Jumat, 22 Juni 2012

Gita Cinta dari SMA

Hari pertama di SMA adalah saat yang sangat indah bagiku, sebab untuk pertama kalinya aku bisa ke sekolah bercelana panjang. Salah satu hal yang ku idam-idamkan ketika masih di bangku SMP dulu. Hal lain yang menyenangkan ialah aku dapat teman baru. Memang ada beberapa teman SMP-ku dulu yang juga diterima di sekolah idaman ini, SMA Negeri yang paling favorit di kotaku. Namun sebagian besar adalah wajah-wajah baru, baik yang datang dari SMP-SMP lain di sekolahku, juga dari SMP di beberapa kampung yang ada di sekitar kotaku. Emang pada umumnya sekolahan di kampung hanya sampai tingkat SMP, sehingga mereka harus pindah ke kota saat memasuki SMA.

Pada masa itu, di SMA masih berlaku praktek perpeloncoan, walaupun tidak seberat mahasiswa baru di perguruan tinggi. Namaku terdaftar di kelas 1-1, bersama 33 siswa lainnya, tapi hanya 10 orang saja yang perempuan. Kami belum sempat berkenalan satu sama lain, baru saja meletakkan tas di dalam kelas, terdengar pengumuman agar kami segera berkumpul di lapangan upacara bersama siswa-siswa baru di kelas paralel lainnya.

Matahari bersinar terik saat itu, tapi tidak ada yang peduli. Di lapangan kami muali berkenalan satu sama lainnya, sehingga tampak seperti kerumunan lebah bising.

"Diam semuanya! Segera atur barisan menurut kelas masing-masing!", terdengar teriakan dari speaker yang dipasang di tepi lapangan. Dari jauh tampak seorang siswa, mungkin pengurus OSIS, yang sedang memegang mic dan tangannya yang satu lagi mengacak pinggang. Tiba-tiba saja semua yang di lapangan diam seperti dibius. Semua berlari dan membentuk barisan teratur, mulai dari kelas 1-1 sampai 1-7.

Sudah dapat ditebak, setelah itu acara "pembantaian" dari kakak-kakak kelas pun berlangsung seharian. Aku sih enjoy aja, hanya saja tampak seperti orang konyol. Ngak apa-apalah, yang penting konyol bareng. Di antara semua kegilaan hari itu, hanya satu permainan yang aku rasa jijik, yakni berdiri membentuk lingkaran sekitar 10 orang, lalu mengulum sebutir permen dan dioperkan secara estafet ke orang di sebelah kiri, sampai kembali lagi ke orang pertama. Betul-betul menjijikkan, gimana kalo ada yang berpenyakit menular. Sempat terlintas di pikiranku untuk memprotes panitia.

Kalau saja protes betul-betul ku lakukan dan panitia membatalkan game yang satu itu, mungkin aku tak kan pernah mendapatkan pengalaman indah yang ku ceritakan dalam kisahku ini. Ketika tiba giliranku untuk melakukan permainan menjijikkan itu, panitia memilih secara acak 10 orang dari kelas yang berbeda, dan kami semua disuruh berdiri membentuk lingkaran. Tiba-tiba saja keinginanku untuk protes segera sirna, tatkala ku lihat siswa yang berdiri di samping kananku dalam barisan. Seorang pemuda ganteng abis! Perawakannya tinggi, dan tumbuhnya tampak seksi banget di balik baju seragam.

Tiba giliran di mana si ganteng harus mengoper permen kecil itu ke mulutku. Wah, aku tegang sekali, dan jantungku berdebar seperti mau copot. Perlahan wajahnya maju mendekati wajahku, dengan permen terapit di antara kedua bibirnya. Ukuran permen itu begitu kecil, sehingga ketika proses perpindahan terjadi, permen itu hampir jatuh dan dia harus berusaha menahannya dengan bibirnya, dengan cara menempelkannya ke bibirku. Tak ada cara lain, sebab tangan kami semua harus tetap menggenggam di belakang pinggul. Terasa nafasnya mendengus tepat di depan hidungku... nafas yang jantan! Sengaja ku lama-lamain, pura-pura mengatur posisi permen di bibirku. Ketika wajahnya menjauh, dapat ku lihat jelas kumisnya yang tipis kelimis menghiasi ruang antara hidung dan mulutnya. Kalo saja permen itu tak harus ku oper lagi ke orang di sebelah kiriku, ingin sekali aku mengulumnya perlahan sampai habis, membayangkan itu adalah bibirnya nan seksi.

"Hai, namaku Versus.", ku beranikan diriku menyapanya ketika acara hari itu sudah selesai dan para siswa bersiap untuk pulang.

"Eh ya, namaku Raka. Kamu marah yang tadi? Maaf ya, abis permen itu kecil banget, kalo terjatuh dari mulutku, kita berdua pasti dapat hukuman.", sahutnya malu.

"Ah, ngak apa-apa kok. Kayaknya baru sekarang aku melihatmu. Kamu asalnya dari mana? Kalo aku lulusan SMP Tunas Muda di kota ini juga", tanyaku memancing.

"Aku memang bukan dari sini. Aku lulusan SMP dari kampungku, Desa Sukamaju. Kamu mungkin belum pernah ke sana. Jaraknya hampir 200km dari sini."

Demikian kami pun berkenalan, tanya ini dan itu, sampai akhirnya menjadi teman akrab. Raka memang tidak sekelas denganku, karena dia di kelas 1-4. Tapi dalam hitungan hari kami telah menjadi teman jalan bersama sepulang sekolah. Demikian juga kalo lagi istirahat di kantin sekolah. Dia datang dari keluarga petani yang sederhana, dan orangnya ngak neko-neko. Sementara aku adalah anak kota yang sudah "lincah". Aku sering menraktirnya makan di restoran dekat sekolah, walaupun dia sebenarnya ngak enakan, karena sifatnya ngak matre sama sekali. Dia cukup tau diri. Di kota ini Raka kost di sebuah rumah yang bertetangga pas dengan sekolahan kami.

Belum 2 minggu kami kenalan, aku telah mengajak Raka nginap di rumahku. Kebetulan itu hari Sabtu, dan Raka tidak kembali ke kampungnya. Awalnya dia menolak sebab takut dituduh orang-orang "memperalat" aku untuk kepentingan finansial. Tapi aku memaksa, bahkan aku bilang kalo ada teman yang ngomong begitu, berarti sirik. Keinginanku sudah menggebu-gebu untuk "mengenalnya" lebih jauh lagi. Aku benar-benar terobsesi dengan kepolosannya sebagai anak kampung yang sederhana.

"Wah Ver, aku lupa bawa baju ganti, kalo aku tidur dengan baju ini, nanti kusut kalo ku pakai besok pagi.", ucapnya ketika kami telah berada dalam kamar tidurku malam hari itu.

"Ah, ngak usah dipikirin. Pake aja kaosku di lemari itu. Anggap aja rumah sendiri."

"Jangan ah, Ver... aku ngak enak kalo nanti dilihat orangtuamu aku lagi pake kaos kamu. Mendingan aku buka baju aja.", tanggapnya.

"Kamu ngak merasa kedinginan? Apa AC-nya perlu ku kecilkan?"

"Ngak usah. Aku biasa kok di udara dingin, sebab di kampungu juga dingin banget kalo malam hari. Malah aku sering kegerahan sejak tinggal di kota ini", Raka pun membuka bajunya dan menggantungkannya di belakang pintu kamarku. Baru kali ini aku melihat dia bertelanjang dada. Otot-ototnya yang kekar tampak menghiasi tubuh berkulit kuning langsat itu. Dapat dipastikan bahwa itu bukan hasil dari gym, tapi akibat kerja fisiknya yang berat sebagai anak petani di desa.

"Eh, kok jadi melamun?", ucapnya mengagetkan aku yang sedang terpana ke arah otot-otot di badannya itu.

"Ngak ada apa-apa. Ayo, kita tidur aja, ini sudah larut malam. Kita harus bangun pagi dan renang bersama di kolam belakang rumahku.", jawabku sambil meremangkan lampu di kamar tidurku.

Busyet! Hanya dalam hitungan detik raka telah terlelap. Mungkin baru sekarang dia merasakan kasur seempuk ini. Aku hanya bengong menatap tubuh seksi telanjang dada yang pulas di sampingku. Ingin sekali aku menjamahnya, tapi aku takut kalo dia terbangun dan marah atau menamparku lalu tiba-tiba pergi begitu saja. Entah berapa lama aku berbaring sambil menatapnya. Aku semakin tak tahan dengan hasratku yang sudah sampai ke ubun-ubun. Entah lagi mimpi apa, tiba-tiba Raka membalikkan tubuhnya menghadap samping ke arahku, lalu tangannya yang kekar merangkul dadaku, seolah aku ini bantal. Aku coba melihat matanya, dia memang benar-benar sedang tertidur.

Ketika kakinya menyilangi kakiku, aku sudah tak tahan lagi. Dengan perlahan aku geserkan kakinya, lalu hati-hati sekali aku mengarahkan tanganku ke celananya. Aku berusaha membuka kancing dan retsluiting celananya sambil tetap menatap wajahnya, kuatir kalo dia tiba-tiba terjaga. Aku melakukannya sangat perlahan, hingga membutuhkan beberapa menit sampai bagian depan celananya benar-benar terbuka membentuk huruf "V", memperlihatkan CD-nya yang berwarna putih dan... sebuah tonjolan besar di baliknya! Sekali lagi ku lihat wajahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar terlelap.

Detik berikutnya, ku turunkan tubuhku perlahan, hingga wajahku sejajar dengan selangkangannya. Kini di depanku terpampang pemandangan yang sangat menggoda. Seperti melihat buah ranum yang siap dikupas dan dimakan isinya. Aroma khas lelaki tercium harum di hidungku, ketika aku hati-hati membuka CD-nya, hingga tonjolan besar yang ternyata panjangnya lebih dari 20cm itu menyembul keluar dari sarangnya.

"Bodoh amat!", pikirku, "mau teriak kek, mau tampar kek, urusannya belakangan. Aku ngak tahan lagi". Segera ku sergap batang yang ereksi itu masuk ke dalam rongga mulutku. Wah, besar sekali! Aku hampir tersedak. Ku keluarkan lagi, lalu ku jilati kepalanya yang mekar. Pemiliknya tak bereaksi apa-apa sejauh ini. Aku sudah nekat, meskipun Raka terbangun. Pada saat ku sedot kontolnya dengan gerakan maju mundur, Raka menggeliat kecil. Terdengar desahan pelan dari mulutnya. Aku deg-degan juga, jangan-jangan dia bakan langsung beranjak dari ranjang! Makanya gerakan itu ku hentikan ketika dia menggeliat. Eh, tak disangka... tiba-tiba tangannya merangkul belakang leherku, seolah-olah memberi kode: "teruskan!"

Aku tak menyia-nyiakan waktu lagi. Segera ku teruskan "pompa maut" mulutku lebih kencang dari sebelumnya, membuat Raka menggeliat lebih kuat. Aku memeloroti celana panjang dan CD-nya sekalian sampai ke bawah lutut. Yang pasti, ngak mungkin kalo dia masih terlelap saat ini. Gerakan mengangkat pantatnya untuk memudahkan aku memelorotkan celananya ku tanggapi sebagai tanda persetujuan.

Sekarang ku arahkan mulutku ke putingnya yang ditumbuhi bulu tipis, sambil tanganku tetap mengocok batang kelelakiannya yang kian membesar dan mengeras. Tiba-tiba Raka mengencangkan otot-otot paha dan kakinya. Aku tahu apa yang akan terjadi. Segera ku arahkan lagi mulutku ke ujung kontolnya, sedangkan tanganku tetap mengocol pangkalnya. Dan...

"Aaaaaahhhhhhh........", desah Raka sambil mengguncangkan pinggulnya, ketika lahar putih panas itu memberontak keluar dari batangnya, memenuhi rongga mulutku. Aku pun langsung meneguknya hingga ke tetes terakhir. Sesudah itu ia terkulai lemas, peluh di sekujur tubuhnya, walaupun kamarku sejuk oleh AC.

Aku puas sekali, walaupun aku sendiri tidak ejakulasi. Bahkan membuka bajuku pun tidak. Aku pun terlelap di selangkangannya sampai pagi. Keesokannya, aku yang bangun duluan. Segera aku ke kamar mandi dan membersihkan tubuh. Setelah itu, aku kembali ke ranjang, melihat pemandangan seperti "usai perang", tubuh Raka yang masih terbaring telanjang. Walaupun tool-nya tidak ereksi lagi, tapi ukurannya tetap aja kelihatan besar. Ketika Raka ku bangunkan, tampak sekali sikapnya sangat kikuk dan salah tingkah. Wah, ini sih kebalikan, harusnya aku dong yang malu, eh malah dia! Wajahnya tetap agak tertunduk ketika ia ke kamar mandi. Nanti setelah bersih-bersih dan mengenakan seluruh pakaiannya, barulah ia berani menatapku. Sikapnya masih malu-malu, tapi ia tidak berkomentar sedikitpun tentang kejadian semalam.

Ketika menuju kolam renang di belakang rumahku, Raka hanya tersenyum-senyum. Saat berenang berdua pun kami tidak menyinggung sedikit pun tentang apa yang terjadi. Malah percakapan kami ke sana sini. Hanya saja sikapnya jadi berubah, tampaknya agak lebih "mesra" terhadapku. Well, setidaknya itu adalah awal yang baik bagiku. Sudah terbayang di benakku pengalaman-pengalaman seru yang aku lewati dengan dia nantinya!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.