersalaman tetapi Gilbert dengan angkuhnya membuang muka. Saya amat kesal sekali.
Mas Rudi hanya tersenyum.

"Joe, kamu akan mulai latihan begitu Gilbert selesai." Ucap Mas Rudi lagi, ini membuatku tambah kesal. Mas Rudi menggengam bahunya dengan erat dan menuju tengah lapangan. Entah kenapa perasaanku nggak begitu enak. Pertandingan pun dimulai. Beberapa
pertanyaan menghantuiku lagi, apakah ini yang namanya jealous. Melihat tampang Gilbert yang riang gembira bersama Mas Rudi saya nggak tahan dan ingin menghajar anak congkak itu. Tapi menahan kesabaranku. Beberapa pukulan shuttlecock yang berlalu lalang, tampak mereka memang pemain yang sudah tangguh dan berpengalaman. Saya tidak bisa memungkirinya. Tanpa terasa sudah setengah jam berlalu, Gilbert pun berpamitan dengan Mas Rudi. Kini ruangan ini benar-benar tinggal kita berdua saja.
Atsmosfir terasa sesak, Mas Rudi sedang beristirahat dengan duduk di bangku sebelah saya. Keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Tanpa terkecuali celananya. Saya mencuri pandangan, memberikan diri melihat-lihat dan melongo ke arah celananya. Terutama di tempat kegagahan itu tertidur.

Kurasa Mas Rudi menyadarinya, tapi dia hanya cuek dan memijati otot-otot biseps dan trisepsnya saja. Entah kenapa saya tiba-tiba ingin melontarkan pertanyaan ini tapi saya tidak kuasa menahannya, "Apakah saya boleh membantu memijati lengan Mas Rudi?". Ia hanya tersenyum pertanda mengiyakan. Saya amat bahagia. Kuangkat lengannya yang padat berisi. kuusap bisepsnya dan
kumulai pijit-pijit bagian trisepsnya yang berisi otot. Ia hanya memejamkan mata kurasa ia merasakan nikmat. Entah kenapa ia berbalik menatapku, ia merasa sudah cukup. Ia berterimakasih. Ia menatapku lagi dengan mata yang menihir. Jantung saya berdegup gencang.

"Saya ingin membuat pengakuan terhadapmu." Ujar Mas Rudi. Saya hanya terbengong.
"Kamu sungguh-sungguh ingin bergabung dengan klub ini bukan?" tanyanya. Saya mengangguk-anggukan kepala.
"Mas ini homoseks." semburnya. Saya tersentak kaget.
"Apakah kamu masih ingin bergabung dengan klub ini?"tanya Mas Rudi.
Saya terbengong dan melongo.Saya tidak percaya, God. Mas Rudi pasti hanya mengerjaiku, tapi saya nggak bisa mengontrol kata-kata yang akan saya ucapkan ini.. karena saya ingin Mas Rudi mengetahuinya.
"Mas Rudi saya juga merasa saya ini seorang.. G A Y. Saya.." sebelum saya bisa mengucapkan lebih lama, ia meniduri celana pendek yang menutupi penisku. Saya amat shock. Ia mengelus-elus bagian (X)-saya. Saya tidak tahan, batang kemaluan saya berdiri tegak. Gawat, Mas Rudi pasti tahu dan.. Di luar dugaan, ia kemudian menatapku.

"Joe, bolehkah saya..?" Saya belum pernah melihat matanya seserius itu, ia terlihat amat terangsang begitu juga saya. Saya pun mengangguk-anggukan kepala. "I..i..iya."
Mas Rudi melepaskan celana pendekku. Dan meletakkannya di bawah lantai, Ia turun dari bangku dan berjongkok di hadapanku. Ia menjilat-jilati batang kemaluan saya yang dibungkus CD warna putihku. Sementara itu, Telapak tangannya mengelus-elus ke dalam T-Shirt ku, Ia mencari-cari sesuatu ternyata puting susuku dan iapun menggelitik-gelitiknya. Saya hanya dapat menikmati
permainan ini. Oh tidak Mas Rudi melepaskan CD saya, Penny14" ("=cm) saya terlihat berdiri tegak.Ia menelusuri hutan di sekitar penny saya dan mulai memasukkan mulutnya yang hangat ke dalam pennyku. dan kemudian mengulum-ngulumnya. Nikmatnya luar biasa, seperti akan fly. saya menjambak jambak rambut Mas Rudi yang ikal dan sayapun berdiri. Mas Rudi memaju mundurkan
kepalanya, permainan semakin panas.

Tiba-tiba suara decitan suara berjalan menghampiri ruangan.
"Saya lupa mengambil sepatu Kets saya". Ujar Gilbert. Ia menjatuhkan raket badmintonnya ke lantai. Dan berlari menuju ke luar ruangan. Ia tampak amat pucat begitu pula dengan saya. Saya segera mengenakan kembali CD kemudian celanaku dengan tergesa-gesa, Mas Rudi hanya duduk di lantai dengan gelisah. "Gawat Mas Rudi, Gilbert akan memanggil satpam dan kita akan berakhir!". Mas Rudi hanya terdiam dan tersenyum. Gila! Semuanya gila! saya pun menuju ke luar ruangan berusaha mengejar Gilbert.

Gawat, kami tersandung jatuh. Kami berdua terjatuh, terjerembap di lantai. Posisi saya pas di atas Gilbert, saya amat terkejut. Tubuh Gilbert tidak kalah hangat dengan tubuh Mas Rudi. Saya tidak mau melepasnya. Saya ingin terus begini tetapi tiba-tiba satpam yang mendengar keributan ini segera menghampiri kita. Gilbert menatapku dengan mata disipitkan dia tidak jadi bilang deengan satpam tentang semua kejadian ini. Kami berdua bangun dibantu Pak Satpam.

"Hey, kalian tidak apa-apa? Seperti anak kecil saja! Jangan berlarian di dalam ruangan!" Satpam tersebut memperingatkan.
Saya hanya tersenyum nakal dan mengacungkan jari telunjuk menutupi bibir merahku pertanda agar Gilbert tidak memberitahukan satpam tentang kejadian yang baru saja ia saksikan. Saya sendiri pun masih shock akan kejadian yang terjadi padaku.
Gilbert membuang muka dan pergi begitu saja. Tampaknya dia tidak akan membocorkan rahasia ini jadi kubiarkan saja dia pergi.

Kalaupun dia mau membocorkan rahasia ini, dia tidak punya Bukti. Saya kembali ke ruangan Badminton dan menceritakan semuanya. Mas Rudi hanya tersenyum layaknya seorang maskulin yang berwibawa. Saya memintanya agar kami tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Mas Rudi tidak menjawab ia hanya menawariku mau tidak mulai latihan. Saya menganggukan kepala. Dan saya terus latihan sampai sore tiba.

Latihan tetap saya lanjutkan kadang hari saya merelakan lapangan untuk kakak saya kadang untuk pemain lain, tetapi kalau selagi sepi kami serius latihan. Dan semakin hari teknik bermainku semakin bagus dan mantap.

Suatu hari kemudian, saya berjumpa lagi dengan Gilbert. Ia sudah lama tidak masuk klub Badminton sejak peristiwa itu. Ia datang seperti biasanya dengan angkuh. Akhirnya pertama kali ia melakukan percakapan dengan saya..
"Oi Joe ingusan! Saya sudah mendapat video rekaman pada hari "H" kamu dengan Mas Rudi." Ia berkata demikian membuat saya dan Mas Rudi amat terkejut. Mas Rudi membujuk agar video tersebut diserahkan kembali kepada kami tetapi dia menolak.
"Jadi apa maumu?" Ucap saya memberanikan diri.
"Sebuah single match antara aku dan kamu! Di lapangan ini." Ucapnya dengan berlagak.
Saya tidak yakin kalau saya akan menang karena saya tahu Gilbert bukan pemain yang kacangan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerima tantangannya.

Mas Rudi sedang berada di posisi wasit. Saya yang mulai menservis shuttle cock. Servis saya berhasil dibalasnya, saya kewalahan menerima sentakkan dari pukulan-pukulan Gilbert yang kecang dan mantap tetapi saya masih bisa menahan dan membalas shuttlecock yang dia kirim ke saya. sampai akhir sesi pertama saya kalah 10-4. Saya mulai putus asa. Tapi Mas Rudi tetap memberiku dukungan.

"Terimakasih Mas Rudi, dukunganmu sangat saya perlukan sekarang." kata saya, Mas Rudi hanya menebar senyum pesonanya.
Senyumnya membuatku semangat lagi, stamina saya kembali stabil dan saya siap berjuang lagi.

Pertandingan ke dua dimulai, saya semakin oke dan stabil. Dan kulihat Gilbert yang semakin kewalahan, saya berhasil melakukan smash sebanyak 3 kali berturut-turut. Ia telak tapi saya masih kalah banyak. Menjelang penutupan sesi ke dua hari semakin sore dan semakin banyak orang yang berkumpul untuk menyaksikan kami. Saya dibuatnya kewalahan karena saya semakin lelah.

Tetapi saya masih bisa mempertahankannya. Hasil pertandingannya sesi kedua saya berhasil menang 8-6. Menuju sesi terakhir, saya bisa melihat banyak orang dari berbagai klub berkumpul dan menyaksikan. Mereka memberikan support pada kami. Mas Rudi yang saya sayangi, selama saya latihan, status kami selain guru-murid, kami juga seorang kekasih..

Tapi kami tidak melakukan hubungan seksualitas lagi karena takut ketahuan oleh orang lain dan akhir-akhir ini tentang penyebaran Virus HIV/AIDS yang gencar menghantui saya, tapi saya tidak tahu apa yang dipikirkan Mas Rudi, ia memperlakukan saya layaknya seorang kekasih. Dan hubungan ini pun terus berlanjut.. Saya tidak ingin semua ini hancur berantakkan hanya
karena Gilbert yang nakal itu! Saya harus memenangkan pertandingan ini.

Sesi pertandingan ketiga dimulai. Gilbert memulai servis shuttlecock, pukulan-pukulannya semakin kencang dan dahsyat. Saya berusaha menangkisnya beberapa kali tapi gagal. Saya mulai panik, kulihat score-board, saya kalah 10-3, sungguh Hopeless.

Riuh ramai orang membuat konsentrasiku pecah. Walaupun sempat melakukan smash beberapakali saya masih belum dapat menutupi kekalahanku. Sekarang hasilnya 13-8. Saya sudah mulai putus asa.

Apakah cinta yang saya pupuk bersama Mas Rudi akan lenyap di meja hukum dan segalanya berakhir begitu saja. Saya tidak berani membayangkan masa depan seorang G A Y seperti saya bisa bertahan di meja hukum. Pikiranku mulai berdenyut dan hampir pass-out. Pritt..! Suara peluit Mas Rudi yang tak berdaya berbunyi, tanda sesi terakhir ini ditutup. Saya kalah telak. Mas Rudi mengangkat kedua tangan yang dilipat lemas pertanda tidak tahu apa yang akan dilakukannya lagi.

Gilbert menghampiri saya, "Permainan yang bagus, rekaman ini akan saya serahkan ke poltabes. Dan kalian akan berakhir". Saya shock berat. Jatuh terduduk melihat Gilbert yang jahat pergi keluar dengan lantang memecah keramaian, berangsur-angsur riuh ramai kembali tenang. Beberapa anggota klub semua bubar dan anggota klub badminton sendiri ada yang masuk dan ada yang pergi.

Mereka semua tidak tahu apa yang terjadi. Antara saya dan Mas Rudi dan ..Gilbert. Ancungan jempol dari anggota klub lain sudah tak ada gunanya lagi. Mas Rudi menghampiriku untuk menghiburku, saya diam saja dan tidak memperdulikannya. Saya tidak mau memperdulikan apa-apa lagi. Yah, iya saya akan bunuh diri. Pikiran itu sempat terngiang di kepala saya.

Bunuh diri adalah solusinya, saya tidak bisa menanggung segala penderitaan ini lagi. Saya pulang ke rumah mengeluarkan sebuah pisau silet dari laci tempat tidur. Sebelum saya sempat melakukannya saya ingin mengatakan pada Mas Rudi saya sangat mencintainya walaupun dia tidak pernah mencintaiku saya tahu itu.. Dia hanya mencintai Gilbert, saya tahu itu. Gilbert juga mencintai Mas Rudi jadi dia melakukan segala ini untuk menjebakku, dia ingin menyingkirkan saya dari percintaan segitiga ini.

Ding.. Dong.. Suara bel rumah berbunyi. Malam-malam begini semua sudah tidur, masih juga ada yang datang. Saya pergi membuka pintu, ada yang mengirim pos. Surat yang berisi video saya buka. Saya tidak melihat pengirimnya. Pintu saya tutup, ada surat di dalamnya. Dan saya baca..

"Joe! Kamu memang menyebalkan. Kenapa kamu harus melakukan semua ini. Saya tidak mengirimkan video itu ke poltabes. Kenapa kamu yang dicintai oleh Mas Rudi, bukannya saya. Kamu memang beruntung. Malam ini saya akan berangkat ke HongKong bersama keluarga saya, saya doa'kan kamu dan Mas Rudi bisa hidup berbahagia."

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.