Sabtu, 23 Juni 2012

Badai Pasti Berlalu

Lulus dengan status suma cumlaude atau A+ tentunya membuat orangtuaku sangat bangga kepadaku. Padahal mereka sempat kuatir dulu aku bahkan hampir putus sekolah di SMA. Ayahku menawarkan posisi sebagai direktur di salah satu perusahan miliknya, tapi aku sudah punya rencana sendiri. Bahkan sebelum ujian sarjana pun sebenarnya saya secara diam-diam telah mengirimkan lamaran kerja ke salah satu perusahan multinasional terkenal yang punya cabang di Jakarta. Itu adalah wujud tekadku untuk benar-benar bisa mandiri, terlepas dari bantuan ayahku. Aku hanya ingin membuktikan kepada orang-orang dan kepada diriku sendiri bahwa aku bukan anak yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak orangtua. Namun tentunya harus diam-diam, sebab apapun juga ayahku pasti tidak akan pernah setuju.

Benar juga, beliau sempat marah ketika aku menerima surat dari Jakarta bahwa aku bisa diterima dan tinggal mengikuti wawancara yang harus dilakukan di sana. Namun di lain pihak, ibuku sangat mendukungku, sebab beliau adalah orang yang paling mengerti aku di dunia ini.

Singkat cerita, setelah lulus wawancara dan diterima bekerja di perusahan itu, aku langsung bisa mendapatkan posisi yang sangat tinggi. Ngak enaknya, kebanyakan orang di kantor justru menjaga jarak dariku sebab keseganan mereka terhadap posisiku. Bahkan aku harus membiasakan diri disapa "Bapak" meski aku masih sangat muda. Risih juga, tapi lama-lama jadi ngak aneh lagi. Aku mengontrak sebuah rumah yang cukup besar dan nyaman di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Dari kantor aku mendapatkan sebuah mobil sedan BMW baru berwarna perak metalik. Sebenarnya aku juga diberikan sopir pribadi, tapi aku lebih suka nyetir sendiri.

Setiap kali pulang kantor, aku selalu lewat Jalan Thamrin. Sore hari jalur ke alah Sudirman pasti macet berat. Makanya aku suka mampir di Plaza Indonesia menunggu jalanan agak lengang sambil menikmati teh hangat di sebuah cafe yang terletak di basement. Suatu sore seperti biasanya aku sedang nongkrong di cafe itu, ku lihat ada seorang pemuda yang tengah berdiri mengamati sesuatu di etalase depan sebuah toko kecil di dekat cafe. Penampilannya casual tapi rapih. Ku perhatikan tingginya sekitar 180cm dan badannya tampak padat berisi di balik t-shirt putihnya. Cukup lama ia mengamati etalase itu, kemudian membalikkan badan menghadap ke arah cafe. Wajahnya memang sangat tampan, seperti seorang coverboy. Sejenak kemudian dia seperti tersadar bahwa aku sedang memperhatikan dirinya. Ku rapikan dasi yang masih melilit di leherku. Demi mengusir kekakuan saat pandangan mata kami beradu, akupun tersenyum. Eh, dia juga balas senyum. Mungkin karena terlalu terpana, serta merta aku memberi kode dengan tangan mengundangnya ke arahku. Ia mendekat. Ku persilahkan dia duduk tepat di depanku lalu aku memanggil pelayan. Setelah memesan teh hangat sama sepertiku, kami mulai bercakap walau agak malu-malu.

"Kenalkan, saya Versus. Emm... boleh tahu namanya, mas?", tanyaku.

"Saya Yono.", jawabnya singkat sambil tersenyum. Dari dekat tampak rambutnya yang agak ikal teratur rapi.

Perbincangan kami pun berlanjut, mengupas tuntas sesi perkenalan. Herannya aku mengatakan data diriku yang sebenarnya, padahal aku biasanya tidak mudah percaya orang yang baru dikenal. Yono berasal dari Blitar, Jawa Timur. Di Jakarta ia kuliah di sebuah universitas yang berlokasi di seputaran Senayan, dan kost di dekat kampusnya. Dalam waktu singkat kami telah jadi akrab. Bahkan pelayan cafe pun mungkin mengira kami sudah lama saling kenal. AKu ajak Yono main ke rumahku, dan ternyata dia bersedia. Tanpa membuang waktu lagi, kami segera menuju ke mobilku di tempat parkir. Meski masih agak macet tapi aku tidak bosan dalam perjalanan sebab kami berdua ngobrol terus sampai tiba di Pondok Labu.

"Yon, aku mandi dulu ya.", ucapku sambil meninggalkan Yono di ruang baca. Baru saja aku on komputer dan mempersilahkan Yono menggunakannya. Di komputer itu ada banyak gambar erotik pria yang didownload dari Internet. Kayaknya Yono suka melihatnya. Ngak apa-apa, lagian di rumahku memang ngak ada orang lain, sebab pembantuku biasanya pulang ke rumahnya jam 5 sore. Meskipun ada kamar khusus untuk pembantu, tapi ia tidak nginap sebab rumahnya hanya berjarak 100 meter dari rumahku.

Setelah selesai mandi, aku mendekati Yono, hanya berbalut handuk. Ku ambil kursi lalu duduk tepat di sampingnya. Ia masih asyik melihat gambar-gambar itu. Namun beberapa saat kemudian Yono memalingkan wajahnya ke arahku. Mata kami saling menatap, tersenyum. Aku agak kaget bercampur senang ketika Yono memejamkan mata lalu mendekatkan bibirnya ke bibirku. Terjadilah adegan French kiss yang sangat romantis. Beberapa saat kemudian, kami pindah ke kamarku, adegan pun berlanjut seru. Kami saling mengisap kontol dengan posisi 69. Yono benar-benar bisa memuaskan hasratku. Permainan kami makin memuncak sampai orgasme dalam waktu yang hampir bersamaan. Setelah itu kami sama-sama ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Malam itu Yono tidur dalam rangkulanku. Bukan hanya gairah seks yang mendekatkan kami, tapi rasanya kami juga saling jatuh cinta.

Setelah peristiwa malam itu, Yono pindah dari tempat kostnya ke rumahku. Setiap pagi Yono ikut mobilku sampai ke Jalan Sudirman, sebab dia harus kuliah. Sore harinya dia suka menungguku di sebuah warung kopi di Plasa Blok M, sebab itu adalah jalurku pulang rumah yang paling dekat ke lokasi kampusnya. Begitulah pada awalnya hubunganku dengannya berlangsung baik dan lancar. Yono benar-benar mencintaiku. Bahkan dia sama sekali tidak matre terhadapku. Jangan pikir dia mau memperalatku secara finansial, ngak pernah terjadi! Bahkan dia sering menolak jika aku berniat memberi uang. Kalaupun sangat terpaksa, misalnya membeli buku penting untuk kuliah di saat kiriman bulanan dari orangtuanya belum tiba, dia bersedia menerima uluran tanganku, tapi hanya sebatas harga buku, dan uang kembalian paling receh sekalipun tetap saja dibalikin ke aku. Malah justru sebaliknya, Yono sering membeli sesuatu untuk makan malam kami berdua dengan uangnya sendiri. Hal itu membuatku semakin mencintainya.

Sayangnya rasa cinta Yono yang besar itu tidak bisa dikontrolnya. Yono mulai jadi posesif dan cemburuan. Bahkan aku tidak berani dekat dengan teman kantorku yang laki-laki. Jika aku pulang agak telat, misalnya ada lemburan di kantor, kami pasti ribut sebab Yono menuduhku habis main dengan pemuda lain. Lama kelamaan aku merasa terkekang juga. Walaupun aku tahu dia melarangku ini-itu karena rasa cintanya yang besar, tapi keadaan menjadi tidak menyenangkan bagiku. Lebih buruk lagi, Yono sering banget menelpon ke kantorku, hanya untuk mencari tahu apakah aku ada atau sedang berkeliaran. Alasannya sih ingin tanya apakah aku sudah makan siang misalnya, jadi seolah ingin menunjukkan perhatian tapi sebenarnya karena rasa cemburunya. Gara-gara sikapnya itu maka akupun kurang bergairah lagi jika berduaan dengannya di ranjang. Hal itu semakin membuatnya menjadi-jadi. Aku dibilang kurang bergairah lagi sebab sorenya sudah main dengan pria lain sebelum pulang.

Sebenarnya aku tipe orang setia dalam cinta. Namun diperlakukan begitu justru membuat aku terkekang dan mencari-cari kesempatan untuk bisa berhubungan dengan orang lain. Keterikatan kami semakin tidak sehat manakala ia mulai mengancam aku bahwa ia akan menceritakan kehidupan pribadiku kepada teman-teman kantor jika aku membuatnya sakit hati. Aku menyesal pernah berkenalan dengannya. Aku harus berpikir keras memutar otak untuk mencari bagaimana caranya bisa terbebas dari Yono.

Pucuk dicinta ulam tiba. Akhirnya ku temukan juga titik kelemahan Yono. Suatu sore, seperti biasa Yono telah menunggu mobilku di dekat Plasa Blok M. Aku telah melihatnya dari jauh, sepertinya dia tampak sedang gelisah. Benar saja, ketika naik ke mobilku, Yono mengatakan bahwa kedua orangtuanya akan tiba di Jakarta keesokan paginya. Yono telah tinggal serumah denganku, jadi mau tak mau orangtuanya juga akan nginap bersama kami. Aku kaget juga, sebab selama ini Yono tidak pernah bercerita tentang ayah dan ibunya. Aku setuju menyediakan kamar utama di rumah untuk orangtua Yono. Aku dan Yono pindah ke 2 kamar yang berbeda. Yono sepertinya pucat dan berusaha menyimpan semua barang-barang yang berbau gay di rumah, seperti gambar hiasan dinding, poster, VCD, majalah dan buku porno, serta foto mesra kami berdua yang dipajang di kamar. Yono memintaku bersandiwara di depan orangtuanya, seolah-olah dia kerja paruh waktu di kantorku sehingga kami berdua tinggal serumah. Nyata sekali bahwa Yono tidak ingin orangtuanya tahu bahwa dia itu gay.

Pagi-pagi sekali Yono telah standby di Stasiun KA Gambir. Aku tak bisa menemaninya sebab aku harus ke kantor. Ketika aku pulang kantor sore harinya, Yono sedang duduk bersama ayah dan ibunya di serambi depan rumah.

"Oh, ini yang namanya nak Versus?", sapa ibunya dengan ramah ketika aku tiba di serambi.

"Benar", jawabku sambil tersenyum, "pasti ini ibunya Yono... dan ini ayahnya, kan?!" Pandanganku beralih ke arah pria di dekatnya yang rambutnya telah beruban semua. "Bagaimana perjalanan ke Jakarta?"

"Menyenangkan juga, walaupun tadinya sempat kesal juga sebab keretanya telat dari jadwal yang semestinya. Si Yono sampe harus nunggu agak lama di Gambir...", jelas ayahnya.

"Ah, sudahlah... yang penting kita sudah tiba dengan selamat dan bisa ketemu Yono kan?!", potong ibunya. Percakapan kami pun berlangsung semakin akrab. Rupanya Yono sudah mengatur cerita bahwa dia kuliah sambil kerja di kantorku. Makanya kami tinggal serumah. Dengan begitu, orangtuanya tak akan curiga sama sekali. Bagus juga rencana si Yono, pikirku. Namun itulah titik kelemahannya, dia takut rahasia dirinya diketahui orangtuanya!

Tak lama setelah orangtuanya kembali ke Blitar, aku menyusun sebuah rencana. Diam-diam aku ambil cuti di kantor, lalu saat Yono sedang kuliah, aku menulis sepucuk surat dan kutinggalkan di atas kasur bersama segepok uang. Tiket pesawat telah ku pesan, aku siap berlibur cukup lama di kota kelahiranku. Ketika Yono ke rumah, dia membaca suratku:

"Yono sayang, aku tahu kamu mencintaiku, demikian pula sebaliknya. Tapi hubungan kita tidak bisa dipertahankan, sebab kamu terlalu mengekangku. Mungkin sebaiknya kita pisah saja. Di kasur ada uang yang ku tinggalkan untukmu, cukup banyak untuk biaya kuliahmu sampai selesai. Tapi ingat, jangan sekali-kali kamu membongkar rahasiaku, terutama kepada orang kantorku. Jika hal itu kamu lakukan, aku sudah punya alamat orangtuamu di Blitar, dan dengan sangat terpaksa aku juga akan berbuat hal yang sama supaya kita impas. Pikirkan baik-baik resikonya. Selamat tinggal, Yono!"

Hampir 3 minggu kemudian aku kembali ke Jakarta dengan perasaan was-was. Aku cari kontrakan di tempat lain. Waktu kembali masuk kantor, perasaanku tak menentu. Aku hanya menanti reaksi orang-orang. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Rupanya gertakanku termakan juga oleh Yono. Benar, dia memang takut rahasianya diketahui orangtuanya. Aku lega, tapi rasa kasihan juga. Aku memang mencintainya, tapi aku tak tahan juga diperlakukan begitu terus-terusan. Dan semuanya ku lakukan hanya untuk melindungi diriku saja. Itu spekulasi. Jika Yono tidak peduli gertakanku, mungkin aku tak bisa berbuat apa-apa, sebab sebenarnya aku tak kan pernah sanggup membongkar rahasianya kepada orangtuanya. Aku tidak setega itu.

Di akhir bulan, pemilik kontrakan lama di Pondok Labu menelpon ke kantorku. Katanya Yono meninggalkan kunci rumah kepadanya. Berhubung aku sudah punya kontrakan baru, aku ke Pondok Labu untuk mengambil sisa barang-barangku di sana dan secara resmi memulangkan semua kunci rumah kepada pemiliknya. Betapa terkejutnya ketika aku masuk ke kamar, uangku masih berada di situ. Yono tidak mengambilnya, malah ada sepucuk surat tulisan tangannya:

"Versus tercinta. Maaf, aku tak bisa menerima uangmu. Aku sangat mencintaimu, tapi aku sadar sikapku selama ini telah berlebihan. Aku bisa mengerti keputusanmu. Mulai sekarang kamu bebas. Aku mohon maaf atas semua yang terjadi. Kini aku akan menyendiri untuk introspeksi. Selamat tinggal Versus, di hatiku tetap akan terukir namamu!"

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.