Senin, 10 Oktober 2011

Aku Nyaris Jadi Gigolo

Nyaris binasa..! Yah, barangkali kalimat itulah yang bisa menggambarkan keadaanku setahun silam, atau lebih tepatnya awal bulan Agustus tahun lalu. Aku jelas-jelas belum lupa dan tak akan pernah melupakan kejadian yang hampir menenggelamkanku dalam kehidupan bejat itu. Aku sebenarnya tak tahu bagaimana harus menceritakannya, aku tak pandai bercerita dan disamping itu aku juga bingung harus memulainya dari mana. Tetapi aku akan coba, mungkin tak seindah karya seorang pujangga dan semanis buah tangan seorang penulis, namun aku akan tetap mencobanya.

Dalam batinku, aku rasa kalau aku harus menumpahkannya dalam sebuah tulisan untuk melepaskan sedikit ganjalan di batinku. Penting kuingatkan sebelumnya, bahwa tulisan ini dibuat tanpa bermaksud membawa pikiran pembaca kepada hal-hal negatif dan pornografi. Maafkan aku sebelumnya, jika pikiran anda ternyata tak terkontrol ketika meresapi cerita ini. Sejujurnya, aku dapat katakan disini bahwa dalam tulisan ini tak melulu berisi hal-hal yang negatif dan ilmu anatomi tubuh manusia saja, melainkan lebih lagi menyimpan sebuah pelajaran yang berharga tentang apa yang disebut "Ilmu kehidupan."

Aku tahu, pasti ada beberapa pembaca yang akan langsung menutup page ini ketika membaca kata-kataku di atas, khususnya para pembaca bernafsu besar yang selalu ingin lebih dan lebih lagi dalam hal-hal seperti itu (kalian tahu sendirilah, maksudnya! Oke?). Tapi tak apalah, aku bisa memakluminya sebagai orang yang pernah mengalami saat-saat dimana pikiran ini seolah-olah hanya dipenuhi oleh sex, sex dan sex. Namun tak lupa juga kuucapkan terima kasih bagi kalian yang berani meluangkan sedikit waktu dan uang untuk membayar biaya warnet hanya demi membaca tulisan singkat yang sedikit acak-acakan ini.

Oke, sebelumnya aku ingin sampaikan sedikit perkenalan. Namaku sebut saja Reino, beberapa hari lagi aku berulang tahun yang kedua puluh satu. Kata orang, umur dua puluh satu adalah titik balik awal kedewasaan seorang laki-laki. Aku lahir dan dibesarkan di suatu kota yang maaf saja tak bisa kusebutkan, sebut saja kota M. Namun, sejak SMU aku tinggal di pulau Dewata, kumpul dengan keluarga om-ku. Jujur saja, sebetulnya awalnya aku merasa terpaksa tinggal bersama keluarga besar om-ku seperti umumnya anak pungut yang lain. Namun, aku harus menjalaninya untuk bisa terus melanjutkan sekolah setelah kedua orang tuaku tak lagi punya pekerjaan tetap.

Tetapi lambat laun, aku mulai bisa menyesuaikan diri dengan tempat tinggal baruku. Apalagi, setelah aku mendapatkan banyak teman dan sahabat baik di kota dimana aku tinggal kini. Dua orang sahabatku yang paling baik adalah Riva dan Mario. Aku dan Mario sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMU kelas dua, karena kebetulan dia adalah salah satu teman sekelasku. Sedangkan, Riva kukenal dari Mario. Kalau mendengar ceritanya, Riva masih memiliki darah turunan Swiss bercampur Bali.

Memang, tampangnya tak mirip orang indonesia atau tampang melayu seperti yang banyak berkeliaran di jalanan. Kulitnya lebih putih dan hidungnya bangir seperti bule. Kalau dibandingkan di antara kami bertiga, memang Riva-lah yang paling cute dengan tampang indonya itu. Mario pun sebenarnya juga tampan, meski kulitnya agak sedikit gosong, but he is black sweet! Sedangkan aku, bagaimana yah? aku tak bisa mendeskripsikan diriku sendiri. Tapi yang jelas aku ada keturunan chineese dan berbadan lebih kekar dibandingkan kedua sahabatku agak kerempeng itu, karena kebetulan aku memang sport mania.

Hari itu aku ingat betul aku sedang mencuci baju ketika Tante memanggilku karena Mario dan Riva datang mencariku. Terkesan aneh, karena tak biasanya Mario atau pun Riva datang tanpa mengabariku sebelumnya, pagi-pagi lagi! Seingatku, waktu itu sekitar jam delapanan, mungkin lebih sedikit. Apalagi jam segitu, mereka biasanya kuliah. Kalau seperti aku sih wajar kalau ada di rumah tiap pagi, karena aku tidak punya kesempatan untuk bisa kuliah seperti Riva dan Mario, aku juga belum bekerja saat itu. Mencari pekerjaan bukannya hal yang mudah bagiku, apalagi hanya lulusan smu dan tidak punya ketrampilan apa-apa, selain daripada menjual tampang dan menebar pesona, itu pun kalau bisa digolongkan ke dalam salah satu bentuk ketrampilan.

"Kok tumben? Ada apa?" tanyaku heran ketika menemui mereka di ruang tamu.

Seperti biasanya, bahkan berlagak seolah-olah tidak ada apa-apa, mereka berdua tampak memasang muka kecut. Aku malah bingung melihatnya, kupikir ada suatu masalah yang begitu berat yang menimpa mereka atau gank kami. Karena beberapa hari yang lalu, kami bertiga memang sempat tersangkut masalah dengan penduduk desa ketika mobil Riva menyerempet seorang laki-laki di desa itu.

"Kita ngomong di belakang saja yuk!" bisik Mario sambil memberi isyarat dengan kedipan matanya, karena Tante tampak masih sibuk bekerja di ruang tengah dengan kain pelnya.

Kami bertiga pun lantas menuju kebun belakang yang tidak terlalu luas itu. Tetapi setibanya di kebun belakang, mendadak dari arah belakang, Riva mengguyurku dengan air dingin yang kemudian diikuti oleh derai tawa ngakaknya. Mario juga terpingkal-pingkal menyaksikan ulah Riva dan tampangku yang langsung kecut seketika.

"Happy Birthday, bro!" pekik mereka berdua sambil bergantian memelukku.

Aku sungguh tidak ingat, kalau hari itu adalah hari ulang tahunku. Luar biasanya, aku malah diingatkan oleh kedua sahabat baikku itu. Aku hanya bisa tersenyum senang, meski saat itu aku jadi salah tingkah. Setiap tahun, aku memang tak pernah ingat akan hari ulang tahunku. Aku ingat sekali, terakhir aku mengingat hari ulang tahunku adalah ketika berumur 12 tahun, ketika aku meminta sebuah hadiah mobil tamiya pada Mamaku, meski beliau tak membelikannya karena tak ada uang. Saat itu aku marah sekali, aku kecewa dan aku memutuskan untuk tidak akan mengingat lagi hari ulang tahunku sejak saat itu, karena aku pikir tak ada gunanya mengingat hari ulang tahun jika tak ada kue tart dan hadiah-hadiah. Bahkan saat itu, dengan gusar, Mamaku berkata: "Jika kau ngotot ingin kado, minta saja pada sinterklas!". Kata-kata itulah yang justru membuat aku makin bertambah kecewa, karena sampai detik ini aku belum menerima kiriman kado satu tamiya-pun dari sinterklas.

"Kau tak ada acara penting hari ini kan? tak ada wawancara lagi? kita ke kebun raya yuk!" ajak Riva kemudian. Kebetulan, hari itu aku memang tak ada rencana keluar rumah atau pun wawancara kerja yang tak pernah membuahkan hasil selama ini.

Aku sih mengiyakan saja, diajak jalan-jalan masak mau ditolak? apalagi, mereka berdua punya maksud mulia untuk membuat hari ulang tahunku saat itu menjadi spesial, setidaknya lebih mengesankan daripada tahun-tahun sebelumnya yang nyaris senantiasa berlalu tanpa kesan. Aku pun segera ke kamarku untuk berganti pakaian, memakai setelan kaos lengan panjang dan celana jeans kain warna krem dan jaket dari bahan yang sama. Hanya pakaian itu yang menurutku paling bagus dan paling aku suka dari beberapa potong pakaian yang aku punya, kebetulan keduanya baru kusetrika semalam.

Di dalam mobil mercy E320 milik Riva, Mario duduk di depan, di samping Riva, sementara aku duduk di jok belakang. Lagaknya sih sepertinya aku yang menjadi bos di dalam mobil itu, bersama dengan sopir dan asisten pribadi yang duduk di jok depan. Tapi siapa yang menduga, kalau yang duduk di belakang, ternyata adalah yang paling kere alias paling melarat di antara mereka bertiga. Lucu juga, tetapi memang seperti itulah realita hidup, ada orang yang diberi kesanggupan untuk membeli mobil mewah namun tak bisa menikmatinya, sedangkan di sisi lain, ada yang bisa menikmati nikmatnya duduk di dalam mobil mewah, namun tak diberi kesanggupan untuk dapat membelinya. Tapi itu hanya sekedar basa-basi saja, aku hanya bercanda, aku tak lantas jadi lupa diri karena duduk di dalam mobil mewah dan punya teman-teman anak pengusaha kaya, aku tahu siapa diriku. "Be myself" is a best way in my life.

Setelah sekitar satu jam perjalanan dari Denpasar, kami pun tiba di kebun raya Bedugul. Terakhir kami mengunjungi tempat itu kurang lebih delapan bulan yang lalu saat keluarga Mario berakhir pekan di sana, kebetulan aku dan Riva juga ikut waktu itu.

Tak ada yang begitu istimewa yang dapat kuceritakan selama kami berada di dalam "Hutan" itu selain daripada kegembiraan kami bertiga sambil menikmati udara sejuk dan suasana tenang yang jauh dari hiruk pikuk suara mesin kendaraan. Sesuatu yang terasa menggelitik dan cukup seru, paling-paling hanyalah ketika kami berulah menjadi agen spionase mengintip orang pacaran di tempat itu. Seru dan lucu, sekalipun kami sendiri masing-masing sudah pernah merasakannya!

Menjelang pukul satu siang, kami bertiga keluar dari dari kebun raya, namun tak langsung pulang. Riva mengajak makan siang di salah satu resto yang ada di dekat tempat itu.

"Ulang tahun tak meriah tanpa acara makan-makan kan?!?" bisik Riva.

Aku mengangguk, "Asal bukan aku yang bayar saja!" sahutku yang disambut tawa oleh mereka berdua.

Kami pun masuk ke dalam resto berarsitektur bali itu, Mario merangkulku seperti yang biasa dilakukannya untuk menunjukkan keakrabannya. Bagiku hal seperti itu sudah biasa, bahkan kadangkala di depan umum kami bertiga bisa berlagak semesra orang pacaran jika naluri usil kami muncul, tetapi tentu saja dalam batas-batas sopan dan wajar, kami juga tak mau orang-orang di sekeliling kami sampai berpikiran macam-macam tentang kami, apalagi kalau mereka sampai nyebur selokan karena terpana saat melihat kami, kasihan kan?

Pasti makanan disini mahal sekali, pikirku. Apalagi setelah di depan mataku tersaji sepiring besar Bistik daging, beberapa potong paha burung dara goreng Kanton, soup asparagus, serta beberapa gelas juice dan pencuci mulut. Yang jelas, kami bertiga makan sampai perut kami tak muat lagi menampung makanan saking kenyangnya.

"Kita pulang sekarang?" tanyaku setelah kulirik jam dinding di dalam restoran sudah menunjukkan jam setengah tiga sore.

"Tunggu dulu! Aku sedang menunggu seseorang, bisa kan sabar sebentar?" kata Riva sambil lagi-lagi ia melongok keluar seolah-olah menanti seseorang. Sejak beberapa saat yang lalu, Riva memang terlihat agak gelisah, ia berulang kali menelepon dan keluar masuk ruangan.

Akhirnya menjelang jam tiga, aku baru tahu siapa yang ditunggu oleh Riva. Orang itu ternyata adalah seorang lelaki dewasa berusia sekitar 35 tahunan, Riva memperkenalkannya pada kami sebagai rekan bisnis Papanya yang mempunyai art shop di daerah Bedugul. Namanya sebut saja Om Richard. Sekalipun usianya cukup jauh di atas kami ternyata Om Richard orangnya asyik juga, malahan sore itu ia tak hanya bicara bisnis saja dengan Riva melainkan ia juga sempat mengobrol dengan kami bertiga tentang banyak hal, masa remajanya bahkan sampai tentang film-film Hollywood yang baru dirilis. Penampilannya juga terkesan funky untuk orang-orang seusianya yang hampir menginjak kepala empat.

"Kalian mau mampir ke tempat Om di Baturiti?" ajak Om Richard kemudian di akhir obrolan kami sore itu. Kebetulan, arah perjalanan pulang dari Bedugul melewati desa Baturiti seperti yang disebutkan om Richard. Jadi, kami bertiga pun setuju untuk mampir sebentar di rumah om Richard. Om Richard dengan mobilnya berjalan lebih dahulu, sementara kami bertiga menyusul di belakangnya.

"Gila, suka ngebut juga tuh om!" ujar Riva ketika mobilnya jauh tertinggal di belakang Om Richard.

Beberapa saat kemudian, kami tiba juga di rumah yang diakui sebagai rumah om Richard. Atau lebih tepatnya bukan rumah tinggal, melainkan sebuah rumah peristirahatan atau yang biasa disebut villa, karena om Richard dan keluarganya juga tinggal di Denpasar. Lokasinya memang tidak di pinggir jalan besar, melainkan masih harus masuk melewati perkampungan dan menempuh jarak selama kurang lebih 20 menit perjalanan dari jalan raya. Tempatnya sangat sunyi dan seandainya hari tidak berkabut, pastilah dari tempat itu bisa dinikmati pemandangan barisan pegunungan yang sangat indah.

"Berapa beli villa ini, om?" tanya Mario penasaran setelah kami memasuki bangunan mungil yang asri dan nyaman itu.

"Delapan ratus! Kebetulan dulunya villa ini punya temen om sendiri, orang bule!"

Om Richard mengantar kami mengelilingi setiap sudut rumah itu sampai ke pekarangan belakang dimana terdapat taman yang tertata rapi dan sebuah kolam renang. Sesudah itu, ia menyuruh kami duduk di ruang tengah sambil memutarkan sebuah laserdisc untuk kami.

"Kalian mau menginap? Om kebetulan enggak pulang malam ini!" ajak Om Richard sambil menyodorkan tiga kaleng softdrink untuk kami.

"Enggak lah, Om. Thanks. Hari ini kita sudah keluar seharian, kalau menginap, takutnya nanti Papa marah!" tutur Riva.

"Alaa, Papamu itu orangnya pengertian banget kok! telepon aja, kasih tahu kalau kamu nginap di tempat om Richard semalam. Gimana?"

Riva memandang Mario dan ke arahku secara bergantian, untuk minta pendapat kami. Mario setuju, karena kebetulan ia di Bali tinggal sendiri di rumah kontrakannya, jadi tidak ada yang perlu dimintai ijin. Lalu bagaimana denganku? belum tentu om mengijinkan aku menginap di tempat om Richard, tapi akhirnya kuputuskan untuk mencoba menghubungi om lewat telepon. Singkat cerita ternyata usahaku berhasil, om-ku mengijinkan.

Sebelumnya, tak pernah terpikir olehku bahkan mimpi pun tidak, kalau ternyata hari itu aku bukan hanya bisa merayakan hari ulang tahunku yang kedua puluh dengan sedikit pesta, tetapi juga merupakan hari pertamaku menikmati apa disebut orang sebagai "Kenikmatan" dunia, melepaskan gairah nafsu muda yang menggelora dan melakukan sesuatu yang sebenarnya tabu dan menjijikkan di mata masyarakat dan agama.

Aku benar-benar tak bisa mengontrol diri lagi saat Om Richard mulai mempreteli pakaianku satu per satu sampai tak ada seutas benang pun yang melilit di tubuhku, aku dibuat telanjang bulat, seperti yang dilakukannya juga terhadap Riva dan Mario bergantian. Saat itu kami bertiga sebenarnya sedang asyik menikmati tontonan laserdisc, namun kami bertiga terpancing oleh bujuk rayu dan kata-kata om Richard yang mengarah pada hal-hal yang berbau sex.

Om Richard membimbing tanganku untuk melucuti pakaiannya satu persatu, mulanya aku merasa begitu canggung karena ini adalah pertama kalinya. Ternyata di balik pakaiannya, ia menyimpan kegagahan seorang lelaki dengan badan yang kekar, kulit putih mulus, dan dada yang bidang dan berbulu tipis. Ia nyaris menjadi seorang lelaki yang sempurna, karena selain hidupnya mapan, ia punya penampilan fisik yang mempesona.

Malam itu adalah malam yang panjang bagi kami berempat, kami bergumul satu sama lain dengan alas seadanya, di atas karpet maupun di sofa.

"Arg!" desahku ketika batang kemaluanku dimasukkan ke dalam mulut Riva dan kemudian dihisapnya sambil dinikmatinya seperti ketika menjilati sebuah es krim. Begitupun sebaliknya, ganti aku yang menghisap batang kejantanan Riva yang panjangnya tak kurang dari lima belas senti itu, menjilatinya, bahkan sesekali diselingi gigitan-gigitan kecil di seputar kulit buah pelirnya yang berwarna kemerahan itu. Riva menggesek-gesekkan ujung penisnya ke wajahku, sesekali ia mengocoknya dan kemudian ganti aku yang mengocoknya, sambil sesekali kumasukkan ke dalam mulutku.

Sementara itu di atas karpet, Om Richard dan Mario bergumul dengan gaya tersendiri, mereka saling menindih dan berpagutan dengan liar. Mario bahkan tak kalah hebatnya dari Om Richard yang sudah berpengalaman, ia cukup mampu mengimbangi permainan om Richard, setidaknya itu yang dapat kuamati sesaat setelah aku memandang ke arah mereka berdua. Melihat adegan itu, aku malah makin terangsang saja, aku tak pernah tahu sebelumnya kalau sesama lelaki bisa menikmati permainan semacam itu, sepertinya asyik juga jika kucoba dengan Riva.

Kami berempat memiliki banyak waktu malam itu untuk melakukannya, sambil mencoba gaya-gaya yang pernah kami tonton dari VCD seperti layaknya hubungan suami istri, atau mungkin lebih dahsyat dari sekedar hubungan suami istri. Malah ada beberapa gaya, yang kuanggap sepertinya hanya binatang yang pernah melakukannya. Sampai jam dua pagi, kami menikmati pertempuran semalam itu, sesudah itu kami pun tertidur pulas karena kecapekan sampai keesokan harinya, karena peristiwa semalam itu pula, sampai-sampai kami bangun kesiangan keesokan harinya.

Hari kedua, setelah kami bangun kesiangan, kami berempat memutuskan untuk berenang bersama di kolam belakang. Aku senang sekali, karena memang sudah lama aku tak berenang. Kemarin sore, ketika kulihat kolam renang ini, memang sempat terlintas di pikiranku keinginan untuk berenang.

Setelah puas berenang, aku tidur-tiduran di kursi malas yang ada di sisi kolam, tepat di sebelahku tampak om Richard yang juga sedang berjemur dengan hanya memakai celana renangnya di atas kursi malas.

"Permainanmu hebat! Om tidak yakin kalau kamu belum pernah melakukan hal itu sebelumnya," kata Om Richard berbasa-basi. Aku hanya tersenyum mendengarnya, untuk beberapa saat aku hanya tutup mulut, aku tak tahu kesan apa yang harus kuceritakan mengenai kejadian semalam.

"Om dengar-dengar kau belum dapat pekerjaan yah?" tanya Om Richard lagi.

"Yah begitulah, Om. Sudah mencoba beberapa kali, namun gagal terus. Mencari pekerjaan memang tak semudah membalik telapak tangan, benar kan Om?"

"Om dulu juga mulanya seperti kamu, namun tak ada salahnya berusaha. Mungkin saatmu belum tiba aja. Kau harus bisa bersabar sekalipun itu sulit. Tapi, kalau kamu mau, om punya tawaran buat kamu?"

"Kerja apa, Om?"

"Kerja untuk Om. Maaf, bukannya om bermaksud melecehkan kamu atau apa, Om tawari kamu kalau mau jadi simpanan Om. Terus terang om suka kamu, i like your body and your performance!" puji Om Richard sambil mengelus tanganku.

Bagai tersambar petir di siang bolong, aku kaget mendengar keterus-terangan Om Richard itu. Aku tak berani langsung menjawabnya, aku tak mau terburu-buru dan keliru mengambil keputusan.

"Beri saya waktu untuk berpikir, Om! Mungkin besok lusa saya akan kasih jawabannya!" sahutku ragu-ragu.

"Oke, kalau nanti om kasih kartu nama Om. kamu hubungi om, ok! Kalau kamu bersedia, biaya hidup kamu jadi tanggungan Om! Kalau menurut om sih, tawaran ini menarik dan pekerjaan yang gampang dan menyenangkan, tapi terserah kau!"

Aku hanya mengangguk-angguk mendengarnya. Kuakui memang tawaran yang baik dan menarik di saat yang tepat, pikirku. Tetapi sesuatu yang baik dan menarik, belum tentu benar, itulah masalahnya mengapa aku tak bisa langsung menjawabnya saat itu juga.

Setelah kurenungkan sendiri lama dua hari, aku memutuskan menolak tawaran tersebut. Kedua sahabatku, Riva dan Mario tak pernah kuberitahu tentang tawaran itu karena aku tak pernah cerita pada mereka. Kini, aku bersyukur karena setahun yang lalu, aku pernah mengambil keputusan yang tepat dan benar.

Setelah aku menolak tawaran Om Richard, mungkin Yang Di atas iba padaku, sehingga aku diberi pekerjaan sebagai seorang room boy di salah satu hotel berbintang di pulau Dewata. Bermula dari titik nol, itulah keadaan saat itu. Aku betul-betul memulai pekerjaanku dari bawah. Namun, lambat laun keadaan ekonomiku mulai membaik sampai detik ini. Paling tidak aku punya penghasilan dan pekerjaan yang tetap dan layak, dan harta yang lebih dari sekedar cukup.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.