Rabu, 16 April 2014

Aku, Pamanku, dan Temannya

Namaku Wendy. Umurku 22 tahun saat pengalaman ini terjadi dan sudah setahun aku meninggalkan kota kelahiranku, Surabaya, untuk bekerja di Jakarta. Saat itu bulan Desember. Aku baru saja rawat inap karena terkena tifus, dan aku mengambil ijin dari kantor untuk beristirahat selama seminggu sekaligus merayakan Natal dan tahun baru.

Setelah 'beristirahat' dua hari di rumah di Surabaya, dan karena beberapa saat terkurung di rumah sakit, aku akhirnya merasa bosan. Siang itu pun aku cuma di kamar saja, tiduran sambil mendengarkan musik. Adikku sedang di Bali dengan teman-temannya, jadi di rumah hanya tinggal aku, orang tuaku, dan seorang pembantu.

Selagi aku sedang mendengarkan musik, berpikir untuk kontak teman-teman kuliah dulu untuk reuni dan sebagainya, ada suara ketukan dari pintu kamarku. “ Wendy,” serunya. Saat itu aku ngga tahu siapa itu, karena suaranya kurang familiar.

Waktu kubuka pintu, kulihat seorang pria yang lumayan tinggi, berkulit coklat, berambut cepak, dan mengenakan kaus polo dan celana jeans. Itu pamanku rupanya. Sudah lumayan lama, 4 atau 5 tahun ngga ketemu. Sejak aku kecil pamanku tinggal di Jakarta, dan memang kemarin ayah memang bilang kalau paman sedang ada di Surabaya—ada urusan gitu lah. Cuma karena memang kurang akrab jadi ngga kepikiran untuk ketemu. Pamanku berusia kurang lebih 35 tahun, jauh lebih muda daripada ayahku karena ayahku anak pertama dan dia anak terakhir dari 5 bersaudara.

Yang kudengar dari rumor-rumor keluarga sih pamanku beberapa tahun yang lalu cerai dengan istrinya. Sebabnya karena pamanku ketahuan selingkuh. Karena itu pula makin negatif pandanganku tentang dia. Anehnya waktu itu juga, dia di depan kamarku, kita bertatap muka, dan saat dia tersenyum, semua pikiran negatif itu seakan ngga pernah ada. Aku pun membalas tersenyum.

“Oh Budi, udah lama ngga ketemu ya,” sapaku sok akrab.

“Masih sama aja dari kecil ngga sopan manggilnya!” katanya dengan nada bergurau. Di keluargaku sebenarnya ada budaya memanggil yang lebih tua dengan sebutan khusus, cuma aku aja yang dari kecil bandel. “Gimana kabar kamu? Udah sehat?”

Selanjutnya kita ngobrol sedikit di tempat yang sama, di sekitar pintu kamarku— aku terlupa untuk mengundangnya masuk atau apapun. Sampai akhirnya aku ingat, dan kutawarkannya untuk masuk. Ya kamarku saat itu cukup rapi sih, secara sudah lama ngga ditinggali.

Pamanku menolak untuk masuk, katanya cuma mampir sebentar sebelum ketemu orang. “Kamu kalau bosan main ke hotel aja. Kita makan-makan, renang—udah ngga apa-apa kan renang?”

Aku dari kecil memang ngga bisa renang sih, jadi bukan karena masih baru sembuh atau apa. Tapi aku menyanggupi ajakannya, “Ya udah nanti aku ke sana deh. Hotel mana?”

“Di Hilton. Jauh ya dari sini. Gampang nanti Budi jemput kalau udah selesai— Budi ada sewa mobil.”

Setelah pamanku pulang aku berpikir bahwa rupanya pamanku baik juga orangnya—bodo amat dia cerai karena selingkuh, toh soal itu ngga ada hubungannya sama aku. Setelah aku bilang ke orang tua kalau malam nanti mau ke tempat paman, aku pun kembali ke kamar, lanjut mendengarkan musik, dan tertidur. Barulah sekitar pukul 6 sore pamanku datang kembali menjemputku.

Rupanya orang yang ditemui pamanku adalah teman bisnisnya. Namanya Rustam, umurnya mungkin sekitar 40, agak pendek—lebih pendek dariku, dan badannya agak gemuk. Sewaktu di mobil mereka terlihat cukup akrab walau baru kenal, karena sama-sama hobi nonton sepak bola. Mereka berencana untuk menonton sepak bola bareng malam nanti, di TV, entah pertandingan antara apa dengan apa. Aku kurang minat dengan sepak bola, jadi asal dengar saja di jalan.

Sesampainya di hotel—hotel yang aku lumayan suka, karena bentuknya pondok- pondok berasa asri daripada kamar hotel umumnya yang di gedung tinggi lantai sekian—sesampainya di hotel, karena sudah cukup malam, teman pamanku ijin mandi di sana.

Sewaktu mandi dia tidak menutup rapat pintunya. Aku dan pamanku pun tidak iseng mengintip pastinya. Hanya saja beberapa lama kemudian terdengar shower yang dimatikan, dan, “Wendy, tolong ambilin sikat gigi dari tas saya,” serunya dari dalam kamar mandi. Aku pun mengambilnya dan sambil memalingkan muka dari arah kamar mandi, aku mengulurkan tangan. Kaget juga waktu Rustam tiba-tiba membuka pintunya lebar-lebar untuk menerima sikat giginya. Dia masih telanjang bulat, sedang mengusap-usap tubuhnya dengan handuk. Kulitnya agak coklat, perutnya buncit, dan kontolnya yang masih lemas terlihat kecil. Bulu-bulu lebat di sekitar lengan, ketiak, paha, kontol, sampai perut bawahnya.

Aku agak gugup dan setelah memberikan sikat giginya aku berlagak biasa saja dan kembali ke ranjang untuk nonton TV. Bagi sesama lelaki sepertinya memang hal biasa. Tapi aku kan beda. Selagi aku berpikir gugup, pamanku tertawa.

“Wendy baru pertama kali lihat cowok lain telanjang?” tanyanya sambil nyengir. Pamanku baru saja melepas kausnya, dan hanya meninggalkan celana jeansnya—sepertinya dia juga mau mandi. Tubuh pamanku lumayan seksi, kulitnya coklat tua dan otot-ototnya lumayan terbentuk. Di dadanya tampak ada sedikit bulu. Sebenarnya waktu masih kecil juga pernah lihat dia cuma mengenakan celana dalam, sewaktu dia menginap di kamarku. Tapi namanya waktu itu masih kecil, ngga merhatiin juga.

Rustam pun terdengar ikut tertawa dari balik pintu kamar mandi. Aku makin bingung mau jawab apa. Akhirnya aku jawab, “pernah lah!”

“O ya?” balas pamanku sambil sekarang mulai melepaskan celananya. Dia berdiri dengan hanya celana dalam berwarna biru dan mulai berlagak binaraga di depanku. “Nih, keren kan.”

Aku cuma bisa jawab, “iya deh.” Aku terus melihat pamanku berpose ini dan itu, lupa sesekitar. Susah melepas pandanganku dari tubuh pamanku yang seksi, apalagi ditambah pose-posenya. Tapi pamanku hanya tertawa-tertawa saja. Rustam yang sudah keluar dari kamar mandi hanya menepuk-tangani pamanku, sampai akhirnya pamanku berhenti berpose. Pamanku lalu bilang, “Makanya kamu fitness. Sini Wendy, coba pegang dada Budi.”

“Ngga ah,” balasku. Tapi dia menarik tanganku dan membawanya ke dadanya yang tebal berotot. Pamanku memang hanya sedang pamer. Dia bahkan ngga ngaceng—tapi aku sudah mulai ngaceng, apalagi pas pegang dadanya. Tangan pamanku membawa tanganku turun ke perutnya yang kencang. Badanku makin panas, aku makin gugup, dan makin ngaceng. Aku pun nekad, sudah tidak memikirkan bahwa dia pamanku dan ada temannya di sini. Aku nekad menurunkan tanganku dan menyentuh kontol pamanku.

Rustam tertawa melihatku. Sepertinya dia berpikir bahwa ini hal biasa, aku yang masih masa-masa penasaran dan belum berpengalaman. Dia mendekatiku dan katanya, “sini pegang punya saya juga. Sekarang masih kecil tapi kalau udah berdiri gede.”

Aku makin nafsu, dan dengan gugup, tangan kiriku masih memegang kontol pamanku, tangan kananku menggapai kontol Rustam. Kedua tanganku tidak bergerak, hanya menggenggam kontol-kontol kedua pria ini. Tak lama kemudian, dalam sunyi, kedua kontol mereka ikut ngaceng.

“Waduh, kalau dipengangi terus, meski cowo yang pegang, juga tetap keras jadinya,” kata pamanku. “Gimana kalau kita onani sama-sama?”

“Lu udah lama ngga dapet ya Bud? Gue sama istri sih masih sering. Tapi boleh juga nih onani bareng. Wendy yuk sama-sama, ngga usah malu-malu. Ngga ada yang perlu disembunyiin juga, sama-sama cowo. Kocokin saya juga boleh, nanti saya traktir makan—ngga apa kan Bud?” kata Rustam, sedikit tertawa.

Pamanku hanya tersenyum mengangguk. Jantungku berdebar kencang mendengar ini semua, mengalami ini semua. Aku ngga peduli dengan traktirannya—aku bisa beli makan sendiri, pikirku. Hanya saja ini semua masih susah aku percayai benar-benar terjadi. Aku dan dua pria dewasa, satunya pamanku sendiri, akan ngocok bareng.

Kulepaskan genggaman tanganku dari kedua kontol mereka yang sudah keras. Rupanya benar kata Rustam, kontolnya sewaktu ngaceng cukup panjang dan gemuk—18 cm kira-kira. Sedangkan kontol pamanku hanya sekitar 15 cm— panjangnya persis sama dengan kontolku waktu ngaceng, bahkan bentuknya juga mirip, hanya lebih gemuk punyaku. Kontol Rustam disunat sedangkan kontol pamanku tidak, sama dengan kontolku.

Aku membuka ritsleting celanaku dan kutarik kontolku keluar dari balik celana dalam. Saat itu aku sudah ngaceng keras 100%. Aku mulai mengocok kontolku sendiri sambil melihat pamanku dan Rustam ikut duduk di sebelah kanan dan kiriku di ranjang dan mulai mengocok kontol masing-masing.

Di TV sedang ada acara balap mobil, dan pandangan pamanku dan Rustam sama-sama tertuju ke sana—tapi aku rasa mereka tidak benar-benar menontonnya. Aku melihat ke kiri dan ke kanan ke arah kontol keduanya. Mukaku panas. Aku sudah sangat nafsu dan mulai merasa hilang akal. Sedikit air liurku keluar dari ujung bibirku menetesi kausku. Aku menurunkan badanku perlahan, tanpa sadar, ke ujung ranjang yang berlawanan, kepalaku mendekati kontol keduanya, mataku terutama tertuju pada kontol Rustam yang besar.

Pamanku sepertinya khawatir. “Wendy mau apa?”

Aku tidak menjawabnya, dan mataku tetap tertuju kontol Rustam. Wajahku sudah tepat di hadapan kontolnya. “Mau coba?” tanya Rustam. Mendengarnya, aku langsung menempelkan wajahku ke kontolnya. Kuhirup dalam-dalam aroma kontolnya dan kujilat ujungnya.

“Astaga!” teriak pamanku. “Gila kamu Wen! Pak Rustam!”

“Diem Bud. Lu biarin aja Wendy ngoral gue. Kalau ngga gue batalin kontraknya,” ucapnya dengan soknya.

Pamanku terdiam. Dia terlihat bingung apa yang harus dia lakukan. Di satu sisi dia khawatir soal aku, di sisi lain dia tahu aku yang memang mau ngisep kontol Rustam dan deal bisnisnya sepertinya juga penting baginya. Dia pun terdiam.

Rustam lalu mengulurkan tangannya, menaruhnya di kepalaku, dan menekan- menarik kepalaku dengan kontolnya yang memenuhi mulutku. Aku mulai susah menerima kontolnya dan agak tersedak. Melihatku, Rustam menarik kepalaku sampai kontolnya keluar dari mulutku. Tapi hanya sebentar saja, dan setelahnya dia langsung menekan kepalaku lagi sampai kontolnya masuk sepenuhnya di dalam mulutku. Dia lalu membiarkan wajahku terbenam di bulu-bulu kemaluannya dan perut bawahnya yang buncit. Aku tersedak tapi sekaligus menikmati wajahku yang terbenam di bulu-bulu kemaluan yang lebat itu. Selang beberapa detik dia menarik lagi kepalaku. Kontolnya sepenuhnya basah oleh air liurku. Aku masih ingin mengulumnya, tapi Rustam sepertinya punya ide lain.

“Wen, coba cicip punya paman kamu,” kata Rustam dengan nada agak memerintah.

Pamanku hanya terdiam. Sepertinya dia masih bingung dengan semua ini, melihat keponakannya menghisap kontol pria lain. Aku pun ragu untuk melakukan kata Rustam, karena bagaimanapun Budi adalah pamanku. Tapi, “ udah cepat sana,” kata Rustam.

Aku bergerak ke arah pamanku dan menatapnya. Pamanku terlihat agak sedih. Aku juga khawatir jika aku tidak melakukan seperti kata Rustam deal mereka bisa batal, jadi aku pun menuruti. Aku menundukkan kepalaku mendekati kontol pamanku yang agak lemas. Seperti tadi, aku mencium aroma kontolnya terlebih dahulu, mencium bulu kemaluannya, menjilati batang kontolnya—naik dan turun beberapa kali, menjilati kulupnya, dan akhirnya memasukkan kontolnya ke dalam mulutku, menghisapnya, memainkan lidahku di sekitar kontolnya. Tak lama kemudian kontolnya mengeras sepenuhnya, dan pamanku mulai mendesah- desah. Pamanku mungkin memang benar-benar sudah lama tidak berhubungan seks, jadi terlihat dia bahkan lebih nafsu daripada Rustam.

“Paman sama keponakan, kalian memang cocok,” kata Rustam. Dia menarik lepas celana jeans dan celana dalamku. Dipegangnya bokongku dengan kedua tangannya. Aku sebenarnya malu soal bokongku, karena bulu-bulu yang tumbuh lebat di sekitar lubangku. Aku sendiri agak jijik soal itu. Tapi rupanya Rustam tidak masalah soal itu. “Pantat kamu kayak pantat cewe, Wen.” Rustam lalu membenamkan wajahnya di sela bokongku dan lidahnya menjilati lubangku. Rustam menjilat rakus bokongku, dari pangkal kontolku sampai ke lubangku. Lalu dia memasukkan lidahnya ke dalam lubangku. Aku merasakan sensasi yang sangat nikmat pertama kalinya. Aku memang kadang ngocok sambil lubang sendiri kumasuki dildo, tapi belum pernah ada yang menjilati lubangku.

Setelah beberapa lama aku menghisap kontol pamanku sendiri dan Rustam menjilati lubang pantatku, kita terhenti. Rustam menarik aku lepas dari kontol pamanku. Dia menarik kedua kaki pamanku lebar-lebar ke samping kanan-kiri, dan kepalanya mendekati lubang pamanku. Bokong pamanku mirip dengan bokongku, berbulu di sekitar lubangnya, cuma kulitnya lebih coklat dan bokongnya lebih kencang berotot. Kedua paha pamanku terbuka lebar dan Rustam mulai menjilati lubangnya.

Aku menatap pamanku yang makin kencang mendesah. Aku melihat bibirnya yang tebal, matanya yang tertutup, dan kuciumnya. Aku sepertinya jatuh hati dengan pamanku sendiri, dan sepertinya sudah sejak awal bertemu tadi siang. Sosoknya yang sekarang, telanjang bulat, seluruh ototnya menegang, kontolnya berdiri tegak lurus, dan pahanya yang terbuka lebar membuatku makin nafsu. Pamanku awalnya terdiam mendapat ciumanku, tapi tak lama kemudian membalas ciumanku dengan pelan. Dan kita menikmati berciuman.

Rustam berhenti menjilati lubang pamanku dan sebagai gantinya memasukkan jarinya. Pamanku sedikit mengerang kesakitan, hanya kontolnya tetap sepenuhnya ngaceng. Rustam perlahan-lahan menambahkan jarinya yang masuk ke dalam lubang pamanku. Melihatnya aku makin nafsu. Jujur saja saat itu aku tidak sabar melihat Rustam memasukkan kontolnya yang besar ke lubang pamanku. Aku lanjut dengan mengocok kontolku sendiri dan melumat puting pamanku yang sudah keras dan berwarna coklat tua. Pamanku mendesah makin keras, sepertinya antara sakit dan nikmat.

“Wen, coba masukin kontol kamu ke sini,” perintah Rustam. “Pasti enak, nih lobang masih sempit.”

Aku bingung mendengarnya. Aku pikir Rustam sendiri yang akan melakukan hal itu. Mungkin dia hanya ingin menonton seorang keponakan mengentoti pamannya sendiri, pikirku saat itu. Orang ini agak aneh, lanjutku berpikir. Tapi aku terus terang ingin juga melakukannya sendiri. Daripada orang lain mengentoti pamanku, lebih baik aku sendiri yang mengentoti.

Rustam mengambil conditioner dari dalam kamar mandi dan mengoleskannya ke kontolku dan lubang pamanku.

“Budi, ngga apa?” tanyaku pelan, bergerak menggantikan Rustam di belakang selangkangan pamanku.

“Udah ngga apa. Kalau ngga nurut tau kan akibatnya,” seru Rustam. Pamanku hanya mengangguk, menutupi matanya dengan lengannya. Aku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan pamanku. Malu, mungkin.

Aku tidak berpikir lebih panjang lagi dan segera memasukkan seluruh kontolku ke lubang pamanku. Pamanku mengerang keras kesakitan. Ini pertama kalinya bagiku, jadi aku kagok dan terkaget mendengarnya. Aku berhenti bergerak. Pamanku mengangguk lagi. Aku mengangkat kedua paha pamanku dan mulai bergerak maju-mundur. Aku merasakan nikmat yang teramat sangat, kontolku di dalam lubang pamanku yang hangat. Gerakanku makin cepat, dan tak lama kemudian aku sudah merasakan akan keluar.

“Udah mau nih!” seruku. Aku mengentot makin keras dan desahanku dan desahan pamanku makin menjadi-jadi. Rustam berbaring di sebelah pamanku sambil santai menonton. “Udah mau keluar nih!” seruku lagi.

“Keluarin aja,” kata Rustam.

“Ah! Ah! Ah! Gila enak! Ahhhh!” Sambil tetap mengentoti pamanku, spermaku menyembur ke bagian terdalam lubangnya berkali-kali. Pamanku pun ikut mencapai klimaks. Sambil hanya memegang kontolnya, tanpa dikocok, pejunya muncrat ke mana-mana membasahi seluruh tubuhnya sampai ke muka.

Rustam menarikku menjauh dari pamanku, kontolku keluar dari lubangnya. Dia bergegas memasukkan kontolnya ke dalam lubang pamanku yang masih penuh dengan spermaku. Dia tidak menunggu pamanku untuk siap dan, kedua tangannya menahan kedua paha pamanku lebar-lebar, dia dengan cepat langsung maju-mundur mengentoti pamanku yang hanya terbaring lemas.

Sekitar lima belas menit telah berlangsung dan Rustam masih terus dengan kencang mengentoti pamanku. Pamanku pun sudah ngaceng lagi. Aku hanya di sana menghisap puting pamanku lagi, menikmati tubuhnya dan beberapa tetes peju pamanku yang ada di sekitar putingnya. Tak lama kemudian pamanku pun keluar untuk kedua kalinya, pejunya muncrat ke mana-mana lagi. Dan akhirnya Rustam melepaskan kontolnya dari dalam lubang pamanku dan dengan cepat mengocok kontolnya, mengeluarkan semua pejunya di wajah dan mulut pamanku.

Seusainya aku hanya terbaring diam di sebelah pamanku, masih belum percaya semua ini terjadi. Pamanku juga terdiam, lengannya masih menutupi kedua matanya. Rustam segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa saat kemudian dia keluar, masih telanjang bulat. Sambil mengelap tubuhnya dengan handuk, dia mengambil ponselnya seperti mengecek sesuatu. “Sampai ketemu bulan depan di Jakarta. Saya balik dulu, dicari istri. Sukses ya!” kata Rustam, seakan tidak terjadi apa-apa.

Pamanku masih terdiam. Aku bangun dari ranjang dan membantu Rustam berberes dan mempersilahkannya pulang. Setelah dia pergi aku menutup pintu kamar hotel. Aku mengambil handuk dan kembali ke ranjang, mengelap tubuh pamanku. Dan selagi aku masih mengelap, aku merasakan desakan dari tubuh pamanku.

Aku melihat ke arah wajah pamanku dan kulihat pamanku menahan tangis. Aku sudah bersalah pada pamanku, membuatnya malu sampai sejauh ini. Tapi aku tidak dapat menahan rasa sayangku pada pamanku yang makin besar. Seusai mengelap tubuhnya, meski masih agak lengket-lengket, aku berbaring di sebelahnya dan menariknya ke dekapanku sambil kuelus kepalanya. Pamanku tetap menahan diri untuk tidak menangis. Aku hanya mencium dahinya dan berkata, “aku sayang Budi. Aku udah ada rasa dari tadi siang. Budi jangan nolak ya.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.