Senin, 08 September 2014

Aku, Pamanku, dan Timo

Hari Minggu, sore, dan entah sejak kapan seperti setiap hari Minggu sebelumnya, aku sedang membagi-bagikan jus jeruk atau minuman-minuman lainnya di hari-hari Minggu sebelumnya. Di sekitarku duduk dua orang temanku dan Budi. Kita sedang di ruang serbaguna apartemenku. Ini yang berbeda: sebelum-sebelumnya tidak ada Budi. Dan tentunya mereka tidak tahu Budi punya hubungan darah denganku, harapku, setidaknya.

Kedua temanku itu, Timo dan Edwin, juga gay. Saat itu aku bukan hanya sedang menuang minum, aku juga sedang menghadapi sebuah situasi. Situasi yang kerap terjadi di dunia gay: Timo yang berulang kali tersenyum menatapku (meski tahu Budi pasanganku) dan Edwin dengan segala cerita cintanya yang heboh. Timo sejak dulu tertarik denganku. Timo blasteran Indonesia dan Swedia, dan untuk ketampanan dari satu sampai sepuluh aku nilai dia sembilan, kurang satu karena dia suka kucel ngga mandi, ahem, dan teramat sangat banyak yang suka. Mungkin aku kurang pe-de membayangkan berjalan berdua dengannya. Dan di sisi lain ada Edwin yang menurutku kurang beruntung dalam percintaan. Aku rasa dia dijauhi karena sifat suka pamernya, pamer pengalaman dengan A, dengan B, dan sebagainya yang aku rasa banyak dibuat-buat juga.

“Gue baru kenal cowo nih. Orangnya nih bilang dia suka gue, cuma gue kek ngga ada rasa deh, mukanya biasa-biasa aja. Apa gue pake buang aja ya? Bodinya ok banget lho,” cerita Edwin.

“Oh, kenapa ngga?” dan belum selesai aku berbicara, Edwin melanjutkan dengan, “Tapi ribet nanti kalo dia ngajak pacaran, duh duh”.

...dan sebagainya. Budi hanya terdiam, sesekali memaksakan diri tersenyum. Budi sebelumnya tidak pernah bergaul di dunia ini, tidak punya teman gay atau kalaupun dia punya, selama ini dia sebagai pihak yang straight, dan mungkin tidak terbiasa dengan pembicaraan seperti ini. Aku yang pertama bagi dia—pacar pria pertamanya.

Jujur saja aku sendiri bosan dengan bahan pembicaraan Edwin, bahan pembicaraan yang umumnya dibicarakan oleh kebanyakan kaum sejenis. Hanya sisa Edwin, yang bagaimanapun melelahkannya, adalah teman pertamaku di Jakarta.

Puas bercerita tentang dirinya sendiri, Edwin terdiam sebentar sebelum membuatku kaget dengan bertanya, “Kalian mirip kalau dilihat-lihat. Jangan-jangan sepupu.” Timo pun segera membandingkan wajah kita berdua, menyilangkan tangannya dan membuat raut wajah seakan curiga hal itu benar. Bukan, paman sama keponakan, pikirku sambil mengerutkan dahi, berpura-pura seakan pertanyaan Edwin ngga masuk akal.

Anehnya mereka berdua, Timo dan Edwin, seakan tidak melihat aku tadi mengerutkan dahi, mengacuhkan ekspresiku begitu saja. Mereka terlihat masih curiga. Kita berempat terdiam canggung. “Okay, jangan mikir yang ngga-ngga. Edwin! Timo!”

“Bentar, bentar,” potong Edwin. “Gue tiba-tiba keinget sesuatu. Budi... paman elu kan?”

Aku merasa gagal sebagai tuan rumah menjamu tamu, gagal mengatasi situasi. Salah, aku kaget bukan karena itu. Aku mulai panik dan berpikir dari mana saja Edwin dapat menemukan informasi perihal aku dan Budi. Dan Edwin memberi tahu jawabannya.

“Gue dulu pernah lihat nama Budi di daftar family elu di FB,” jelas Edwin, sekarang mengerutkan dahinya. “Gue yakin bener.”

Budi yang sejak tadi menyibukkan diri membaca berita di ponselnya sekarang terfokus pada pembicaraan. Tapi tidak lama. Selang beberapa saat di tengah-tengah kediaman kita berempat, Budi bangun dari duduknya, berkata dan meninggalkan kita bertiga masuk ke dalam kamar tidur. Tanpa basa-basi. Dan itu, entah Budi sadar atau tidak, benar-benar secara tidak langsung mengiyakan Edwin.

Sepeninggalan Budi, Edwin langsung meluncurkan segala macam pertanyaan dan pernyataan. “Gile!” “Lu main sama paman elu?” “Anjrit!” “Ga salah lu?” “Ada buanyak cowo lain, ada Timo, lu desperate apa?”

“Edwin!” seruku. “Udah, cukup. Pulang sana. Lain kali aja baru gue ceritain.”

Edwin bergegas berdiri dan mengambil tasnya. “Ogah juga gue dengernya,” katanya sambil pergi meninggalkan kita. “Yuk Timo,” ajaknya.

“Gue masih ada keperluan. Duluan aja, 'Win.” Dan Edwin pun pergi.

Ngga kaget kalau dia merasa jijik, pikirku. Apa boleh buat, rahasia sudah bocor. Yang aku khawatirkan sekarang hanya kalau-kalau Edwin memberitahukan hal ini ke orang-orang lain. Dan keperluan apa yang Timo punya denganku.

Sekarang hanya tinggal aku dan Timo di ruangan ini. Budi di kamar. Kita terdiam sejenak. Tentunya aku masih bingung harus berkata apa, menjelaskan bagaimana pada Timo.

Timo berdiri dan berjalan ke dekatku. Dia mengambil tangan kiriku dan menempatkannya pada kemaluannya. Keras. Timo sedang ereksi. Dan sepertinya sangat besar dan keras, membuat gundukan besar di balik celana jeansnya.

Hal itu terjadi tepat saat Budi sedang membuka pintu, akan keluar dari kamar. Melihat kita berdua, Budi kembali ke dalam kamar, menutup pintu. Aku bergegas melepas tanganku dari Timo dan berdiri hendak menyusul Budi, tapi Timo menghentikanku. “Tunggu,” katanya.

Dia menggenggam tanganku lagi dan menarikku untuk duduk di sofa. Lalu kita berdua duduk bersebelahan. Menghela nafas, dia berbicara, “Aku dulu pernah main sama Joshua.” kakak kandungnya, bukan gay, seingatku“cuma sekali. Dan sejak itu aku sering... replay kejadian itu lagi di kepalaku.”

Mendengarnya aku kaget juga. Anehnya begitu, meski aku sendiri notabene sudah melakukan lebih darinya. “Soal kamu sama Budi bikin aku horny. Kamu tau dari dulu aku suka kamu,” kata Timo. Menelan ludah, Timo melepas kausnya dan bertanya, “Kamu mau ngga kita main bertiga?”

Aku ikut menelan ludah. Karena pertanyaannya, karena tubuhnya yang hanya beberapa senti di depanku, karena aroma lelakinya yang tajam.

Tidak menunggu jawabanku, Timo lalu berdiri dan berjalan ke arah kamar tidur. Dia membuka pintu dan masuk tanpa menutupnya lagi. Aku menoleh ke arah celah pintu dan melihatnya berjalan mendekati Budi. Jantungku berdetak cepat, dan antara ingin menghentikan Timo dan, entahlah.

Aku tidak dapat melihat ekspresi Budi sewaktu Timo masuk dan berjalan mendekatinya. Sosok Timo terlihat tinggi dan maskulin. Badannya tidak kurus tapi juga tidak gemuk, juga tidak berotot kecuali di lengan dan bahu karena hobi renangnya. Berdiri di depan Budi yang sedang duduk di pinggir ranjang, dia meletakkan kedua tangannya di pundak Budi. Lalu Timo menundukkan badannya dan mencium Budi. Seketika itu juga Budi melihat ke arahku, dan aku hanya membalas pandangannya tanpa bergerak.

Budi lalu merangkulkan kedua tangannya pada Timo dan menariknya ke ranjang. Keduanya lanjut berciuman, Timo melumatkan bibirnya dengan ganas pada bibir Budi. Timo menarik lepas kaus Budi dan kembali menciumnya. Lalu tangannya yang besar turun menarik celana Budi sambil bibirnya sekarang melumat puting Budi.

Tanpa kusadari kontolku sudah sepenuhnya ereksi, terasa sangat sesak di dalam celanaku. Aku berdiri dan berjalan ke arah keduanya, sambil kulepas juga kausku. Saat itu Timo menempatkan wajahnya di depan kontol Budi, tangan kanannya menggenggamnya. Dijilatnya ujung kontol itu, lalu dilumatnya. Tak lama kemudian kontol Budi sepenuhnya tegang juga. Hisapannya membuat Budi mendesah.

Aku melepas celana, menaiki ranjang, dan berdiri sedikit menekukkan kakiku. Lalu dengan tangan kananku kuarahkan kepala Budi mendekati kontolku. Budi membuka mulutnya lebar-lebar dan menerima kontolku masuk ke dalamnya. Kepalanya perlahan bergerak maju mundur mengulum kontolku. Di belakangku Timo masih terus menghisapi kontol Budi.

Selang beberapa saat kemudian Timo melepas kontol Budi dan beranjak berlutut di depan kontolku. Seakan memberi bantuan pada Budi, Timo menggantikannya menghisap kontolku. Lalu Timo menggenggam kontolku, menjilatinya. Budi pun juga ikut menjilati kontolku. Dua lidah, dua pasang bibir memainkan kontolku, memberiku sensasi yang luar biasa. Sesekali mereka berciuman lalu bergantian menghisap kontolku.

Timo lalu menarikku ke tengah ranjang, membaringkanku di sana. Kedua tangannya mengarahkan kepalaku, dan dia menciumku, menciumku untuk pertama kalinya. Selagi kita berciuman tanpa kusadari Budi sudah mengambil pelumas dari dalam laci dan membawanya kemari. Lalu dioleskannya pada kontolku.

Setelah sesaat jari-jarinya memainkan lubangnya sendiri selagi aku dan Timo berciuman, Budi beranjak jongkok di atas pinggulku. Lalu diarahkannya kontolku masuk ke dalam lubang yang masih sangat rapat itu. Budi mengerang menahan sakit, otot-ototnya yang besar terlihat tegang. Saat kepala kontolku sudah masuk, Budi berhenti bergerak dan menghela nafas beberapa kali. Timo saat itu sedang melihat Budi, seakan terkesima.

“Ini pertama kali aku ngelihat orang main beneran, bukan cuma di bokep,” katanya polos.

Aku dan Budi tidak menghiraukannya. Aku sedang menikmati kontolku yang separuhnya di dalam lubang Budi. Sesaat kemudian Budi bergerak menurunkan badannya lebih jauh, perlahan sampai seluruh kontolku berada di dalamnya. Budi lalu perlahan bergerak naik turun, dan aku merasakan setiap kali Budi naik dan turun dia melewati lebih dari sepuluh senti bagian dari kontolku. Aku mengerang, mendesah karena nikmat luar biasa itu.

Timo lalu menghisapi kedua putingku bergantian, sesekali menjilati lipatan antara lengan dan ketiakku dan mendorong lidahnya masuk. Merasakannya, aku membuka lenganku, mengundangnya untuk menikmati ketiakku. Tangan kirinya mengocok kontolnya sendiri, dan lidahnya menjilati ketiakku dengan ganas.

Stamina Budi cukup besar, dan cukup lama dia menunggangiku. Dia tidak terlihat lelah sedikitpun, kontolnya masih tegak di antara kedua pahanya. Timo memberinya sinyal untuk bergantian. Budi berhenti dan menghampiri Timo. Tapi Timo berdiri meninggalkan Budi. Aku pun berpikir Timo ingin menjantani Budi, tapi rupanya bukan itu yang ada di pikiran Timo. Timo menggantikan Budi. Dia berlutut di antara tubuhku, dan dia arahkan lubangnya turun menyelubungi kontolku.

Lubang Timo tidak serapat lubang Budi. Dia tidak terlihat merasa sakit, tersenyum bahkan. Dan dengan lebih cepat Timo terlihat merasa nyaman dengan keberadaan seluruh kontolku di dalam lubangnya. Meski begitu kenikmatan yang kurasakan sama sekali tidak berkurang. Timo bergerak naik turun dengan cepat sambil mengerang cukup kencang. Sosoknya yang maskulin, gerakannya yang penuh tenaga, dan kontolnya yang luar biasa panjang dan besar, aku selama ini berpikir dia pasti posisinya top, dan sekarang pun masih sulit mempercayai apa yang sedang dilakukannya. Tidak seperti kontolku dan kontol Budi yang panjangnya tergolong normal, kontol Timo panjangnya lebih dari 18 senti. Mungkin aku akan berpikir dua kali kalau-kalau Timo memutuskan untuk bergantian memasukkan kontolnya ke dalam lubangku.

Aku menggenggam kedua lututnya, bangun, dan bergegas menggagahinya. Cukup sudah aku ditunggangi, pikirku, sekarang giliranku yang beraksi. Aku menjantani Timo dengan penuh nafsu, kontolku sekarang maju-mundur, keluar-masuk lubang Timo yang berbulu lebat. Timo cukup berbulu lebat, di dada, perut, paha, lengan, dan kemaluan. Dan Timo sepertinya kurang menjaga penampilan, selain sering berpakaian seadanya, bulu kemaluannya juga sangat lebat dan mencuat panjang. Biasanya mungkin aku akan kurang suka, tapi Timo tetap seksi di mataku.

Budi berbaring di samping Timo, tangan kirinya memainkan kontol Timo dan tangan kanan Timo memainkan kontolnya. Aku melepaskan Timo dan berganti kembali ke Budi. Kutarik, kubuka lebar-lebar kedua paha Budi dan kujantaninya dengan ganas. Selang beberapa menit kemudian aku kembali menjantani Timo. Tak lama kemudian kontol Timo memuncratkan sperma berulang kali, menghujani dada dan perutnya selagi kontolku masih terus memakai lubangnya. Seusainya, aku kembali lagi ke Budi, melanjutkan aksiku. Dan tak lama kemudian Budi pun ikut memuncratkan spermanya, tapi tidak sebanyak volume sperma Timo.

Aku tidak melepaskan lubang Budi meski dia telah selesai ejakulasi. Aku mempercepat gerakanku dan tak lama kemudian aku pun ikut ejakulasi, menyemburkan spermaku ke dalam lubang Budi. Seusainya, aku mencium Budi dan perlahan menarik lepas kontolku. Tentunya dada dan perutku ikut basah terkena peju Budi. Dan kemudian aku berganti mencium Timo.

“Thanks,” kata Timo pelan. Aku beranjak mengambil handuk. Sekembalinya, aku menyeka tubuh Budi, lalu Timo. Terlihat Timo sudah terlelap, begitu saja dalam keadaan telanjang bulat. Melihatnya, aku lalu melihat ke arah Budi, lalu kita sama-sama tersenyum. Budi menciumku, lalu mengajakku untuk mandi.

Tengah malamnya baru Timo terbangun. Aku dan Budi saat itu sedang duduk di sofa menonton acara di televisi. Timo berjalan keluar dari kamar, badannya tinggi, kontolnya yang lemas bergelantungan. Aku dan Budi tertawa melihatnya. “Timo udah berapa hari ngga mandi?” tanyaku.

“Sehari... okay, dua hari...”

1 komentar:

Pengakuan Gay Indonesia mengatakan...

Hai Gay indonesia....
Salam kenal semua. Kenalkan aku 30th tinggal di Bangkabelitung.
Saat nih Aku single. No BF. No Merried.
Senang membuka perkenalan dengan anda2 diluar sana.

Yaa... dibuat simple...
Kita kenalan. Saling tukar foto. Saling komunikasi. Tukar pikiran dll.
Apabila terdapat kecocokan, Lanjut special yaa... kenapa nggak?
Gak cocok...? berteman pun tak masalah...

Aku hoby jalan2... traveling... backpacker...
Liburan dengan budget minim.
Kadang aku bisa 3-4kali /tahun keluar pulau.
Barangkali nanti bisa keliling bareng kamu....?

Mungkin saja suatu hari kita bisa bertemu & aku berkunjung ke daerahmu....?
& kamu welcome menerima kedatangan...

Lebih disukai Gay manly, tidak ngondek, tidak manja.
Bisa bertukar foto, bukan Hanya sms & telp.
Biar adil & real.
Lebih disukai kesederhanaan, jujur, sabar.
percaya tidak ada yg sempurna,
Tapi lebih meyakini chemistry & saling suka.
apapun bentuk keterpaksaan, pasti tidak akan awet.

Jangan lupa... kontak ya...
WA : xx1949246000
BBM : D33CA027
weChat : debelitong
Line ID : belitong.ml

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.