Sabtu, 23 Juni 2012

Gita Cinta dari SMA, 3

Pengorbanan Raka sungguh membuat aku makin menyayanginya. Walau tidak "semanis" cinta pertama dengan Franky, tapi Raka mendapatkan tempat yang istimewa di lembaran hidupku karena pengorbanannya itu. Mungkin akibat pengaruh pubertas, saat itu aku jadi sangat posesif. Sebagai seorang siswa yang ganteng tapi ramah, tentunya Raka sering dikerumuni banyak siswi di sekolahku. Hal itu membuatku cemburu dan sering marah-marah kepadanya (memang jika aku mengenang lagi masa itu, aku sadar sikapku ternyata sangat menyebalkan, but it's yesterday!).

"Ver, mengertilah... aku hanya diajak nonton oleh Dewi dan Tina. Masa sih begitu aja ngak boleh? Kan setelah itu aku bisa langsung ke rumahmu dan nginap di sana", bujuk Raka ketika melihat sikapku yang kesal dan agak ngambek.

"Ya udah, pergi aja! Siapa juga yang larang kamu? Setelah itu ngentot aja sama mereka, ngak usah ke rumahku!", jawabku kasar, sambil berbalik badan menuju ke luar gerbang sekolah. Raka ingin mengejar, tapi di kejauhan tampak Dewi dan Tina melambai-lambaikan tangan memanggilnya. Supaya mereka tidak curiga, Raka urung mengejarku, hanya diam di tempat menunggu gadis-gadis yang sedang mendekat itu. Entah kenapa sikapku begitu konyol, sampai bisa menangis segala. Namun kayaknya hal itu wajar saja bagi seorang remaja yang sedang kasmaran. Satu-satunya hal yang aneh ialah aku lelaki, dia juga lelaki.

Aku sedang nonton video di kamar (ketika itu belum ada LD, VCD atau DVD) saat pembantuku mengatakan bahwa ibu memanggilku di ruang tamu. Dengan perasaan enggan aku "pause" videonya dan menemui ibu. Aku terkejut ketika memasuki ruang tamu, sebab di sana ibu sedang duduk dengan Raka. Sebenarnya aku masih kesal dan ingin langsung putar haluan ke kamar, tapi aku tak ingin ibuku curiga, maka aku bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Eh, Raka... gimana filmnya? Seru ngak?", ku atur nada suaraku seramah mungkin.

"Biasa aja. Malah agak bikin ngantuk, soalnya itu film drama. Kamu tahu kan kalo aku lebih suka film action.", jawabnya yang terkesan berbasa basi.

"Hmm... mungkin lebih baik kalian ngomongnya di dalam saja. Sekalian makan malam aja kalau belum, tadi saya lihat bibi menggoreng udang tempura", interupsi ibuku, sebab beliau melihat sikap Raka agak canggung.

"Terima kasih tante...", tanggap Raka sambil berdiri dan menarik tanganku. Ketika kami menghilang di balik pintu, segera kutepis tangan Raka yang masih menggenggam tanganku.

"Udah, jangan sok mesra ah, pergi aja sana ke ruang makan. Aku lagi nonton video di kamar!", ujarku ketus sambil bergegas meninggalkannya. Segera aku berjalan kembali ke kamar tidurku. Perasaanku bercampur aduk. Ku tutup pintu kamar, tapi tidak dikunci. Mungkin Raka kehilangan selera makannya. Disusulnya aku ke kamar. Ketika dia masuk, aku ngak mau menegur, ku tonton terus video dan dia hanya berdiri saja di sana selama beberapa menit. Selanjutnya ku lihat dia mengunci pintu kamar dan mendekatiku. Duduk di samping, aku tetap diam. Dipegangnya tanganku...

"Ver, jangan gitu dong. Aku ngak mau melihatmu sedih. Maafkan aku ya?!", ucapnya sambil berusaha merangkulku. Wauapun masih kesal, tapi aku tak tega juga ketika dia memelas begitu. Ku balas rangkulannya tanpa berkata apa-apa.

"Bicaralah Ver, jangan diam begitu. Kalo emang aku salah, aku udah minta maaf", Raka menatapku dalam-dalam.

"Mhh... ngak apa-apa kok. Justru aku yang harus minta maaf. Terkadang aku emang seperti anak kecil, aku terlalu manja terhadapmu. Tapi aku cemburu karena aku betul-betul sayang kamu, Raka!", ujarku lirih, lalu menciumnya mesra.

Tak ada lagi kata-kata lain yang keluar setelah itu. Kami berdua langsung berbaring di ranjang. Kini Raka yang kelihatannya lebih aktif. Dia mencumbuku bertubi-tubi. Kancing bajuku dibukanya dengan giginya. Ia terus menggerayangi tubuhku sampai kami berdua bugil. Mungkin ia berusaha menutupi rasa bersalah, aku tahu pasti bahwa Raka bukan gay, tapi ia mau melakukannya. Aku hanya terlentang pasif. Raka meneruskan pengembaraannya. Dia mainkan putingku dengan lembut, hangat nafasnya yang memburu terasa menggelitik pori-poriku.

Aku mau berdiri untuk pidah posisi, tapi Raka menahanku dengan tangannya, seolah memberi kode kalo aku diam saja. Ku turuti kemauannya. Ia kembali menyerang bibirku dengan kecupan dahsyat. Kami bergelut lidah entah berapa lama, sementara kaki-kaki kami telah saling bergesekan. Perlu ku akui, bibirnya memang seksi, dan mungkin itu hal yang paling ku suka darinya. Matanya merem... aku tak tahu, apakah dia sebenarnya sedang mengkhayalkan seorang wanita atau emang bisa betul-betul menikmati diriku walaupun aku juga seorang lelaki. Permainan lidahnya sudah makin binal. Aku tak bisa menyalahkannya, sebab aku tahu persis bahwa aku juga yang "mengajarkan" semuanya.

Adegan selanjutnya, Raka mulai mengarah ke selangkanganku. Dijilatnya lipatan pahaku, memberi sensasi yang tak terlukiskan. Setelah itu, seperti orang kelaparan (emang mungkin juga dia lagi lapar), dimasukkannya kontolku ke mulutnya. Lidahnya berputar-putar seperti sedang makan lolipop. Tubuhku bergetar hebat menahan kenikmatan. Oh, sungguh menggairahkan... apalagi ku tahu kontolku sedang dalam rongga mulut seorang lelaki sejati nan jantan! Aku tahu sampai detik ini pun Raka ngak mau berhubungan seks dengan lelaki lain, hanya denganku saja. Jadi aku merasa pelayanannya sangat istimewa.

"Aaaahhh.... ahhhh, aku tak tahan lagi!", jeritku sambil berusaha mencopot batangku dari rongga mulutnya. Tapi Raka makin mengeratkan dekapan tangannya di bokongku, sehingga kontolku benar-benar tertancap ke mulutnya. Dan... aku ngak kuat lagi, segera tersembur peju hangat dari ujung kontolku dalam beberapa kali semprotan kuat. Raka menelan semuanya! Aku telah terkulai lemas, posisiku menghadap ke samping, dan kontolku tetap bersarang di mulutnya. Mau ku copot lagi, tapi dia tetap menahanku. Karena lelah aku pun ketiduran. Subuh hari aku terbangun, aku terkejut melihat Raka sedang tertidur dengan posisi masih seperti semalam. Kontolku yang sudah lemas masih tetap bersarang di mulutnya yang sedikit menganga. Ku cabut, dan tampak ada sedikit noda maniku yang mengering di tepian bibirnya.

Pagi harinya suasana sudah kembali normal, seperti tidak terjadi masalah apapun kemarin. Hari-hari selanjutnya juga Raka tetap berusaha menjaga perasaanku. Dia tidak mau dekat-dekat dengan para gadis di sekolah. Aku kasihan juga melihatnya seperti itu, tentunya sangat menyiksa perasaannya sebagai lelaki sejati. Aku merasa bersalah, dan ku bilang kepada Raka bahwa dia boleh bergaul tanpa harus kuatir aku marah. Ya, kalo Raka mau mengerti keadaanku, kenapa aku harus jadi egois dan ngak mau peduli apa keinginannya yang sebenarnya?

Beberapa bulan kemudian, Raka telah mempunyai pacar (tentunya wanita), teman sekelas. Kami tetap akrab, tapi demi menyurutkan kecemburuanku, aku berusaha bergaul dekat dengan teman-teman lelaki lainnya di sekolah. Bahkan ada beberapa juga yang akhirnya menjadi teman kencanku setelah itu. Ternyata hal itu mujarab, perasaanku terhadap Raka tidak terlalu membludak lagi, dengan demikian aku juga tidak terlalu cemburu.

Kami masih sering berhubungan begituan (diselingi beberapa teman lain yang akan ku ceritakan di kisah lainnya lagi), sampai naik kelas 2. Memasuki semester 4, aku kehilangan Raka. Rupanya ada SMA yang baru buka di pusat kecamatan hanya beberapa km dari kampungnya, dan orangtua Raka memintanya untuk pindah ke situ supaya bisa pergi pulang dari kampungnya. Sebagai petani mungkin mereka merasa berat dengan biaya hidup Raka yang terlalu besar jika bersekolah di kota. Memang aku merasa kehilangan juga, tapi kini sudah ada beberapa teman sekolahku yang juga "making love" denganku. Ada yang gay, ada pula yang lelaki tulen. Jahatkah aku? Mungkin, tapi aku juga korban orang lain!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.