Senin, 31 Oktober 2011

Kejutan Paris

Ada sebuah perahu cinta, berlayar ke timur, selatan, barat, utara
Seluruh penjuru telah diarunginya, mengangkut harapan dan impian
Perahu itu datang dan pergi dengan bebas tanpa kecemasan
Musim semi datang setelah musin dingin pergi
Waktu berputar, berjalan terus, terus, dan terus

Dulu, ada sebuah perahu cinta. Keindahannya telah memudar
Badai telah menerpanya dan karang telah merusaknya
Harapan memudar dan impian hancur berantakan
Berlayar terus tanpa tujuan, mencari pelabuhan cinta

Perahu cinta kini telah menemukan pelabuhannya
Akhirnya dia dapat merapat dan beristirahat
Masih mengangkut harapan dan impian yang tersisa
Tak ingin mengarungi samudera lagi
Pelabuhan itu kini menjadi rumah barunya, sekarang dan selamanya..

*****

Akhirnya Veri mengambil cuti selama seminggu. Veri-ku memang suka sekali jalan-jalan/tamasya. Berkeliling dunia adalah impiannya yang terbesar. Aku berharap aku dapat mewujudkan impiannya, tapi aku bukan anak konglomerat. Yang dapat kuberikan padanya hanyalah cinta tulus dan murni; cinta yang tak akan didapatnya dari pria gay lain. Saat Veri mengabarkan perihal cutinya, aku tentu saja senang sekali sebab kami akan dapat bersama-sama.

"Aku mau mengajakmu pergi. Kamu mau?" tanya Veri mendadak. Pandangan matanya yang teduh terasa memabukkan.
"Ke mana, sayangku? Ke hotel? Akhirnya, kita tak pernah dapat kesempatan untuk.." kataku. Namun belum selesai saya berbicara, Veri sudah memotongnya.
"Kita akan ke Paris," katanya, santai.

Veri mendekatkan tubuhnya dan memelukku. Saat itu, kami sedang berada di ruang tamuku. Tangannya yang hangat dan penuh cinta meraih wajahku dan mengelus-ngelusnya.

"Paris?" tanyaku, terkejut sekali.
"Tapi.."
"Tak ada tapi-tapian. Orangtuamu pasti setuju, lagipula mereka 'kan sayang padaku. Pasti mereka memperbolehkan aku untuk membawamu." Veri tersenyum lebar.
"Semuanya sudah kubereskan, paspor, visa, tiket. Kita tinggal berangkat. Masa kamu lupa? Sbeentar lagi kan tepat satu tahun kita menjadi kekasih. Anggap saja hadiah anniversary untukmu." Veri mendaratkan sebuah ciuman mesra di bibirku. Kusambut ciumannya dengan penuh cinta dan gairah.
"Oh, Veri, kamu baik banget," jawabku, mataku berkaca-kaca.

Seumur hidupku, belum pernah aku dicintai oleh pria yang begitu mencintaiku.

"Tak usah sungkan. Itu semua karena aku mencintaimu. Aku sayang kamu, Endy," bisiknya, terus saja membelaiku.
"Aku juga, Veri. Tapi pasti mahal sekali," balasku, masih merasa tak enak. Aku merasa seolah-olah aku membebaninya.
"Tak perlu sungkan. Kamu 'kan kekasihku. Lagipula, sudah sejak lama aku tidak ke Paris. Dulu kupikir aku pergi sendirian, tanpa ada yang menemani dan mendampingiku. Tapi sekarang aku punya kamu. Dan aku mau kamu menemaniku, sayang. Kamu mau 'kan?" Veri menciumiku lagi, menunggu jawaban ya dariku.

Dan tentu saja kujawab ya. Tak mungkin aku menolaknya. Aku ingin selalu berada di sisinya, dan inilah kesempatanku untuk berduaan saja dengannya.

"Terima kasih, sayang," balas Veri, menciumiku lagi. Bibir kami bertautan dan berpagutan, lapar mencari cinta. Tiba-tiba Veri berhenti menciumiku dan bertanya dengan cemas.
"Kamu kenapa? Kamu sedih? Kok nangis segala?"
"Aku nggak sedih, Veri. Aku cuma kelewat bahagia," jawabku, buru-buru mengeringkan air mataku. Tanpa sadar, air mataku berlinang turun.
"Selama ini, aku selalu disakiti secara mental oleh pria-pria yang pernah kucintai. Kutawarkan cinta yang tulus pada mereka, semuanya kuberikan pada mereka tanpa menuntut banyak sebagai balasannya. Namun mereka semua meninggalkanku. Namun saat aku bertemu denganmu, kurasakan kamu beda sekali. Hatiku mengatakan kamulah belahan jiwaku yang selama ini kucari-cari."

Tak dapat menahan haru, kupeluk tubuh Veri dan menangis terisak-isak bahagia di dalam pelukannya.

"Aku telah mencarimu ke mana-mana, Veri. Dan akhirnya kutemukan kau. Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Veri. Kuharap kita bisa selamanya bersama sebagai pasangan kekasih. Jangan biarkan siapa pun memisahkan cinta kita, ya?"
"Jangan khawatir, sayang. Aku akan selalu di sini, mencintaimu. Aku akan selalu menjagamu. Takkan ada yang akan melukai hatimu lagi karena Veri-mu ada di sisimu." Veri melepaskanku dari pelukannya. Jarinya dengan lembut melepas kacamataku, kemudian menyeka air mataku.
"Akan kupastikan, takkan ada lagi air mata kesedihan yang mengalir dari sepasang mata yang indah ini. Kamu tahu 'kan kalau aku lebih suka melihatmu tanpa kacamata, sayang?" Veri menciumi wajahku.
"Cinta kita akan abadi selamanya. Aku takkan pernah meninggalkanmu, sayang. I love you.."

Dan begitulah. Beberapa hari kemudian, kami berdua terbang ke Paris. Takkan ada yang mengganggu kami di sana. Kami dapat sepuasnya bermesraan di sana, terutama di dalam kamar hotel kami. Saat pesawat kami mendarat di lapangan udara Paris, aku tak henti-hentinya mengagumi keindahan kota itu. Ketika menuruni tanga pesawat, Veri melingkarkan tangannya di bahuku dan mendekapku. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Siapa pun yang melihat kami, asalkan tidak buta, pasti sadar bahwa kami adalah pasangan gay, tapi kami cuek saja. Malam itu, begitu kami tiba di kamar hotel, kami langsung berbaring di ranjang kelelahan. Ranjang kami besar sekali dan juga sangat empuk.

Veri dan aku sudah menanggalkan jaket kami karena suhu di kamar cukup hangat. Malahan, kami merasa bahwa kami harus bertelanjang bulat karena kami mulai kepanasan. Kami berbaring bersisian, kepala kami ditopang sepasang bantal yang empuk sekali. Kutolehkan wajahku dan mendapati Veri sedang menatapku. Kuberikan sebuah senyuman yang paling hangat padanya. Kembali Veri melepaskan kacamataku dan meletakkannya di meja samping. Mendekatiku, Veri memeluk tubuhku seperti memeluk guling.

Aku merasa sangat aman berada di dalam cinta dan lindungannya. Ciuman demi ciuman mendarat di wajah dan leherku. Kututup mataku untuk lebih meresapi cintanya. Pria ini sungguh tahu cara mencintai dan memanjakanku. Dalam hati, aku berdoa, 'Tuhan, Veri begitu baik dan sayang padaku. Kumohon, biarkan aku memilikinya. Biarkan aku mencintainya seumur hidupku. Jangan pisahkan kami. Aku mencintainya, Tuhan. Aku sungguh-sungguh mencintainya..' Aku hampir menangis terharu lagi; aku memang sangat sensitif.

"Aku mencintaimu, Endy. Aku ingin sekali bercinta denganmu. Aku ingin memuaskanmu dan aku juga ingin dipuaskan. Sayang, aku bahagia sekali bisa memilikimu," bisik Veri seraya menciumiku.

Kedua tangannya dengan terampil sibuk melucuti pakaianku. Aku tak mau kalah; kulepaskan pakaiannya juga. Kami bergumul di ranjang yang besar itu. Satu-persatu pakaian kami berterbangan ke lantai. Veri begitu bernafsu padaku. Dia memang termasuk tipe pria yang memiliki libido tinggi. Aku sama sekali tidak pernah khawatir akan kesetiaan cintanya padaku meskipun dia gampang terangsang. Aku percaya padanya karena dia adalah Veri-ku, dan Veri takkan pernah menyakiti hatiku. Saat itu, kami akhirnya sudah tak mengenakan apa-apa lagi. Batang kemaluan kami berdua terekspos, tegak berdiri dan saling beradu pedang. Selama beberapa saat, kami berdua hanya saling bertatapan saja dan mengatur napas kami. Aku berbaring telentang, sementara Veri menindih tubuhku. Kehangatan tubuhnya yang telanjang bulat menghangati tubuhku.

Bibir kami bertemu dan saling bertukar air liur. Lidah kami saling beradu, menjilati langit-langit mulut kami. Aku suka sekali cara Veri menciumku; lembut namun sekaligus bernafsu. Aku sama sekali tidak merasa jijik saat kami bertukar liur karena aku mencintainya. Sepasang puting Veri yang sudah tegang terasa menggesek-gesek dadaku, membujuk putingku untuk tegang juga. Ah, aku tenggelam dalam cumbuan Veri. Lidah Veri menjelajahi tubuhku, mengikuti setiap lekukannya. Sensasi dingin yang ditinggalkan air liurnya membuatku merinding nikmat. Sapuan lidahnya yang sensual membuatku menggeliat nikmat. Kedua tangan Veri tak henti-hentinya meraba-raba setiap jengkal dari tubuhku, memuaskan rasa penasaran mereka. Veri memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, tak ada bagian yang terlewat. Dia sungguh memuja tubuhku, membuat wajahku bersemu merah.

Saat lidah Veri menemukan putingku yang masih tertidur, Veri menghisapnya. Aku hampir terlonjak geli karena putingku memang sangat sensitif. Tanpa ampun, Veri mengulum dan menyedot putingku. Aku menggeliat-geliat nikmat sekaligus geli, tapi aku suka sekali perlakuan Veri padaku. Hal itu menandakan dia memang menyukaiku. Setelah puas mengerjai putingku, Veri beralih pada putingku yang satu lagi. Tak ayal lagi, Veri mengeluarkan jurus-jurusnya dan membuatku kembali menggeliat-geliat. Veri tersenyum puas melihat efek dari hasil kerjanya.

Dengan lapar, Veri menjilat-jilat bagian tubuhku yang lain, seperti dada, perut, paha. Cahaya lampu kamar kami yang sangat terang menerangi tubuh telanjangku. Veri dapat menikmati ketelanjanganku dengan sempurna. Untuk pertama kalinya, kami merasa sangat bebas dan tanpa diliputi kecemasan. Hanya ada kami berdua saja di dalam kamar itu, memadu kasih dan bercinta. Ketika Veri tiba di selangkanganku, dia berhenti untuk mengagumi alat kelaminku. Seperti anak kecil yang mendapat mainan baru, Veri asyik memainkan penisku. Karena aku belum disunat dan juga karena kulupku tak normal, Veri tidak bisa mengekspos kepala penisku. Namun dia cukup puas bermain dengan penisku. Demi kepuasannya, aku sengaja mencukur semua bulu di tubuhku, termasuk rambut kemaluanku. Memang tidak sempurna karena bercukur seorang diri itu susah sekali.

Tiba-tiba Veri mencaplok kemaluanku dan mulai menghisapnya. Hisapannya kuat dan bertenaga. Sejujurnya, aku memang kurang dapat merasakan sensasi nikmat akibat dioral karena penisku terbungkus kulup, namun tetap saja asyik. Veri sengaja memusatkan perhatiannya pada lubang penisku karena hanya bagian itulah yang terekspos. Lidahnya dengan ahli menggoda lubang kencingku dan membuat birahiku naik seketika. Cairan precum mengalir keluar sebagai tanda bahwa aku sangat menikmatinya. Veri menjilati cairan itu dan buru-buru menciumku. Ya, kami berbagi cairan precumku. Rasanya nikmat sekali dapat saling berbagi cairan tubuh. Sesaat, Veri kembali memandangiku. Jarinya membelai-belai halus wajahku.

"Aku menyayangimu, Endy," bisiknya.
"Oh, Veri, kasihku, aku juga amat sangat menyayangimu. Aku mencintaimu," kupeluk Veri. Saya berharap waktu dapat berhenti saja pada saat itu agar aku bisa tetap berpelukan dengannya untuk selamanya.
"Hisap batangku donk, sayang," bujuk Veri di telingaku.

Dengan nakal, Veri menjilati daun telingaku. Bagian itu juga nerupakan bagian sensitifku sehingga sekujur tubuhku merinding nikmat. Oohh.. Pria ini memang mengerti setiap bagian dari peta tubuhku. Bagaimana aku dapat menolak permintaannya? Veri berlutut dan menyodorkan kemaluannya ke depan mulutku. Tanpa ragu, aku buka mulutku dan langsung mengoralnya.

"Hhoohh.. Enak sayang.. Aahh.."

Mulutku yang hangat dan basah menyelimuti kepala penisnya. Air liurku melumasi permukaan kulitnya dan melindunginya dari pergesekan. Batang kemaluannya keluar-masuk mulutku dengan irama tetap. Aku harus berjuang karena aku ingin memberikan yang terbaik untuk Veri-ku. Aku ingin dia merasakan kepuasan yang belum pernah dia dapatkan dari pria lain yang pernah ditidurinya. Sekarang aku adalah kekasihnya dan sudah menjadi kewajibanku untuk melayani Veri.

"Hhoohh.. Hhoohh.." Veri meremas-remas rambutku seraya mengendalikan irama hisapanku.

Penis Veri sungguh terasa enak dan nikmat sekali. Aku senang menghisapnya. Mendengar erangan nikmat yang keluar dari mulutnya membuatku senang karena itu berarti aku telah berhasil memberikan kenikmatan padanya. Sengaja kuhisap lebih keras lagi. SLURP! SLURP! Hisapanku telah berhasil menghisap cairan precum keluar dari lubang kencingnya. Langsung saja kujilat habis. Cairan precum adalah cairan terenak di dunia, di samping cairan sperma. Tapi aku hanya menyukai precum dan sperma milik Veri saja karena dialah pria yang kucintai. Aku tak mau merasakan cairan dari pria lain, terasa menjijikan. SLURP! Tubuh Veri bergetar saat kusedot cairan itu dari penisnya. Ah, enak sekali..

"Hhoohh.. Hisap terus, sayang.. Aahh.. Jangan stop.. Oohh.. Hampir sampai.. Aahh.." Veri mempercepat ritme penetrasinya. Mulutku digunakan untuk menuntaskan hasrat birahinya.
"Hhoohh.. Yyeeaahh.. Aahh.."

Napas Veri semakin cepat; dadanya yang agak bidang terlihat naik-turun. Butiran-butiran keringat muncul dari dalam pori-porinya. Sambil menyedot batang kejantanannya, kuremas-remas bolanya dengan lembut. Dan kurasakan bola itu mengembang dan..

"Aarrgghh!!" Veri mencapai klimaks. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Kutampung semua semprotan spermanya di dalam mulutku sambil tetap terus menghisapnya. Aku tahu, Veri pasti sangat menikmatinya.
"Aarrgghh!! Oohh!! Aahh!! Aahh!!" Sperma Veri terasa asin dan pahit tapi enak sekali. Kutelan semuanya tanpa sisa. Kuperas penisnya sampai tetes air mani yang penghabisan.
"Hhoohh.." desahnya, menyeka keringat yang bercucuran di dadanya.

Aku bangun dan duduk di ranjang. Melihat dadanya yang basah berkeringat membuatku sangat terangsang. Kuserang dadanya dengan jilatan-jilatan maut. Veri kaget dan menggeliat-geliat geli sewaktu lidahku menjilati keringatnya dan juga memainkan putingnya. Tubuh Veri memang sangat sensitif, mudah sekali kegelian. Hal ini agak menyusahkan jika aku ingin menjilati dan memainkan bagian-bagian sensitif tubuhnya. Tapi aku suka jika Veri gampang kegelian karena aku pernah mendengar bahwa jika pasangan kita gampang kegelian, itu menandakan bahwa dia akan mencintai kita seumur hidup. Mungkin hal itu benar karena seingatku, semua mantanku tak ada yang sensitif terhadap rasa geli, mungkin karena itulah tak ada dari mereka yang benar-benar mencintaiku. Tapi Veri berbeda; hanya Veri yang mudah kegelian. Dan itu pertanda bahwa Veri sungguh-sungguh mencintaiku..

Veri membaringkanku di atas ranjang. Kedua kakiku dilebarkan dan anusku terpampang jelas. Desahan napas kekaguman terdengar dari mulutnya. Veri tersenyum mesum padaku sambil menunjukkan jarinya. Dua jarinya segera melesat masuk ke dalam anusku dan langsung disambut dengan erangan nikmatku.

Aku tak tahu kenapa Veri suka sekali mempermainkan anusku dengan jarinya. Tapi aku menyukai perlakuannya itu sebab rasanya nikmat sekali. Sebenarnya aku mengharapkan agar Veri mau menyodomiku dengan penisnya, namun rupanya dia ingin menyimpannya untuk acara malam besok.

"Aarrgghh.. Enak banget, Ver.. Oohh.."

Sebelah tangannya dipakai Veri untuk mengocok batang kemaluanku yang sekeras baja. Cairan precumku mengalir turun membasahi tangannya. Namun Veri terus saja mengocok batangku seraya menusuk-nusuk lubang pantatku.

"Aarrgghh.. Uugghh.. Veri.. Aahh.. I love you.. Oohh.. Aahh.." Veri hanya tersenyum mesum dan malah menusukkan jarinya semakin dalam sehingga mengenai prostatku. Dan aku pun berorgasme dengan hebat.
"Aarrgghh!!" Tanpa dapat ditahan, spermaku muncrat lagi, lagi, dan lagi.

Seperti lelehan lava, spermaku yang putih dan kental meleleh turun dengan deras. Penisku terus-menerus berkontraksi untuk mengeluarkan air mani. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Dan aku hanya bisa mengerang dan terus mengerang.

"Oohh!! Uugghh!! Aahh!! Hhoohh!!" Veri tak mau melepaskan penisku. Dia tetap memerasnya. Bahkan saat aku telah berhenti berejakulasi, Veri masih saja memerahku.
"Aahh.. Hhoohh.." desahku, menahan sisa-sisa orgasme yang masih tersisa di tubuhku.

Cairan spermaku berceceran di sekujur tubuhku dan bahkan di ranjang. Namun Veri tidak langsung mencabut jarinya. Dia sengaja menariknya keluar perlahan sekali.

Veri merayap naik dan menciumku lagi. Kami berpelukan dan bergulingan. Spermaku berbusa akibat digesek-gesekan dengan tubuhnya. Veri berbaring telentang dengan tubuhku di sampingnya. Aku didekap di dadanya; kepalaku menempel di atas dadanya. Detak jantungnya terdengar jelas sekali. Kuraba-raba dadanya namun Veri kegelian.

"Veri, kenapa dulu aku menolak bertemu denganmu? Kenapa dulu aku terlalu setia pada mantanku?", kataku tiba-tiba.
"Tapi bagaimana pun juga sekarang kita sudah berdua, Endy sayang. Kita pasangan kekasih. Dan tak ada kata terlambat untuk itu. Aku bahagia bisa memilikimu. Biar saja pria-pria gay yang lain iri hati melihatmu di pelukanku karena kamu hanya milikku seorang. Mereka hanya bisa membayangkanmu tapi tak bisa memilikimu. Oh sayang, kamu akan selamanya setia padaku 'kan?"
"Tentu saja, Veri. Sayangku, kamu tak perlu mencemaskan hal itu. Aku telah menemukan pasangan sejatiku setelah bertahun-tahun masa pencarianku. Aku menemukan kamu. Terima kasih telah mencintaiku dengan tulus, Veri. Aku janji, aku takkan pernah meninggalkanmu. Malah aku yang cemas kamulah yang akan meninggalkanku," jawabku agak manja. Mendengar hal itu, Veri hanya tertawa saja.
"Sayang, jangan khawatir. Aku akan selalu berada di sisimu. 'Kan aku sudah janji?" Veri mendaratkan sebuah ciuman mesra di atas keningku.
"Sudahlah, sekarang kita tidur, yuk. Besok kita banyak acara. Aku mau membawamu melihat keindahan istana Versailles dan menara Eiffel. Kamu pasti suka, sayang."

Veri membelai-belai rambutku dan bahkan menyanyikan sebuah lagu pelan untuk mneidurkanku. Aku merasa sangat aman dan dicintai. Pelukannya begitu hangat dan nyaman. Aku langsung tertidur pulas, dipeluk olehnya. Aku baru membuka mataku saat pagi menyapa kami.

*****

Pagi itu juga, kami berangkat ke istana Versailles dengan taksi. Istana mewah bekas kediaman Raja Louis XIV hanya berjarak sekitar 16 kilometer dari ibukota Paris. Dalam beberapa jam saja, kami sudah tiba di sana. Kami ikut dalam rombongan tur terbuka yang diselenggarakan oleh pihak istana. Veri sibuk membolak-balik buku panduan Versailles. Namun karena matanya lebih sering tertuju padaku daripada pada buku panduan, saya mengambil alih buku itu. Dengan begitu, kami berdua bisa mengetahui lebih banyak tentang istana itu dan Veri pun bisa memandang wajahku tanpa gangguan.

Ternyata istana Versailles sudah berdiri sejak tahun 1634 dan mulanya berfungsi sebagai tempat perburuan dan peristirahatan Louis XII. Namun anaknya, Louis XIV mengubah tempat itu menjadi sebuah istana kediamannya yang megah, lengkap dengan taman. Versailles hampir dimusnahkan pada saat Revolusi Perancis tahun 1789. Kini Versailles sudah dipugar dan nampak cantik seperti dulu.

Bergandengan tangan dan sesekali berpelukan, kami diajak untuk mengunjungi ruangan-ruangan dalam Versailles. Istana itu memang sungguh indah. Satu ruangan yang menarik perhatianku adalah Galerie des Glaces (Ruangan Kaca). Terdapat 17 jendela di satu sisi dan di sisi lainnya ada 17 cermin besar. Ruangan itu nampak seolah-olah lebih besar dari ukuran aslinya berkat tipuan kaca itu. Lampu kristal mewah bergantung di langit-langit yang dihiasi lukisan-lukisan.

Di ruangan inilah, Perjanjian Versailles ditandatangani oleh pihak Sekutu dan Jerman di tahun 1919. Saat rombongan sudah berpindah ke ruangan lain, Veri dan saya tetap berada di Ruangan Kaca. Kami suka memandangi refleksi kaca yang memperlihatkan kami berdua sedang berpelukan dan berciuman. Veri menciumku dengan penuh nafsu. Suara ciumannya bergema ke mana-mana. Badan kami bergesekan dan dapat kurasakan tonjolan besar di balik celananya.

"Nanti malam, kita akan melakukan sesuatu hal yang gila. Tapi aku yakin kamu pasti suka," bisik Veri, memelukku. Tentu saja saya penasaran sekali namun Veri tak mau membeberkan rencana rahasianya.
"Ayo, cepat. Nanti kita ketinggalan rombongan," seru Veri, menarik tanganku. Seperti anak ABG yang sedang jatuh cinta, kami berlari melewati Ruangan Kaca sambil tertawa-tawa. Ah, indahnya cinta..

Sepulang dari Versailles, Veri masih saja mengajakku mengelilingi kota Paris bersama-sama. Veri tak ragu-ragu memeluk dan mendekapku di jalan yang penuh orang. Kebanyakan memang tidak heran melihat tingkah kami, walaupun ada beberapa yang melihat kami dengan pandangan aneh. Tapi Veri tidak merasa terganggu. Aku pun tak menolak dipeluk di depan umum. Kami mengelilingi kota Paris dengan bis Double Decker yang terkenal itu. Sengaja kami duduk di tingkat atas yang terbuka, tanpa atap, agar bisa melihat keindahan Paris.

Sesekali Veri menciumku. Tangannya dilingkarkan di bahuku seolah mengumumkan pada semua orang bahwa aku adalah miliknya. Aku suka sekali diperlakukan romantis seperti itu olehnya. Kusandarkan kepalaku di dadanya tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar kami. Malam mulai turun, kota Paris mulai bermandikan cahaya lampu di mana-mana. Bis kami berhenti tepat di depan menara Eiffel. Lampu-lampu kecil menghiasi setiap rangkanya sehingga dari jauh kita dapat menyaksikan kegemerlapan menara itu. Berdiri di kaki menara tinggi itu, aku merasa seperti seekor semut.

Aku pernah membaca di ensiklopedia Britannica bahwa pada mulanya pemerintahan Perancis ingin menyelenggarakan pameran untuk mengenang 100 tahun Revolusi Perancis. Agar lebih semarak, mereka mengadakan kontes desain. Dari 100 lebih desain yang didaftarkan, desain karya Gustav Eiffel-lah yang diterima. Menara Eiffel, setinggi 300 meter, pun dibangun sejak tahun 1887 dan dijadikan sebagai gerbang masuk pameran itu di tahun 1889. Menara itu dibangun di atas dasar setinggi 5 meter dan dilengkapi antena pemancar televisi, sehingga total tinggi menara itu adalah 322 meter.

"Jangan kelamaan berdiri di sini, sayang. Ayo, kita naik," ajak Veri, membimbingku masuk. Suasana ruangan di bawah Eiffel sudah sepi karena hari sudah malam.
"Kamu tunggu di sini dulu, yach," pesan Veri sebelum dia menghampiri petugas penjaga elevator menara.

Kulihat Veri berbicara serius dengannya, sesekali Veri menunjuk ke arahku. Aku tak mengerti apa yang sedang dibicarakannya. Tapi belakangan kulihat Veri menyelipkan segepok uang ke dalam saku celana penjaga lift. Saat Veri menghampiriku, dia berkata..

"Ayo, sayang. Kita naik."

Seperti orang kebingungan, saya mengikutinya. Kami berdua masuk ke dalam lift bersama si penjaga lift itu. Perjalanan ke puncak menara membutuhkan beberapa menit. Setelah tiba di puncak, sang penjaga pamit dan turun ke bawah dengan lift itu. Kami ditinggalkan berdua saja di sana.

Suasana di puncak Eiffel hampir sama dengan suasana di puncak Monas. Sejauh mata memandang, hanya terlihat hamparan kerlap-kerlip lampu kota. Udara malam yang dingin menerpa tubuhku namun aku tidak merasa kedinginan. Aku tahu, inilah yang dimaksud Veri. Kupandang wajahnya seraya berkata..

"Veri, ini hadiah terindah. Terima kasih banyak, sayang." Kukecup pipinya, kiri dan kanan. Dan diakhiri dengan sebuah ciuman mesra dan panas di bibirnya.

Veri terbawa suasana dan mulai menciumiku dengan penuh nafsu. Tangannya meraba-raba wajahku dan turun ke badan. Bibirnya lapar, mencari-cari bibirku. Kami berciuman dengan liar dan panas. Namun buru-buru kudorong dia, takut ada orang yang melihat. Tapi Veri berkata..

"Jangan takut, sayang. Penjaga tadi sudah kusuap. Dia takkan mengganggu kita. Percayalah. Aku ingin memberimu pengalaman berkesan yang tak terlupakan. Jika Jack dan Rose hanya berciuman di anjungan Titanic, maka kita akan berciuman dan bahkan bercinta di puncak menara Eiffel." Veri terdiam dan menatapku saja. Namun pelan-pelan bibirnya mendekat, mendekat, dan akhirnya lengket dengan bibirku. Aku terhanyut dan kucium balik dia. Tanpa mempedulikan apapun, aku bercinta dengannya.

Sambil berciuman, kami saling melucuti pakaian kami. Meskipun suhu udara malam itu agak dingin, tapi tubuh kami berdua dipanaskan oleh api cinta dan birahi. Pelan-pelan, kaos dan celana panjang kami sudah terlepas. Kulihat celana dalam Veri sudah basah sekali dengan noda precum. Kondisi celana dalamku pun tak berbeda jauh. Dan kami berdua sama-sama tegang. Namun, tanpa malu, kami menelanjangi diri kami sebulat-bulatnya. Batang kemaluannya menegang dan berdenyut-denyut. Kupandangi wajahnya yang ganteng itu. Mataku beralih turun, menyapu tubuhnya dan baru berhenti tepat di batangnya. Tanpa perlu disuruh, saya berlutut dan memasukkan batang kejantanannya ke dalam mulutku.

Cita rasa precum yang khas langsung menyambutku. Dengan rakus, kujilat habis cairan yang menempel di kepala penisnya itu. Sungguh kepala penis yang indah dan aku bahagia dapat memilikinya karena Veri adalah pacarku. Lidahku kuputar-putar di sekeliling kepala penisnya, merangsang setiap sel di permukaan kulit penisnya yang sensitif. Air liurku yang hangat menyelubungi kepala penis itu, menambah sensasi tersendiri. Veri hanya mampu merem-melek seraya mendesah-desah. Tubuhnya bergetar, menahan kenikmatan. Kedua putingnya mengeras, nampak seksi sekali. SLURP! SLURP! SLURP! Aku asyik menghisap penisnya. Mm.. Nikmat sekali. Veri meremas rambutku dan mengendalikan kepalaku. Hisapanku menguat, kusedot sekuatku. SLURP! Cairan precumnya bocor keluar dan langsung kujilati. Terasa licin dan agak asin di lidah, namun aku sangat menyukainya.

"Aahh.. Oohh.. Hisap terus, Endy.. Oohh.. Sayang, enak banget.. Aarrgghh.. Ayo, sayang.. Lebih kuat.. Aarrgghh.."

Veri terus saja mengerang seraya mendorong kemaluannya keluar masuk mulutku. Namun aku hampir tak dapat mendengar kata-katanya sebab suaranya dibawa pergi oleh hembusan angin keras. Campuran precum Veri dan air liurku mnegalir dari sudut bibirku.

"Aarrgghh.. Enak sekali.. Aahh.." Sesekali aku sampai tersedak karena batangnya menjelajahi mulutku terlalu dalam.
"Hhohh.. Hhoohh.." Veri mendadak mencabut batangnya keluar.
"Hhoosshh.. Hampir mau keluar.. Aahh.. Aku belum mau keluar karena aku belum menyodomimu. Kamu mau 'kan kusodomi?" Veri membelai-belai wajahku.

Kulihat Veri berjalan mendekati onggokan celana panjangnya dan sedang sibuk mencari sesuatu. Saat kulihat Veri mengeluarkan kondom, aku segera mendekat dan mencegahnya. Saya berkata..

"Tak usah pakai kondom, Veri. Aku mau kamu memasukiku tanpa kondom. Aku cinta kamu dan aku percaya akan cintamu. Jika aku masih memaksa kamu memakai kondom, itu berarti aku tidak mempercayaimu. Tapi aku percaya, kamu tak pernah bermain sembarangan setelah kita jadian. Maka dari itu, aku percaya kamu bersih dari AIDS. Lagipula, dulu kita berdua pernah mengetes diri kita dan terbukti kalau kita berdua bebas AIDS. Jadi, simpan saja kondommu. Aku mau bercinta denganmu tanpa penghalang. Aku mau kamu merasakan tubuhku seutuhnya."
"Oh, Endy sayang," balas Veri, menjatuhan kondom dan celana panjangnya ke lantai. Ciuman mesra kembali kuterima. Oh, aku tak pernah bosan dengan ciumannya.

Cairan precumku mengalir keluar dari lubang kencingku. Precum itu jatuh menempel di lantai dan tertarik bagaikan lem elastis namun segera putus. Veri mendekapku lagi sambil membisikkan kata-kata yang merangsang nafsu birahiku. Tangannya meraba-raba sekujur tubuhku dan merasakan kehalusan kulitku. Aku merasa sangat rapuh di dalam pelukannya, namun pelukannya yang hangat juga menimbulkan perasaaan aman.

Veri membimbingku menuju tepian puncak Eiffel. Aku berpegangan pada pegangan tangan di tepian itu. Tanpa mengeluh, aku membungkuk dan merenggangkan kakiku lebar-lebar. Lubang pantatku terekspos dan berkedut-kedut, disapa angin malam. Di depanku, dan juga di bawahku, terbentang pemandangan malam kota Paris yang menakjubkan. Aku tak takut jatuh sebab aku yakin Veri pasti akan melindungiku. Di belakangku, Veri bersiap-siap untuk membor anusku dengan kemaluannya.

"Aarrgghh.. Ketat banget.. Aahh.." racau Veri, merem-melek saat kepala penisnya dipaksa masuk untuk menembus pantatku.
"Hhoohh.. Oohh.."
"Aarrgghh.. Oohh.. Aahh.."

Aku juga ikutan mengerang akibat rasa sakit yang dialami anusku karena dipaksa untuk membukakan jalan bagi penis Veri. Namun aku menyukai rasa sakit akibat disodomi, apalagi jika rasa sakit itu datang dari penis pria yang aku cintai. Terasa sangat erotis. Bblleess.. Dan kepala penis Veri pun masuk. Kami berdua mengerang karena lega. Oh, penis Veri terasa hangat sekali dan berkedut-kedut di dalam duburku. Selanjutnya, Veri mendorong batang penisnya masuk seluruhnya.

"Oohh.." erangku, merasakan setiap jengkal dari pergerakannya. Astaga, benda itu sungguh terasa hidup, seolah-olah penis itu sedang bergerak masuk atas kemauan dan pikirannya sendiri.

"Hhohh.. Terus, Veri.. Aahh.. Enak sekali.. Hhoohh.. Lagi.. Lebih dalam lagi.. Aahh.. Terus, sayang.." racauku.

Sengaja kudorong pantatku mundur agar bisa menyarungkan batang penisnya dengan anusku. Akhirnya seluruh batang itu sudah masuk. Kami berdua bernapas lega dan beristirahat sejenak. Kurasakan kedutan-kedutan marah dari batang kejantanannya jauh di dalam liang pembuanganku. Veri memeluk tubuhku dari belakang. Hidungnya sibuk mengendus-ngendus punggung dan merasakan aroma cologne yang kupakai. Aku memang suka sekali dengan wewangian, berguna sebagai aroma terapi.

Kemudian, saya merasakan bibirnya mencium-cium kulit punggungku. Lidahnya pun tak mau kalah, asyik menjilati dan memandikan punggungku. Sementara itu kedua tangannya sibuk meraba-raba bagian depan tubuhku. Veri meremas-remas dadaku dan mengelus-ngelus perutku. Aku hanya bisa mengarahkan tanganku ke belakang dan meremas-remas pinggangnya. Suara deru napas kami ditenggelamkan oleh suara deru angin yang jauh lebih kencang. Lalu kurasakan pergerakan dari batang kejantanan Veri. Veri memulai penetrasinya.

"Aarrgghh.." erangku saat penisnya bergerak mundur, keluar dari anusku.

Setiap jengkal dari dinding duburku terangsang dan menjadi gatal, memohon untuk kembali disentuh oleh penis itu. Permohonan itu terkabul karena penis Veri kembali memasuki lubangku.

"Hhoohh.. Aahh.. Veri.. Aahh.. Teruskan, sayang.. Oohh.."

Setelah mengenai prostatku, penis itu kembali mundur, lalu maju lagi, dan kemudian mundur lagi. Begitu seterusnya. Dengan irama tetap nan bertenaga, Veri menghajar lubangku dengan batang kejantanannya.

"Aargghh!! Ooh!! Aahh!!" erangku setiap kali prostatku terkena.

Sekujur tubuhku bergetar saat gelombang orgasme kecil menyerangku. Setiap kali prostatku terkena, aku merasa seolah-olah napasku tercekat dan tubuhku dialiri gelombang kenikmatan. Hal itu terjadi berulang-ulang. Tekanan di dalam bolaku semakin menguat, membuat penisku terus-menerus meliurkan precum. Keringatku bercucuran meskipun keadaan suhu udara di puncak Eiffel lumayan dingin dan berangin keras. Veri mendorong penisnya lebih dalam, ikut mendorong tubuhku. Berpegangan kuat-kuat, aku menahan tubuhku agar tidak terjungkal ke depan. Kedua tangan Veri bergerak dan mengamankan pinggulku. Ah, nikmatnya bersetubuh dengan pria yang kucintai..

"Aarrgghh.. Aarrgghh.. Sempit sekali, sayang.. Oohh.. I'm fucking you.. Oohh.." racau Veri, menekan-nekan batang penisnya sedalam mungkin.

Deru napasnya terdengar kencang sekali saat Veri membungkuk untuk mencium leherku. Ciumannya sangat maut, diselingi gigitan-gigitan mesra. Seperti tentakel gurita, Veri menahan kulit leherku dnegan bibirnya. Kemudian dia mencium, menyedot, dan menggigitnya. Saat dia melepaskannya, ada sebuah noda kemerahan di kulit leher. Sebuah cupang tanda cinta dari Veri. Keirngat Veri jatuh bercucuran di atas punggungku yang telanjang, bercampur dengan keringatku. Veri menyodomiku tanpa henti bagaikan mesin pemerkosa. Batangnya bergerak masuk-keluar, masuk-keluar, cepat dan bertenaga.

"Hhohh.. Oohh.. Aahh.. Enaknya.."
"Aarrgghh.." erangku.

Rasa nikmat yang kurasakan sungguh tak terlukiskan. Setiap sodokannya melambungkanku ke surga. Penisku tak henti-hentinya mengeluarkan precum. Jumlahnya lebih banyak dari yang biasanya.

"Oohh.. Aahh.." erangku saat prostatku kembali dihajar.

Sodokan yang bertenaga itu mulai membuat isi perutku nyeri seakan-akan ada yang terluka dan bengkak. Namun saya tetap merasa nikmat dan sama sekali tidak ingin Veri berhenti beraksi. Aku ingin terus disodomi oleh Veri. Aahh.. Kuberikan jiwa dan ragaku seutuhnya padanya. Aku mau menjadi miliknya selamanya.

"Oohh.. Aahh.. Veri.. Oohh.. Mau kkelluarr.. Aarrgghh.." Aku menggeliat-geliat, berusaha keras menahan laju orgasmeku. Veri tetap memegangiku erat-erat, tak mau aku terjatuh.
"Oohh!!" Pertahananku jebol. Orgasme menjemputku padahal aku sama sekali tidak menyentuh penisku dari tadi! Batangku mulai berkedut-kedut dengan liar.
"Aarrgghh!! Aarrgghh!! Oohh!! Aarrgghh!!"

Ccrroott!! Ccrroott!! Cairan spermaku yang kental dan putih telah disemprotkan keluar dari lubang penisku. Badanku bergetar dengan hebat karena rasa nikmat yang luar biasa. Sungguh orgasme terhebat yang pernah kualami. Veri masih memegangi pinggulku seraya mempenetrasi anusku yang kini berkedut-kedut liar sebagai efek berantai dari orgasmeku.

"Oohh!! Aku juga mau.. Aarrgghh!!" Veri tak mau mencabut batangnya. Dia terus saja menusuk-nusuk lubang pantatku.
"Aarrgghh!! Oohh!! Aarrgghh!! Uugghh!!", erang Veri, dan.. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Cairan kelaki-lakiannya membanjiri anusku yang sudah longgar, terasa panas membara.

Sekujur tubuhnya bergetar hebat sampai-sampai kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya. Penis Veri mengeluarkan seluruh isinya hingga saya merasa seolah-olah perutku penuh. Dengan desahan panjang, Veri menarik penisnya keluar.

Lelehan pejuhnya ikut mengalir keluar karena duburku sudah penuh sekali dengan spermanya. Sebagian menetes ke atas lantai. Aku bahkan dapat merasakan sel-sel spermanya berenang-renang di dalam duburku. Jika aku bisa hamil, aku mau sekali hamil dan melahirkan anak untuknya. Veri sungguh baik dan cinta sekali padaku, aku akan melakukan apa saja demi kebahagiaannya.

Lubangku masih menganga dan terasa agak perih akibat penetrasi sebelumnya yang tidak melibatkan pelumas. Aku mencoba untuk menutup otot anusku namun hanya dapat bergerak sedikit. Penis Veri memang luar biasa. Aku berbalik dan menciumi Veri. Tubuh telanjang kami bertempelan dan saling menghangatkan. Angin kencang dengan cepat mengeringkan rambut kami yang basah dengan keringat. Selama beberapa saat, kami saling berdekapan sampai sisa-sisa orgasme di tubuh kami benar-benar hilang.

Ketika orgasme kami berdua sudah benar-benar mereda, kami tak mau langsung turun. Setelah berpakaian kembali, kami memutuskan untuk menikmati pemandangan Paris. Berdiri di tepian, Veri melingkarkan tangannya di pinggulku, mengamankannya. Bibirnya mencium-ciumi daun telingaku sambil membisikan kata-kata cinta. Kami bercumbu; bibir kami saling mencari. Di bawah kami, masyarakat Paris mengerjakan aktivitas mereka tanpa menyadari bahwa kami baru saja bercinta di puncak menara Eiffel!

"Rentangkan tanganmu, sayang," bisik Veri, meraba-raba tubuhku.
"Buat apa? Nanti aku jatuh. Nggak mau, ah. Takut," tolakku dengan manja.
"Masa nggak percaya ama saya? Kamu nggak akan jatuh. Saya akan memegangi badanmu. Cobalah, biar kayak film Titanic," bujuk Veri.

Aku tidak menolak saat Veri, dengan lembut, merentangkan kedua tanganku lebar-lebar seperti sayap burung. Angin kencang bertiup ke arahku. Mulanya aku takut, tapi lama-kelamaan terasa asyik. Aku tertawa-tawa bahagia. Ini sungguh hadiah terindah yang pernah kuterima.

"Enak kan?" tanya Veri, tersenyum manis. Aku hanya mengangguk-ngangguk saja, tersenyum bahagia. Dalam hati saya berdoa semoga mimpi indah ini takkan pernah berakhir.

Dalam benakku, terbayang kembali perjalanan cintaku. Pria-pria yang dulu pernah mengisi hatiku muncul dalam pikiranku. Tidak untuk kupikirkan, namun untuk mengingatkanku betapa baiknya Veri dibandingkan mereka. Lynn, kekasih pertamaku yang dikabarkan telah meninggal, seakan berkata padaku, "Veri adalah pasangan jiwamu yang sebenarnya. Cintailah dia dengan sungguh-sungguh. Aku akan selalu berada di atas untuk menjagamu. Kalian berdua akan hidup bahagia selamanya, Endy." Lalu bayangan Brian menggantikannya. Dulu kau pernah mencintainya namun dia pergi meninggalkanku tanpa pesan selamat tinggal. Kemudian ada Areg, pria Armenia, yang sempat menipu hatiku dan uangku.

Air mataku menetes turun. Saya sadar bahwa jodohku memang bukan berada di luar negeri, maka dari itu saya memulai pencarianku di Jakarta dan Odie muncul. Tapi dia pun meninggalkanku dengan alasan dia ingin tobat dari homoseksualitas. Kemudian ada Aan. Dulu kukira aku takkan pernah dapat melupakannya, namun aku salah. Kini hatiku hanya untuk Veri seorang. Cintaku pada kelima pria itu sudah kukubur dalam-dalam. Mereka tak hidup lagi di hatiku. Kutolehkan wajahku dan kupandang wajah Veri yang ganteng dan penuh cinta itu. Andai saja dari dulu kami bertemu, hidupku pasti akan lebih bahagia.

"Kok melamun, sayang? Mikirin apa?" tanya Veri, penasaran.
"Nggak. Cuma sedang ingat masa laluku saja. Dulu aku begitu menderita karena cinta. Aku selalu disakiti, ditipu, dan diperalat. Tak ada yang benar-benar mencintaiku. Namun kamu berbeda sekali dengan mereka, sayang. Aku senang sekali kita menjadi kekasih. Aku akan selalu menjaga cintamu ini." Kukecup pipinya.
"Aku juga akan menjaga cintamu, Endy." Veri memelukku dari belakang. Ah, hangatnya pelukannya itu.
"Kamu mau menikah denganku?" tanyanya tiba-tiba.
"Apa? Menikah?" Aku merasa tak percaya dengan pendengaranku ini.
"Denganmu? Kamu serius?"
"Benar. Menikah. Kamu mau menjadi pendamping hidupku? Aku janji akan sellau membahagiakanmu, sayang," kata Veri dengan mata bersinar-sinar.
"Kita bisa menikah di Holland kalau kamu mau. Hanya kita berdua saja. Lalu kau akan membawamu pergi jauh sekali ke tempat di mana hanya ada kau dan aku saja. Kau akan menjadi milikku selamanya. Bagaimana? Kamu mau?"
"Oh Veri, tentu saja. Aku mau. Aku mau sekali menjadi pasangan hidupmu. Sayangku.."

Kubalikkan badanku dan kupeluk tubuhnya erat-erat. Dalam hati, aku berharap semoga mimpi ini akan menjadi kenyataan. Dulu kau memang pernah memberitahukan Veri tentang impian terbesarku, bahwa aku ingin hidup bersama kekasihku selamanya, selalu berada di sisinya. Tapi aku tak pernah menyangka bahwa Veri bersedia mewujudkannya.

Hidup ini memang aneh. Apa yang kita inginkan, tidak akan langsung diberikan. Aku memohon untuk diberikan seorang kekasih tetap seumur hidup, namun takdir mengharuskan aku bertemu dengan 5 pria dahulu untuk mempelajari arti hidup dan cinta, kemudian baru mempetemukanku dengan Veri. Kupandang bintang-bintang di atas dan kulihat mereka berkelap-kelip seolah tersenyum padaku. Aku tak perlu lagi menjelajahi dunia untuk menemukan pasanganku. Kini aku dapat beristirahat. Aku percaya bahwa setiap orang mempunyai belahan jiwa masing-masing. Dan aku telah menemukan belahan jiwaku.. Veri..

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.