Senin, 13 Agustus 2012

Sang Komandan

Setelah 3 tahun bertugas di suatu kesatuan militer aku ditempatkan di kesatuan lain. Tak perlu kubilang nama kesatuannya atau di angkatan mana atau pun di negara mana. Aku tamatan suatu akademi militer dan saat kejadian ini sudah berpangkat kapten. Kesatuanku yang baru adalah kesatuan tempur yang prestijius. Tidak heran jika anggotanya orang pilihan. Kata orang aku termasuk pinter dan gagah, bahkan ganteng. Aku sendiri tidak terlalu perduli pada diriku. Tapi sebagai seorang militer, aku rajin berolahraga dan latihan bela diri. Oleh karena itu, kata orang, tubuhku "bagus". Mungkin karena atletis dan cukup berotot.

Memang sudah sifat-ku yang tegas dan correct, sehingga aku disegani oleh anak buah dan teman sejawat. Hanya orang menyayangkan, karena waktu itu aku belum berkeluarga pada usia 24 tahun. Yang unik adalah ada banyak kemiripan antara aku dengan Komandanku, Letnan Kolonel Budi.Hanya dia sedikit lebih besar dan lebih berotot. Aku kagum padanya, seakan tidak ada kekurangan pada dirinya sebagai perwira, pria, dan manusia. Perbedaan lain antara aku dan Pak Budi adalah bahwa kadang-kadang dia keras atau lebih tepat kasar, yang menyebabkan kami anak buahnya banyak yang bukan hanya segan tapi juga takut. Pak Budi berkeluarga dan punya 2 anak.

Tapi pada suatu hari kekagumanku berubah!.Begini kejadiannya. Pak Budi dan aku punya satu hobby yang sama, yaitu mendaki gunung, dan pada hari libur kadang-kadang kami mendaki gunung berdua saja. Sebagai tentara aku tidak bisa menolak perintahnya. Walaupun sebagai atasan Pak Budi tidak pernah reseh, tapi kadang-kadang aku malas juga berjam-jam berdua saja dengan atasanku, tidak bisa santai. Apalagi tiap kali aku akan mendaki gunung bersama Pak Budi, selalu saja Perwira Operasi mengingatkan aku bahwa aku bertanggungjawab atas keselamatan Komandan. Pada suatu hari libur aku diajak atau lebih tepat diperintah, untuk mendaki gunung bersama Pak Budi.

Waktu itu memang libur panjang karena kebetulan Senin itu hari libur nasional. Seperti biasa kami berdua diantar dengan jeep dinas oleh supir Komandan dan didrop di suatu tempat.Lalu kami berdua saja mendaki gunung. Pulangnya, kadang-kadang kami jalan kaki sampai asrama. Karena memang letak asrama kesatuanku di lingkari oleh gunung-gunung yang sering jadi sasaran pendakian para pecinta alam. Jika mendaki gunung kami mengenakan pakaian dan sepatu olahraga dengan membawa bekal secukupnya dalam ransel kami masing-masing. Yang aku heran (dan kagum) pada keadaan apa pun tidak pernah tercium bau keringat Pak Budi. Yang kadang-kadang tercium olehku adalah bau parfum tapi sangat ringan dan samar-samar.

Aku perhatikan juga Pak Budi tidak pernah mengenakan kaos dalam jika mendaki gunung. Kebiasaan lain adalah jika sedang istirahat di tengah pendakian ia sering melepas pakaian luarnya. Padahal ia biasa mengenakan celana dalam pria yang minim, berbentuk kancut. Sehingga bukan saja aku bisa melihat bentuk tubuhnya yang kekar dan berotot, tetapi juga bayangan batang kemaluannya!. Termasuk batas antar tudung batang kemaluannya terlihat jelas. Apalagi karena ukuran alat kelamin Pak Budi cukup besar, proporsional dengan orangnya yang tinggi besar. Pak Budi berkulit coklat terang dan kulitnya mulus. Ketiaknya hampir tidak ada rambutnya.

Rambut tungkainya ada tapi tak seberapa. Waktu dia berbaring dengan lengan ke atas aku bisa melihat pertumbuhan rambut di kedua belah ketiaknya dengan jelas. Karena model kancutnya rendah, sekali-sekali aku bisa melihat sebagian rambut kemaluannya yang hitam. Walaupun sama-sama laki-laki aku sering salah tingkah menghadapi ulah Komandan seperti itu. Tapi Pak Budi sendiri sama sekali tidak risih. Bahkan pernah kami bermalam di tepi danau dan aku diajak mandi bareng. Meskipun agak risih, aku ikuti juga. Jadilah kami mandi berdua bertelanjang bulat di suatu pancuran. Dalam keadaan seperti itu Pak Budi bersikap seperti tentara dan pria tulen dan sepertinya tidak memperhatikan ketelanjanganku atau dirinya. Dalam keadaan seperti itu aku makin mengenal "bagian dalam" Komandanku, termasuk bentuk dan ukuran batang dan biji kemaluannya serta pertumbuhan rambut kemaluannya.

Aku berpikir, pasti isterinya berbahagia sekali punya suami seperti Pak Budi yang komplit luar dalam dan ukuran batang kemaluan yang mungkin hanya bisa disaingi oleh kuda jantan saja!. Untungnya tempat pendakian yang sering kami pilih jarang didatangi pecinta alam, sehingga kami bebas melakukan apa yang kami mau! Pada pendakian yang terakhir ini (Setelah itu Pak Budi pindah kesatuan lain dan naik pangkat jadi kolonel), terjadilah sesuatu yang tidak aku sangka-sangka. Sekitar jam 17:00 sampailah kami di puncak. Karena sudah mendaki hampir 5 jam kami langsung beristirahat. Sambil istirahat Pak Budi, seperti biasa ia melepaskan pakaian luarnya, hanya berkancut saja.

Setelah istirahat sekitar 15 menit ia langsung mengajak aku mandi di sumber air di sekitar situ. Kami berjalan ke sumber air yang berupa kolam kecil, tapi airnya jernih dan mengalir terus dan menjadi salah satu sumber air bagi sungai yang mengalir di lereng ke arah kaki gunung. Ransel kami tinggal dan Pak Budi berjalan hanya memakai kancut. Sekali-sekali muncul perasaan aneh dalam diriku, seperti kagum seperti nikmat melihat tubuh bosku, Pak Budi yang kekar, jantan dan nyaris telanjang itu. Sampai di tempat pemandian Pak Budi langsung telanjang bulat dan mulai menyiduk air dengan dengan batok kelapa yang rupanya ditinggalkan oleh pendaki sebelumnya dan dijadikan gayung. Aku juga terpaksa telanjang bulat dan mulai mandi.

Selesai mandi Pak Budi dan aku mulai mengeringkan badan dengan handuk kecil. Dalam keadaan begitu, tiba-tiba Pak Budi memelukku, menyeretku ke rerumputan, mendorongku sampai aku terbaring lalu mulai menggumuli aku. Aku tidak tahu harus bersikap apa dan bagaimana dengan bosku itu. Dia tidak bilang apa-apa tapi terus "bekerja" (sesuai dengan motto Pak Budi : "Sedikit bicara banyak bekerja"). Tiba-tiba aku merasa nikmat, bahagia dan penuh penyerahan diri pada bosku, komandanku, Pak Budi-ku yang aku hormati dan aku kagumi selama ini !.

Di situ dia lakukan semua hal yang pernah kudengar tentang apa yang biasa dilakukan seorang pria homoseks pada partner seksnya. Puting susuku, leherku, dadaku dijilati. Bibirku dilumat dengan bibirnya dan mulutnya yang gagah dan jantan. Kulirik batang kemaluannya, tegak dan tegang sekali, memerah-ungu dan berkilat. Rupanya ini menular juga pada batang kemaluanku yang juga demikian tegang sampai terasa kencang dan agak sakit. Terus digumuli aku di rumput, lalu dia membikin posisi kami 69. Aku menuruti saja apa yang diperbuat.

Dia mulai mengulum batangku, aku menuruti dengan mengulum batangnya, terus, terus, terus, sampai akhirnya terpancar air mani kami berdua. Relaks dan lega! Tubuh kami yang sudah bersih setelah mandi, sekarang berlumuran keringat, bercampur air ludah dan air mani. Setelah puncak syahwat lewat, Pak Budi memelukku dengan hangat dan penuh kasih sayang kebapaan, kami berpelukan telanjang bulat di rumput dan mulai mengantuk. Tapi Pak Budi-ku, militer tulen yang selalu waspada dan siaga, segera mengajak mandi lagi. Setelah mandi kami lalu kembali ke lokasi kemah dan berpakaian.

Selesai berpakaian, Pak Budi mengajak makan bekal yang dkami bawa dan kembali pada sikapnya sehari-hari sebagai Komandan, atasan, dan tentara! Aku pun tetap bersikap hormat seperti biasanya padanya. Sesudah kejadian itu kami tidak pernah membicarakannya. Kami bersikap dan berkomunikasi seperti biasanya. Aku tetap hormat pada Pak Budi, tetapi sekarang ditambah rasa sayang dan cinta! Sayangnya, itulah kenangan terakhirku dengan Pak Budi-ku. Dia sekarang sudah bintang tiga. Aku juga sudah beristeri dan beranak satu. Tiap kali mendengar nama Pak Budi jantungku masih berdebar, teringat masa indah dengan mantan Komandanku. Melalui forum ini aku sampaikan salam hormatku padanya. Jika aku berjumpa dengannya aku akan memberi hormat dalam sikap sempurna sambil berkata : "SIAP JENDERAL!!!"

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.