Jumat, 22 Juni 2012

Layu Sebelum Berkembang

Aku terlahir sebagai anak tunggal di sebuah keluarga yang sangat aktif. Kedua orangtuaku super sibuk, sehingga jarang berada di rumah. Bahkan hanya dalam beberapa hari setelah kelahiranku, ibuku telah kembali bekerja walau kondisinya masih belum pulih sepenuhnya. Aku tidak pernah minum ASI, makanya orang-orang sering meledekku "anak sapi". Sejak lahir aku telah dijaga oleh seorang baby-sitter, wanita usia senja yang menyayangiku seperti anak kandungnya. Bahkan kemudian aku terbiasa menyapanya "Bunda". Ia wanita yang penuh dedikasi. Hal yang istimewa darinya ialah ia lancar berbahasa Spanyol, sehingga sejak kecil aku pun telah bisa berbahasa Spanyol, tentunya disamping Bahasa Indonesia dan Inggris.

Keluargaku tinggal di kota, dan sejak orangtuaku baru menikah telah banyak kerabat keluarga dari kampung yang tinggal di rumah, yakni mereka yang duduk di bangku SMP atau SMA, karena saat itu hanya ada SD di kampung. Hal itu memungkinkan sebab kami adalah keluarga kecil yang tinggal di rumah yang cukup besar. Keadaan ini cukup menguntungkan orangtuaku, mereka bisa pergi kerja dengan tenang tanpa perlu kuatir meninggalkan rumah karena sudah seperti asrama kecil. Meskipun setiap hari aku dijaga Bunda, tapi berhubung faktor usianya, secara fisik kemampuan Bunda sudah agak terbatas dan mudah capek. Itulah sebabnya aku sering juga ditemani oleh orang-orang yang tinggal di rumah, terutama mereka yang sekolah pagi hari.

Ketika aku berusia 3 tahun, orang dari kampung yang masih tinggal di rumahku hanya 3 orang, yakni Diana sepupu jauhku, adiknya laki-lakinya bernama Roni, dan Alan, anak tetangga nenekku di kampung yang tidak berhubungan saudara dengan kami. Diana sekolah di SMKK, dan Alan di STM. Keduanya sekolah siang. Sedangkan si Roni, adiknya Diana, adalah satu-satunya yang sekolah pagi di sebuah SMP yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari rumahku. Jadi yang menjagaku di siang hari hanya Bunda dan Roni secara bergantian. Tapi yang lebih sering justru si Roni sebab Bunda biasanya harus tidur siang mengingat penyakit hipertensinya yang sering kambuh.

Roni punya kebiasaan mengerjakan PR setelah makan siang. Supaya mudah menjagaku, aku dibiarkan main saja dalam kamarnya, soalnya di rumah sepi dan Bunda pasti sudah tidur siang. Selesai bikin PR, Roni juga mengajakku tidur siang di kamarnya. Memang kejadian itu sudah lama sekali, hampir 30 tahun lalu, tapi sampai detik ini masih terus menggaung di benakku...

Sejak bayi aku sudah terbiasa mengulum dot botol susu di mulutku jika hendak tidur, bahkan sekalipun botolnya sudah kosong. Kalaupun ada yang mencabutnya dari mulutku, aku pasti terbangun dan merengek, tidak bisa tidur lagi jika tidak diberikan dot. Entah setan apa yang merasukinya, suatu siang ketika aku sedang tidur dengannya, Roni melakukan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Tega sekali ia pada seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa! Ditariknya dot botol susu dari mulutku, lalu digantinya dengan... kepala kontolnya! Jelas, bagi anak seusiaku hal itu tidak ada anehnya sama sekali. Bentuknya memang hampir sama dengan dot, tapi lebih besar. Karena mulutku masih kecil, hanya bagian helm-nya saja yang bisa masuk. Awalnya sih bikin capek bibir, tapi lama-kelamaan aku telah terbiasa. Sudah barang tentu saat itu aku belum menyadari apa yang terjadi. Belakangan, ketika aku sudah beranjak dewasa, baru aku tahu bahwa yang dulu keluar dari kontolnya dan tertelan olehku hampir setiap hari adalah sperma!

Sama seperti dot botol susu, semakin hari ketergantunganku untuk mengisap kontolnya dan menelan sperma semakin bertambah. Memang sama sekali aku belum bisa menafsirkan hal itu dalam konteks hubungan seksual, meski sekalipun misalnya aku anak usia 3 tahun yang paling jenius di dunia. Itu tak ada bedanya dengan kebiasaan anak-anak seusiaku yang suka mengisap jempol, bantal dan lain sebagainya. Bahkan aku belum punya kecakapan untuk menentukan sendiri barang apa yang pantas masuk ke mulutku. Peristiwa itu terjadi hampir setiap hari tanpa sepengetahuan orangtuaku, bahkan Bunda sekalipun.

Mungkin bagi Roni itu hanyalah kenakalan remaja biasa, mengingat dia sedang memasuki masa puber (Roni sama sekali bukan gay, dan menurut kabar saat ini ia sudah menikah 2 kali). Namun ternyata di kemudian hari peristiwa itu menjadi memori buruk yang traumatis dan membelokkan jalan hidupku secara total. Ia tidak sadar, telah menghancurkan masa depan seorang anak manusia tepat di masa psikomotor yang rentan terhadap segala macam pengaruh eksternal.

Setahun kemudian perbuatan Roni diketahui oleh ayahku. Hal itu membuat beliau sangat marah dan mengancam akan menghajar Roni habis-habisan. Roni yang ketakutan segera kabur dari rumahku tanpa sempat membawa apapun juga. Diana kakaknya yang turut malu atas perbuatan Roni, segera pulang ke rumah orangtuanya. Sepertinya persoalan telah selesai. Tetapi tidak bagiku. Kepergian Roni membuat aku sangat sedih. Betapa tidak, ketergantunganku terhadap kontolnya sudah sangat besar. Aku jadi sulit tidur dan sering merengek-rengek. Bujukan apapun yang dilakukan orangtuaku atau orang-orang lain yang tinggal dirumahku kemudian, tidak dapat menenangkan aku. Untungnya masih ada Bunda yang tetap setia dan mengasihi aku seperti anaknya sendiri.

Itulah awal mulanya semua mimpi buruk datang menghantui diriku. Sesuatu yang harus ku tanggung dengan berat sampai saat ini. Jadi, aku sendiri tak tahu persis, apakah aku ini memang homoseks sejati sejak lahir ataukah karena adanya "serangan" terhadap stabilitas jiwaku sebagai seorang lelaki, yang datang terlalu awal. Yang pasti, bagiku saat itu pengalaman tersebut bukan seks, tapi itulah cikal bakal perubahan orientasi seksualku di kemudian hari. Apalagi "serangan" semacam itu tetap terjadi juga di saat aku duduk di bangku SD, yang akan ku ceritakan dalam kisah bagian selanjutnya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

51C021F6 umur 16..Sambas... Hehe

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.