Sabtu, 19 April 2014

Aku dan Dildo

"Apa-apaan kamu!" ujar ayahku, segera masuk dan menutup pintu.

Aku tersentak kaget. Jantungku berdebar kencang. Mataku membelalak, lalu berkedip-kedip. Aku membungkukkan badan, menarik kedua kakiku dan memeluknya dengan tangan kananku. Tangan kiriku menarik bantal terdekat dan menutupi badanku, semampu sebuah bantal menutupi tubuh. Tidak cukup cepat, kupikir. Mukaku terasa panas--aku yakin pasti kemerahan.

Ayahku melihat ke kiri, kanan, lalu ke ranjangku yang berantakan. Seakan puas menginspeksi TKP, ayahku lalu kembali melihat ke arahku, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Dia berjalan mendekatiku. Aku pun bergegas menjauhkan diri dalam ketakutan, tapi yang bisa kulakukan hanya duduk lebih tegak dan merapatkan kaki dengan dada, bersandar pada punggung ranjang.

Sejak kecil ayahku keras terhadap anak-anaknya. Aku paling takut kalau ayahku marah--mukanya mengerikan, tangannya siap melayang. Dan pukulannya keras dan sakit luar biasa. Mendekatiku seperti itu, pikiranku kacau dan jujur saja aku ketakutan.

Dan ayahku pun duduk di samping ranjang, jaraknya hanya sekitar dua lengan dariku. Tangan kirinya menjangkauku pelan, diletakkannya di atas bantal yang kugunakan untuk menutupi tubuhku. Lalu dia menariknya dengan paksa. Dan matanya tertuju tepat pada bagian yang tadi kututupi, seakan memeriksa ulang apa benar yang tadi dilihatnya. Tiba-tiba tangan kanannya melayang.

Sedetik pertama aku tidak sadar itu terjadi. Baru setelahnya rasa sakit di pipiku menyadarkanku. Ayah baru saja menamparku. Aku menutup mata melihat tangan kanannya diangkat lagi, kutolehkan wajahku ke samping. Tangannya hinggap di kepalaku. Dan ayahku mengelus kepalaku. "Seumur-umur papa hidup benar. Baru pertama kali papa lihat--anak sendiri papa gedein rupanya kayak gini."

Aku mengintip dari balik lengan ayahku. Ayahku terlihat seperti kecewa. "Maaf pa," kataku. Aku masih tidak bergerak, seluruh tubuhku seakan terkunci di sana.

"Udah sejak kapan kamu main ginian?" tanya ayahku, tangannya masih mengelus kepalaku seakan mencoba menenangkanku. Pertanyaan seperti itu membuatku diam sejenak dan benar-benar mengingat sejak kapan. Tapi lanjut ayahku, "Gimana pun kamu tetap anak papa. Cuma papa ngga ngerti kenapa kamu gini--apa enaknya pantat disodokin batang."

Kata-kata itu membuatku sekaligus malu dan terangsang. Untungnya ditutupi kedua kakiku ayahku tidak dapat melihat penisku yang mulai mengeras lagi. Tanganku masih menutupi lubang pantatku, menekan dalam-dalam dildo, seakan-akan hal itu dapat membuat ayahku lupa apa yang sudah dilihatnya.

"Coba kamu bilang, Wendy. Kita sama-sama udah dewasa. Apa enaknya?" tanyanya lagi, tangannya menarik tanganku dari pantatku. Dildo sepanjang 20 cm itu terdorong keluar dengan sendirinya.

Sesaat aku ragu apa aku perlu menjawabnya. Tapi aku tahu kedua kalinya ayahku bertanya adalah saatnya bagiku untuk menjawab. "Enak aja pa. Di..didorong nekan prostat gitu."

Mendengarnya, ayahku melihat ke arah wajahku. Satu ujung bibirnya naik, tersenyum heran mendengarku. Lalu ayahku kembali melihat ke arah dildo yang masih tertancap di lubang pantatku. Saat itu juga aku tersadar dengan bulu-bulu di sekitar lubangku, dan malu akan hal itu--malu dengan badan sendiri, aku mencoba menutupinya kembali dengan tanganku. Tapi tangan ayahku menepis tanganku dan menggengam dildo itu. Tanpa aba-aba ditariknya, cukup cepat dalam sekali tarikan, membuatku mengerang kesakitan.

Melihat bentuk dildo itu--seakan ayahku baru tersadar bahwa itu bukan sembarang batang, tapi sebuah dildo--ayahku menggeleng-gelengkan kepalanya sekali lagi. "Papa heran kamu beli di mana barang kayak gini. Untung tadi yang masuk papa, bukan mama atau adik-adik kamu. Setidaknya lain kali inget kunci dulu."

Aku agak terheran mendengarnya--tapi aku menjawab, "Iya pa". Seakan dia tidak masalah jika aku melakukan ini lagi di kemudian hari. Lalu ayahku menegakkan badannya, meletakkan dildo yang masih basah itu di ranjang, dan bergerak mendekatiku. Wajahnya tepat di depan mataku, dahinya menempel dahiku. "Wendy," katanya pelan. "Kasih papa lihat kamu mainin ini. Papa mau lihat."

Melihatnya sedekat itu, mendengar kata-katanya dari sedekat itu--semua kata-kata itu terasa menghipnotisku. Dan aku, tanpa berpikir, mengangguk. Ayahku berdiri, lalu berjalan menuju pintu kamarku dan menguncinya. Kepalanya menoleh ke arah kain gorden yang menutupi pintu kaca balkon, sepertinya mengecek kalau-kalau ada cela. Lalu dia menarik kursi dari meja belajarku dan duduk. Kepalanya mengangguk, memberiku tanda untuk mulai.

Aku membalasnya dengan mengangguk kecil, wajahku tak berekspresi. Masih bingung, masih bertanya-tanya dalam hati kenapa ayahku membuat permintaan semacam itu, aku membungkukkan badan dan memanjangkan lenganku untuk mengambil dildo berwarna hitam itu. Dildo sederhana, tanpa ada guratan maupun fungsi tambahan, cukup lentur. Aku tahu ayahku straight, dan cukup playboy. Aku sering memergokinya memperhatikan cewe-cewe seksi kalau kita sedang jalan bareng di luar. Teman-teman prianya bukan tipe metrosexual. Dan banyak faktor-faktor lain yang membuatku berkesimpulan bahwa ayahku seorang pria straight tulen. Ayahku cukup ganteng--kita tidak terlalu mirip. Di usianya yang ke-48, badannya terlihat masih fit, dan kulitnya kencang. Seluruh tubuhnya penuh dengan tato, yang notabene dulu ditambahkannya tiap kali dia mengalami stress. Dan aku melihat ke arah selangkangan ayahku, tidak terlihat ada tonjolan. Berbagai pertanyaan muncul di benakku, tapi aku tidak berani mengulur-ulur waktu.

Aku mengambil botol pelumas dari meja kecil di samping ranjangku. Kuoleskan pelumas pada dildo, kuusapkan dengan rata. Lalu aku berbaring dengan sedikit bersandar pada punggung ranjang. Aku membuka kedua pahaku, menekukkan keduanya di kiri dan kanan.

"Hadapin ke sini," kata ayahku.

Aku lalu bergerak sedikit memutarkan badan, mengarahkan bagian bawah tubuhku ke arah pandangan ayahku. Malu tapi sekaligus makin terangsang. Mungkin aku seorang exhibitionist. Aku kembali membenarkan posisi paha-pahaku. Sedikit menarik kepalaku ke atas, tangan kananku menjulur membawa dildo, tangan kiriku sedikit menarik paha kiriku supaya aku dapat lebih mudah mengarahkannya. Aku menempelkan ujung dildo itu di pangkal kontolku, dan kuarahkannya ke bawah, berhenti sewaktu aku merasakan sesuatu tepat di luar lubangku.

Perlahan kudorong dildo itu masuk. Sedikit menahan rasa sakit. Tangan kiriku langsung menggapai kontolku, sedikit mengocok-ngocok mengimbangi rasa sakit. Perlahan dildo itu menyusuri dinding lubangku--satu senti, dua senti, tiga senti... Sampai akhirnya aku rasakan jempolku menempel di atas lubangku. Aku kembali melihat ke arah ayahku--dia masih duduk terdiam melihatku, sama sekali tidak ada tanda-tanda dia akan melakukan sesuatu.

Tidak lebih lanjut menghiraukannya, aku perlahan menarik keluar dildo itu. Kocokanku sedikit makin cepat. Precum membasahi kontolku. Lalu aku mendorong dildo itu kembali masuk. Merasa cukup nyaman, aku mempercepat gerakanku, menarik, mendorong dildo masuk dan keluar dari lubangku. Aku tahu di rumah sedang kosong--hanya ada aku dan ayahku karena ibu, adik-adikku, dan pembantuku baru saja keluar untuk menghadiri kawinan orang lain. Aku mengerang karena nikmat, saat ujung dildo itu mendorong dinding prostatku lalu lebih dalam lagi menyodok lainnya--rasa aneh yang terjadi di dalam perut bawahku, rasa aneh membuatku makin terangsang. "Ahh! Ahh!" erangku sambil menutup mata.

Untuk beberapa saat aku terus memboboli lubangku sendiri dengan dildo itu, semakin lama semakin dalam dan cepat. Tiap tarikan semakin panjang, membuat badanku merinding. Aku juga mengocok makin cepat. Bosan, aku menarik keluar dildo itu. Aku bangun dan mengambil posisi membelakangi ayahku. Lalu aku berlutut dan membungkukkan badanku, bertumpu pada kedua lutut dan tangan kananku. Dengan tangan kiriku aku kembali memasukkan dildo itu, kali ini dengan cepat dan tanpa perlu pemanasan lagi aku menyodok-nyodokkannya. Sesekali kepalaku melenguh ke atas, ke bawah. Di depanku sebuah cermin yang cukup besar, dan di sana terlihat aku sendiri dan ayahku.

Aku suka dengan tubuhku sendiri. Aku suka melihat tubuhku. Meski aku tidak sering berolah-raga, dan perutku sedikit maju. Aku suka segala hal tentang diriku. Wajah, leher, bahu, ketiak dan bulu-bulunya, dada, puting, perut, bulu kemaluanku yang lebat, kontolku yang cukup panjang dan tebal, selangkangan, paha, dan kaki. Aku suka semua bagian tubuhku. Tiap kali aku melihat diriku sendiri dalam keadaan telanjang, aku terangsang. Aku ingin bisa menikmati semua bagian tubuhku, tapi yang bisa kulakukan tidak banyak.

Aku melepaskan tanganku dari dildo di dalam lubangku, menegakkan tubuhku, masih berlutut. Aku memandangi lekukan tubuhku sendiri. Tidak peduli lagi dengan keberadaan ayahku di belakang, aku memainkan putingku. Tangan kananku mencubit-cubit putingku, tangan kiriku mengusap dada dan perutku sendiri. Lalu aku mengangkat tangan kananku ke atas, kuhirup ketiakku. Aku tidak bau. Lalu kujulurkan lidahku ke kulit ketiakku, menjilatinya. Kontolku sudah sangat keras, dan kapan pun aku dapat ejakulasi.

Sesuatu yang tak kusangka terjadi adalah melihat ayahku menurunkan celananya. Dari balik celana dalam putihnya terlihat sebatang kontol yang sudah keras, di ujungnya terlihat cukup basah karena precum. Ayahku lalu menurunkan juga celana dalamnya, menyelipkan kontolnya keluar. Beda dengan aku yang berkulit terang, ayahku cenderung berkulit gelap seperti pamanku. Kontolnya sama persis dengan kontolku, bentuknya, panjangnya. Hanya ayahku juga menyelipkan keluar kedua buah zakarnya, dan keduanya berbeda dengan milikku yang ukurannya biasa. Kedua buah zakar ayahku berbulu dan sangat besar, seakan menyimpan persediaan sperma yang sangat banyak. Dan dia mulai mengocoknya.

Melihat kontolnya--melihatnya terangsang melihatku membuatku makin terangsang. Aku ingin menyentuh kontolnya, memainkannya, menghisapnya. Tapi aku tahu itu salah. Aku tahu ayah tidak akan membiarkanku melakukannya. Aku kembali ke posisi terlentang di ranjang. Kusisipkan bantal di bawah kepalaku supaya aku dapat terus melihat kontol ayahku. Aku pun mulai menyodok-nyodokkan dildo ke dalam lubangku lagi. Aku mulai kehilangan fokus karena semua ini, tapi aku tetap berusaha memperhatikan ayahku.

"Pa aku mau keluar," kataku. Ayahku lalu bangun dari kursi dan berdiri mendekatiku, tepat di belakang kedua kakiku. Dia terus mengocok. Aku terus mengocok, memainkan dildo, dan mengerang-erang. Tak lama kemudian aku mengerang keras, menyemburkan sperma berkali-kali ke mana-mana--wajah, leher, dada, dan perutku. Lalu ayahku pun ikut menyemburkan spermanya, jatuh di kontol, selangkangan, dan perutku--teramat banyak, teramat kental. Merasakan hangat aliran pejunya di kulitku membuatku tersentak dan berejakulasi tambahan. Denyutan di kontolku berlanjut berkali-kali meski terasa sudah benar-benar habis spermaku.

Kita berdua hanya di sana tanpa bergerak, masih menyusun nafas. Aku menarik keluar dildo itu dari dalam lubangku, dan kujatuhkannya di sembarang tempat. Badanku masih penuh berlumuran sperma. Ayahku mengambil handuk dari dekatnya, mengelap kontolnya, lalu melemparkannya ke perutku.

"Jangan bilang siapa-siapa," kata ayahku sambil membenarkan celananya. Dia menarik karet celananya dan melepaskannya, lalu menarik kaus singletnya keluar dari celana. Lalu dia berjalan ke arah pintu kamarku. Menoleh sebentar ke arahku yang masih tergeletak lemas di ranjang, lalu dia membuka pintu dan keluar.

Aku lalu mengelap tubuhku dengan handuk dan bergegas ke kamar mandi. Aku mandi dengan seksama, masih belum percaya ayahku sendiri menikmati menonton aku main dengan diriku sendiri. Seusainya aku keluar dari kamar untuk minum dan makan. Ayahku duduk di sofa menonton TV. Kita berlagak seakan hal tadi tidak terjadi.

Dan tidak pernah lagi terjadi. Sesekali di kemudian hari ayahku terkadang mengingatkanku untuk tidak bermain terlalu kasar, takutnya luka di lubangku dan semacamnya. Tapi kita tidak pernah lagi melakukan hal itu. Semua ini terjadi sewaktu aku sedang di rumah, beberapa bulan sejak aku dan Budi menjaga jarak.

Jumat, 18 April 2014

Aku, Pamanku, dan Berbagai Pria

Sepertinya boleh cerita sedikit tentang aku sendiri. Tentunya namaku Wendy, dan aku lebih suka dipanggil ‘Wendy’ daripada ‘Wen’, ‘Ndy’, atau ‘Dy’. Usiaku baru beranjak 23 tahun. Fisikku dibilang seksi juga ngga, tapi dibilang jelek juga ngga—cukup kalau pakai baju apapun, atau setidaknya hampir apapun, katanya terlihat bagus. Tinggiku 170 sentimeter, beratku 66 kilogram. Aku lumayan sering berenang, jadi meski perutku sedikit menonjol, sebenarnya kulitku lumayan kencang dan tubuhku lumayan proporsional—selama aku tidak mengenakan kaus ketat. Fitur fisikku yang lumayan menonjol, dan aku sebenarnya kurang suka, adalah cukup lebatnya bulu di beberapa bagian tubuh: lengan, paha atas dan bawah, perut menjalar ke kemaluan, ketiak, dan, ahem, di sekitar lubang pantat. Fitur ini cukup menonjol karena umumnya orang-orang yang seketurunan denganku, keturunan berinisial T, tidak berbulu, atau setidaknya hanya sedikit saja berbulunya. Aku suka risih dengan hal ini dan beberapa kali aku mencoba waxing untuk menghilangkannya. Tapi anehnya banyak juga yang ngaku suka dengan fisikku apa adanya (setidaknya bukti obyektifnya kalau di tempat pemandian kolam renang aku suka mendapat perhatian, di mana bulu-buluku justru terlihat lebih jelas karena basah setelah berenang). Wajahku oval, tapi tidak lancip seperti cowo-cowo umumnya. Dan, ya, aku sering dikira orang keturunan campuran—makanya sering disapa dengan bahasa Inggris saat di dalam taksi atau di resepsionis hotel. Secara keseluruhan penampilanku cukup trendi. Aku suka mengikuti tren busana dan mencocokkannya dengan seleraku sendiri. Dan poin dari penjelasan panjang tentang aku ini sebenarnya apa aku juga bingung—bercanda. Poinnya adalah maka dari itu aku sadar sering ada pria-pria, umumnya di tempat-tempat seperti kafe ini yang melirikku. Dan terkadang aku merespon lirikan mereka dengan tersenyum.

Dan sepertinya Budi menyadari juga hal ini: seorang pria melirikku dan aku membalas dengan tersenyum. Dia sempat melihatku tersenyum dan melihat ke arah belakangnya. Setelah itu dia hanya diam dan terlihat makin jengkel. Kalau dipikir logis, toh Budi sudah menolakku sebelumnya, jadi tentunya kalau akhirnya aku kenalan dengan pria lain pun mestinya boleh dong. Kalau dipikir logis. Tapi suasana kita berdua sepertinya menunjukkan adanya main perasaan—CLBK istilahnya.

Sejak tadi saat Budi menunjukkan dirinya setelah kita bertukar pesan—dia tadinya duduk di dalam ruang bebas asap rokok dan aku duduk di ruangan merokok—sejak tadi dia hanya diam setelah sebentar saling menyapa dan dia mempersilahkan dirinya sendiri untuk duduk. Budi orangnya cukup ramah, supel, dan biasanya gentleman banget. Tapi kali ini dia terlihat murung bercampur jengkel dan seakan sedang ada banyak pikiran. Mungkin agak keterlaluan juga kalau aku menggoda pria lain di saat kita baru bertemu setelah sekian lama tidak—tadi itu benar-benar refleks karena pria yang senyum tipeku. Orangnya berbadan besar, meski tidak tinggi, mengenakan kemeja abu-abu dan jas hitam, dan wajahnya cukup ok. “Udah, udah, berenti mikirin cowo tadi. Balik ke Budi,” pikirku.

Belum lama setelah aku memutuskan untuk memberi lebih perhatian ke Budi, lampu kafe ini dimatikan—tanda akan tutup dan mengusir tamu-tamunya yang ngga sadar waktu seperti kita, yang masa bodoh kalau mereka juga perlu istirahat. Kita pun keluar dari kafe ini, berdua. Aku setuju mengantarnya ke rumahnya karena dia tidak membawa mobilnya. Kita berjalan di keheningan, agak kikuk dan serasa ingin berdekatan tapi juga menjaga jarak. Untungnya tak lama kemudian, sembari masih berjalan, Budi mendapat panggilan telepon.

Budi mengangkat telepon itu, tangan satunya diangkat memberiku sinyal dia butuh waktu sebentar, dan dia berjalan agak menjauh. Aku dari beberapa meter tetap memperhatikannya, meski tidak dapat mendengar pembicaraannya. Wajah pamanku tampak dengan cepat berubah pucat dan, entah apa cuma perasaanku, juga terlihat sedih. Mungkin hanya perasaanku, pikirku.

Seusai Budi menutup panggilan itu, dia kembali ke dekatku. “Budi ada urusan mendadak. Wendy pulang duluan saja.”

Melihat ekspresi wajahnya yang tersenyum dipaksakan itu aku mencoba untuk menghiburnya. Aku lalu merangkulnya dan membuka mulut mau bicara, tapi tiba-tiba Budi mengerang dan sedikit melompat menjauh dari rangkulanku. Keenakan disentuh juga seharusnya ngga seperti itu reaksinya, “Jadi kenapa coba?” tanyaku dalam hati.

“Budi kenapa sih? Dari tadi rada aneh sikapnya.”

“Ngga apa, kemarin habis jatuh aja jadi agak sakit di punggung,” jawabnya.

“Aneh. Sini coba aku lihat,” kataku mendekatinya, berniat untuk hanya menarik kerah kausnya dan memeriksa sedikit punggungnya. Tapi Budi tiba-tiba menjauh dan bilang, “Ngga usah. Ya sudah sampai ketemu lain kali ya, Wendy.”

Karena posisi kita sebenarnya sudah di area parkiran dan dekat dengan mobilku, aku bergegas menarik lengan Budi. Aku penasaran saja, dan berasa ada firasat buruk. Aku berjalan dengan cepat dengan Budi, dan sesampainya di mobil aku memaksanya masuk dan duduk di kursi penumpang depan. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, Budi yang bertubuh atletis dengan otot-otot yang terlihat menonjol bahkan dalam balutan kaus berlengan panjangnya mestinya dapat dengan mudah menepis genggamanku di lengannya tadi. Tapi aku tidak berpikir lebih lanjut soal ini—aku segera masuk dan duduk di kursi pengemudi.

“Kamu kenapa sih?” tanyaku dengan nada tidak sabar. Budi hanya diam melihatku, wajahnya terlihat antara jengkel dan lelah. Dia kemudian menghela nafas dan melihat ke depannya, tanpa menjawabku satu kata pun. “Jatuh kayak gimana bisa kena punggung sampek sakit gitu?” tanyaku lagi, tetap tidak dijawabnya.

Aku menggenggam ujung kaus pamanku. Dia tidak melawan. Lalu aku pelan-pelan menariknya ke atas, melepaskannya dari tubuhnya. Selagi menariknya dengan perlahan-lahan, kulit tangan dan jari-jariku bersentuhan dengan kulitnya, melewati lekukan-lekukan otot perut dan belahan antara perut dan dadanya, lalu leher dan dagunya, dan terakhir melewati lengan dan tangannya sampai bajunya seluruhnya terlepas. Begitu terdefinisi lekukan-lekukannya, aku agak nafsu melakukan hal ini.

Meski di kegelapan di dalam mobil di area parkiran ini aku dapat melihat garis-garis di sekujur tubuh bagian belakang Budi. Garis-garis gelap yang tebal yang jelas adalah luka-luka yang tidak mungkin didapatkan dari yang namanya jatuh—kecuali jatuh dan berguling-guling ditabrak motor terpental ke pagar dengan dada membusung, mungkin. Aku belum berkata apa-apa, masih bingung. Budi, pamanku juga sejenak terdiam lalu menangis. Tangisannya tanpa isakan, dan dia terlihat menggigit bibirnya berusaha menghentikan luapan emosinya, tapi tubuhnya bergetar tanpa dapat ditahannya. Sudah dua kali aku melihat pamanku menangis—sebelumnya sewaktu kejadian dengan Rustam. Melihatnya seperti ini berbagai macam hal terlintas di pikiranku, berbagai macam emosi menjadi satu juga, terutamanya aku juga ikut sedih dan marah seakan sudah jelas luka-luka itu perbuatan seseorang.

Aku tentunya tidak dapat memeluknya dari posisiku sekarang, dan aku pikir itu juga bakal membuatnya kesakitan lagi. Aku cuma tetap duduk, dan tangan kiriku menggapai kepalanya, mengelusnya. “Ada aku kok,” kataku agak kikuk. Aku kurang tahu cara menghibur orang. Tapi saat itu juga aku makin yakin aku masih sayang Budi dan aku ingin dia tahu aku ada untuknya. Beberapa saat terlewati dengan Budi masih menangis. Orang yang sosoknya yang seharusnya pria dewasa, bertubuh atletis, dan sikapnya yang biasanya gentleman—dan sekarang menangis seakan sudah tidak tahan dengan semua yang dia alami.

Selang beberapa menit sampai akhirnya tangisan Budi reda. Budi mulai berbicara, dan rupanya dia menceritakan apa yang selama ini terjadi padanya sambil aku mengemudi keluar dari area parkir.

Baru-baru ini Budi rupanya mendapat tawaran kerja sama dari teman Rustam. Budi seorang kontraktor dan arsitek freelance. Teman Rustam ini bernama Donny. Donny mengontrak Budi untuk membangun rumah di Bali untuk digunakannya sebagai vila. Meski hubungan Budi dengan Rustam buruk, Budi tidak menolak proyek itu karena, toh ini proyek beneran dari orang lain, pikirnya saat itu.

Sebenarnya Budi kurang punya kontak dengan penyedia bahan-bahan bangunan di Bali karena itu proyek pertamanya di sana. Selama ini Budi lebih berkonsentrasi mengerjakan proyek-proyek rukan perkantoran di Jakarta. Dan ketika itu Donny memperkenalkannya dengan temannya yang tinggal di sana dan memiliki usaha penyedia bahan bangunan. Sewaktu semua negosiasi sudah selesai dan proyek pembangunannya sudah dimulai, tiba-tiba teman Donny kabur membawa uang muka yang sudah diberikan.

“Gue ngga mau tahu, pokoknya lu kejar dia sampai dapet kalo ngga lu balikin uang gue,” kata Donny saat dia mendapat kabar temannya kabur dari Budi. Budi sudah berusaha mencari tahu keberadaan teman Donny, sampai-sampai menghubungi polisi sekitar untuk melaporkan pencurian. Tapi setelah seminggu pun belum ada perkembangan soal itu.

Dan akhirnya Donny menghampiri Budi di motel murah tempatnya tinggal sementara di Bali. Donny menolak untuk membayar semua ahli bangunan yang sudah dipanggil Budi, dan juga menolak Budi untuk melanjutkan pembangunannya, serta memaksa Budi untuk antara berhasil mendapatkan kembali uangnya atau mengembalikannya sendiri. Sebenarnya Budi sudah siap untuk meminta pinjaman dari bank, tapi...

Hari itu cuaca sedang memburuk dan Donny tiba-tiba menghampirinya di kamar motelnya bersama dua pria lain. Dia tidak mengenali kedua pria itu, Anto dan Zeni. Donny saat itu juga menyuruh kedua pria itu untuk menyergap Budi dan melucuti pakaiannya. Kedua pria ini bertubuh tinggi dan tegap, badannya berotot besar melebihi Budi. Donny sendiri tubuhnya tinggi dan besar meski tidak atletis dan perutnya besar. Ketiga pria ini berkulit gelap, dan tampang ketiganya cukup keras. “Gue denger dari Rustam loe suka dipake,” ujar Donny. “Maka itu bersyukurlah gue mau pake loe.”

Awalnya Budi mencoba melawan, tapi gagal dan mulutnya dibungkam dan disumpal dengan handuk. Budi cuma bisa mengerang-erang memberontak selagi Zeni duduk di atas punggung Budi yang telentang di lantai dan menahan kedua tangannya. Anto melepas celana Budi dengan cepat, lalu Zeni membalik badan Budi, Anto melepas ikat pinggangnya untuk mengikat kedua tangan Budi. Saat itu juga Donny melepas celananya sendiri dan dia berdiri memamerkan kontol yang hitam pekat, panjang, dan tebal. Kontolnya agak bengkok ke bawah, panjangnya sekitar 17 sentimeter, dan kepala kontolnya sangat besar. Selain kontolnya, buah zakarnya juga hitam besar-besar. Melihat ini semua Budi hanya menyesal telah kurang hati-hati dengan teman Rustam ini.

Selesai mengikat tangan Budi, Anto berlutut di hadapan kontol Donny dan mulai menghisapnya. Anto melakukannya tanpa menunjukkan ekspresi apapun, seakan itu memang sudah kewajibannya. Melihat itu Budi hanya terdiam bingung. Tapi tak lama kemudian Donny melepas kontolnya yang besar dan sepenuhnya ngaceng dari mulut Anto, lalu berjalan ke arah Budi. Tubuh Budi masih tertelungkup dengan Zeni duduk di sebelahnya, tangannya menahan kepala Budi, dan kedua tangan Budi terikat. Donny duduk dengan berlutut di atas Budi, dan dengan hanya dibasuh air liur Anto kontolnya disodokkak ke bokong Budi. Awalnya memang tidak langsung masuk, tapi setelah disodokkan berkali-kali dengan asal, akhirnya kontol itu masuk juga ke lubang Budi. Budi merasa sakit luar biasa, dan dia pun mengerang kesakitan dan menggigit handuk yang tadi disumpelkan dalam mulutnya.

Donny mengentoti Budi dengan kasar dan penuh tenaga. Tiap kali Donny menyodokkan kontolnya masuk, Budi dapat merasakan dinding prostatnya disodok juga. Dan Budi mulai tidak dapat menahan nafsu. Kontolnya mulai ngaceng meski terhimpit di antara tubuhnya dan lantai. Selang dua menit dan Donny sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Donny segera melepas kontolnya dan mengeluarkan pejunya di sekujur punggung Budi.

Budi sempat, meski merasa bersalah berpikir—dia sempat kecewa karena dia belum keluar dan Donny sudah selesai. Lalu Budi menoleh ke belakang, dan di matanya terlihat dua laki-laki yang sedang melepas pakaian. Setelah bertelanjanglah baru Budi sadar betapa atletisnya mereka—lebih dari atletis, Zeni dan Anto berotot besar-besar, terutama Anto. Dada Anto yang berotot besar dan berbulu menarik perhatian Budi—juga putingnya yang hitam dan tampak keras. Kedua pria ini, entah apanya Donny, menghampiri Budi. Zeni duluan berlutut, membasahi kontolnya dengan ludah, dan segera memasuki Budi. Budi tidak sempat memperhatikan kontol Zeni, tapi dari dalam lubangnya dia dapat merasakan sesuatu yang panjang meski tidak tebal—sesuatu yang seperti ular di dalam. Di sampingnya Anto berdiri sambil mengelus-elus kontolnya sendiri dan Donny yang duduk di samping memperhatikan itu semua.

Sambil mengentot Zeni meremas-remas bokong Budi. Saat itu Budi makin pasrah dan menikmati permainan ini. Tak lama dia melepas kontolnya dan Anto menggantikannya mengentoti Budi. Keduanya terus bergantian sampai saat Anto menarik Budi dan mendekapnya. Anto terlentang dan Budi didekap di atas tubuhnya, kontolnya pun masih ada di dalam lubang Budi. Dari belakang Zeni menghampiri keduanya dan dengan agak jongkok dia merapat. Kontolnya diarahkan ke lubang Budi, di mana kontol Anto masih memenuhi. Budi berpikir bahwa mungkin ini akan memudahkan mereka untuk bergantian mengentotinya, tapi bukan itu yang terjadi. Budi dapat merasakan kontol Zeni menempel tepat di atas pangkal kontol Anto dan lingkar lubangnya. Perlahan Budi merasakan sakit yang luar biasa saat kontol itu dipaksa masuk sedikit demi sedikit. Akhirnya dua kontol itu bersatu di dalam lubang Budi. Dua kontol pria dewasa yang membuat Budi merasa lubangnya sudah ditarik paksa lewat dari batas.

Anto awalnya hanya terdiam menahan tubuh Budi saat Zeni bergerak maju-mundur, kontolnya bergesekan dengan dinding lubang dan kontol Anto. Baru setelah posisi mereka mulai mantap Anto juga ikut bergerak naik turun. Kedua kontol itu bergerak masuk dan keluar bergantian. Gerakannya semakin cepat membuat Budi mabuk. Budi juga mulai menikmati dua kontol itu di dalamnya. Zeni lebih dahulu mencapai klimaks. Zeni bergegas mengeluarkan kontolnya dan mengocoknya. Semburan spermanya hangat membasahi punggung Budi lagi. Tak lama kemudian Budi pun mengeluarkan pejunya meski tanpa disentuh, membasahi perut dan dada Anto di bawahnya. Anto main lebih lama, terus mengentoti Budi di saat dia sudah melemas. Setelah beberapa menit kemudian barulah Anto juga melepaskan kontolnya dan mengeluarkan benihnya, kali ini di sekitar selangkangan dan paha Budi.

Terdengar suara rintikan hujan yang dengan cepat menjadi keras. Saat itu Budi berpikir sambil bernafas tidak teratur bahwa semua ini sudah selesai, tapi rupanya Donny tidak berpikir begitu. Seusai Zeni dan Anto, Donny sudah siap dengan kontol besarnya yang sudah sepenuhnya ngaceng lagi. Tanpa menunggu supaya Budi dapat bernafas lega, dia mulai mengentoti Budi lagi dan disusul kembali oleh Zeni dan Anto secara bergiliran. Hal ini berlangsung selama dua kali lagi sampai akhirnya Budi kelelahan untuk dapat ereksi lagi. Badan Budi berkeringat dan kulitnya panas dan kemerahan seperti orang demam. Kesadaran Budi mulai menipis meski di sekitarnya masih ada Donny, Anto, dan Zeni.

Melihat itu Donny seakan mendapat ide. Saat itu Budi sudah kurang sadar lagi apa yang sedang terjadi. Donny sepertinya memberi instruksi pada Anto dan Zeni untuk membawanya ke kamar mandi. Sebenarnya motel ini cuma memiliki dua kamar mandi, satu kamar mandi pria dan satunya lagi kamar mandi wanita dan keduanya dipakai bersama antara para tamu motel (atau bergantian kalau mereka malu mandi bersama). Kamar mandi pria terletak di ujung utara dan yang untuk wanita di ujung selatan motel ini. Kebetulan kamar Budi bersebelahan dengan kamar mandi pria, jadi mereka dengan mudahnya mengangkut Budi ke sana tanpa sepengetahuan pihak hotel.

Di kamar mandi saat itu sedang ada lima pria lainnya yang sedang mandi. Kamar mandi itu bentuknya seperti pemandian umum terbuka dengan beberapa shower yang saling bersebelahan dan beberapa kubik WC tertutup dan wastafel di sisi seberangnya. Pria-pria ini mandi tanpa saling memperdulikan satu sama lain. Ada yang benar-benar telanjang dan ada juga yang masih mengenakan celana dalam. Hanya sesampainya Anto dan Zeni masuk membawa Budi yang hanya dililit handuk di pinggulnya baru pria-pria ini pandangannya tertuju pada mereka.

Anto dan Zeni segera bertelanjang diri. Lalu mereka membawa Budi ke depan shower dan menyalakannya. Air yang dingin menyembur ke arah Budi dan mengagetkannya dari tidurnya. Budi terkaget dan berusaha memberontak, tapi Zeni dengan cepat menahan tubuh Budi dan mendorongnya ke dinding. Budi sejak tadi memang sudah mulai demam dan tubuhnya terasa sangat lemas, dan usahanya untuk berdiri dan melepaskan diri dari Zeni seperti tidak berarti. Bahkan Budi masih belum tersadar kalau dia menjadi tontonan pria-pria di sekitarnya.

Anto mengambil sabun dari wastafel dan mulai mandi. Dia mandi sedekat mungkin dengan Budi. Sedangkan Zeni berdiri dan menggesek-gesekkan kontolnya di muka Budi yang sudah mulai pasrah dan pandangannya mulai kabur. Di mata Budi hanya terlihat kontol Zeni dan buah zakarnya yang berkulit coklat gelap.

Pria-pria di sekitar seakan kebingungan, mereka tanpa sadar berhenti dari aktifitas mandi mereka dan terfokus memandang mereka bertiga. Ada pun dari mereka yang kontolnya sudah mulai ngaceng. Budi cukup mencolok di sana karena dia tampan dan tubuhnya cukup seksi meski Zeni dan Anto bahkan lebih kekar. Ada sesuatu dari kondisi Budi saat itu yang menarik perhatian pria-pria ini—entah apakah itu iba atau murni nafsu. Satu dari pria-pria ini memberanikan diri menghampiri ketiganya.

Pria ini berusia sekitar 30-an. Tubuhnya pendek dan terlihat kecil meski perutnya buncit. Kontolnya sudah tegang semenjak dia melihat adegan itu. Pria ini melihat ke arah mata Zeni dan Anto, dan seperti mendapat ijin, dia maju menghampiri Budi. Segeralah dia menghujamkan kontolnya ke dalam mulut Budi, seakan mulutnya memang lubang untuk itu. Tangan kirinya menahan di dinding dan tangan kanannya menahan kepala Budi dan dia pun maju mundur menyodok-nyodokkan kontolnya.

Tak lama kemudian pria-pria lain yang tadinya hanya melihat berkumpul di sekitar mereka. Ada yang tua, ada yang benar-benar gemuk, ada yang kontolnya raksasa. Yang pasti semuanya sudah bertelanjang bulat sewaktu mereka mengerumuni Budi.

Setelah bergiliran mengentoti mulut Budi, Anto berinisiatif menarik kaki Budi supaya terlentang di lantai dan dengan kedua kakinya dibuka selebar mungkin dia memainkan lubang pantat Budi dengan jari-jarinya. Kemudian Anto melihat ke pria-pria di sekitarnya seakan memberi isyarat dan segeralah satu dari mereka maju dan berlutut menghadap lubang Budi menggantikan posisi Anto.

Pria-pria yang mungkin sudah menikah dan istrinya sedang mandi di ujung lain hotel ini seperti tidak peduli lagi dengan apa yang mereka perbuat. Semuanya bergantian mengentoti Budi seakan tak peduli Budi menjadi korban kebejatan mereka. Semuanya mengentoti tanpa variasi, seakan mengemban misi untuk secepatnya mengisi Budi. Budi hanya bisa pasrah mendapati itu semua. Tubuhnya lemas dan nafasnya sudah tidak karuan. Dia bahkan sudah terlalu lelah, fisik dan mental, untuk dapat ngaceng lagi dan menikmati kejadian itu. "Apa ini kenyataan sebenarnya dunia pria?" tanyanya dalam hati.

Setidaknya tadi, sewaktu dia digilir oleh Donny dan lainnya, lubangnya tidak menerima peju mereka. Kali ini situasinya berbeda dan setiap pria tak dikenalnya ini memilih untuk mengeluarkan benih-benih mereka di dalam lubang tersebut. Usai kejadian itu, seakan tersadar dengan apa yang sudah mereka perbuat, pria-pria ini kembali ke shower masing-masing dalam diam dan melanjutkan aktifitas mandi mereka—ada yang segera mengeringkan tubuh dan mengenakan baju, ada yang mandi dengan seksama membersihkan tubuh.

Anto dan Zeni lalu membersihkan tubuh Budi. Seakan akhirnya iba, Anto membersihkan tubuhnya dengan seksama lalu mengeringkannya. Mereka hanya melilitkan handuk di sekitar pinggul Budi dan membopongnya kembali ke kamar di mana Donny sedang duduk di sebelah jendela merokok sambil membaca koran.

Melihat Anto, Zeni, dan Budi kembali ke kamar, Donny mematikan rokoknya, berdiri, dan menghampiri mereka. Budi masih terjaga dan dengan segenap tenaganya mencoba bangun untuk berbicara pada Donny, “Sa..ya.. janji.. saya ganti nan..ti.”

Donny hanya tertawa. Dia menarik lepas handuk dari pinggul Budi. Lalu dia menyumpal mulutnya dengan handuk itu. Donny melepas ikat pinggang kulit dari pinggangnya lalu melipatnya jadi dua. Dia berjalan ke belakang Budi dan segera mendorongnya terjatuh berlutut di lantai. Budi tidak menyangka apa yang selanjutnya dilakukan Donny adalah menyabetkan ikat pinggang ke punggungnya. Gesper dari sabuk itu melukai tubuh Budi, dan sedikit goresan dan darah keluar. Sekali, dua kali, tiga kali, entah berapa kali lagi Donny terus mencambukkan ikat pinggang tersebut ke punggungnya. Baru setelah hampir seluruh punggung Budi berwarna merah sampai ke pantat karena lebam-lebam dan luka goresan yang cukup parah Donny merasa puas dan berhenti. “Sampah goblok!” kata Donny.

Usai itu semua barulah Donny dan krunya meninggalkan Budi sendiri di kamar motelnya, tergeletak di lantai tanpa daya. Budi bahkan sudah tidak punya tenaga—jangankan tenaga, terpikir pun tidak untuk mengunci kamarnya. Kesakitan, lelah, demam, dia hanya berjalan ke arah ranjang, berbaring, dan dengan cepat terlelap. Budi terus berkutat di kamar motelnya, hanya membuka pintu saat ada yang mengantarkan makanan. Mengingat kejadian di kamar mandi itu Budi enggan untuk menghadapi kemungkinan bertemu salah satu dari pria-pria itu. Sekitar tiga hari kemudian lah, di tengah malam dia membeli tiket pesawat lewat laptopnya dan segera check out dari motel itu. Badannya masih lemas dan luka-luka di punggungnya masih belum sembuh saat dia menaiki pesawat kembali ke Jakarta.

Di Jakarta barulah Budi mendapat tenaga lebih untuk mengunjungi rumah sakit dan mendapat perawatan yang lebih lengkap. Selain luka-luka di punggungnya dia juga memutuskan untuk mengecek anusnya jika-jika ada luka yang parah dan melakukan tes anti-HIV (yang mana berhasilkan negatif). Sepulangnya dari rumah sakit dia memutuskan untuk mampir ke mal untuk mencari angin, melepas stress dan trauma. Dan berkat kebetulan yang teramat sangat dia melihatku duduk sendiri.

Tadi panggilan yang diterima Budi sewaktu kita masih di mal rupanya dari pihak biro pekerja ahli bangunan. Mereka rupanya menuntut Budi untuk kompensasi pembayaran sesuai kontrak yang sudah mereka tanda tangani. Mendapati itu tadi Budi berniat segera pulang untuk mengurus pembayaran dengan seluruh sisa tabungannya.

Mendengar ini semua emosiku meluap-luap. Tadi saat Budi masih bercerita aku memutuskan untuk terus mengendarai mobil berkeliling tanpa tujuan. Saat cerita itu usai aku merapatkan mobil di pinggir. Terdiam sebentar, lalu tangan kiriku menjangkau kepala Budi. Aku mengelusnya pelan, saat itu tanpa dapat berkata apa-apa. Saat itu juga aku ingin dan mulai memikirkan cara untuk membalas dendam kepada pria-pria yang sudah membejati pamanku, setidaknya Donny dan Rustam. Tapi aku tahu saat itu kondisi Budi masih belum baik dan aku memutuskan bahwa hal itu lebih penting daripada balas dendam, setidaknya untuk sementara ini.

“Bisa kan Budi kasih aku kesempatan buat ngejagain Budi, at least sampe Budi sehat,” kataku sambil menatap wajahnya.

Kamis, 17 April 2014

Aku, Pamanku, dan Tukang Ojek

Malam itu aku sedang duduk sendiri di sebuah kafe di Jakarta. Tadinya aku bersama teman-temanku, ceritanya merayakan ulang tahunku yang ke-23, tapi mereka sudah pulang. Memang tadinya mereka menawarkanku untuk pulang bareng, hanya saja malam itu aku sedang ingin lebih lama di luar sendiri, jadi aku bilang saja ke mereka, “Gampang ntar gue ambil taksi, gue masih mau ke Food Hall dulu.” Meski sebenarnya sejak tadi aku belum beranjak dari kursi yang sama.

Dari posisiku duduk dapat memandang ke luar, ke jalanan tengah kota Jakarta yang basah terkena hujan dan mulai sepi. Sambil memegang ponsel, jariku bergerak sana-sini, sekedar menunjukkan orang-orang kalau aku ngga bengong, padahal pikiranku hanya mengawang. Antara lelah, galau, dan kesepian. Aku kangen Budi.

Setelah kejadianku dengan pamanku dan temannya hari itu, hampir setahun yang lalu, aku sudah menjalani hubungan dengan beberapa laki-laki lain. Cerita singkatnya aku ditolak pamanku. Cerita lebih akuratnya selama dua minggu kita sudah mencoba untuk menjalani hubungan yang lebih dekat, tapi dia terlalu takut ketahuan—oleh saudara, rekan kerja, dan lainnya. Dan dia memutuskan untuk menjaga jarak. Nomor kontak dan fotonya masih ada di ponselku, dan di saat iseng seperti ini lah—di saat jari-jariku membolak-balik halaman, scroll atas-bawah tanpa tujuan, terkadang terlihat fotonya—senyumnya yang terpampang beku dalam frame foto kecil itu, dan setiap kali waktu serasa terhenti.

Kita sudah ngga pernah kontak lagi. Terkadang, terutama belakangan, aku makin ragu untuk menghubunginya lagi. Banyak hal yang kulakukan yang membuatku malu dengan diri sendiri. Misalnya kejadian kemarin. Kemarin tengah malam, untuk mencari angin karena belum bisa tidur juga, aku jalan keluar dari kamar apartemenku dengan hanya mengenakan kaus lengan panjang, celana tidur pendek, dan sandal. Aku berjalan cukup jauh di kegelapan itu dan, mungkin karena dinginnya angin malam, tiba-tiba aku merasa ingin kencing. Karena jalan kembali ke apartemen cukup jauh dan di sekitar ngga terlihat ada WC umum, aku memutuskan untuk kencing di pinggir jalan.

Jalanan malam itu cukup sepi, dan kebetulan ada pos ojek yang sudah kosong. Aku kencing di belakang pos itu menghadap ke selokan air. Aku tarik celanaku turun sedikit untuk mengeluarkan kontolku dan beberapa saat kemudian air kencingku menyembur keluar. Baru juga mulai kencing tiba-tiba ada tukang ojek yang berhenti di pos ojek itu. Dia menyelinap ke belakang pos, menatapku, dan membuka ritsleting celananya. Awalnya aku tetap tenang saja kencing di sana, tapi tukang ojek ini bergerak mendekatiku dan menarik celana dalamnya turun sampai ke bawah pelernya—cukup turun untuk mendapat perhatianku.

Aku mencuri pandang ke arah kontolnya kemudian menatap wajahnya sebentar. Tukang ojek ini usianya sekitar 40, di remang lampu jalanan terlihat dia berkumis dan kerutan-kerutan di wajahnya yang berkulit gelap. Perutnya sedikit buncit, badannya agak tinggi, mengenakan kaos dan jaket kulit hitam dan celana jeans. Dia membalas pandanganku. Kemudian aku mencuri pandang lagi ke arah kontolnya. Dia tidak kencing. Tangan kirinya menahan celananya, tangan kanannya mengelus-elus batang kontolnya dan pelernya. Jari-jarinya bergerak ke arah atas, menarik sedikit kaus hitamnya, lalu megusap bulu pubisnya yang lebat, kontolnya perlahan memanjang dan membesar. Lalu dia mendorong pinggulnya ke depan, makin menonjolkan kontolnya. “Mau ngga?” tanyanya pelan.

Aku selesai kencing, menarik celana, dan mengangguk. Sudah beberapa kali aku ngocok dengan membayangkan pria-pria pekerja kasar. Memang ini bukan tukang bangunan atau nelayan kapal, tapi tukang ojek masuk kriteria fantasi jorokku. “Ke tempatku aja,” kataku.

Kita berdua menaiki sepeda motornya dan pergi menuju apartemenku. Selama di perjalanan kita saling memperkenalkan diri. Nama dia Teja, mungkin dari Sutedja. Sesampainya di apartemen agak gugup juga waktu dilihatin penjaga lobby apartemen—aku membawa pria paruh baya yang terlihat, ya, singkat kata membuat tanda tanya. Tapi masa bodo lah. Sesampainya kita di kamar apartemenku, dia membuat beberapa komentar soal kamarku yang nyaman dan lainnya, lalu menceritakan klien dia yang tinggal di apartemen yang 10 kali lebih mewah daripada punyaku. Ya terserah deh, pikirku.

Aku membawanya ke kamar mandiku, berniat mencuci kontol masing-masing dulu. Seusai kita melepas celana, Teja tiba-tiba menarik pundakku keras-keras dengan kedua tangannya. Aku terjatuh di lantai, dan untungnya kamar mandiku cukup ada ruang kosong. Dia menarik rambutku, memasukkan jarinya ke mulutku dan menarik rahangku ke bawah. Lalu dia segera kencing. Air kencingnya diarahkan ke wajah dan mulutku. Air kencingnya yang berwarna kekuningan membasahi seluruh tubuh dan kausku. Rasanya pahit dan baunya tajam. Tanpa basa-basi sesaat sebelum dia akan selesai kencing dia menyogok kontolnya masuk ke dalam mulutku. Aku tersedak oleh air kencingnya yang memenuhi mulutku dan terpaksa kutelan. Saat itu juga aku mau muntah. Tapi sebelum aku bisa memberontak Teja segera mengentoti mulutku, menyodokkan kontolnya yang sudah ngaceng. Kontolnya sekitar 17 cm, dan batangnya cukup tebal, memenuhi semua bagian mulutku.

Sembari mengentoti mulutku dia melepas jaket dan kausnya, memperlihatkan kulitnya yang sepenuhnya cokelat tua, putingnya yang nyaris hitam, dan perutnya yang agak buncit karena usia. Seakan puas mengentoti mulutku, dia berhenti dan menarik lepas kausku. Lalu aku ditariknya berdiri. Teja membungkuk dan menciumi putingku dengan kasar, kumisnya membuatku geli. Kemudian dia melepas putingku, mengangkat lengan kanannya, menarik kepalaku ke ketiaknya. “Jilat.”

Bau apek dan kecut menusuk hidungku. Aku tersedak mau muntah, tapi Teja makin menekan-nekan wajahku ke ketiaknya. “Jilat cepetan.” Dengan ragu-ragu aku menjulurkan lidahku ke ujung helai-helai bulu ketiaknya yang lebat. Tanpa menunggu aku siap, Teja menekan kepalaku lagi, menggencet lidah dan bibirku ke ketiaknya. Eneg dengan rasa ketiaknya, aku lebih menggunakan bibirku untuk melumat ketiaknya, baunya tetap menusuk hidungku. Dia mulai ngocok, sambil mendesah-desah. “Cina emang enak,” erangnya.

Beberapa menit kemudian Teja menyemburkan spermanya ke lantai kamar mandiku. Tapi dia tidak berhenti. Dia menyuruhku untuk berbaring di lantai, kedua kakiku ditariknya mengangkang, dan dia menyuruhku untuk memainkan lubangku dengan jari sambil ngocok. Teja hanya berdiri memandangiku, kaki kirinya menelusuri tubuhku. Lalu Teja jongkok di sekitar kepalaku. Aku langsung ketakutan, takut bisa-bisa dia berniat buang air di wajahku. Tapi untungnya tidak. Teja menempelkan pangkal kontolnya ke mulutku dan dia bergerak maju mundur. Pelernya yang berbulu menutupi hidungku dan kontolnya yang masih lemas tepat di depan mataku. Bau selangkangan dan kontol membuatku mabuk. Teja terus menggesek-gesekkan pangkal kontolnya dengan mulutku. Tak lama kemudian kontolnya mulai mengeras dikocoknya sendiri sambil mendesah.

Karena bau yang membuatku jijik, seberapa lama pun aku mengocok kontolku, aku susah untuk nafsu lagi. Teja, di lain pihak, sepertinya tidak peduli dan menikmati semua ini. Tak lama kemudian kontol Teja sudah sepenuhnya keras lagi, dan Teja meludah beberapa kali di telapak tangannya. Dia mengusapkan air liurnya pada kontolnya, bersujud di antara kedua pahaku, dan mengarahkan kontolnya di lubangku. Kontolnya yang tebal dipaksa masuk ke dalam lubangku yang belum siap. Aku pun mengerang kesakitan. Teja bergerak cepat mengentoti lubangku, ujung kontolnya terasa menyodok prostatku, pelernya menampar-nampar bokongku. “Ahh! Enak gila! Ngentotin Cina! Ahh!”

Aku hanya terus mengerang-erang karena kesakitan. Untungnya aku tahu kamar sebelah kamar apartemenku masih belum dihuni. Gerakan menyodok Teja penuh dengan tenaga, badanku terus terguncang maju mundur.

Tak lama kemudian dia mencapai klimaks, beberapa denyutan kontolnya dapat kurasakan. Tapi tidak semuanya dia keluarkan di dalam lubangku—dia kembali jongkok di sekar wajahku dan menyodokkan kontolnya masuk ke dalam mulutku, dan menyemburkan sisa spermanya di dalam sambil tangan kanannya menahan kepalaku untuk tidak bergerak. Bau kontolnya dari dalam lubangku, apek selangkangannya, dan rasa peju membuatku makin mabuk ingin muntah. Aku sama sekali belum keluar, terbaring di lantai kamar mandi yang dingin dan kontolku makin lemas. Tapi Teja tidak terlihat peduli. Dia bergegas mencuci kontolnya di wastafel dan mengenakan baju. “Gue turun sendiri aja,” katanya singkat dan dengan segera keluar dari kamar apartemenku. Cukup lama aku terbaring di sana, masih kaget dengan semua itu. Aku baru mulai coli sekitar lima belas menit kemudian, tangan kananku mengocok dan tangan kiriku memainkan lubangku yang masih basah dialiri peju Teja.

Begitulah kejadiannya kemarin malam, sehari sebelum hari ulang tahunku. Mengingatnya membuatku merasa kotor, merasa tidak layak lagi untuk Budi. Aku menyesal sudah melakukannya dengan tukang ojek itu. Tidak seperti fantasiku, kenyataannya aku membenci baunya dan semua itu hanya membuatku merasa jorok dan sedikit trauma. Mengingat semua ini aku hanya bisa melepas nafas dalam-dalam.

Tak disangka, di tengah-tengah kegalauanku itu, tiba-tiba aku menerima pesan di ponselku. “Apa kabar Wendy?” dari Budi. Aku tersentak kaget, mulutku menganga, mataku membelalak, dan kemudian bibirku tertarik ke atas—tersenyum.

Rabu, 16 April 2014

Aku, Pamanku, dan Temannya

Namaku Wendy. Umurku 22 tahun saat pengalaman ini terjadi dan sudah setahun aku meninggalkan kota kelahiranku, Surabaya, untuk bekerja di Jakarta. Saat itu bulan Desember. Aku baru saja rawat inap karena terkena tifus, dan aku mengambil ijin dari kantor untuk beristirahat selama seminggu sekaligus merayakan Natal dan tahun baru.

Setelah 'beristirahat' dua hari di rumah di Surabaya, dan karena beberapa saat terkurung di rumah sakit, aku akhirnya merasa bosan. Siang itu pun aku cuma di kamar saja, tiduran sambil mendengarkan musik. Adikku sedang di Bali dengan teman-temannya, jadi di rumah hanya tinggal aku, orang tuaku, dan seorang pembantu.

Selagi aku sedang mendengarkan musik, berpikir untuk kontak teman-teman kuliah dulu untuk reuni dan sebagainya, ada suara ketukan dari pintu kamarku. “ Wendy,” serunya. Saat itu aku ngga tahu siapa itu, karena suaranya kurang familiar.

Waktu kubuka pintu, kulihat seorang pria yang lumayan tinggi, berkulit coklat, berambut cepak, dan mengenakan kaus polo dan celana jeans. Itu pamanku rupanya. Sudah lumayan lama, 4 atau 5 tahun ngga ketemu. Sejak aku kecil pamanku tinggal di Jakarta, dan memang kemarin ayah memang bilang kalau paman sedang ada di Surabaya—ada urusan gitu lah. Cuma karena memang kurang akrab jadi ngga kepikiran untuk ketemu. Pamanku berusia kurang lebih 35 tahun, jauh lebih muda daripada ayahku karena ayahku anak pertama dan dia anak terakhir dari 5 bersaudara.

Yang kudengar dari rumor-rumor keluarga sih pamanku beberapa tahun yang lalu cerai dengan istrinya. Sebabnya karena pamanku ketahuan selingkuh. Karena itu pula makin negatif pandanganku tentang dia. Anehnya waktu itu juga, dia di depan kamarku, kita bertatap muka, dan saat dia tersenyum, semua pikiran negatif itu seakan ngga pernah ada. Aku pun membalas tersenyum.

“Oh Budi, udah lama ngga ketemu ya,” sapaku sok akrab.

“Masih sama aja dari kecil ngga sopan manggilnya!” katanya dengan nada bergurau. Di keluargaku sebenarnya ada budaya memanggil yang lebih tua dengan sebutan khusus, cuma aku aja yang dari kecil bandel. “Gimana kabar kamu? Udah sehat?”

Selanjutnya kita ngobrol sedikit di tempat yang sama, di sekitar pintu kamarku— aku terlupa untuk mengundangnya masuk atau apapun. Sampai akhirnya aku ingat, dan kutawarkannya untuk masuk. Ya kamarku saat itu cukup rapi sih, secara sudah lama ngga ditinggali.

Pamanku menolak untuk masuk, katanya cuma mampir sebentar sebelum ketemu orang. “Kamu kalau bosan main ke hotel aja. Kita makan-makan, renang—udah ngga apa-apa kan renang?”

Aku dari kecil memang ngga bisa renang sih, jadi bukan karena masih baru sembuh atau apa. Tapi aku menyanggupi ajakannya, “Ya udah nanti aku ke sana deh. Hotel mana?”

“Di Hilton. Jauh ya dari sini. Gampang nanti Budi jemput kalau udah selesai— Budi ada sewa mobil.”

Setelah pamanku pulang aku berpikir bahwa rupanya pamanku baik juga orangnya—bodo amat dia cerai karena selingkuh, toh soal itu ngga ada hubungannya sama aku. Setelah aku bilang ke orang tua kalau malam nanti mau ke tempat paman, aku pun kembali ke kamar, lanjut mendengarkan musik, dan tertidur. Barulah sekitar pukul 6 sore pamanku datang kembali menjemputku.

Rupanya orang yang ditemui pamanku adalah teman bisnisnya. Namanya Rustam, umurnya mungkin sekitar 40, agak pendek—lebih pendek dariku, dan badannya agak gemuk. Sewaktu di mobil mereka terlihat cukup akrab walau baru kenal, karena sama-sama hobi nonton sepak bola. Mereka berencana untuk menonton sepak bola bareng malam nanti, di TV, entah pertandingan antara apa dengan apa. Aku kurang minat dengan sepak bola, jadi asal dengar saja di jalan.

Sesampainya di hotel—hotel yang aku lumayan suka, karena bentuknya pondok- pondok berasa asri daripada kamar hotel umumnya yang di gedung tinggi lantai sekian—sesampainya di hotel, karena sudah cukup malam, teman pamanku ijin mandi di sana.

Sewaktu mandi dia tidak menutup rapat pintunya. Aku dan pamanku pun tidak iseng mengintip pastinya. Hanya saja beberapa lama kemudian terdengar shower yang dimatikan, dan, “Wendy, tolong ambilin sikat gigi dari tas saya,” serunya dari dalam kamar mandi. Aku pun mengambilnya dan sambil memalingkan muka dari arah kamar mandi, aku mengulurkan tangan. Kaget juga waktu Rustam tiba-tiba membuka pintunya lebar-lebar untuk menerima sikat giginya. Dia masih telanjang bulat, sedang mengusap-usap tubuhnya dengan handuk. Kulitnya agak coklat, perutnya buncit, dan kontolnya yang masih lemas terlihat kecil. Bulu-bulu lebat di sekitar lengan, ketiak, paha, kontol, sampai perut bawahnya.

Aku agak gugup dan setelah memberikan sikat giginya aku berlagak biasa saja dan kembali ke ranjang untuk nonton TV. Bagi sesama lelaki sepertinya memang hal biasa. Tapi aku kan beda. Selagi aku berpikir gugup, pamanku tertawa.

“Wendy baru pertama kali lihat cowok lain telanjang?” tanyanya sambil nyengir. Pamanku baru saja melepas kausnya, dan hanya meninggalkan celana jeansnya—sepertinya dia juga mau mandi. Tubuh pamanku lumayan seksi, kulitnya coklat tua dan otot-ototnya lumayan terbentuk. Di dadanya tampak ada sedikit bulu. Sebenarnya waktu masih kecil juga pernah lihat dia cuma mengenakan celana dalam, sewaktu dia menginap di kamarku. Tapi namanya waktu itu masih kecil, ngga merhatiin juga.

Rustam pun terdengar ikut tertawa dari balik pintu kamar mandi. Aku makin bingung mau jawab apa. Akhirnya aku jawab, “pernah lah!”

“O ya?” balas pamanku sambil sekarang mulai melepaskan celananya. Dia berdiri dengan hanya celana dalam berwarna biru dan mulai berlagak binaraga di depanku. “Nih, keren kan.”

Aku cuma bisa jawab, “iya deh.” Aku terus melihat pamanku berpose ini dan itu, lupa sesekitar. Susah melepas pandanganku dari tubuh pamanku yang seksi, apalagi ditambah pose-posenya. Tapi pamanku hanya tertawa-tertawa saja. Rustam yang sudah keluar dari kamar mandi hanya menepuk-tangani pamanku, sampai akhirnya pamanku berhenti berpose. Pamanku lalu bilang, “Makanya kamu fitness. Sini Wendy, coba pegang dada Budi.”

“Ngga ah,” balasku. Tapi dia menarik tanganku dan membawanya ke dadanya yang tebal berotot. Pamanku memang hanya sedang pamer. Dia bahkan ngga ngaceng—tapi aku sudah mulai ngaceng, apalagi pas pegang dadanya. Tangan pamanku membawa tanganku turun ke perutnya yang kencang. Badanku makin panas, aku makin gugup, dan makin ngaceng. Aku pun nekad, sudah tidak memikirkan bahwa dia pamanku dan ada temannya di sini. Aku nekad menurunkan tanganku dan menyentuh kontol pamanku.

Rustam tertawa melihatku. Sepertinya dia berpikir bahwa ini hal biasa, aku yang masih masa-masa penasaran dan belum berpengalaman. Dia mendekatiku dan katanya, “sini pegang punya saya juga. Sekarang masih kecil tapi kalau udah berdiri gede.”

Aku makin nafsu, dan dengan gugup, tangan kiriku masih memegang kontol pamanku, tangan kananku menggapai kontol Rustam. Kedua tanganku tidak bergerak, hanya menggenggam kontol-kontol kedua pria ini. Tak lama kemudian, dalam sunyi, kedua kontol mereka ikut ngaceng.

“Waduh, kalau dipengangi terus, meski cowo yang pegang, juga tetap keras jadinya,” kata pamanku. “Gimana kalau kita onani sama-sama?”

“Lu udah lama ngga dapet ya Bud? Gue sama istri sih masih sering. Tapi boleh juga nih onani bareng. Wendy yuk sama-sama, ngga usah malu-malu. Ngga ada yang perlu disembunyiin juga, sama-sama cowo. Kocokin saya juga boleh, nanti saya traktir makan—ngga apa kan Bud?” kata Rustam, sedikit tertawa.

Pamanku hanya tersenyum mengangguk. Jantungku berdebar kencang mendengar ini semua, mengalami ini semua. Aku ngga peduli dengan traktirannya—aku bisa beli makan sendiri, pikirku. Hanya saja ini semua masih susah aku percayai benar-benar terjadi. Aku dan dua pria dewasa, satunya pamanku sendiri, akan ngocok bareng.

Kulepaskan genggaman tanganku dari kedua kontol mereka yang sudah keras. Rupanya benar kata Rustam, kontolnya sewaktu ngaceng cukup panjang dan gemuk—18 cm kira-kira. Sedangkan kontol pamanku hanya sekitar 15 cm— panjangnya persis sama dengan kontolku waktu ngaceng, bahkan bentuknya juga mirip, hanya lebih gemuk punyaku. Kontol Rustam disunat sedangkan kontol pamanku tidak, sama dengan kontolku.

Aku membuka ritsleting celanaku dan kutarik kontolku keluar dari balik celana dalam. Saat itu aku sudah ngaceng keras 100%. Aku mulai mengocok kontolku sendiri sambil melihat pamanku dan Rustam ikut duduk di sebelah kanan dan kiriku di ranjang dan mulai mengocok kontol masing-masing.

Di TV sedang ada acara balap mobil, dan pandangan pamanku dan Rustam sama-sama tertuju ke sana—tapi aku rasa mereka tidak benar-benar menontonnya. Aku melihat ke kiri dan ke kanan ke arah kontol keduanya. Mukaku panas. Aku sudah sangat nafsu dan mulai merasa hilang akal. Sedikit air liurku keluar dari ujung bibirku menetesi kausku. Aku menurunkan badanku perlahan, tanpa sadar, ke ujung ranjang yang berlawanan, kepalaku mendekati kontol keduanya, mataku terutama tertuju pada kontol Rustam yang besar.

Pamanku sepertinya khawatir. “Wendy mau apa?”

Aku tidak menjawabnya, dan mataku tetap tertuju kontol Rustam. Wajahku sudah tepat di hadapan kontolnya. “Mau coba?” tanya Rustam. Mendengarnya, aku langsung menempelkan wajahku ke kontolnya. Kuhirup dalam-dalam aroma kontolnya dan kujilat ujungnya.

“Astaga!” teriak pamanku. “Gila kamu Wen! Pak Rustam!”

“Diem Bud. Lu biarin aja Wendy ngoral gue. Kalau ngga gue batalin kontraknya,” ucapnya dengan soknya.

Pamanku terdiam. Dia terlihat bingung apa yang harus dia lakukan. Di satu sisi dia khawatir soal aku, di sisi lain dia tahu aku yang memang mau ngisep kontol Rustam dan deal bisnisnya sepertinya juga penting baginya. Dia pun terdiam.

Rustam lalu mengulurkan tangannya, menaruhnya di kepalaku, dan menekan- menarik kepalaku dengan kontolnya yang memenuhi mulutku. Aku mulai susah menerima kontolnya dan agak tersedak. Melihatku, Rustam menarik kepalaku sampai kontolnya keluar dari mulutku. Tapi hanya sebentar saja, dan setelahnya dia langsung menekan kepalaku lagi sampai kontolnya masuk sepenuhnya di dalam mulutku. Dia lalu membiarkan wajahku terbenam di bulu-bulu kemaluannya dan perut bawahnya yang buncit. Aku tersedak tapi sekaligus menikmati wajahku yang terbenam di bulu-bulu kemaluan yang lebat itu. Selang beberapa detik dia menarik lagi kepalaku. Kontolnya sepenuhnya basah oleh air liurku. Aku masih ingin mengulumnya, tapi Rustam sepertinya punya ide lain.

“Wen, coba cicip punya paman kamu,” kata Rustam dengan nada agak memerintah.

Pamanku hanya terdiam. Sepertinya dia masih bingung dengan semua ini, melihat keponakannya menghisap kontol pria lain. Aku pun ragu untuk melakukan kata Rustam, karena bagaimanapun Budi adalah pamanku. Tapi, “ udah cepat sana,” kata Rustam.

Aku bergerak ke arah pamanku dan menatapnya. Pamanku terlihat agak sedih. Aku juga khawatir jika aku tidak melakukan seperti kata Rustam deal mereka bisa batal, jadi aku pun menuruti. Aku menundukkan kepalaku mendekati kontol pamanku yang agak lemas. Seperti tadi, aku mencium aroma kontolnya terlebih dahulu, mencium bulu kemaluannya, menjilati batang kontolnya—naik dan turun beberapa kali, menjilati kulupnya, dan akhirnya memasukkan kontolnya ke dalam mulutku, menghisapnya, memainkan lidahku di sekitar kontolnya. Tak lama kemudian kontolnya mengeras sepenuhnya, dan pamanku mulai mendesah- desah. Pamanku mungkin memang benar-benar sudah lama tidak berhubungan seks, jadi terlihat dia bahkan lebih nafsu daripada Rustam.

“Paman sama keponakan, kalian memang cocok,” kata Rustam. Dia menarik lepas celana jeans dan celana dalamku. Dipegangnya bokongku dengan kedua tangannya. Aku sebenarnya malu soal bokongku, karena bulu-bulu yang tumbuh lebat di sekitar lubangku. Aku sendiri agak jijik soal itu. Tapi rupanya Rustam tidak masalah soal itu. “Pantat kamu kayak pantat cewe, Wen.” Rustam lalu membenamkan wajahnya di sela bokongku dan lidahnya menjilati lubangku. Rustam menjilat rakus bokongku, dari pangkal kontolku sampai ke lubangku. Lalu dia memasukkan lidahnya ke dalam lubangku. Aku merasakan sensasi yang sangat nikmat pertama kalinya. Aku memang kadang ngocok sambil lubang sendiri kumasuki dildo, tapi belum pernah ada yang menjilati lubangku.

Setelah beberapa lama aku menghisap kontol pamanku sendiri dan Rustam menjilati lubang pantatku, kita terhenti. Rustam menarik aku lepas dari kontol pamanku. Dia menarik kedua kaki pamanku lebar-lebar ke samping kanan-kiri, dan kepalanya mendekati lubang pamanku. Bokong pamanku mirip dengan bokongku, berbulu di sekitar lubangnya, cuma kulitnya lebih coklat dan bokongnya lebih kencang berotot. Kedua paha pamanku terbuka lebar dan Rustam mulai menjilati lubangnya.

Aku menatap pamanku yang makin kencang mendesah. Aku melihat bibirnya yang tebal, matanya yang tertutup, dan kuciumnya. Aku sepertinya jatuh hati dengan pamanku sendiri, dan sepertinya sudah sejak awal bertemu tadi siang. Sosoknya yang sekarang, telanjang bulat, seluruh ototnya menegang, kontolnya berdiri tegak lurus, dan pahanya yang terbuka lebar membuatku makin nafsu. Pamanku awalnya terdiam mendapat ciumanku, tapi tak lama kemudian membalas ciumanku dengan pelan. Dan kita menikmati berciuman.

Rustam berhenti menjilati lubang pamanku dan sebagai gantinya memasukkan jarinya. Pamanku sedikit mengerang kesakitan, hanya kontolnya tetap sepenuhnya ngaceng. Rustam perlahan-lahan menambahkan jarinya yang masuk ke dalam lubang pamanku. Melihatnya aku makin nafsu. Jujur saja saat itu aku tidak sabar melihat Rustam memasukkan kontolnya yang besar ke lubang pamanku. Aku lanjut dengan mengocok kontolku sendiri dan melumat puting pamanku yang sudah keras dan berwarna coklat tua. Pamanku mendesah makin keras, sepertinya antara sakit dan nikmat.

“Wen, coba masukin kontol kamu ke sini,” perintah Rustam. “Pasti enak, nih lobang masih sempit.”

Aku bingung mendengarnya. Aku pikir Rustam sendiri yang akan melakukan hal itu. Mungkin dia hanya ingin menonton seorang keponakan mengentoti pamannya sendiri, pikirku saat itu. Orang ini agak aneh, lanjutku berpikir. Tapi aku terus terang ingin juga melakukannya sendiri. Daripada orang lain mengentoti pamanku, lebih baik aku sendiri yang mengentoti.

Rustam mengambil conditioner dari dalam kamar mandi dan mengoleskannya ke kontolku dan lubang pamanku.

“Budi, ngga apa?” tanyaku pelan, bergerak menggantikan Rustam di belakang selangkangan pamanku.

“Udah ngga apa. Kalau ngga nurut tau kan akibatnya,” seru Rustam. Pamanku hanya mengangguk, menutupi matanya dengan lengannya. Aku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan pamanku. Malu, mungkin.

Aku tidak berpikir lebih panjang lagi dan segera memasukkan seluruh kontolku ke lubang pamanku. Pamanku mengerang keras kesakitan. Ini pertama kalinya bagiku, jadi aku kagok dan terkaget mendengarnya. Aku berhenti bergerak. Pamanku mengangguk lagi. Aku mengangkat kedua paha pamanku dan mulai bergerak maju-mundur. Aku merasakan nikmat yang teramat sangat, kontolku di dalam lubang pamanku yang hangat. Gerakanku makin cepat, dan tak lama kemudian aku sudah merasakan akan keluar.

“Udah mau nih!” seruku. Aku mengentot makin keras dan desahanku dan desahan pamanku makin menjadi-jadi. Rustam berbaring di sebelah pamanku sambil santai menonton. “Udah mau keluar nih!” seruku lagi.

“Keluarin aja,” kata Rustam.

“Ah! Ah! Ah! Gila enak! Ahhhh!” Sambil tetap mengentoti pamanku, spermaku menyembur ke bagian terdalam lubangnya berkali-kali. Pamanku pun ikut mencapai klimaks. Sambil hanya memegang kontolnya, tanpa dikocok, pejunya muncrat ke mana-mana membasahi seluruh tubuhnya sampai ke muka.

Rustam menarikku menjauh dari pamanku, kontolku keluar dari lubangnya. Dia bergegas memasukkan kontolnya ke dalam lubang pamanku yang masih penuh dengan spermaku. Dia tidak menunggu pamanku untuk siap dan, kedua tangannya menahan kedua paha pamanku lebar-lebar, dia dengan cepat langsung maju-mundur mengentoti pamanku yang hanya terbaring lemas.

Sekitar lima belas menit telah berlangsung dan Rustam masih terus dengan kencang mengentoti pamanku. Pamanku pun sudah ngaceng lagi. Aku hanya di sana menghisap puting pamanku lagi, menikmati tubuhnya dan beberapa tetes peju pamanku yang ada di sekitar putingnya. Tak lama kemudian pamanku pun keluar untuk kedua kalinya, pejunya muncrat ke mana-mana lagi. Dan akhirnya Rustam melepaskan kontolnya dari dalam lubang pamanku dan dengan cepat mengocok kontolnya, mengeluarkan semua pejunya di wajah dan mulut pamanku.

Seusainya aku hanya terbaring diam di sebelah pamanku, masih belum percaya semua ini terjadi. Pamanku juga terdiam, lengannya masih menutupi kedua matanya. Rustam segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa saat kemudian dia keluar, masih telanjang bulat. Sambil mengelap tubuhnya dengan handuk, dia mengambil ponselnya seperti mengecek sesuatu. “Sampai ketemu bulan depan di Jakarta. Saya balik dulu, dicari istri. Sukses ya!” kata Rustam, seakan tidak terjadi apa-apa.

Pamanku masih terdiam. Aku bangun dari ranjang dan membantu Rustam berberes dan mempersilahkannya pulang. Setelah dia pergi aku menutup pintu kamar hotel. Aku mengambil handuk dan kembali ke ranjang, mengelap tubuh pamanku. Dan selagi aku masih mengelap, aku merasakan desakan dari tubuh pamanku.

Aku melihat ke arah wajah pamanku dan kulihat pamanku menahan tangis. Aku sudah bersalah pada pamanku, membuatnya malu sampai sejauh ini. Tapi aku tidak dapat menahan rasa sayangku pada pamanku yang makin besar. Seusai mengelap tubuhnya, meski masih agak lengket-lengket, aku berbaring di sebelahnya dan menariknya ke dekapanku sambil kuelus kepalanya. Pamanku tetap menahan diri untuk tidak menangis. Aku hanya mencium dahinya dan berkata, “aku sayang Budi. Aku udah ada rasa dari tadi siang. Budi jangan nolak ya.”

Selasa, 15 April 2014

Polisi dan Minimarket

Butuh berapa banyak waktu untuk manusia bisa menyadari bahwa hidup itu terlalu berharga untuk disia-siakan. Mungkin hanya takdir bisa menjawabnya dengan lantang namun kita juga masih bisa menentukan nasib seperti apa yang akan kita ingin wujudkan dimasa depan. Seperti saat ini, aku berusaha untuk tidak menyia-nyiakan hidupku. Aku tidak tahu harus memulai cerita ini dari mana agar apa yang aku rasakan bisa diterima kalian. Tetapi mungkin aku akan memulainya dari awal kembali…

Namaku Bayu Antoni. Aku adalah anak semaata wayang dari ayah dan ibuku. Aku memang bukan orang kaya. Ayahku hanya seorang pegawai pabrik minyak goreng, sedangkan ibuku adalah salah satu staf tata usaha di SD dekat rumahku.

Walaupun aku sudah merasa dimanjakan oleh orang tuaku, tetapi aku berfikir untuk apa aku bangga dengan apa yang aku dapat dari ayah dan ibuku. Itukan bukan sepenuhnya hasil keringatku. Apa hebatnya sih, seorang anak yang menadahkan tangan kepada orang tuanya setiap ingin membeli sesuatu?

Tidak ada bukan? Bahkan untuk membeli pulsa pun aku harus meminta dengan ibuku. Menyedihkan kamu Bay!!!! Maka dari itu setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk mencari kerja terlebih dahulu dan menunda kuliahku selama satu tahun. Tuhan punya rencana dan kita hanya bisa bersyukur untuk apa yang telah Tuhan berikan pada kita. Baik ataupun buruk semua itu pasti tidak akan bernilai sia-sia jika kita cukup bijak untuk menyikapinya.

Setelah memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan dan beberapa tempat yang sedang membuka lowongan pekerjaan, akhirnya aku diterima sebagai salah satu karyawan di Minimarket. Gajihnya sih, kecil yaitu Rp. 700.000,- / bulan. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk keperluan bensin dan jajanku selama sebulan.

Ayah dan ibuku mendukung itu dan tentu saja tidak semua uangku aku habiskan. Sebagian aku tabung untuk nambah-nambah biaya kuliahku tahun depan. Mungkin bagi teman-teman yang sudah baca ceritaku sebelumnya, pasti sudah kenal ciri-ciri tubuhku. Aku adalah seorang cowok manis dan menjadi idaman para cewek-cewek sewaktu SMA.

Tinggiku 160 cm dan beratku ideal. Tubuhku mulai terbentuk berkat latihan kerasku untuk membentuk sedikit otot di bagian-bagian tertentu yang menurutku bisa menunjang penampilanku. Bibir tipisku agak merah dan kulitku kuning langsat. Menurut orang-orang sih aku ini cakep, bahkan kalau aku tidak ganteng kayak gini mana mungkin pacar-pacar Polisiku mau ama aku. Ya kan? Hahahahah… Pede banget ya aku ini?

Hubunganku dengan bang Wando tidak ada masalah, namun dia sekarang sudah memiliki anak dan itu menjadi sedikit penghalang jika kami ingin melepas rindu dengan tidur malam berdua.

Bang Wando tidak sebebas dulu lagi. Kak Satria juga masih sering menelpon aku dan kalau dia tidak capek dia juga menemuiku dan menumpahkan semua pejuhnya didalam ususku.. Hahaha… Briptu Musa Hidayat juga kadang-kadang minta jatah padaku. Bahkan kadang aku bisa full service selama seminggu untuk para polisi-polisi selingkuhanku. Sebut saja Iptu Panji Arifin, Ipda Mahmud Septianto, Briptu Setya Anugrah, Briptu Januar Andhika, Briptu Agung Rifky Fitriandi dan Briptu Adit Gunawan mereka pernah meminta jatah yang hampir berdekatan waktunya.

Seperti beberapa bulan lalu, Briptu Dhika memintaku bercinta dirumahnya lewat sms padahal saat itu aku sedang asik-asiknya di genjot gaya ayam panggang oleh Ipda Mahmud. Kontan saja, kontol pak Mahmud didiamkan di dalam anusku sementara aku mematikan hape-ku yang berbunyi di tengah-tengah acara persenggamaan panas kami.

Untunglah saat pak Mahmud memuntahkan pejuh kentalnya, kontol gedenya sempat diarahkan kedalam mulutku sehingga selepas dari rumah pak Mahmud aku langsung menuju rumah Briptu Dhika dan disana aku di entot habis-habisan sampai setengah malam. Walaupun rasanya sangat letih tetapi aku bangga karena sungguh langka bagi cowok “sakit” seperti kaumku ini bisa menikmati kontol-kontol besar milik para Polisi gagah nan perkasa, bahkan bisa setiap hari, dan tentunya dengan polisi yang berbeda-beda gaya bercinta favoritnya. Namun tanpa aku duga seorang Polisi muda lagi-lagi bisa aku nikmati kontol perkasanya. Kejadian ini berawal dari ketidak sengajaanku melayani tamu di minimarket tempatku bekerja. *** Aku ingat betul kejadian pertama aku bertemu dengannya. Tepat pukul 4.30 Sore itu, suasana minimarket tampak seperti hari-hari biasanya dengan adanya para pembeli dan para karyawan. Aku yang saat itu sedang mengatur barang-barang untuk ditaruh di rak tiba-tiba dikejutkan oleh sesosok pria gagah yang berdiri di belakangku.

“Permisi mas. Maaf mengganggu, susu L-xxx (menyebutkan nama produk susu berprotein tinggi khusus pria dewasa beserta berat bersih susu tersebut) habis ya?”, tanya pria macho yang memang kelihatannya berotot kencang itu. Aku menoleh dan menghentikan kesibukanku beberapa saat. “Bapak sudah cek di sebelah sana, di bagian produk susu?”. “Saya sudah mengeceknya tadi tetapi kayaknya memang tidak ada susu yang saya cari”. Wajah tampan pria berbaju coklat khas anggota kepolisian itu tampak begitu meneduhkan pandanganku. Sungguh jika aku tidak sedang berada di tempat umum seperti ini, ingin sekali rasanya aku mengelus mesra rahangnya yang gagah itu. “Tunggu ya Pak saya tanya dulu dengan teman saya. Bapak tidak keberatan bukan kalau saya minta untuk menunggu sebentar?”. “Oh, iya silahkan”. Aku pun permisi untuk beberapa saat dan tak lama kemudian aku kembali mendatanginya.

“Kayaknya kami kehabisan stok pak dan stok kami baru datang besok pagi. Maaf ya pak atas ketidak nyamanannya”. Sebenarnya aku tidak ingin memanggilnya bapak karena aku lihat wajahnya masih terlalu muda untuk aku panggil dengan sebutan bapak hanya saja tidak etis rasanya jika aku memangggil seorang polisi sepertinya dengan sebutan selain bapak apalagi aku belum mengenalnya. “Baiklah kalau begitu. Terimakasih ya mas”. “Terimakasih kembali pak”. Pria gagah itu pun keluar minimarket. Jujur, sejak tatapan pertama tadi, aku benar-benar tidak bisa menghilangkan bayangannya dari dalam pikiranku. Entah mengapa rasanya aku pernah mengenal sosok pria gagah ber kaos biru ketat itu. Ada bagian didalam masa laluku yang seakan-akan membimbibngku untuk lebih mencari tahu siapa pelanggan yang datang padaku tadi. OMG! Aku benar-benar jadi tidak berkonsentrasi bekerja setelah itu. Semoga saja dia datang lagi ke minimarket tempatku bekerja dilain waktu.

Sepertinya doaku terkabul. Dengan pakaian khas polisi berpangkat Briptu dan name tag di dada kirinya yang bertuliskan Dedi Dwi Hartono, pria gagah yang kemarin bertanya padaku kembali datang ke minimarket di sore berikutnya. Seperti yang sudah aku janjikan kemarin kalau stok susu L-xxx yang dia cari akan tiba hari ini sehingga tanpa ragu lagi aku rasa dia pasti akan menuju rak bagian susu. Dengan perhitungan itu, aku bergegas mendahuluinya menuju rak susu untuk sekedar berusaha menarik perhatiannya.

“Permisi mas. Susu yang kemarin sudah datang?”, tanya Polisi itu ketika melihat aku sedang berada di rak dekat bagian susu. Aku menoleh kepadanya mencoba mendramatisasi keadaan agar terlihat tidak dibuat-buat aku berada didekat rak tersebut. “Sepertinya sudah tersedia pak. Silahkan bapak kesebelah situ”. Sambil menunjukkan rak susu L-xxx. “Terimakasih mas”, ucapnya sambil menuju rak yang aku maksud.

Setelah mendapatkan barang yang dia cari, dia langsung membawanya kebagian kasir dan membayarnya. Didalam hatiku, aku berharap bisa lebih mengenal Briptu Dedi di lain waktu. Mungkin kalian juga sependapat denganku jika kalian pernah melihat briptu Dedi secara langsung. Dia adalah pria yang sangat gagah dengan tinggi sekitar 180 cm dan berat yang proporsional. Kulitnya lumayan putih dengan senyuman yang agak misterius namun meneduhkan.

Semenjak pertemuan pertama kami, jujur aku tidak bisa melupakan semua tentang Briptu Dedi. Bahkan salah satu yang membuat aku penasaran adalah bagian selangkangan beliau yang terlihat agak tebal. Oleh karena itu, aku harus cari tahu sebesar apa pisang bulu yang ada di balik celana coklat ketatnya tersebut. Hari telah berganti dan banyak hal yang membuat aku tidak bisa mengabulkan keinginan kontol para Polisi ku. Aku sering pulang malam dan tentu saja itu menjadi alasan terbaikku untuk tidak mau melayani mereka. Aku terlalu letih setelah seharian bekerja.

Kita memang tidak akan pernah tahu apa rencana Tuhan di hari berikutnya. Seperti di hari itu, di hari minggu. Aku kebagian libur minggu ini. Ingin rasanya aku berkencan dengan salah satu pacarku dan melepaskan hasrat yang sudah hampir sebulan aku pendam dalam-dalam. Namun cuaca berkehendak lain, semenjak pagi langit agak muram dengan deretan awan-awan kelabu menghiasi angkasa. Bahkan matahari tidak tampak batang hidungnya siang itu. Akhirnya aku putuskan untuk tidur dan beristirahat saja di kamarku.

Jam menunjukan pukul 11.08 am. Aku medengar ada suara orang mengetuk pintu rumahku. Aku pikir ibu akan membukakan pintu, namun sepertinya ibu tidak mendengar kalau ada tamu yang datang. Dengan agak malas-malasan, aku pun keluar kamar dan membukakan rumah.

BRUAKKKKK!!!! DUGG!!! PLAK! PLAK! PLAK! Ibarat petir menyambar ubun- ubunku. Di depan pintu rumahku telah berdiri seorang wanita paruh baya dengan seorang pria gagah yang beberapa waktu terakhir aku idam-idamkan, Briptu Dedi. Mungkinkan mas Dedi ingin melamarku? Hahaha… sinting lu Bay! Mana ada yang senekat itu!!! “Maaf, ini betul rumahnya ibu Nunu?”, tanya wanita itu membuyarkan lamunanku. “Eh, iya benar bu. Ada perlu apa ya?”. “Ibu Nununya ada?”. “Ada di dapur”. “Bilang ke beliau kalau ada mama Dedi yang nyariin”. Wanita itu melempar senyum padaku. “Oh, baik bu. Silahkan bu, mas, masuk dulu. saya mau panggilkan mama saya”. Aku pun bergegas menemui mamaku di dapur. Aku mulai bingung dengan situasi ini. Mungkinkah ibu adalah teman dari mamanya mas Dedi? Kalau begitu ada kemungkinan ibu juga kenal dengan mas Dedi ganteng itu? “Bu, ada mama Dedi nyariin tuh? Tampak ibuku sedang menata piring di raknya. “Mama Dedi siapa?”. Keliahatannya mamaku masih mengingat-ingat sosok dari nama yang aku sebutkan. “Aku juga nggak tahu. Tadi katanya suruh bilang kayak gitu. Ibu temuin dia aja deh, mungkin dia teman lama ibu kali”, kataku. Dengan segera ibu menghentikan aktivitasnya dan menemui tamu didepan. Setelah ibu pergi, aku berniat membuka tudung saji dan makan siang. Baru mengambil piring, tiba-tiba ibu memanggil aku. “Bay, ke sini sebentar”. “Iya bu…”. Aku taruh kembali pringku dan langsung menuju ruang tamu. Di ruang tamu… “Kamu tahu nggak ini siapa? Pasti dia lupa, Bu Sapti. Dia kan masih kecil waktu Dedi saya jagain”, kata ibuku. “Ini Bayu yang dulu ya? Wah udah tambah ganteng ya sekarang… Masih ingat tante nggak Bay?”, tanay tante Sapti. “Maaf tante, aku tidak ingat”. “Ayo salaman dulu”, pinta ibuku. Aku pun menyalami tante Sapti dan mas Dedi lalu setelah itu aku duduk di samping mas Dedi. “Bayu ini kerja di Minimarket “x (nama minimarket)” kan?”, tanya mas Dedi membuka percakapan padaku. “Iya mas, mas yang kemarin nyari susu itu kan?”. “Wah, ternyata mereka sudah saling kenal bu”, celetuk tante Sapti sambil memandang ibuku. “Iya mah, kebetulan beberapa waktu lalu saya pernah membeli susu di minimarket tempat Bayu bekerja”, jawab mas Dedi. “Kamu pasti pernah lihat kan foto mas Dedi waktu kecil yang ada di album foto? Ya ini orangnya, Bay. Waktu kecil, dia 4 tahun ibu jagaain kalau bu Sapti dan Pak Thamrin lagi berangkat kerja. Sekarang mas Dedi sudah jadi anggota Polisi lho”. Aku hanya tersenyum… “Oh iya bu Nunu, tante Marti masih sehat?”. “Beliau sudah tua, tapi masih sehat bu”. “Kalau tidak keberatan bisa tidak ibu menemani saya menjenguk beliau. Mumpung saya di sini”, pinta bu Sapti. “Tentu bisa. Mari saya antar. Rumah beliau di gang samping menuju sekolahan. Bayu temani mas Dedi sebentar ya”. “Iya Dedi silahkan ngobrol-ngobrol sama Bayu disini. Ibu mau jenguk nenek Marti dulu”. “Baik bu…”, jawab mas Dedi. Akhirnya tinggal kami berduaan di dalam rumah. Mas Dedi orangnya dewasa dan ramah. Dalam waktu yang singkat, aku seperti telah mengenalnya cukup dekat setelah dia mengajakku berbincang-bincang. Aku baru tahu kalau ternyata dia ngekos di dekat minimarket X. Dia juga memiliki seorang adik perempuan yang sekarang sudah kelas XI SMA. Setelah 10 menit berlalu, tiba-tiba hujan turun dengat intensitas yang sedang. “Pintunya aku tutup dulu ya mas. Anginnya dingin”. Aku beranjak dari tempat duduk dan langsung mengunci pintu. “Bay, aku bisa ikut nge-charge tidak? Baterai aku lowbat ini”. “Bisa mas. Silahkan”. “Kamu aja yang mengecharge-kan. Ini chargerannya”. Dia menyerahkan hape dan chargernya padaku. Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung menuju ke dalam kamar dan mencolok chargerannya. Tetapi aku lihat hape mas Dedi belum melakukan pengisian baterai. Aku coba otak-atik tempat mencharge-nya, tetapi tetap tidak bisa. “Mas, kesini sebentar”. Mendengar aku memanggil namanya, mas Dedi beranjak dan mendatangiku. “Ada apa Bay?”. “Kok tidak bisa ngisi?”. “Mana, sini mas coba”. Mas Dedi mulai mencoba mengatur chargerannya tetapi tampaknya memang ada masalah dengan chargeran yang dibawa mas Dedi. “Waduh, kayaknya chargeran mas yang rusak. Kamu ada chargeran jepit gak Bay?”. “Punya ayah ada sih mas. Mas tunggu sebentar ya, aku ambilkan dulu”. aku meninggalkan mas Dedi sebentar didalam kamar.

Mas Dedi menungguku dengan duduk di atas kasur. Mungkin memang sudah takdir kalau mas Dedi bakalan tahu aku ini adalah gay. Dengan tanpa aku duga sebelumnya, mas Dedi menyingkap selimut tempat aku menyembunyikan notebookku yang sedang memutar video gay asia yang durasinya lebih dari satu jam setelah tanpa sengaja dia menyenggol notebooku ketika ingin duduk. Ini memang keteledoranku yang lupa mematikan notebook ketika tadi keluar kamar untuk membukakan pintu rumah.

Tentu saja aku kaget dan agak gugup ketika aku melihat mas Dedi sedang memperhatikan layar notebookku yang sedang menampilkan adegan seorang cowok Jepang kekar berkontol besar sedang mengentoti anus seorang cowok Jepang yang memiliki badan berotot juga. Di adegan itu tampak kedua pria sedang dalam hasrat birahi yang sama-sama tinggi. Gaya sodokan laki-laki yang berada dibawah terlihat sangat cepat menusuk anus pria yang sedang memunggunginya diatas. Mereka benar-benar menunjukan ekspresi yang sangat wow! Sedangkan mas Dedi hanya tampak agak bingung dan mengkerutkan dahinya. Beberapa menit kemudian, aku yang baru datang dari mengambilkan chargeran untuk mas Dedi dan langsung masuk ke dalam kamarku menjadi pucat pasi karena menyaksikan mas Dedi sedang menatap layar notebookku. “M-ma-maaf mas. I-ini char-gernya”. Dengan agak gugup aku menyerahkan chargeran jepit pada mas Dedi. Dia menatapku dengan tatapan yang menyelidik. Tanpa bicara dia mengambil chargeran di tanganku dan langsung melepas baterai hapenya dan mengechargenya. Aku langsung meraih notebookku dan mematikannya. “Kamu homo ya Bay?”, tudingnya secara langsung. Aku tidak bisa berkata-kata dan memilih untuk tetap diam. “Maaf, tadi mas tidak sengaja melihat notebook kamu. Kalau begitu mas mau permisi nyusul ibu dulu ya”. Sepertinya mas Dedi tidak suka dengan ke-gay-an ku. Wajahnya kini terlihat dingin menatapku. Namun sebelum dia meninggalkan kamarku, aku buru-buru menarik tangannya. “Mas… Jangan kasih tahu siapa-siapa ya. Please…”. Dia hanya menatapku lekat-lekat seperti ada ketidak sukaan didalam dirinya. “Aku mohon mas… Jangan kasih tahu bu Sapti atau siapa pun tentang hal ini. Aku takut kalau ibu dan ayahku tahu kalau aku adalah seorang gay”. Aku memelas. Mas Dedi masih diam menatapku. “Mas tidak akan bilang ke siapapun”. Mas Dedi melepaskan cengkramanku. Jika kalian pernah lihat muka pocong, maka wajahku saat itu mungkin sepucat setan itu. Ibarat catur, aku sudah skakmat!!! Aku tertunduk seperti seorang anak yang ketakutan. Mas Dedi yang awalnya hendak keluar kamar tiba-tiba mengurungkan niatnya dan berbalik menghampiriku. Namun, yang membuat aku hampir mati kaget, entah setan dari mana tiba-tiba dia merunduk dan langsung mencium bibirku. Sungguh ini rasanya seperti bara api yang tiba-tiba di celupkan ke dalam air, sangat mengagetkanku.

Mas Dedi menciumi bibirku dengan lembut dan seolah-olah ingin melepaskan beban di dalam diriku. Aku yang masih terkaget-kaget berusaha membuka sedikit mulutku untuk memberi jalan lidah mas Dedi menyapu bibirku yang merah. Antara tipuan atau kenyataan, aku berusaha sadar dan melepaskan ciumannya. “Mas??? Kenap…” Belum sempat bibir ini melanjutkan kata-kataku, mas Dedi langsung kembali mengecup bibirku dan melumatnya dia seolah-olah tahu pertanyaan apa yang akan keluar dari dalam mulutku dan berusaha memberikan jawabannya lewat sebuah ciuman. Lidahnya terasa hangat menyentuh lidahku. Aku imbangi sesaat dan sesekali aku juga mencoba membalasnya dengan beradu lidah di rongga mulutku. Tak terasa tanganku sudah semakin berani bergerak kedepan dan meraba tonjolan besar yang tersembunyi dibalik celana kain berwarna hitamnya. Wow!! Terasa sangat hangat dan keras sekali isi di dalam celana itu. Aku coba meraba bentuknya yang lonjong dan besar seperti gerakan mengocok kartu. Hanya saja ini gerakan mengocok kartu dengan satu tangan. Mas Dedi melepas ciumannya. “AHHHH… AAAHHHH… SHHHIITTTT…. OOOHHHH…. OOOHHHHH….” “MAS SUKA??”. “SUKA BAY. KAMU JAGO BANGET BIKIN KONTOL MAS NGACENG. BARU KALI INI MAS BERANI BERBUAT SEPERTI INI SAMA COWOK. AHHHHH… AAAHHHHH… ENAKHHHHH… BAYYYY… OOOOOOOHHHHHHHHHHH”. “KALAU MAS SUKA, AKU BISA KOK BIKIN MAS LEBIH KEENAKAN LAGI”. “GIMANA CARANYA BAYYY… AUHHHH… GELI BAY…. AAAAHHHHH”. “MAS PERNAH DI ISEP NGGAK?”. “PERNAH BAY, SAMA PACARKU. TAPI UDAH LAMA NGGAK PERNAH LAGI. KAMU MAU NGISEP PUNYA MAS?”. “JANGANKAN NGISEP PUNYA MAS. NUNGGANGI LANGSUNG JUGA AKU MAU. JUJUR, AKU UDAH JATUH HATI DENGAN MAS DEDI SEJAK PERTAMA AKU MELIHAT MAS”. “AAAHHHH…. KAMU NANTANG YA??? AYO SINI ISEP PUNYAKU. KALAU NGGAK BISA BIKIN MAS PUAS, KAMU BAKALAN MAS LAPORIN KE ORANG TUA KAMU”. Ancam mas Dedi. “JANGAN MAS… IYA DEH SINI AKU ISEPIN. POKOKNYA AKU JANJI BAKALAN BIKIN MAS DEDI PUAS. TAPI PINTUNYA DIKUNCI DULU MAS, BIAR KITA BISA BEBAS”. Aku pun bergegas mengunci pintu dan langsung menerkam tubuh mas Dedi yang berotot hingga ambruk ketempat tidur. Kontol kami terasa saling bergesekan dalam keadaan tegang dan masih didalam celana masing-masing. aku maju mundurkan pinggulku dan dengan nakalnya aku langsung mencomot bibir mas Dedi yang sensual. Kami pun terlibat ciuman yang sangat dahsyat.

Tidak terasa, kami berdua sudah dalam keadaan bugil. Aku yang putih mulus, sudah tak bisa berlama-lama lagi menahan gejolak birahi dan langsung ambil posisi telentang sambil ngangkang di atas tempat tidurku seolah-olah mengisyaratkan bahwa aku siap di entot oleh mas Dedi yang gagah. “Kamu udah pengen di entot ya Bay?”. “IYA… MASHHHH…. CEPETAN… BAYU UDAH NGGAK TAHAN NIH….”. “BENTAR YA SAYANG…”. Mas Dedi langsung mengambil posisi berdiri di depanku terlebih dahulu lalu berlutut didepan selangkanganku. Dia sepertinya tertarik untuk mencicipi puting susuku. Dia menundukan badan, kemudian dia kenyot kedua putingku secara bergantian sambil sesekali kontolnya dia rojokkan kebelahan pantatku.

Kalau aku tahu mas Dedi seperti ini dari awal, sudah sejak hari itu aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Aku tidak menyangka ternyata dia juga sama seperti aku. Rezeki memang tak kan lari kemana!!! Hahahaha… Kini bibirnya naik keleherku untuk menjilati bagian itu kemudian dia mulai menuju bibirku dan kami pun kembali berciuman seganas-ganasnya. Sambil berciuman, aku memeluk punggung kokoh milik Polisi gagah itu. Aku raba-raba punggung mas Dedi yang kekar.

Mas Dedi juga tidak tinggal diam, dia seolah-olah mengentoti anusku walaupun hanya kepala kontolnya yang dia rojok-rojokan ke area sekitar lubangku. Gerakan pinggulnya turun naik mencoba memberikan sensasi yang sangat nikmat untukku. Membuat aku semakin kencang memeluk punggungnya. Sesekali aku juga meremas pantat gempal milik mas Dedi. Dia mengangkat pinggulnya dan melepas ciumanku. Dia beranjak dan langsung mengangkangi wajahku. Aku tahu maksudnya. Dia pasti ingin aku mengisap kontolnya yang besar dan gemuk itu. Tanpa basa-basi lagi, aku pun langsung mengulum kontolnya dengan kuluman terbaikku. “AHHHHH… AHHHHHH… YEEEAAAHHHH… AHHHHH… AAARGGGHHHHH… OOOOHHH…OHHHH….”, erangnya. Aku maju mundurkan kepalaku mengisap kontol gede polisi itu. Dia juga sesekali merojokkan kontolnya sedalam mungkin di dalam mulutku hingga aku tersedak. Tetapi jujur, aku suka bentuk kontol mas Dedi yang agak hitam, berurat dan sangat gede itu. Beberapa menit berlalu, mas Dedi sepertinya ingin kembali menciumku karena tiba-tiba dia menarik kontolnya dari dalam mulutku dan merunduk untuk mengecup bibirku. Aku pun kembali membalas ciumannya. Sungguh aku tidak bisa banyak bicara lagi selain rasa enak, nikmat dan menggairahkan sore itu. Aku terpejam sejenak dan berusaha menikmati kehangatan tubuh mas Dedi.

Rasanya aku tidak ingin ini berakhir dengan cepat bahkan didalam lubuk hati terdalamku aku berharap hujan semakin lebat sehingga ibunya mas Dedi dan ibuku menunda waktu mereka untuk balik kerumah ini. Tetapi kalian tentu percaya bahwa doa jelek itu tidak mungkin akan terkabul. Tiba-tiba terdengar suara klakson motor dari arah luar rumah mengagetkan kami yang sedang panas-panasnya beradu birahi. “Mas, stop dulu. ada suara motor tuh…”. Aku mendorong dada berotot mas Dedi yang menempel didadaku. “Siapa itu Bay?”. Dia agak kaget dan langsung berdiri. “Sepertinya itu ayah. Lain kali saja kita sambung ya mas”. Aku pun bergegas bangkit dari tempat tidur setelah memastikan bahwa suara klakson motor yang kami dengar itu benar-benar klakson motor ayahku dan aku pun bergegas memasang semua pakaianku. Wajah mas Dedi tampak kecewa dan walaupun begitu dia tampak menerimanya. Dia segera mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya sementara aku cepat-cepat keluar kamar untuk membukakan pintu rumah. “Kamu dari mana Bay? Kok lama sekaali buka pintunya?”, tanya ayah yang masih mengenakan jas hujan. “Maaf Yah, aku tadi di dapur jadi tidak terlalu terdengar suara motor ayah”, kelitku. Ayah pun menaruh motornya di garasi kemudian dia melepaskan jas hujannya dan menggantungnya di pojokan garasi. Dengan menampakkan wajah bertanya- tanya, ayah keluar garasi sambil matanya memandangi motor gede yang terparkir rapi di dalam garasi rumah kami. Ayah pun masuk rumah. “Bay, itu motor siapa?”. Baru aku ingin menjawab, mas Dedi sudah keluar kamar dan tersenyum pada ayahku. “Sore om… Baru pulang ya?”. Dengan gentle-nya mas Dedi keluar dari kamarku dan langsung menyalami ayahku yang baru masuk menuju ruang tengah. Ayah menyambut uluran tangan dari mas Dedi dengan wajah yang masih agak bingung. “Sore. Iya nih, baru pulang kerja. Kamu siapa? Temannya Bayu ya?”. “Om ingat aku nggak? Coba om ingat-ingat, kira-kira aku ini siapa?”. Sambil tersenyum. Ayah mengernyitkan dahi. “Siapa ya? Sumpah om tidak ingat siapa kamu. Maklum, sudah tua…”. “Aku Dedi om, anak bu Sapti dan pak Thamrin yang dulu pernah menjadi tetangganya om dan tante”. Seketika wajah ayahku menjadi sumringah dan dia langsung menepuk punggung mas Dedi. “Masya Allah… Dedi? Pangling om sama kamu. Udah gede dan ganteng lagi. Walah-walah… Ayo Ded, duduk dulu”. Ayah mengajak mas Dedi keruang tamu. Aku mengekori mereka di belakang. “Kamu sudah kerja ya sekarang? Dimana?”. “Alhamdulillah aku sekarang jadi POLISI om”. “Tugas dimana Ded?”. “Di Polres ************ (nama kabupaten), om. Kalau om sendiri kerja dimana?”. “Om kerja di pabrik minyak goreng di dekat perbatasan kecamatan yang menuju arah sini. Oh, iya sama siapa kamu kesini Ded? Kok bisa tahu rumah om disini?”. “Aku dengan ibu, om. Kebetulan ibu lagi kerumah nek Marti sama tente juga tadi”. “Bay, ambilin minuman hangat dong buat mas Dedi”, pinta ayah. “Baik yah…”. Aku pun bergegas kedapur dan membuatkan dua gelas teh hangat untuk mereka berdua. Ayah dan mas Dedi asik berbincang kesana kemari. Sementara aku memutuskan untuk menyalakan TV dan menonton acara kesukaanku. Tak lama kemudian, hujan reda dan bu Sapti serta mamaku kembali kerumah.

Setelah berbincang-bincang sebentar, bu Sapti dan mas Dedi juga mohon pamit pulang pada keluargaku tetapi sebelum pulang, mas Dedi sempat meminta nomor kontakku pada ayah dengan alasan kosannya dekat dengan minimarket tempatku bekerja. Aku pun kegirangan luar biasa dan ingin rasanya aku lompat setinggi atas dan langsung mencium mas Dedi sekencang-kencangnya. Aku berharap ini baru di mulai. “Kalau Bayu kemalaman pulang atau pengen nginap di kosan saya juga tidak apa-apa kok Om. Saya sendiri ngekos. Ya mungkin saja dia capek dan malas pulang malam-malam ke sini”, tawar mas Dedi pada ayahku. “Iya nak Dedi, terimakasih sebelumnya”. “Kalau begitu kami pamit pulang dulu ya Pak, Bu”. Bu Sapti menyalami ayah dan ibuku. Begitu pula mas Dedi. “Bay, mas Dedi dan tante Sapti mau pulang nih”, kata Ibuku. Aku segera menyambangi mereka dan mengulurkan tangan untuk tamu kami tersebut. Namun ketika tanganku menyalami tangan mas Dedi dia sempat bilang, “Kalau kamu pengen main ke kosan mas silahkan Bay, nginap juga nggak apa- apa. Mas sendirian kok, ngekosnya”. Aku menjawab, “Iya mas pasti itu. Mas tidak perlu khawatir. hati-hati dijalan ya mas”. Setelah itu, mereka pun berlalu pergi.
 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.