Sabtu, 14 Juli 2012

Dua Dunia

Aku dilahirkan dari keluarga yg sangat taat beragama. Sejak dari kecil aku selalu menjadi anak favorit bagi orang tua dan guru-guruku di sekolah (terutama guru perempuan), karena disamping perilaku yg manis, aku selalu menjadi juara kelas sejak kelas 1 SD sampe kelas 3 SMA. Kondisi ini terus berlanjut ketika aku memasuki bangku kuliah. Aku lulus dari perguruan tinggi sebagai lulusan terbaik, sehingga makin bertambahlah kebanggaan orang tuaku terhadapku. Di mata mereka aku adalah anak yg patut dibanggakan sehingga banyak Saudara-Saudara maupun teman ayah dan ibuku yg ingin menjodohkan aku dengan putrinya. Apa lagi secara fisik, banyak orang bilang aku punya tampang yg cukup ganteng dan manis dengan kulit yg kuning dan bersih. Teman-temanku juga bilang bahwa aku orang yg enak diajak bicara sehingga mereka betah ngobrol atau mendengarkan aku bicara sampe berjam-jam. Singkatnya di mata orang-orang disekitarku, aku layaknya seperti malaikat, tapi seandainya mereka tahu ada hal lain dalam diriku yg tidak mereka ketahui, aku yakin mereka akan berubah pandangan seratus delapan puluh derajat.

Kehidupandi dunia yg berbeda mulai kukenal sejak aku lulus dari perguruan tinggi dan mulai mencari pekerjaan. Sebagai lulusan terbaik dari sebuah universitas yg terkemuka tidaklah sulit bagiku untuk mencari pekerjaan. Hanya dalam waktu satu bulan aku sudah mendapat panggilan dari beberapa perusahaan besar. Saat itu aku datang memenuhi panggilan wawancara dari salah satu perusahaan besar yg berkantor di daerah segi tiga emas Jakarta. Yang mewawancaraiku saat itu adalah kepala bagian SDM, Pak Erik namanya. Aku dipersilahkan menunggu di ruang rapat kecil, saat itu waktu menunjukkan pukul 10.55.

Tepat pukul 11.00 seorang pria ganteng masuk ke ruangan itu dan menyapa:”Saudara Adi?”. Aku berdiri dan menjawab “Saya Pak”. Aku tak menyangka bahwa Pak Erik masih begitu muda dan tampan. Kulitnya kuning dengan wajah bersih, tubuhnya pun atletis menunjukkan kalau dia seorang yg rajin berolah raga. Dari wajah dan cara bicaranya aku menyimpulkan bahwa dia orang yg ramah dan enak diajak bicara. Menurut perkiraanku umurnya masih di bawah 30-an. Pak Erik mengajakku bicara seperti seorang teman sehingga perasaan tegang yg kurasakan jadi hilang. Tak terasa kami ngobrol hampir satu jam dan saat itu aku merasa seperti sudah mengenalnya cukup lama. Selama pembicaraan itu, aku tidak lepas-lepas menatap wajahnya yang tampan. Bibirnya, hidungnya dan matanya begitu mengagumkan. Namun setiap kali ia memandangku aku segera menundukkan pandangan. Takut ketahuan kalau aku mengagumi wajahnya. Aku juga merasa bahwa dari tadi Pak Erik terus saja menatap mataku, dan kurasakan ada yg lain dari caranya memandang.

“Wah, nggak terasa sudah satu jam lebih kita ngobrol, saya pikir kamu punya kualifikasi yg sangat tepat seperti yg dibutuhkan oleh perusahaan ini. Tapi supaya kita bisa bicara lebih banyak, bagaimana kalau nanti malam kita lanjutkan obrolan kita sambil akan malam?” Katanya padaku. Aku terkejut tapi senang dan langsung menjawab “Dengan senang hati Pak, dimana dan jam berapa Pak?” Pak Erik menyebutkan sebuah kafe di bilangan Kuningan dan memintaku datang tapat jam 8.00 malam. Lalu ia berkata,” Mulai sekarang dan selanjutnya, kamu jangan panggil saya Bapak lagi, panggil saja nama saya atau kalau kamu rikuh, cukup panggil saya Mas”. “Baik Mas”, jawabku. Lalu Mas Erik menjabat tanganku sambil menatap mataku lekat-lekat dan tersenyum. “OK sampai ketemu nanti malam” katanya. Aku merinding merasakan jabatan tangannya yg hangat, tatapan dan senyumnya yg manis, sehingga hanya bisa mengangguk dan mohon pamit.

Malam itu aku berusaha tampil sekeren mungkin karena aku ingin menarik perhatian Pak Erik. Ketika aku sampai di kafe tersebut Mas Erik sudah menunggu. Kami ngobrol ngalor ngidul sambil makan. Dari obrolan tersebut aku tahu bahwa dia belum menikah dan tinggal sendirian di apartemennya. Di sela-sela obrolan kami dia berkata,”Kamu kelihatan ganteng sekali malam ini Di, saya jadi nggak puas-puas ngeliatin kamu”. Mendengar pujiannya aku jadi tersipu dan menjawab,”Ah Mas Erik bisa saja, saya pikir saya yg seharusnya berkata begitu kepada Mas Erik”. Mendengar jawabanku dia hanya tersenyum manis penuh arti.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, Mas Erik memanggil waiter untuk membayar. “Karena apartemen saya nggak jauh dari sini, kamu harus mampir ke apartemen saya, supaya kita bisa melanjutkan obrolan kita”, katanya. “Wah sudah malam Mas, nanti saya pulang nggak ada kendaraan umum lagi” jawabku lugu. Mas Erik hanya tersenyum dan berkata,”Jangan khawatir, nanti saya antar”. Aku hanya diam dan tidak bisa lagi menolak, lagipula di dalam hatiku sebenarnya aku juga masih ingin terus bersamanya. Terus terang, selama bersamanya aku merasa begitu senang dan nyaman seperti bersama seorang kakak.

Sesampai di apartemennya, Mas Erik menghidangkan minuman yang ketika akan kuminum tercium bau alkohol, namun supaya tidak menyinggung perasaannya aku meminumnya sedikit.

Kami duduk di sofa yg menghadap ke televisi dan Mas Erik duduk di samping kiriku. Mas Erik mengambil remote dan menyalakan tivi lalu berkata, “Kita nonton film aja ya Di, acaranya nggak ada yg bagus nih”. Tanpa menunggu jawabanku Mas Erik langsung menyetel VCD. Betapa kagetnya aku ketika menyadari bahwa film yg disetel adalah blue film, dan yang lebih menyebabkan aku shock, pemeran dalam film tersebut semuanya lelaki muda bule yg gagah dan ganteng dengan tubuh yg atletis. Mataku terpana ke televisi karena baru kali ini aku menyaksikan blue film yg seperti ini. Tiba-tiba aku merasakan udara hangat di telinga dan leher kananku. Mas Erik memelukku dari belakang dan membisikkan di telingaku,”Di, aku bener-bener suka sama kamu, aku nggak kuat lagi menahan diri”. Aku hanya diam dan memejamkan mata. Untuk beberapa saat aku diliputi perasaan takut dan tegang yg tak terhingga, namun lama kelamaan aku mulai menikmati sentuhan-sentuhan dan ciumannya.

Mas Erik melumat bibirku hingga aku sulit bernafas, lidahnya kurasakan bergerak-gerak di dalam mulutku dan sekali-kali kurasakan ia menggigit kecil bibirku. Tanpa terasa, Mas Erik telah melucuti pakaianku hingga tinggal celana dalamku yang mini dan berwarna putih dan memperlihatkan bayangan penisku yg sudah tegang dan membesar. Mas Erik terus mencium dan menjilati sekujur badanku, mulai dari leher, dada, perut, punggung, paha, betis, sampai ke jari-jari kakiku sambil melepaskan celana dalamku. Namun yg paling membuat aku merasa melayang dan melenguh kenikmatan adalah saat ia menjilati puting payudaraku, menciumi pantatku dan menjilati anusku sambil meremas-remas penisku. Aku sampai gemetar penuh kenikmatan ketika merasakan Mas Erik menyelipkan lidahnya di sela-sela liang anusku yang disibakkannya.

Aku bersandar ke sofa sedangkan kakiku kuangkat ke atas, sedangkan Mas Erik berlutut di hadapanku sambil terus menjilati dan mengigiti pantatku. Tak lama setelah itu, Mas Erik meraih penisku yg sudah dari tadi sangat tegang hingga kepalanya jadi mengkilat dan Mas Erik mulai menciumi, menjilat dan mengulumnya dengan lembut sampai ke pangkalnya, sambil memaju mundurkan kepalanya. Aku merasakan nikmat yg tak terkira hingga tanpa sadar aku menyebut-nyebut namanya sambil meremas-remas rambutnya. Kira-kira sepuluh menit kemudian aku merasakan kenikmatan semakin memuncak dan penisku seperti mau meledak, sampai akhirnya spermaku muncrat dalam jumlah yang banyak sekali langsung ke dalam tenggorokannya. Bukannya berhenti, Mas Erik malah makin kuat menyedot penisku dan menelan seluruh spermaku sehingga membuat tubuhku kejang kurang lebih selama setengah menit untuk selanjutnya jatuh lemas. Mas Erik tersenyum dan kemudian mencium bibirku sehingga aku dapat mencium aroma sisa-sisa spermaku yang ada di mulutnya.

Kami terdiam beberapa saat, sebelum kemudian Mas Heri telah berdiri telanjang dihadapanku dengan penisnya yang mengacung. Mas Heri membimbingku untuk mengulum penisnya. Penis Mas Erik tergolong besar untuk orang Indonesia. Berwarna kemerahan dan sedikit lebih besar dari penisku. Panjangnya kurang lebih 16-17 cm dan diameternya pas sekali untuk genggaman tanganku. Aku meniru teknik-teknik yang dilakukannya kepadaku. Mula-mula aku hanya bisa mengulum setengah penisnya namun lama kelamaan aku dapat mengulum sampai ke pangkal penisnya sehingga aku mencium jembutnya yg tipis tercukur rapi dan merasakan denyutan kepala penisnya yg hangat di tenggorokanku. Mas Erik memaju mundurkan kepalaku sampai akhirnya ketika kurasakan penisnya semakin tegang dan besar ia mendorong kepalaku menjauh kemudian menyemprotkan spermanya yang muncrat kemana-mana sehingga meluuri mukaku dan sebagian masuk ke mulutku. Baru saat itu aku menyadari kenapa Mas Heri menelan spermaku. Ternyata sperma itu memiliki aroma khas yg merangsang dan rasanya sedikit manis. Aku pun menjilati kembali penis Mas Heri sampai semua sisa-sisa sperma yang ada dipenisnya bersih. Hal ini rupanya membuat tubuh Mas Heri bergetar dan ia mengerang penuh kenikmatan. Mas Heri lalu menjilati sisa-sisa spermanya yang ada di wajahku lalu melumat bibirku sehingga kami berbagi rasa spermanya yang segar itu.

Selanjutnya ia berbaring di sofa dan meletakkan kepalanya di pangkuanku dan tak terasa kami berdua tertidur sampai pagi di sofa tersebut dalam keadaan telanjang bulat. Untungnya aku tinggal di rumah kos sehingga tidak ada seorangpun yg akan mencariku walaupun aku tidak pulang semalaman.

Sejak itu Mas Erik dan aku menjalin hubungan yg dekat sekali, apalagi setelah aku diterima bekerja di Perusahaan yg sama. Seringkali aku tidak pulang ke kos tapi menginap di rumahnya. Namun tidak ada orang lain yang tahu tentang hal ini selain kami berdua. Sampai sekarang walaupun aku sudah pindah bekerja ke perusahaan lain, kami masih sering berhubungan. Namun demikian kami sepakat bahwa hubungan kami tersebut tanpa komitmen apa-apa, karena kami sadar bahwa tidak ada masa depan untuk hubungan seperti ini. Jadi kami nikmati saja apa yg bisa dinikmati, tanpa harus membatasi ruang gerak masing-masing.

Begitulah, aku akhirnya seperti hidup di , yang satu duniaku sebagai seorang gay/bisexual, di sisi lain aku harus berperilaku sebagai orang suci di hadapan orang tua, keluarga, teman-teman dan kolega-kolegaku. Bila saja mereka tahu sisi lain dari hidupku, aku tak sanggup membayangkan sikap mereka terhadapku.

1 komentar:

ahmadborhan mengatakan...

Nafsu mengatasi akal..apa cerita ini benar berlaku.

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.