Minggu, 24 Juni 2012

Ajaran Ayah Sahabatku

Senin sore adalah hari latihan gua dan rendy bermain basket. Dan seperti biasa gua yyang jemput rendy di rumahnya. Walau rumah kami berdekatan, tapi kami sudah tidak satu sekolah lagi sejak SD. Sore itu sangat panas, untunglah jalan menuju rumahnya ditumbuhi pohon pohon besar.

Ketika gua sampai di depan rumahnya,pintu depan sudah terbuka. Karena gua pikir rendy sudah pulan maka gua langsung masuk saja. Rumah ini hanya dihuni oleh rendy dan ayahnya yang seorang polisi. Ketika nggak ada yang jawab teriakan gua, gua terus masuk menuju ke kamarnya, karena tak mungkin ayhnya sudah ppulang pada jam itu. Dengan langkah pasti gua terus jalan dan membuka pintunya.

Dan yang gua lihat kemudian benar benar mengejutkan. Ayah rendy, yang bernama johny, sedang menciumi celana dalam (yang gua yakin milik rendy) di mukanya, dia sendiri yang hanya menggenakan celana dalam sedang mengelus elus kemaluannya dengan tangan kirinya. Gua hanya berdiri mematung, dan mengawasi kemaluannya yang terlihat jelas karena posisi berdirinya, pelan pekan membesar.

Ketika itu tanpa sengaja gua menyenggol sebuah pot bungga yang menimbulkan suara. Karena kaget dia menoleh ke arah gua, namun gua lebih dulu lari menuju ruang tamu. Gua mendengar dia berteriak memanggil,namun gua diam saja. Sampai akhirnya gua menjawab.lalu gua dengar suara pintu ditutup lalu disusul suara orang mandi.

Ada suara pintu dibuka. Kemudian dia berteriak memanggil gua untuk membawakan seragamnya yang tergeletak di samping gua.. Gua ambil dan ketika gua mau taruh di depan pintunya, dia meminta gua membawakan ke dalam.Akhirnya gua masuk dan hedak gua taruh di meja dekat pintu, ketika dia membalikan badannya. Dia hanya menggenakan handuk kecil yang melingkar di pinggangnya dan itu pun tampaknya tak menutupi apapun. Gua diam dan mulai menatap ke arah kemaluannya, dimana saat itu jelas dia tidak memakai apa apa lagi dibaliknya.Handuk itu yang mempunyai belahan di paha kanannya, menunjukan pahanya yang rimbun ditumbuhi bulu bulu.

Dibalik handuknya itu terbentuklah sesuatu yang panjang dan bulat yang mengarah ke arah pusarnya. Gua diam tidak bergerak dan tanpa sadar baju yang gua pegang pun jatuh ke lantai. Darah gua bergerak cepat dan gua merasa muka gua mulai memerah.

Jarak antara kami sekitar 1 meteran, namun aromanya terasa kuat sampai ke tempat gua. Bodynya sangat bagus. Dia tinnggi besar, dimana bulu bulu halus mentupi permukaan tubuhnya. dan semakin banyakdari pusar ke bawah. Lengan dan pahanya besar berotot, ditambah potongan rambut tentaranya membuat nya sangat garang.

Kemudian dia memanggil gua untuk mendekat dan gua mengikuti perintahnya dan duduk di tepian tempat tidur. Dia menjauh dan menyender di tepian meja dekatnya.

" Budi,saya sudah lama memperhatikan kamu. Kamu punya tubuh lebih cepat berkembang daripada rendy. Sekarang kamu sudah melihat tubuh saya, dan saya tidak keberatan. Sekarang saya mau melihat tubuh kamu.saya rasa kamu tidak takut kan?" tantangnya.

Gua nggak tahu karena apa, namun gua mulai pelan pelan membuka baju kaos dan celana pendek gua. Sekarang yang tersisa hanya celana dalam putih dan sepatu sket saja. Ketika gua mau menurunkan celana dalam gua, tiba tiba dia sudah berdiri di depan gua dan memegang tangan kanan dan kiri gua. Lalu tangan kanannya mulai membelai leher, dada, perut dan turun untuk mulai membelai kemaluan gua. Dia mulai meremas remas kemaluan gua yang sudah mengeras. gua mulai teriak tapi dia tetap melakukannya.

" Gimana budi enak? nanti om ajarin yang lainnya." lalu lanjutnya " Masih banyak cara cara yang enak buat ngentot sama laki laki."

Dia berdiri di depan gua dan tanpa malu malu dia membuka handuknya. dan melemparkannya ke lantai. Sekarang di depan gua dia berdiri telanjang bulat dan didepan muka gua ada sebuah kontol. ketika gua melihat ke matanya, dia tersenyum dan dengan pandangan aneh yang tidak gua mengerti...

Sabtu, 23 Juni 2012

Bukit Siguntang

Saya belum pernah naik kapal laut. Selama ini saya pergi ke Makassar dengan pesawat. Tapi saya pikir saya ingin tahu naik kapal laut bagaimana rasanya. Kata orang akan terasa enak kalau beli tiket kelas I atau II. Saya tidak mau ambil resiko dan saya ingin menikmati perjalanan, maka saya mengambil kelas I untuk sendiri (harusnya 2 orang) di kapal Bukit Siguntang.

Saya tidak akan cerita tentang kapal Bukit Siguntang (BS), tapi saya akan ceritakan apa yang terjadi dengan saya di kapal itu .......

Setelah tiga jam kapal BS berlayar, saya merasa jenuh berada di kamar sendirian, kemudian saya keluar ke dak kapal. Saya melihat laut begitu luas di depan saya, dan saya begitu menikmatinya. Pada saat itu saya melihat seorang laki-laki berdiri tidak jauh dari saya. Dia sendiri berdiri memandang ke laut lepas, dengan mengenakan kaos seperti seragam TNI begitu ketat dan celana pendek hijau. Saya kagum dengan bentuk tubuhnya yang .....

Kemudian saya dekati, dan mulai mengajaknya bicara.

"Ini pertama kali saya naik kapal laut," kataku memulai pembicaraan. Dan laki-laki itu menoleh kearahku dengan senyum.

"Dari mana Mas?" tanya nya

"Oh ya, perkenalkan saya Rico," kataku, langsung kujabat tangannya yang keras itu.

"Saya Benny," katanya pula.

"Bapak tentara ya ....?" tanyaku, "Dari kesatuan mana Pak?"

"Ya, saya dari Angkatan Darat"

Lama saya memandang Pak Benny dengan wajahnya yang tegas, berkumis tidak terlalu lebat, sehingga terlihat sekali kegagahan dan keramahannya. Lama sekali saya memandang, hingga dia mengejutkan aku dengan pertanyaaa.

"Ada apa , Mas?" tanya Pak Benny.

"Oh tidak, Pak. Bapak gagah sekali." kataku spontan.

"Wah, yang benar , Mas"

"Benar, Pak"

Saat itu pula Pak Benny memandangiku pula dengan seksama dan mata yang tajam.

"Ma'af, Pak. Mungkin saya mengganggu, saya akan kembali ke kamar."

"Tidak, Tidak. Saya senang kenal dengan Mas." katanya sambil menepuk pundakku yang membuat terasa ada arus mengalir dan membuat sesuatu dibawah ku bergerak begitu cepat. Saat itu pula jantungku begitu cepat berdetak. "Mas juga gagah kok, smart, dan terlihat ramah." kata Pak Benny, yang membuat aku tersipu.

Dan ... kulihat kearah celana pendeknya yang ketat itu tonjolan begitu besar. Pak Benny pun membiarkan aku melihat semua itu. Dan tiba-tiba sambil menepuk bahu ku, dia menempelkan tubuhnya ke tubuhku, dan mengajakku memandang ke lautan luas.

"Luas sekali lautan disana ya..." katanya sambil menggesekkan sesuatu di pantatku. Aku pun tidak konsentrasi dengan ucapannya, tapi sesuatu yang mengenai diriku."Mas umur berapa?"

"E... saya 30 tahun" jawabku terkejut.

"Wah umur kita beda 10 tahun...." kata Pak Benny. "dengan siapa ke Makassar sekarang?"

"Saya sendiri, Pak." jawabku bersemangat. "Apakah Pak Benny mau kekamar saya, kebetulan saya sendiri di kelas I." kataku agak sedikit ragu. Tapi saat itu pula Pak Benny segera menganggukkan kepala yang membuatku makin deg-degan.

Kemudian kami berdua pergi kekamarku, sesampainya di dalam kukunci dan ....

Oh, Pak Benny langsung memelukku dan menciumi pipiku, meraba seluruh anggota tubuhku, dan membuka kaos dan celana pendekku. dengan perlahan dia langsung menghisap burungku yang sudah tegang sekali.

"Oh ......... terus pak," kataku tak tahan, dan kubalas pula dengan ciuman, wajahnya yang ganteng dengan kumis tipis, membuatku sangat bernafsu, dan langsung kubuka pula seluruh pakaiannya. Oh, betapa bahagianya aku melihat dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. Kemudian kubuka pula celana pendeknya. Dan .... wah hebat sekali, burungnya juga sudah berdiri tegak dan begitu bersih dengan ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Langsung saja kuisap, yang membuat dirinya pun mengerang keenakan.

Kemudian kami pun sudah telanjang dan saling mencium bibir di tempat tidur. Benar-benar nikmat ..... Tubuhnya yang kekar mencengkeram dan memeluk tubuhku sambil terus menggoyang-goyangkan pantatnya. Oh, nikmat sekali ....

Aku pun melakukan hal yang sama, dan Pak Benny pun menikmatinya. Aku diatas dan tertus mengoyang dan menggenjot pantatku. Saat itu kami berdua begitu puas sambil terus mengerang kenikmnatan.

"Oh .... oh .... saya mau keluar Rico,"

"Ya Pak, saya juga mau keluar," kataku terengah-engah.

Crooot ....croooooot .....

Keluarlah cairan begitu banyak ditubuh kami berdua.

Terdiam sejenak dan kelelahan, kami saling memandang dan mencium bibir dengan perlahan. Oh betapa nikmatnya .....

Saat kami saling mencumbu, tiba-taba berkobar lagi gelora sex Pak Benny dan diriku.

"Rico, masukkan burungmu ke pantatku," pintanya.

Langsung saja kulakukan dan terus menggenjot naik dan turun. Kami sama sam menikmatinya.

"terus Rico, Terus .... yang keras lagi ...."

Aku pun lakukan permintaannya.

"Oh saya mau keluar, Pak. " kataku tak tahan .

"Keluarkan di dalam, Rico. Aku pun juga ingin keluar." kata Pak Benny sambil mengerang menikmati sodokannu.

"Oh, keluar Pak ......" kataku keras dengan penuh nafsu. saat itu pula muncrat air mani Pak Benny untuk yang kedua kali sama seperti aku.

Oh, nikmaaaaaa ....... aat sekali. kami pun saling memandang dan tertidur dipelukan. Hingga besoknya kita lakukan, dan lakukan lagi ......

Dua hari di kapal Bukit Siguntang (BS) begitu sangat mengesankan. Setelah kejadian di hari pertama yang pernah saya ceritakan, ternyata saya mengalami kejadian yang lebih menakjubkan, benar-banar pengalaman pertama naik kapal laut yang sangat berkesan.

Pak Benny, sang tentara yang kukenal di kapal BS itu, benar-benar membuatku sangat berkesan. Mungkin apa yang aku alami sebenarnya lebih dahsyat dari pada yang aku ceritakan ini, karena aku tak begitu pandai bercerita.

Setelah kami berdua (aku dan Pak Benny) melalui hari yang indah, yang tak pernah dapat aku lupakan, keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Pak Benny sudah mengetuk pintu kamar ku di kapal BS. Aku sebenarnya tak kan pernah terkejut, dan aku yakin bahwa besok pagi Pak Benny pasti datang kekamarku lagi. Tapi aku benar-benar dibuatnya kaget dan terkejut, begitu ku buka pintu kamarku .......

"Pagi...... Pak Benny," kataku terkejut di depan pintu

"Hai Rico, Bagaimana kabar kamu ?" sapa Pak Benny sambil menjabat tanganku, sangat kurasakan kekarnya tangan Pak Benny. " Kenalkan teman-teman saya Rico, ini Theddy dan ini Bambang."

Itu lah yang membuatku terkejut. Pak Benny datang dengan dua orang lagi temannya, dan mereka semua pasti juga tentara dilihat dari penampilannya. Dan yang membuatku lebih terkejut lagi adalah kedua temannya itu tidak kalah ganteng dan gagahnya. Benar-benar membuat hatiku berdebar sangat keras. Karena terpananya aku, sampai aku lupa mempersilakan mereka masuk, hingga Pak Benny menanyakan padaku apakah mereka boleh masuk.

"Silahkan Pak, silahkan .... ma'af saya kaget habis bangun tidur. Kemudian mereka semua masuk kekamarku, dan aku pun mengunci pintu kamarku.

Pak Benny mulai mengenalkan teman-temannya, begitu pula mengenalkan diriku kepada mereka. Aku masih dengan hati yang deg-degan memandang wajah dan postur tubuh mereka bertiga. Senyumnya, suaranya yang berat, kumisnya,dan pasti juga senjata mereka yang belum kulihat. Semua membuat hatiku berdebar keras sekali.

"Boleh saya mandi dulu ?" tanyaku pada mereka. "Maklum, baru bangun. "

"Oh ya, silahkan ...." kata Pak Benny. "Kami pun belum mandi, dan ingin ikut mandi juga disini, kalau boleh ...."

Mandi bersama ??? tiba-tiba makin keras jantung ku berdetak. Oooooooh ...... betapa terkejutnya aku.

"Kamar mandinya kecil, Pak" kataku terbata-bata.

"Ah, tidak apa-apa, kita gantian ...." kata Mas Bambang yang kelihatan lebih muda, tapi usianya beda 6 tahun dengan ku, dia 36 tahun.

Kemudian kami berempat pun saling melepaskan pakaian. Pak Benny melepaskan pakaian ku, sedangkan Mas Bambang melepaskan pakaian Pak Teddy (mungkin dialah yang paling tua diantara kami berempat, usianya sudah 45 tahun, tapi masih kelihatan muda dan energic).

Wah, besar sekali senjata Mas Bambang, dan itu pun belum dalam keadaan ereksi. sementara Pak Teddy dan Pak Bambang sesuai dengan postur tubuhnya. Sambil melepaskan pakaian, kami pun sempat beberapa kali saling berciuman, oh betapa menggairahkannya.

Aku mandi lebih dulu bersama Pak Teddy, sedangkan Pak Benny sedang asyik bersama Mas Bambang di tempat tidur. Di kamar mandi pun aku bermain bersama Pak Teddy, Walaupun paling tua, Pak teddy sangat menggairahkan, mungkin karena pengalamannya bermain dengan istrinya.

Dia sabuni tubuhku dari leher sampai terus ke bawah, aku pun sudah tak tahan, dari tadi burungku sudah tegang dan sangat keras. Sambil memanikan sabun ketubuhku, Pak Teddy teru menciumi bibirku, Ohhhh nikmat sekali ciumannya. samapailah dia memainkan sabunya ke bagian kakiku dan saat itu pula Pak Teddy mengulum burungku yang tegang maksimal. Ohhhh nikmat sekali .... terus, Pak, teruuuusss .....

Benar-benar kunikmati hisapannya, sangat enak sekali .....

Kemudian kami saling basuh dengan air, dan Pakteddy pun keluar kamar mandi bersamaku, saat itu pula kulihat Mas Bambang dan Pak Benny benar-benar sedang dalm puncaknya. Aku lihat Mas Bambang sudah memasukkan senjatanya ke lubang Pak Benny, Pak Benny berteriak-teriak kecil keenakkan, sementara Mas Bambang, dengan permainannya yang hebat, sebentar-sebentar dia tuirunkan tempo permainannya, sebentar dia percepat. Ohhhhhh ..... habat sekali permainan mereka, membuat aku dan Pak Teddy ikut bergairah, kami pun ikut bermain bersama mereka.

Permainan yang begitu hebatnya, belum juga keduanya keluar mani. Pak Benny mengajak Mas Bambang mandi, tapi mereka pun juga mengajakku kekamar mandi. Kamar mandi yang kecil itu pun diisi bertiga, tapi kemudian aku keluar, karena sumpek rasanya.

Setelah mereka selesai mandi, Mas Bambang menghampiri diriku. kemudian aku pun langsung menghisap senjatanya yang besar dan panjang itu .... aku tak tahu berapa panjang ukuran nya. Sementara Pak Benny juga asyik bermain bersama Pak Teddy. Hingga akhirnya kami berempat bermain bersama. Mas Bambang minta dimasukkan, dan aku pun memasukkan burungku kelubang yang ada. Ohhhhh nikmat sekali Mas Bambang, nikmat sekali......

"Terus Rico, aku menyukainya, teruuuu.....uuuss... Ohhhh.... terus ......" katanya padaku.

Sambil aku mengenjot naik dan turun, Pak Teddy memasukkan senjatanya ke mulutku. Oh, aku benar benar merasakan nikmanya atas dan bawah. sementara itu Pak Benny terus mengocok senjatanya sambil menikmati ciuman bersama Pak Teddy.

Kami semua bergairah, sangat bergairah ......

Tiba-tiba saja Mas Bambang mengerang keras, karena sudah tak tahan ingin keluar, sambil terus mengocok senjatanya yang besar sekali.

"Ohhh...... aku mau keluar" teriak Mas Bambang

Pada saat yang sama aku pun sudah tak tahan dan begitu juga dengan Pak Benny dan Pak Teddy...... kami berteriak mengerang hingga akhirnya .......

Croooot..... crooooot ...... crooooot .......

Sperma Mas Bambang keluar banyak sekali ditubuhnya, sememntara air mani Pak Teddy tak tertampung lagi di mulutku....dan akhirnya pun tumpah mengenai sebagian tubuh dan wajah Mas Bambang. Sperma Pak Benny muncrat jauh mengenai diding kamar, semetara sperma ku sendiri sudah keluar didalam tubuh Mas Bambang.....

Ohhhhhhhhh ....... kami pun puas, puas, puas sekaliiiii.....

Selamat bertugas Bapak-bapak sekalian ........ You are my best friend...... I always remember ........

Malam yang Indah di Bali

Malam itu, Garuda Indonesia GA-418 yang ku tumpangi dari Jakarta ke Denpasar seharusnya dijadwalkan jam 21.20 WIB dan tiba jam 00.05 WITA, ternyata telat 30 menit. Alhasil, sudah hampir jam 00.01 malam ketika aku melangkah keluar dari Terminal Kedatangan Domestik di Bandara Internasional Ngurah Rai. Meskipun tengah malam, tapi airport itu tampai ramai. Maklumlah, waktu itu bertepatan dengan musim liburan, sehingga semua penerbangan ke Bali penuh.

Setelah mengantri sekitar 15 menit, akhirnya aku bisa mendapatkan taxi yang mengantarku ke Hotel Kutas Paradiso, tempat biasanya aku menginap kalau ke Bali. Badanku terasa penat semuanya setelah dua hari berturut-turut disibukkan dengan banyak kegiatan di Jakarta. Dalam perjalanan ke hotel, aku sudah membayangkan akan membenamkan kepalaku di bantal yang empuk di kamar hotel. Namun khayalanku tidak terwujud ketika aku telah berhadapan dengan resepsionis hotel beberapa menit kemudian.

"Maaf pak, semua kamar dari yang standard sampai suite sudah full", kata sang resepsionis.

"Waduh! Gimana nih?", pikirku. Memang aku tidak reservasi sebelumnya, sebab selama ini juga kalau aku ke Bali dan check in di hotel itu pasti ada kamar buatku. Aku lupa kalau di musim liburan begini kemungkinan hotelnya bisa penuh.

Baru saja aku hendak keluar dari gerbang hotel sambil menarik koperku, tiba-tiba ada seorang pegawai hotel di situ yang sudah mengenalku datang menghampiriku.

"Pak, maaf, kayaknya sulit temukan hotel lain malam ini. Ada juga paling-paling yang kelas melati. Saya bisa kasih info, itupun kalau Bapak mau.", ia berkata kepadaku dengan sikap sungkan. Sepertinya ada rasa khawatir kalau aku malah bereaksi marah.

Namun saat itu di anganku hanya ada satu keinginan: membaringkan diri di atas kasur! Segera ku respons tawarannya tanpa pikir panjang lagi. Setelah menerima tip dariku, pegawai itu membantu memasukkan koperku ke bagasi taksi yang barusan dihentikannya. Ia juga memberi petunjuk kepada sopir taksi tentang alamat motel yang hendak dituju. Ia juga berjanji akan langsung menelpon temannya yang bekerja di motel itu agar segera disiapkan kamar untukku.

Meskipun tergolong motel, kamarnya ternyata sangat nyaman dengan spring bed dan ac window yang cukup dingin. Motel di Jalan raya kuta itu juga menyediakan air minum kemasan di dalam kamar itu. Tubuhku terlalu penat untuk melangkah ke kamar mandi dan sekedar membasuh tubuh. Jadi, aku hanya membuka pakaianku sampai tertinggal celana dalam, lalu merebahkan diri di ranjang.

Walau aku lelah sekali, tapi sangat sulit memejamkan mata ini. Sudah hampir 10 menit berbaring, mataku masih saja 100 Watt. Mungkin aku perlu relaksasi. Selintas aku teringat sebuah nomor telepon yang diberikan oleh temanku ketika di Jakarta. Itu nomor panti pijat pria di Denpasar yang bisa juga panggilan 24 jam. Mungkin setelah dipijat, aku bisa ngantuk.

"Halo, selamat malam, ada yang bisa saya bantu?", terdengar suara di seberang yang tampak berat karena ngantuk tapi tetap ramah. Rupanya sang koordinator panti tengah tertidur ketika teleponku masuk.

Percakapan kami pun berlanjut. Aku meminta sang koordinator mengirimkan seorang pemijat ke motel tempat aku bermalam. Setelah menyampaikan ciri-ciri orang yang aku harapkan dan menyepakati jumlah pembayarannya, aku menutup telepon dan langsung ke kamar mandi. Walau seharian aku di ruang ac dan kurang berkeringat, tapi aku tidak mau ada bau-bau yang tidak enak di tubuhku saat dipijat. Jadi, meskipun agak enggan, aku tetap harus berbilas badan sebelum pemijat itu datang.

Tok tok tok. Terdengar suara ketukan pelan di pintu kamarku kurang lebih 30 menit kemudian. Aku bergegas membuka pintu, dan di depan berdiri sesosok pemuda berusia 20-an. Wajahnya cukup ganteng, postur tubuh ok, dan kulitnya sawo matang. Sangat mendekati deskripsi yang aku minta ke koordinator saat di telepon tadi.

"Nama saya Agha... bisa saya masuk?", ucapan pemuda itu menyentak ketertegunanku sejenak di depan pintu.

"Oh, iya, tentu saja, mari masuk!", ajakku.

"Maaf mas, bisa saya ke kamar mandi dulu?", tanya Agha.

"Ya... silahkan. pakai saja handuk yang masih terlipat di samping wastafel." Agha segera masuk ke kamar mandi lalu terdengar bunyi air dari dalam. 5 menit kemudian ia keluar lagi hanya mengenakan celana boxer. Perutnya yang six-pack kelihatan sempurna sekali. Ada sedikit bulu halus di belahan dadanya. Aku segera berbaring telungkup di atas ranjang, lalu dengan gesit tapi lembut Agha memoles kakiku dengan cream dan memijatnya.

Pijatan Agha dari kaki ke kepalaku terasa sangat nikmat. Seakan aku lupa dengan segala kepenatanku. Saking nikmatnya, aku nyaris terlelap.

"Mas, bisa balikkan badannya sekarang?", pintanya.

Dengan agak malu aku balikkan badanku. Maklum, aku sempat terangsang ketika ia menyentuh titik-titik tertentu di belakangku. Tanpa sadar kontolku sudah mulai mengeras dan kelihatan menonjol di balik celana dalam HOM-ku yang tipis.

Dengan gaya yang sangat profesional, Agha mendekati kupingku dan menciumnya. Aku semakin terangsang! Bibirnya yang lembut menari-nari dari samping leherku sampai ke arah jakun. Aku menggeliat nikmat. Apalagi setelah perjalanan bibirnya tiba di salah satu putingku... jilatan lidahnya yang nakal membuat putingku mengeras. Sambil tetap berkreasi di dadaku, salah satu tangannya dengan lembut meraba celana dalamku. Mataku ku pejam dalam-dalam menahan kenikmatan. Sungguh sebuah foreplay yang bagus!

Pelayanan Agha tidak terkesan terburu-buru seperti pada umumnya pemijat pria lainnya yang pernah melayaniku. Ia cukup lama bermain-main dari dada hingga ke pusarku, divariasi dengan sentuhan-sentuhan lembut jarinya di atas celana dalamku. Sejauh ini, celana dalamku belum dibukanya sama sekali.

Semenit kemudian, lidahnya mulai menyapu ke bawah pusar. Ia menatap mataku dengan nakal lalu perlahan menggigit celana dalamku lalu mendorongnya ke bawah sampai kontolku tersentak menyembul. Sembari tangannya menarik perlahan bagian celana dalam di kedua sisi pinggangku, mulutnya mulai menyerang ujung kontolku. Ujung lidahnya menari-nari di lobang kecing pas di ujung "helm"-ku yang sudah mekar memerah. Disusul dengan kecupan mesra di bagian atas helm itu, lalu perlahan dia menariknya dengan jepitan bibirnya. Tubuhku berguncang menahan sensasi kenikmat ketika rongga mulutnya melakukan gerakan meremas-remas batang kontolku.

"Ohhhhh.....", hanya lirih itu yang keluar dari mulutku saat Agha membenamkan kontolku sampai mendekati pangkalnya ke dalam kerongkongannya. Lidahnya memijat-mijat ddari dalam, menambah kenikmatan yang tak terhingga. Beberapa detik kemudian, kepalanya mulai melakukan gerakan maju mundur, membuat tulang pinggangku mengejang.

Aku tak ingin permainan ini cepat selesai, jadi ku tarik tubuhnya ke atas saat ku tahu bahwa aku tak bisa menahan orgasme lagi jika permainan mulutnya di kontolku tidak segera diinterupsi. Ku baringkan Agha di atas ranjang, lalu ku dekatkan mulut ku ke mulutnya. Diawali dengan sentuhan bibir, lalu bibir-bibir kami saling menjepit. Setelah itu Agha mengulum lidahku dan bergulat dengan lidahnya. Sementara itu Agha mengocok sendiri kontolnya yang juga sudah ereksi penuh.

Perlahan ku tarik salah satu pahanya, sehingga selangkangannya terbuka lebar. Ku mainkan jemariku di permukaan anusnya yang kembang kempis. Agha merasakan kenikmatan dan mempercepat laju kocokan kontolnya. Tiba-tiba, crot... crot... crot... Ternyata Agha tidak dapat menahan ejakulasinya lagi.

"Maaf mas, saya sudah keluar duluan", ucapnya rada malu, "mas maunya diapain agar bisa keluar juga?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya, tapi ku naikkan selangkanganku di atas lingkar dadanya. Kontolku mengarah ke mulutnya. Ku masukkan perlahan ke rongga mulut itu, lalu pinggangku melakukan gerakan maju mundur secara perlahan. Mulut dan lidah Agha tak kalah nakalnya menyedot dan menggelitik batang kontolku. Gerakan pinggangku pun mulai cepat. Tatkala ku sadar bahwa orgasmeku sudah dekat, aku menarik batang kontolku dari mulutnya, lalu mengocoknya dengan cepat.

"Aaaahhhh.....", teriakku saat pejuku muncrat dan tuang ke wajah Agha yang ganteng itu. Cipratannya menyebar dari mulut, hidung, mata hingga dahi. Agha memejamkan kedua matanya agar pejuku tidak masuk ke sana. Sungguh pemandangan yang fantastis, wajah ganteng sang brondong belepotan dengan cairan putih kentalku! Sejenak tubuhku pun jatuh menindihnya. Beberapa menit kami terdiam berdua sambil menikmati orgasme yang dahsyat itu.

Agha tetap terlentang di ranjang ketika aku mengambil tissue dan membersihkan wajahnya dari pejuku. Setelah bersih, ia membuka matanya dan tersenyum padaku. Ku ajak dia ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Di kamar mandi, kami saling menggosok punggung dan menyabuni satu sama lain. Untungnya masih ada fasilitas air panas di motel itu, sehingga kami tidak kedinginan diguyur air.

Jam menunjukkan pukul 03.30 ketika aku dan Agha berbaring lagi di ranjang, tapi kami telah mengenakan baju masing-masing. Agha memelukku dan berbaring di dadaku, sambil tanganku membelai rambutnya yang tipis. Seharusnya dia sudah pulang saat itu, tapi dia memutuskan untuk menemaniku sampai pagi. Kami banyak bercerita tentang dir kami masing-masing. Biasanya aku tidak mau terlalu akrab dengan pemijat yang mengservisku. Tapi Agha berbeda, entah kenapa aku sepertinya punya "rasa' terhadap pemuda ini. Ku langgar kode etikku sendiri dan memberikan nomor hapeku kepadanya. Agha juga balas memberi nomornya.

Bunyi alarm dari hapeku membangunkan tidurku. Agha yang ternyata terlelap sampai pagi dalam rangkulanku juga turut terbangun.

"Sudah jam 7 pagi mas, boss-ku pasti mara. Dia pikir aku keluyuran setelah kerja. Maaf, bisa aku balik sekarang?", tanya Agha sambil tersenyum nakal dan mengecup bibiku setelahnya.

Ku ambil dompterku dari dalam lemari saat Agha mencuci mukanya di kamar mandi. Ku selipkan beberapa lembar uang ratusan ketika dia akan pamit pulang. Kami berpelukan mesra sekali. Sekali lagi kami berkecupan sebelum Agha bergegas keluar dan menghilang di balik pintu kamarku. Aku sudah biasa menerima pelayanan semacam ini, tapi baru kali ini sensasinya ku rasakan luar biasa. Padahal semalam kami tidak tempongan, seperti lazimnya ku lakukan dengan pemijat lain.

Sempat terpintas di benakku untuk meminta Agha berhenti bekerja dan ikut denganku. Tapi pikiran itu ku tepis. Terlalu pagi untuk menilai orang dari segi itu saja. Jika kami memang berjodoh, waktulah yang akan menentukan nantinya. Aku harus tahu tentang dirinya luar dalam sebelum aku mengambil keputusan. Aku tidak mau pengalaman burukku di masa lalu terjadi lagi.

Di Negeri Orang

Lama setelah Yono berlalu dari hidupku, aku telah tenggelam dalam kesibukan pekerjaan di kantor. Aku belum ingin punya pacar lagi untuk sementara waktu, sebab pengalaman dengan Yono masih membekaskan trauma bagiku. Memang aku sempat kenalan dengan beberapa orang, tapi tidak sampai ke hubungan serius, hanya berteman saja. Kalaupun sempat having sex dengan 1-2 orang tertentu, itu hanya sex belaka, tidak melibatkan perasaan cinta sama sekali. Bahkan aku jadi lebih selektif sebab perkembangan penyebaran HIV sudah merajalela.

Kebetulan saat ini internet sudah merakyat di Jakarta. Jadi aku lebih suka surfing di internet, mengoleksi gambar, clip dan kisah erotik, lalu self-service sex yang jauh lebih aman.

Suatu hari aku mendapat kabar bahwa ada tawaran menarik untukku. Aku akan direkruit ke perusahan kolega di Bangkok, Thailand. Setelah membaca profilenya, aku pun setuju. Itu adalah sebuah perusahan multinational yang berbasis di Bangkok untuk kawasan Asia. Aku ditawari posisi Legal Manager, cukup menantang juga. Memang hubungan kerjanya dengan kantorku yang di Jakarta cukup banyak. Hal lain yang membuatku tertarik ialah aku akan sering jalan ke beberapa negara Asia. Memang sudah sering aku keliling dunia dengan ikut tour sebab aku senang traveling. Namun aku bangga kalau bisa jalan ke mana-mana atas usahaku sendiri.

Walaupun sebelumnya aku pernah beberapa kali mampir ke Bangkok untuk sekedar pelesir, tapi keadaannya jadi jauh lebih menyenangkan setelah aku menetap di kota ini. Pekerjaanku memang cukup menyita waktu, tenaga dan pikiran, tapi saat weekend benar-benar bisa enjoy. Aku bahkan lebih sering terbang ke mana-mana, mulai dari Sri Lanka sampai ke Mongolia. Tentunya sekali-sekali ke Jakarta juga, baik untuk urusan kantor maupun sekedar refreshing.

Bangkok benar-benar adalah surga kaum gay. Iklan berbau gay mulai dari klub malam, sauna, resto, panti pijat sampai jasa escort terang-terangan dimuat dalam berbagai brosur wisata. Kawasan yang paling banyak komunitas klub malam gay adalah Surawong, dekat Silom dan Patpong yang terkenal dengan pasar malam untuk turis dan banyak sex show wanita. Aku sering cuci mata ke klub gay tanpa perlu was-was. Selain karena jauh dari tanahair sehingga tidak banyak kenalan, juga kultur masyarakat di sana yang telah menganggap gay bukan hal aneh lagi.

Klub gay itu terkenal dengan agogo boys, para lelaki muda berbadan atletis yang meliuk-liuk di pentas hanya mengenakan cawat minim. Bahkan larut malam ada cock show, yakni pertunjukan lelaki telanjang bulat dengan kontol yang telah dibikin ereksi penuh. Penonton bisa bebas menjamah kontol mereka. Lebih seru lagi, pada malam-malam tertentu ada fucking show, adegan oral sex dan sodomi antar 2 lelaki atau lebih yang berbadan kekar, secara langsung di atas pentas, tepat di depan mata para penonton. Atau setidaknya lomba onani, di mana para pesertanya yang juga telanjang bulat berbaris di atas pentas, lalu adu cepat mencapai orgasme. Siapa yang lebih dulu muncrat pejunya dialah yang menang. Khusus untuk show ini, demi keamanan kesehatan penonton, biasanya diberi pembatas dan alas stage dari plastik transparant, mengingat peju bisa saja mengandung virus termasuk HIV.

Saking terakomodasinya fasilitas untuk turis gay di Thailand, sehingga bisa ditemukan beberapa hotel yang memang memprioritaskan tamu kaum gay. Di loby hotelnya ada cafe dan banyak berkeliaran para kucing yg menawarkan diri untuk jadi santapan turis. Namun mereka sangat etis dan profesional. Jarang terdengar ada kasus turis yang dimaling kucing sewaannya. Kalau di Jakarta sering terjadi, bahkan oleh teman-temanku dulu ketika aku masih menjadi gigolo. Ada beberapa turis bule yang salah sangka ketika melihatku. Mereka kira aku pemuda Thailand yang juga menjajakan diri. Aku tolak halus dan sopan tentunya.

Ancaman penyakit Aids memberi keterbatasan terhadapku dalam menikmati kehidupan gay di Bangkok. Itulah sebabnya aku selalu membawa kondom ke mana-mana, dan tetap berusaha menghindari kontak apapun dengan sperma dan darah orang lain, meskipun dari luar bisa saja tampak sehat walafiat. Bahkan aku tidak pernah benar-benar terlibat hubungan sex dengan siapapun di sana. Paling jauh, aku panggil pemijat pria yang seksi untuk memijatku, lalu menyuruhnya melakukan onani terhadap kontolku sampai ejakulasi, tapi dia sendiri tidak boleh muncrat. Dengan demikian, tidak mungkin terjadi kontaminasi virus. Hal lain yang perlu dihindari ialah kontak dengan kulit yang luka berdarah. Biasanya sebelum memijat aku menyalakan lampu seterang mungkin, menyuruh sang pemijat telanjang bulat, lalu memeriksa dengan teliti setiap bagian tubuhnya. Hal itu adalah hak pelanggan. Jika ada hal yang tidak memenuhi keinginan, bisa dibatalkan dan kepada sang pemijat hanya diberikan tips dan pengganti uang transport saja. Yang pasti, bersikap bijaksana lebih baik daripada mencari kenikmatan total tapi beresiko tinggi.

Ada lagi cara aman menikmati sex di sini. Aku dan beberapa temanku biasanya suka menyewa kamar khusus di tempat karaoke. Kami bawa 2 orang pemuda bayaran yang ganteng, atletis dan sexy, untuk menemani kami berkaraoke. Setelah itu mereka berdua diminta telanjang di depan kami. Mereka sudah sangat profesional. Disuruh telanjang, tanpa rasa malu sama sekali langsung dilakukan di depan kami. Meja kayu kecil di depan sofa menjadi ranjang darurat. Mereka lalu melakukan berbagai adegan sex seperti di film blue, tepat di depan mata kami.

Berbagai petualangan baru ku dapatkan di Bangkok. Kini aku menguasai kota itu sampai ke gang-gang kecilnya. Tetapi yang pasti, Bangkok memang lebih aman dari Jakarta. Wanita berjalan sendirian dengan emas sebadan jam 2 tengah malam pun tidak ada garong atau rampok yang menghadang. Copet memang sesekali juga ada, tapi jika yang jadi korban adalah turis asing, maka Polisi Wisata yang memang ditempatkan di pusat-pusat beredarnya turis akan sigap mengambil tindakan. Namun bagaimanapun juga, seburuk-buruknya negeri sendiri tetaplah lebih aku sukai. Aku rindu tempe dan pepes tahu, makanan favoritku di Jakarta.

Di awal April 2003, aku jalan-jalan selama seminggu ke Jakarta. Pada kesempatan itu aku bisa bertemu dengan 3 orang pada waktu yang berbeda. Di antara ketiga orang itu, aku paling terkesan bertemu dengan seorang pemuda belia, sebut saja namanya Dion. Perawakannya tinggi dan kelihatannya cerdas. Untuk orang yang sudah punya segudang pengalaman seperti aku, penampilan fisik bukan lagi faktor utama. Aku tertarik kepadanya sebab dia lucu dan begitu polos. Banyak kesamaan di antara kami. Memang kami bertemu langsung baru sekali, tapi selama di Jakarta kami sering saling menelpon, bahkan SMS di setiap kesempatan. Setelah aku kembali ke Bangkok pun kami tetap bisa saling telepon dan berkirim SMS. Kami berencana untuk bertemu lagi suatu saat, dan jika secara alamiah terjadi, bisa sampai having sex.

Itulah rangkaian perjalanan hidupku sejak kecil sampai saat ini. Sebuah perjalanan panjang dan berliku, dan masih akan terus berlanjut. Satu hal yang pasti, semua itu telah menempaku menjadi "A Complete Man". Kini nafsu sex tidak lagi bisa menguasaiku, sebaliknya akulah yang mengendalikan keinginan sexku sendiri. Yang masih ingin kuuji sampai saat ini, apakah di luar sex masih ada cinta kasih sejati yang tulus? Semoga..

Badai Pasti Berlalu

Lulus dengan status suma cumlaude atau A+ tentunya membuat orangtuaku sangat bangga kepadaku. Padahal mereka sempat kuatir dulu aku bahkan hampir putus sekolah di SMA. Ayahku menawarkan posisi sebagai direktur di salah satu perusahan miliknya, tapi aku sudah punya rencana sendiri. Bahkan sebelum ujian sarjana pun sebenarnya saya secara diam-diam telah mengirimkan lamaran kerja ke salah satu perusahan multinasional terkenal yang punya cabang di Jakarta. Itu adalah wujud tekadku untuk benar-benar bisa mandiri, terlepas dari bantuan ayahku. Aku hanya ingin membuktikan kepada orang-orang dan kepada diriku sendiri bahwa aku bukan anak yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak orangtua. Namun tentunya harus diam-diam, sebab apapun juga ayahku pasti tidak akan pernah setuju.

Benar juga, beliau sempat marah ketika aku menerima surat dari Jakarta bahwa aku bisa diterima dan tinggal mengikuti wawancara yang harus dilakukan di sana. Namun di lain pihak, ibuku sangat mendukungku, sebab beliau adalah orang yang paling mengerti aku di dunia ini.

Singkat cerita, setelah lulus wawancara dan diterima bekerja di perusahan itu, aku langsung bisa mendapatkan posisi yang sangat tinggi. Ngak enaknya, kebanyakan orang di kantor justru menjaga jarak dariku sebab keseganan mereka terhadap posisiku. Bahkan aku harus membiasakan diri disapa "Bapak" meski aku masih sangat muda. Risih juga, tapi lama-lama jadi ngak aneh lagi. Aku mengontrak sebuah rumah yang cukup besar dan nyaman di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Dari kantor aku mendapatkan sebuah mobil sedan BMW baru berwarna perak metalik. Sebenarnya aku juga diberikan sopir pribadi, tapi aku lebih suka nyetir sendiri.

Setiap kali pulang kantor, aku selalu lewat Jalan Thamrin. Sore hari jalur ke alah Sudirman pasti macet berat. Makanya aku suka mampir di Plaza Indonesia menunggu jalanan agak lengang sambil menikmati teh hangat di sebuah cafe yang terletak di basement. Suatu sore seperti biasanya aku sedang nongkrong di cafe itu, ku lihat ada seorang pemuda yang tengah berdiri mengamati sesuatu di etalase depan sebuah toko kecil di dekat cafe. Penampilannya casual tapi rapih. Ku perhatikan tingginya sekitar 180cm dan badannya tampak padat berisi di balik t-shirt putihnya. Cukup lama ia mengamati etalase itu, kemudian membalikkan badan menghadap ke arah cafe. Wajahnya memang sangat tampan, seperti seorang coverboy. Sejenak kemudian dia seperti tersadar bahwa aku sedang memperhatikan dirinya. Ku rapikan dasi yang masih melilit di leherku. Demi mengusir kekakuan saat pandangan mata kami beradu, akupun tersenyum. Eh, dia juga balas senyum. Mungkin karena terlalu terpana, serta merta aku memberi kode dengan tangan mengundangnya ke arahku. Ia mendekat. Ku persilahkan dia duduk tepat di depanku lalu aku memanggil pelayan. Setelah memesan teh hangat sama sepertiku, kami mulai bercakap walau agak malu-malu.

"Kenalkan, saya Versus. Emm... boleh tahu namanya, mas?", tanyaku.

"Saya Yono.", jawabnya singkat sambil tersenyum. Dari dekat tampak rambutnya yang agak ikal teratur rapi.

Perbincangan kami pun berlanjut, mengupas tuntas sesi perkenalan. Herannya aku mengatakan data diriku yang sebenarnya, padahal aku biasanya tidak mudah percaya orang yang baru dikenal. Yono berasal dari Blitar, Jawa Timur. Di Jakarta ia kuliah di sebuah universitas yang berlokasi di seputaran Senayan, dan kost di dekat kampusnya. Dalam waktu singkat kami telah jadi akrab. Bahkan pelayan cafe pun mungkin mengira kami sudah lama saling kenal. AKu ajak Yono main ke rumahku, dan ternyata dia bersedia. Tanpa membuang waktu lagi, kami segera menuju ke mobilku di tempat parkir. Meski masih agak macet tapi aku tidak bosan dalam perjalanan sebab kami berdua ngobrol terus sampai tiba di Pondok Labu.

"Yon, aku mandi dulu ya.", ucapku sambil meninggalkan Yono di ruang baca. Baru saja aku on komputer dan mempersilahkan Yono menggunakannya. Di komputer itu ada banyak gambar erotik pria yang didownload dari Internet. Kayaknya Yono suka melihatnya. Ngak apa-apa, lagian di rumahku memang ngak ada orang lain, sebab pembantuku biasanya pulang ke rumahnya jam 5 sore. Meskipun ada kamar khusus untuk pembantu, tapi ia tidak nginap sebab rumahnya hanya berjarak 100 meter dari rumahku.

Setelah selesai mandi, aku mendekati Yono, hanya berbalut handuk. Ku ambil kursi lalu duduk tepat di sampingnya. Ia masih asyik melihat gambar-gambar itu. Namun beberapa saat kemudian Yono memalingkan wajahnya ke arahku. Mata kami saling menatap, tersenyum. Aku agak kaget bercampur senang ketika Yono memejamkan mata lalu mendekatkan bibirnya ke bibirku. Terjadilah adegan French kiss yang sangat romantis. Beberapa saat kemudian, kami pindah ke kamarku, adegan pun berlanjut seru. Kami saling mengisap kontol dengan posisi 69. Yono benar-benar bisa memuaskan hasratku. Permainan kami makin memuncak sampai orgasme dalam waktu yang hampir bersamaan. Setelah itu kami sama-sama ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Malam itu Yono tidur dalam rangkulanku. Bukan hanya gairah seks yang mendekatkan kami, tapi rasanya kami juga saling jatuh cinta.

Setelah peristiwa malam itu, Yono pindah dari tempat kostnya ke rumahku. Setiap pagi Yono ikut mobilku sampai ke Jalan Sudirman, sebab dia harus kuliah. Sore harinya dia suka menungguku di sebuah warung kopi di Plasa Blok M, sebab itu adalah jalurku pulang rumah yang paling dekat ke lokasi kampusnya. Begitulah pada awalnya hubunganku dengannya berlangsung baik dan lancar. Yono benar-benar mencintaiku. Bahkan dia sama sekali tidak matre terhadapku. Jangan pikir dia mau memperalatku secara finansial, ngak pernah terjadi! Bahkan dia sering menolak jika aku berniat memberi uang. Kalaupun sangat terpaksa, misalnya membeli buku penting untuk kuliah di saat kiriman bulanan dari orangtuanya belum tiba, dia bersedia menerima uluran tanganku, tapi hanya sebatas harga buku, dan uang kembalian paling receh sekalipun tetap saja dibalikin ke aku. Malah justru sebaliknya, Yono sering membeli sesuatu untuk makan malam kami berdua dengan uangnya sendiri. Hal itu membuatku semakin mencintainya.

Sayangnya rasa cinta Yono yang besar itu tidak bisa dikontrolnya. Yono mulai jadi posesif dan cemburuan. Bahkan aku tidak berani dekat dengan teman kantorku yang laki-laki. Jika aku pulang agak telat, misalnya ada lemburan di kantor, kami pasti ribut sebab Yono menuduhku habis main dengan pemuda lain. Lama kelamaan aku merasa terkekang juga. Walaupun aku tahu dia melarangku ini-itu karena rasa cintanya yang besar, tapi keadaan menjadi tidak menyenangkan bagiku. Lebih buruk lagi, Yono sering banget menelpon ke kantorku, hanya untuk mencari tahu apakah aku ada atau sedang berkeliaran. Alasannya sih ingin tanya apakah aku sudah makan siang misalnya, jadi seolah ingin menunjukkan perhatian tapi sebenarnya karena rasa cemburunya. Gara-gara sikapnya itu maka akupun kurang bergairah lagi jika berduaan dengannya di ranjang. Hal itu semakin membuatnya menjadi-jadi. Aku dibilang kurang bergairah lagi sebab sorenya sudah main dengan pria lain sebelum pulang.

Sebenarnya aku tipe orang setia dalam cinta. Namun diperlakukan begitu justru membuat aku terkekang dan mencari-cari kesempatan untuk bisa berhubungan dengan orang lain. Keterikatan kami semakin tidak sehat manakala ia mulai mengancam aku bahwa ia akan menceritakan kehidupan pribadiku kepada teman-teman kantor jika aku membuatnya sakit hati. Aku menyesal pernah berkenalan dengannya. Aku harus berpikir keras memutar otak untuk mencari bagaimana caranya bisa terbebas dari Yono.

Pucuk dicinta ulam tiba. Akhirnya ku temukan juga titik kelemahan Yono. Suatu sore, seperti biasa Yono telah menunggu mobilku di dekat Plasa Blok M. Aku telah melihatnya dari jauh, sepertinya dia tampak sedang gelisah. Benar saja, ketika naik ke mobilku, Yono mengatakan bahwa kedua orangtuanya akan tiba di Jakarta keesokan paginya. Yono telah tinggal serumah denganku, jadi mau tak mau orangtuanya juga akan nginap bersama kami. Aku kaget juga, sebab selama ini Yono tidak pernah bercerita tentang ayah dan ibunya. Aku setuju menyediakan kamar utama di rumah untuk orangtua Yono. Aku dan Yono pindah ke 2 kamar yang berbeda. Yono sepertinya pucat dan berusaha menyimpan semua barang-barang yang berbau gay di rumah, seperti gambar hiasan dinding, poster, VCD, majalah dan buku porno, serta foto mesra kami berdua yang dipajang di kamar. Yono memintaku bersandiwara di depan orangtuanya, seolah-olah dia kerja paruh waktu di kantorku sehingga kami berdua tinggal serumah. Nyata sekali bahwa Yono tidak ingin orangtuanya tahu bahwa dia itu gay.

Pagi-pagi sekali Yono telah standby di Stasiun KA Gambir. Aku tak bisa menemaninya sebab aku harus ke kantor. Ketika aku pulang kantor sore harinya, Yono sedang duduk bersama ayah dan ibunya di serambi depan rumah.

"Oh, ini yang namanya nak Versus?", sapa ibunya dengan ramah ketika aku tiba di serambi.

"Benar", jawabku sambil tersenyum, "pasti ini ibunya Yono... dan ini ayahnya, kan?!" Pandanganku beralih ke arah pria di dekatnya yang rambutnya telah beruban semua. "Bagaimana perjalanan ke Jakarta?"

"Menyenangkan juga, walaupun tadinya sempat kesal juga sebab keretanya telat dari jadwal yang semestinya. Si Yono sampe harus nunggu agak lama di Gambir...", jelas ayahnya.

"Ah, sudahlah... yang penting kita sudah tiba dengan selamat dan bisa ketemu Yono kan?!", potong ibunya. Percakapan kami pun berlangsung semakin akrab. Rupanya Yono sudah mengatur cerita bahwa dia kuliah sambil kerja di kantorku. Makanya kami tinggal serumah. Dengan begitu, orangtuanya tak akan curiga sama sekali. Bagus juga rencana si Yono, pikirku. Namun itulah titik kelemahannya, dia takut rahasia dirinya diketahui orangtuanya!

Tak lama setelah orangtuanya kembali ke Blitar, aku menyusun sebuah rencana. Diam-diam aku ambil cuti di kantor, lalu saat Yono sedang kuliah, aku menulis sepucuk surat dan kutinggalkan di atas kasur bersama segepok uang. Tiket pesawat telah ku pesan, aku siap berlibur cukup lama di kota kelahiranku. Ketika Yono ke rumah, dia membaca suratku:

"Yono sayang, aku tahu kamu mencintaiku, demikian pula sebaliknya. Tapi hubungan kita tidak bisa dipertahankan, sebab kamu terlalu mengekangku. Mungkin sebaiknya kita pisah saja. Di kasur ada uang yang ku tinggalkan untukmu, cukup banyak untuk biaya kuliahmu sampai selesai. Tapi ingat, jangan sekali-kali kamu membongkar rahasiaku, terutama kepada orang kantorku. Jika hal itu kamu lakukan, aku sudah punya alamat orangtuamu di Blitar, dan dengan sangat terpaksa aku juga akan berbuat hal yang sama supaya kita impas. Pikirkan baik-baik resikonya. Selamat tinggal, Yono!"

Hampir 3 minggu kemudian aku kembali ke Jakarta dengan perasaan was-was. Aku cari kontrakan di tempat lain. Waktu kembali masuk kantor, perasaanku tak menentu. Aku hanya menanti reaksi orang-orang. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Rupanya gertakanku termakan juga oleh Yono. Benar, dia memang takut rahasianya diketahui orangtuanya. Aku lega, tapi rasa kasihan juga. Aku memang mencintainya, tapi aku tak tahan juga diperlakukan begitu terus-terusan. Dan semuanya ku lakukan hanya untuk melindungi diriku saja. Itu spekulasi. Jika Yono tidak peduli gertakanku, mungkin aku tak bisa berbuat apa-apa, sebab sebenarnya aku tak kan pernah sanggup membongkar rahasianya kepada orangtuanya. Aku tidak setega itu.

Di akhir bulan, pemilik kontrakan lama di Pondok Labu menelpon ke kantorku. Katanya Yono meninggalkan kunci rumah kepadanya. Berhubung aku sudah punya kontrakan baru, aku ke Pondok Labu untuk mengambil sisa barang-barangku di sana dan secara resmi memulangkan semua kunci rumah kepada pemiliknya. Betapa terkejutnya ketika aku masuk ke kamar, uangku masih berada di situ. Yono tidak mengambilnya, malah ada sepucuk surat tulisan tangannya:

"Versus tercinta. Maaf, aku tak bisa menerima uangmu. Aku sangat mencintaimu, tapi aku sadar sikapku selama ini telah berlebihan. Aku bisa mengerti keputusanmu. Mulai sekarang kamu bebas. Aku mohon maaf atas semua yang terjadi. Kini aku akan menyendiri untuk introspeksi. Selamat tinggal Versus, di hatiku tetap akan terukir namamu!"

Cinta Bersemi di Kampus

Meskipun sekolahku sempat terbengkalai, tapi akhirnya aku bisa tamat SMA, bahkan dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang sangat tinggi. Setelah itu aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di kotaku. Memang sejak kembali ke rumah orangtuaku setelah petualangan birahi di Jakarta, aku benar-benar konsentrasi belajar untuk mengejar ketertinggalanku. Bahkan soal seks tidak sempat terlintas lagi di anganku. Namun apapun juga, mengingat hal itu sudah menjadi bagian integral dari sistem tubuh, setelah kuliah dorongan itu muncul lagi. Maklumlah, di kampus aku ketemu banyak teman baru, bahkan ada yang berasal dari luar daerah, dan beberapa di antaranya boleh dibilang sangat ganteng.

Adalah Rano, teman sebangku denganku ketika mengikuti Penataran P4 pada saat baru masuk kuliah. Aku memang tak jauh dari godaan, Rano boleh dibilang termasuk yang paling ganteng dan seksi di kelas, setidaknya dari sudut pandangku sendiri. Tapi yang membuat dia jadi jauh lebih menarik ialah kepribadiannya yang supel, ramah dan rendah hati. Ia berasal dari sebuah keluarga yang sangat sederhana di Lampung. Ayahnya seorang penjual ikan di pasar. Anak ini berprestasi hebat dengan NEM tertinggi di sana sehingga mendapatkan beasiswa dari lembaga tertentu untuk kuliah di mana saja di seluruh Indonesia sesuai hasil UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Hal yang paling aku suka darinya ialah murah senyum. Dan setiap kali dia tersenyum, lesung pipinya membuat wajahnya tampak jauh lebih ganteng.

Sebenarnya orangtua Rano agak keberatan jika ia kuliah sebab mereka tidak bisa membantu secara finansial sama sekali. Meskipun ada beasiswa, tapi tentunya biaya hidup lain-lain di luar urusan perkuliahan juga sangat besar, sehingga dananya tetap saja tidak cukup. Namun Rano bukan tipe orang yang mudah patah semangat. Karena tidak mampu bayar kost, dia tinggal di kantin kampus sambil membantu pemiliknya bekerja di sana di luar jam kuliahnya. Banyak teman kuliah yang memandangnya sebelah mata, tapi aku justru merasa iba dan terharu melihat tekadnya yang kuat untuk menjadi sarjana. Dengan alasan rumahku jauh dari kampus sedangkan jadwal kuliahku padat, aku mengambil sebuah kamar kost di lokasi kampus. Aku memilih sebuah kamar kost yang tergolong mewah, bentuknya seperti suite room di hotel. Ada semacam ruang duduk yang terpisah dari kamar tidur. Di situ ada sofa, TV dan meja makan serta dapur kecil, sedangkan di kamar tidur ada WC / kamar mandi tersendiri. Unit itu dilengkapi dengan AC dan line telepon tersendiri. Ku ajak Rano untuk tinggal bersamaku di sana. Mulanya dia menolak sebab tempat itu dianggap terlalu mewah untuknya, tapi setelah ku bujuk bahwa aku perlu teman untuk belajar bersama, barulah dia mau pindah ke situ.

Selama semester I aku masih bisa menahan diri. Aku hanya kuatir saja seandainya dia orang yang gay-phobia, maka dia akan spontan menjauh dariku jika dia tahu yang sebenarnya. Namun lama kelamaan aku tak kuasa juga menahan diri. Memasuki semester berikutnya, ketika kami sudah sangat akrab, aku beranikan diri memeluknya ketika tidur, dan ternyata dia tidak keberatan. Mungkin awalnya dia berpikir bahwa aku kedinginan karena AC di ruangan. Setiap kali bangun pagi aku perhatikan ACnya telah dimatikan oleh Rano. Namun suatu malam, Rano yang kelelahan setelah seharian mengikuti lomba olahraga di kampus, langsung tertidur lelap setelah mandi dan membaringkan tubuhnya di ranjang, hanya berbalut handuk tanpa celana dalam sekalipun. Tanpa dia sadari, gerakan-gerakan kecilnya saat tidur membuat handuknya kendor dan terbuka. Ketika masuk kamar, aku menemukan pemandangan yang membuat aku terpana: tubuh Rano yang terlentang bugil lengkap dengan belalai yang nyembul dari selangkangannya, tampak besar walau tidak sedang ereksi. Walau sudah 1 semester aku bersamanya, baru sekarang aku menyaksikan dia telanjang. Selama ini anaknya sangat sopan, bahkan ia selalu mengenakan pakaian ganti sejak dari dalam kamar mandi. Tapi kini... aku tak kuasa menahan diri lagi.

Aku seperti bisa mendengar detak jantungku sendiri ketika perlahan-lahan mendekati ranjang. Aroma khas kelaki-lakian yang merangsang bercampur dengan harumnya sabun mandi langsung tertangkap hidungku, membuat perasaanku semakin bergejolak. Jarakku sudah sangat dekat dengan tubuh Rano yang sangat menggiurkan itu. Ku tatap dalam-dalam kontolnya yang terkulai di atas jembut hitam, halus dan tipis. Kulit kontolnya kelihatan sedikit lebih gelap dibandingkan kulit tubuhnya. Ku dekatkan wajahku demi mengamati batang kenikmatan yang tampak berurat-urat itu. Aku bergidik menelan air liurku sendiri. Tanpa sadar ujung hidungku telah nyaris menyentuh kontolnya. Ku tarik nafas dalam sambil menelusuri lekuk batangnya dengan hidung. Lalu seketika ku buang nafas seperti mendengus sambil memejamkan mataku. Nafsuku sudah di ubun-ubun, apapun juga reaksi Rano nanti, aku sudah tak peduli lagi.

Ku jilat perlahan ujung kontolnya yang seperti jamur mekar. Pemiliknya tak bereaksi apa-apa. Namun setelah jilatan beberapa kali, Rano menggeliat sedikit. Aku berhenti sejenak. Ku tatap matanya. Dia masih terlelap. Ku angkat sedikit batang yang masih lunglai itu, lalu perlahan dan lembut ku masukkan ke rongga mulutku. Seperti orang lapar, ku sedot kontolnya tanpa menunggu lama lagi.

"Hei, apa yang terjadi?", teriak Rano, sepertinya dia sangat terkejut dan nyaris melompat bangun sampai kontolnya copot dari mulutku. Mungkin sejenak ia pikir ia sedang bermimpi. Kemudian dikucek-kucek matanya yang tampak merah.

"Ver... kamu...?", Rano tak meneruskan kata-katanya. Ia menatapku dengan pandangan mata yang masih menunjukkan keterkejutan dan rasa heran. Akupun tak mampu bicara apa-apa, rasanya seperti maling kesiangan. Perlahan-lahan keterkejutannya mulai memudar, berubah menjadi malu. Padahal sebenarnya akulah yang harus malu, bukan dia.

"Jangan Ver, bukannya aku ngak mau ngasih, tapi itu kan kotor, tak pantas masuk ke mulutmu.", ucapnya dengan lembut sambil membelai kepalaku. Sepertinya dia sudah bisa sedikit mengatasi rasa malunya. Rano mengambil handuk yang tadinya melorot, lalu dikaitkan lagi melingkari pinggangnya. Aku baru saja hendak beranjak dari ranjang, tapi Rano menahan tanganku. Aku masih belum sanggup berkata apa-apa, sebab segala macam rasa sedang bercampur aduk di bathinku. Terutama rasa menyesal karena aku ngak bisa menahan diri tadinya.

"Ver, aku ingin bilang sesuatu kepadamu. Jadi jangan dulu pergi.", ujar Rano sambil merapatkan tubuhnya kearahku, "Sepertinya aku bisa bicara jujur sekarang. Aku memang suka wanita, dan sejak masih di Lampung aku sudah sering pacaran. Tapi ngak ada yang tahu kalau di samping itu aku sebenarnya juga tertarik kepada pria yang ganteng, walau sampai detik ini aku belum pernah berhubungan badan dengan pria manapun. Perasaan itu ku kubur dalam-dalam. Namun sejauh ini hanya ada rasa tertarik saja, tidak terlintas sedikitpun di benakku fantasi seks sekecil apapun dengan sesama pria.", Rano menghela nafas dalam sejenak, "Kamu jangan kaget. Sejak pertama kali bertemu denganmu di kampus, aku sebenarnya telah tertarik kepadamu. Kamu begitu ganteng dan ramah. Tapi aku sadar bahwa kamu anak orang kaya yang sangat terkenal di kota ini. Sedangkan aku hanya seorang miskin yang nekad datang kuliah jauh-jauh ke sini hanya berbekal beasiswa. Aku merasa sangat tak pantas, meskipun hanya sebatas teman saja. Aku..."

Ku taruh jariku di bibirnya, hingga Rano terhenti bicara. "Ngak perlu diteruskan. Aku sudah mengerti sekarang. Ran, aku juga ingin jujur. Sebenarnya sejak awal aku juga sudah menaruh hati kepadamu. Apakah kamu menyadari hal itu?"

"Tidak Ver, aku tak menyangka begitu. Dari luar kamu sosok lelaki sejati dan tak ada tanda-tanda sedikitpun kalau kamu suka yang sejenis. Jika bukan karena apa yang kamu lakukan tadi, aku tidak akan pernah tahu keadaanmu yang sebenarnya.", ujarnya, "Aku ingin mengungkapkan perasaanku, tapi aku takut jika malah sebaliknya kamu menjauh dariku. Bukannya aku takut kehilangan fasilitas seperti tempat kost ini, aku ngak peduli walau harus tidur di kantin lagi. Tapi... tapi...", kata-katanya terbata-bata seperti terlalu kuatir, "Ver, aku cinta padamu!"

Aku bagaikan tersengat listrik dari ujung rambut ke ujung kaki. Itu adalah kalimat yang paling tak ku sangka bakal keluar dari mulut Rano. Oh, selama ini aku telah berusaha memendam perasaanku sendiri, ternyata orang yang ku damba-dambakan justru mencintaiku! Aku tak sanggup bicara, serta merta ku dekap Rano erat dengan segenap rasa yang ada di hati ini. Pipi kami beradu, dan tak terasa mataku telah berkaca-kaca.

Rano berbisik lembut dekat telingaku, "Ver, itulah sebabnya aku tak tega melihat kelaminku masuk ke mulutmu. Bukannya aku ngak rela, tapi aku begitu mengagumimu. Siapalah aku ini, Ver? Aku merasa risih jika kamu harus merendahkan diri seperti itu. Cintaku padamu jauh lebih besar daripada keinginan nafsuku sendiri. Percayalah..."

Itulah Rano, teman pertamaku di kampus yang jatuh dalam pelukanku. Tapi anehnya itu bukan seks, sebuah gita cinta nan indah yang menghiasi suasana jiwaku. Entah kenapa aku merasakan kepuasan yang jauh lebih besar dari hasrat erotis. Sejak saat itu kami berdua menjalani hari-hari berdua selayaknya sepasang kekasih di tempat kost. Namun di luar sana kami tetap bersikap biasa-biasa saja di depan teman-teman kampus, dan memang tak ada yang curiga sama sekali, sebab sebenarnya sejak awal masuk kampus kami telah akrab satu sama lain.

Sejalan dengan waktu, hubunganku dengannya semakin mendalam, mengalir secara alamiah. Walau akhirnya kami tetap juga sampai ke hubungan seks, tapi itu hanya sekedar cara untuk saling menyalurkan rasa cinta kami. Kami membangun kebersamaan yang mutualisme, baik Rano maupun aku sama-sama mendapatkan semangat belajar sehingga Index Prestasi (IP) kami berdua jauh lebih tinggi di atas rata-rata teman seangkatan. Rano memang seorang pemuda yang memiliki kecerdasan tinggi, makanya dia mendapatkan beasiswa. Hal itu adalah salah satu faktor yang turut mendorong aku makin mencintainya, sebab aku memang tertarik kepada orang yang cerdas, melebihi sekedar ketampanan. Setidaknya dia mampu menimbangi cara berpikirku sehingga selain sebagai kekasih, dia juga sangat tepat menjadi partner diskusi.

Demikianlah kisah cinta antara aku dengan Rano di kampus. Meskipun kini kami tidak bersama-sama lagi karena Rano telah kembali ke Lampung dan konon telah menikah, tetapi cinta yang bersemi di kampus itu tetap menjadi sebuah kenangan indah yang sulit terlupakan.

Asmara di Puncak Gunung

Naik kelas 2 SMA, hubunganku dengan Raka mulai merenggang, meskipun kami masih sering ketemu dan kadang-kadang having sex juga, setidaknya sampai Raka pindah sekolah. Selain bergaul di sekolah, di rumah pun ada beberapa anak tetangga yang sebaya denganku dan menjadi temanku. Kami sering ketemu terutama di sore dan malam hari.

Adalah Alwi, seorang anak tetangga yang akhirnya menjadi akrab denganku. Padahal sebenarnya aku berteman dengan adiknya, si Joni, yang sebaya denganku. Alwi sendiri baru saja tamat SMA dan tidak terus ke perguruan tinggi sebab orangtuanya kurang mampu. Mula-mulanya tidak terlalu dekat denganku, sebab jika aku main ke rumahnya, yang ku cari tentunya adalah si Joni, adikknya. Perawakan Alwi tinggi dan proporsional, berbeda dengan adiknya. Parasnya pun kelihatan jauh lebih keras ketimbang Joni yang tampak imut. Dari seringnya aku main ke rumah mereka, aku tahu bahwa Alwi pintar bermain gitar. Aku sendiri sebenarnya ingin sekali bermain gitar, tapi jariku selalu saja kesakitan jika menekan dawainya. Namun kalau alat musik piano, boleh dibilang aku sangat mahir. Wajar aja, sejak sebelum aku lahir, di rumah telah ada sebuah piano klasik, benda yang sangat disayangi ayahku. Aku belajar piano secara autodidak karena ayahku hampir tidak punya waktu untuk mengajariku, dan aku tidak pernah mau ikut les sebab rasanya terlalu teoritis.

Setiap kali aku ke rumah Joni dan melihat si Alwi bermain gitar, aku jadi terkagum-kagum. Dia sanggup memainkan melody lagu dengan terampil dan artistik. Justru karena aku tidak terlalu pintar bermain gitar, maka aku minta Alwi mengajarkannya kepadaku. Itulah awalnya kami mulai berteman akrab. Lagi pula si Alwi ingin "tukar ilmu" denganku. Aku sering mengajaknya bermain piano di rumah, tentunya saat ayahku sedang keluar, sebab beliau tidak suka ada yang mengutak-atik piano antik itu, kecuali beliau dan aku. Terkadang aku dan Alwi juga suka berduet, aku main piano dan dia main gitar. Hal itu membuat aku makin tertarik padanya, apalagi wajahnya memang ganteng, dan menurutku posturnya sangat sexy. Anyway, yang paling utama membuatku tertarik ialah kepintarannya bermain gitar.

Persahabatanku dengan Alwi makin lama semakin akrab, apalagi ternyata kami sama-sama suka hiking dan mendaki gunung. Justru adiknya, si Joni, tidak punya hobi seperti itu, sehingga akhirnya aku malah akrab dengan kakaknya. Kalau mendaki gunung bersama, Alwi selalu membawa gitarnya. Aku sih ingin juga membawa piano, tapi bagaimana mungkin? Nah, kalau lagi di puncak gunung, Alwi bermain gitar dan aku menyanyi. Salah satu lagu favorit kami ialah "Always Somewhere". Aku hafal liriknya sehingga tak perlu membawa song book segala.

Suatu hari aku diajak Alwi mendaki gunung. Kami hanya pergi bertiga, aku, Alwi dan seorang temannya lagi yang bernama Edi. Dia bukan tetangga kami, tapi mantan teman sekelas Alwi di SMA. Ketika tengah mendaki, aku sempat tergelincir dan nyaris masuk jurang. Tasku jatuh ke jurang, tapi Alwi dan Edi bisa menyelamatkanku. Kami beristirahat sejenak, lalu terus mendaki sampai ke puncak.

Matahari sudah hampir terbenam saat kami tiba di puncak. Angin dingin behembus cukup kencang, membuat kami merasa lapar. Alwi mengeluarkan bekal makan malam untuk kami bertiga. Malam makin larut, udara dingin mulai menusuk, tapi hembusan angin agak mereda. Tak banyak pendaki gunung lain malam itu, sehingga kami leluasa memilih tempat untuk membuat api unggun kecil. Selama beberapa jam kami bernyanyi bersama di dekat api unggun sambil menghangatkan tubuh. Si Edi yang duluan menyerah, ia segera membuka kantong tidurnya, dan seperti mengacuhkan berisiknya nyanyian kami, hanya dalam beberapa menit dia sudah tertidur. Kira-kira sejam kemudian aku dan Alwi juga memutuskan untuk tidur. Aku sempat bingung juga, sebab kantong tidurku turut jatuh ke jurang bersama tasku. Untunglah Alwi membawa tenda kecil. Memang dia kurang suka memakai kantung tidur. Aku membantu Alwi membuka dan memasang tendanya. Aku merasa tidak enakan juga, sebab tampaknya tenda itu terlalu kecil untuk kami berdua. Namun Alwi dapat ide bagus. Kami tiduran dengan kaki terjulur ke luar tenda. Selimutnya hanya satu, jadi terpaksa kami pakai berdua.

Meskipun sudah beberapa kali kami mendaki bersama, tapi baru sekarang aku tidur setenda dengan Alwi. Aku jadi deg-degan, walau terbungkus jaket dan selimut, Alwi yang terbaring hanya beberapa cm dariku kelihatan sangat menggiurkan di terpa sinar bulan dan cahaya dari sisa-sisa api unggun. Aku gelisah, sulit terlelap, pandanganku tak putus-putusnya ke arah wajah yang tampan dan macho itu.

Lamunanku tiba-tiba buyar ketika Alwi membuka matanya dan menyapa, "Kenapa Ver? Nggak bisa tidur ya? Mungkin kamu kedinginan. Kamu pake sendiri aja selimutnya supaya lebih hangat. Terlalu kecil untuk kita berdua."

"Oh, nggak usah, aku nggak apa-apa kok. Begini aja udah cukup", jawabku.

"Oke, kalau begitu kamu mendekat sedikit ke sini, supaya selimutnya muat", ajak Alwi.

Walaupun aku merasa agak canggung, ku terima tawarannya. Ku geserkan tubuhku mendekatinya, tapi aku terkejut seperti kesetrum ketika Alwi kemudian merangkul tubuhku. Aku tahu Alwi tidak berpikiran macam-macam, sebab dia memang bukan gay. Maksudnya merangkulku ialah supaya aku merasa hangat. Alwi segera meneruskan tidurnya, tetapi aku tidak bisa. Wajahku terlalu dekat dengan wajahnya sehingga hanya dengan satu gerakan kecil saja bibir kami bisa saling bersentuhan. Nafasnya yang memburu namun segar menerpa wajahku, membuat aku menjadi terangsang. Aku jadi gelisah, tapi tidak berani bergerak sedikit pun. Pelukan Alwi bukan hanya memberi kehangatan terhadap tubuhku, tapi juga bathinku. Aku merasa seperti terlindungi.

Malam semakin larut dan akhirnya aku terlelap juga sebab pendakian tadi dan kejadian aku nyaris masuk jurang sudah sangat memeras tenagaku. Menjelang subuh aku terbangun lagi, tubuhku menggigil diserang rasa dingin. Sepertinya tahu aku kedinginan, Alwi mempererat pelukannya. Tanganku terjepit di antara paha kami, tak sengaja menyentuh tonjolan di selangkangannya. Kepala kami yang sudah saling menempel satu sama lain, membuatku tak bisa menahan diri lagi. Sesaat kemudian, ku remas mesra tonjolan yang sudah sejak tadi merangsang tanganku, membuat pemiliknya terkejut.

"Ver, geli ah...", ujar Alwi sambil membuka matanya. Ia pikir aku sedang becanda, jadi ia hanya tersenyum aja.

"Tenang aja...", bisikku, sambil memasukkan tanganku ke balik celana training berkaret yg Alwi kenakan. Ku genggam batang kontol Alwi yang kayaknya sudah ngaceng, mungkin karena subuh. Besar juga! Alwi hanya terdiam, mungkin dia merasa heran sebab baru sekarang ada lelaki lain yang menggenggam penisnya seperti itu. Ku gosok-gosokkan tanganku dengan perlahan dan lembut, membuat Alwi mengerang kecil dan memejamkan matanya. Ku coba menarik tanganku dari selangkangannya, tapi Alwi buru-buru menahan dengan tangannya, seolah memberi isyarat bahwa aku boleh teruskan. Makanya ku serudukkan tanganku makin dalam, mencapai kantung biji zakarnya. Ku permainkan jari-jariku dengan lincah di sana, sehingga Alwi menggeliat keenakan. Rasanya ada yang basah, pasti precum-nya mulai keluar karena rangsangan yang ku berikan. Ku pijat lembut kontolnya dengan gerakan naik turun.

Tak berapa lama kemudian, Alwi memberi kode agar aku mengeluarkan tanganku dulu dari celananya. Alwi memasukkan kakinya yang tadinya terjulur ke luar tenda, dan aku pun mengikutinya, sampai tenda itu benar-benar sesak oleh kami berdua. Aku ingin nyelonong ke bawah agar mulutku mencapai selangkangannya, tapi ruang yang ada terlalu sempit. Lantas aku duduk bersila di dekat tubuhnya. Badanku terpaksa ku jongkokkan demi menggapai kontolnya yang sudah seperti buahan ranum itu. Ketika bibirku menyentuh kepala kontolnya, lidahku langsung berputar-putar di sekitarnya, membuat tubuh Alwi bergetar. Dinginnya udara puncak gunung di subuh hari itu seolah tak terasakan oleh Alwi ketika aku memelorotkan celananya sampai ke batas lutut. Di depanku kini terhampar pemandangan yang indah, kontol seorang lelaki jantan lengkap dengan asesorisnya (jambut halus dan kantong biji zakar). Segera ku santap "sarapan" yang kepagian itu. Mulutku yang sudah terlatih oleh beberapa pengalaman sebelumnya mungkin terasa lebih nikmat daripada memek wanita. Aku sendiri kurang tahu persis kalau dia masih perjaka atau tidak, tapi aku yakin inilah pertama kali ada mulut lelaki yang menggerayangi kontolnya.

"Ah, ah, ah, ah... terusin Ver... terusin...", rintihnya ketika gerakan memompa kontolnya dengan mulut ku percepat. Kini Alwi bahkan berusaha mengangkat-angkat pinggulnya. Gerakanku kian membuas, sampai akhirnya Alwi mendorong kepalaku hingga kontolnya benar-benar tertancap di pangkal lidahku, lalu...

"Aaaa... aaaaa.... aaaa....", rintih Alwi tersendat-sendat seirama dengan semprotan air mani segar beberapa kali yang terasa hangat di rongga mulutku. Ku telan semua "air kelelakian" Alwi. Sampai ia menghempaskan pinggulnya ke tikar, barulah aku membebaskan burung perkasa yang barusan muntah itu dari perangkap mulutku. Ku lihat masih ada sedikit tetesan mani di ujung kontolnya dan ku bersihkan dengan tepian kaosnya yang sedikit nyembul di bawah jaketnya.

Alwi tidak membuka matanya. Dia tertidur saking nikmat dan lelahnya. Namun aku berusaha menarik celananya yang melorot ke lutut itu lalu ku rapikan. Setelah itu aku segera keluar dari tenda untuk melihat keadaan di sekeliling. Aku kuatir jika Edi yang tidur di kantong hanya beberapa meter dari tenda terbangun sebab tadi kami cukup berisik. Ternyata tidak, Edi sepertinya tertidur lelap sekali. Di ufuk timur sudah kelihatan terang walau matahari belum terbit. Aku mengambil air dari termos dan ku kumur-kumur mulutku supaya sisa-sisa mani tidak menimbulkan bau yang menyengat.

Itulah salah satu pengalaman indah yang pernah ku lalui dengan Alwi. Yang jelas, setelah peristiwa itu, aku sering berhubungan seks dengan Alwi setiap kali ada kesempatan, termasuk dalam kamarku sendiri. Di lain pihak, aku juga masih tetap bisa menikmati Raka, walaupun pertemuan kami sudah agak jarang sampai akhir semester III. Alwi hanya salah satu dari beberapa lelaki dalam hidupku di masa pubertas. Akan ku ungkapkan yang lainnya di kisah-kisah selanjutnya.

Gita Cinta dari SMA, 3

Pengorbanan Raka sungguh membuat aku makin menyayanginya. Walau tidak "semanis" cinta pertama dengan Franky, tapi Raka mendapatkan tempat yang istimewa di lembaran hidupku karena pengorbanannya itu. Mungkin akibat pengaruh pubertas, saat itu aku jadi sangat posesif. Sebagai seorang siswa yang ganteng tapi ramah, tentunya Raka sering dikerumuni banyak siswi di sekolahku. Hal itu membuatku cemburu dan sering marah-marah kepadanya (memang jika aku mengenang lagi masa itu, aku sadar sikapku ternyata sangat menyebalkan, but it's yesterday!).

"Ver, mengertilah... aku hanya diajak nonton oleh Dewi dan Tina. Masa sih begitu aja ngak boleh? Kan setelah itu aku bisa langsung ke rumahmu dan nginap di sana", bujuk Raka ketika melihat sikapku yang kesal dan agak ngambek.

"Ya udah, pergi aja! Siapa juga yang larang kamu? Setelah itu ngentot aja sama mereka, ngak usah ke rumahku!", jawabku kasar, sambil berbalik badan menuju ke luar gerbang sekolah. Raka ingin mengejar, tapi di kejauhan tampak Dewi dan Tina melambai-lambaikan tangan memanggilnya. Supaya mereka tidak curiga, Raka urung mengejarku, hanya diam di tempat menunggu gadis-gadis yang sedang mendekat itu. Entah kenapa sikapku begitu konyol, sampai bisa menangis segala. Namun kayaknya hal itu wajar saja bagi seorang remaja yang sedang kasmaran. Satu-satunya hal yang aneh ialah aku lelaki, dia juga lelaki.

Aku sedang nonton video di kamar (ketika itu belum ada LD, VCD atau DVD) saat pembantuku mengatakan bahwa ibu memanggilku di ruang tamu. Dengan perasaan enggan aku "pause" videonya dan menemui ibu. Aku terkejut ketika memasuki ruang tamu, sebab di sana ibu sedang duduk dengan Raka. Sebenarnya aku masih kesal dan ingin langsung putar haluan ke kamar, tapi aku tak ingin ibuku curiga, maka aku bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Eh, Raka... gimana filmnya? Seru ngak?", ku atur nada suaraku seramah mungkin.

"Biasa aja. Malah agak bikin ngantuk, soalnya itu film drama. Kamu tahu kan kalo aku lebih suka film action.", jawabnya yang terkesan berbasa basi.

"Hmm... mungkin lebih baik kalian ngomongnya di dalam saja. Sekalian makan malam aja kalau belum, tadi saya lihat bibi menggoreng udang tempura", interupsi ibuku, sebab beliau melihat sikap Raka agak canggung.

"Terima kasih tante...", tanggap Raka sambil berdiri dan menarik tanganku. Ketika kami menghilang di balik pintu, segera kutepis tangan Raka yang masih menggenggam tanganku.

"Udah, jangan sok mesra ah, pergi aja sana ke ruang makan. Aku lagi nonton video di kamar!", ujarku ketus sambil bergegas meninggalkannya. Segera aku berjalan kembali ke kamar tidurku. Perasaanku bercampur aduk. Ku tutup pintu kamar, tapi tidak dikunci. Mungkin Raka kehilangan selera makannya. Disusulnya aku ke kamar. Ketika dia masuk, aku ngak mau menegur, ku tonton terus video dan dia hanya berdiri saja di sana selama beberapa menit. Selanjutnya ku lihat dia mengunci pintu kamar dan mendekatiku. Duduk di samping, aku tetap diam. Dipegangnya tanganku...

"Ver, jangan gitu dong. Aku ngak mau melihatmu sedih. Maafkan aku ya?!", ucapnya sambil berusaha merangkulku. Wauapun masih kesal, tapi aku tak tega juga ketika dia memelas begitu. Ku balas rangkulannya tanpa berkata apa-apa.

"Bicaralah Ver, jangan diam begitu. Kalo emang aku salah, aku udah minta maaf", Raka menatapku dalam-dalam.

"Mhh... ngak apa-apa kok. Justru aku yang harus minta maaf. Terkadang aku emang seperti anak kecil, aku terlalu manja terhadapmu. Tapi aku cemburu karena aku betul-betul sayang kamu, Raka!", ujarku lirih, lalu menciumnya mesra.

Tak ada lagi kata-kata lain yang keluar setelah itu. Kami berdua langsung berbaring di ranjang. Kini Raka yang kelihatannya lebih aktif. Dia mencumbuku bertubi-tubi. Kancing bajuku dibukanya dengan giginya. Ia terus menggerayangi tubuhku sampai kami berdua bugil. Mungkin ia berusaha menutupi rasa bersalah, aku tahu pasti bahwa Raka bukan gay, tapi ia mau melakukannya. Aku hanya terlentang pasif. Raka meneruskan pengembaraannya. Dia mainkan putingku dengan lembut, hangat nafasnya yang memburu terasa menggelitik pori-poriku.

Aku mau berdiri untuk pidah posisi, tapi Raka menahanku dengan tangannya, seolah memberi kode kalo aku diam saja. Ku turuti kemauannya. Ia kembali menyerang bibirku dengan kecupan dahsyat. Kami bergelut lidah entah berapa lama, sementara kaki-kaki kami telah saling bergesekan. Perlu ku akui, bibirnya memang seksi, dan mungkin itu hal yang paling ku suka darinya. Matanya merem... aku tak tahu, apakah dia sebenarnya sedang mengkhayalkan seorang wanita atau emang bisa betul-betul menikmati diriku walaupun aku juga seorang lelaki. Permainan lidahnya sudah makin binal. Aku tak bisa menyalahkannya, sebab aku tahu persis bahwa aku juga yang "mengajarkan" semuanya.

Adegan selanjutnya, Raka mulai mengarah ke selangkanganku. Dijilatnya lipatan pahaku, memberi sensasi yang tak terlukiskan. Setelah itu, seperti orang kelaparan (emang mungkin juga dia lagi lapar), dimasukkannya kontolku ke mulutnya. Lidahnya berputar-putar seperti sedang makan lolipop. Tubuhku bergetar hebat menahan kenikmatan. Oh, sungguh menggairahkan... apalagi ku tahu kontolku sedang dalam rongga mulut seorang lelaki sejati nan jantan! Aku tahu sampai detik ini pun Raka ngak mau berhubungan seks dengan lelaki lain, hanya denganku saja. Jadi aku merasa pelayanannya sangat istimewa.

"Aaaahhh.... ahhhh, aku tak tahan lagi!", jeritku sambil berusaha mencopot batangku dari rongga mulutnya. Tapi Raka makin mengeratkan dekapan tangannya di bokongku, sehingga kontolku benar-benar tertancap ke mulutnya. Dan... aku ngak kuat lagi, segera tersembur peju hangat dari ujung kontolku dalam beberapa kali semprotan kuat. Raka menelan semuanya! Aku telah terkulai lemas, posisiku menghadap ke samping, dan kontolku tetap bersarang di mulutnya. Mau ku copot lagi, tapi dia tetap menahanku. Karena lelah aku pun ketiduran. Subuh hari aku terbangun, aku terkejut melihat Raka sedang tertidur dengan posisi masih seperti semalam. Kontolku yang sudah lemas masih tetap bersarang di mulutnya yang sedikit menganga. Ku cabut, dan tampak ada sedikit noda maniku yang mengering di tepian bibirnya.

Pagi harinya suasana sudah kembali normal, seperti tidak terjadi masalah apapun kemarin. Hari-hari selanjutnya juga Raka tetap berusaha menjaga perasaanku. Dia tidak mau dekat-dekat dengan para gadis di sekolah. Aku kasihan juga melihatnya seperti itu, tentunya sangat menyiksa perasaannya sebagai lelaki sejati. Aku merasa bersalah, dan ku bilang kepada Raka bahwa dia boleh bergaul tanpa harus kuatir aku marah. Ya, kalo Raka mau mengerti keadaanku, kenapa aku harus jadi egois dan ngak mau peduli apa keinginannya yang sebenarnya?

Beberapa bulan kemudian, Raka telah mempunyai pacar (tentunya wanita), teman sekelas. Kami tetap akrab, tapi demi menyurutkan kecemburuanku, aku berusaha bergaul dekat dengan teman-teman lelaki lainnya di sekolah. Bahkan ada beberapa juga yang akhirnya menjadi teman kencanku setelah itu. Ternyata hal itu mujarab, perasaanku terhadap Raka tidak terlalu membludak lagi, dengan demikian aku juga tidak terlalu cemburu.

Kami masih sering berhubungan begituan (diselingi beberapa teman lain yang akan ku ceritakan di kisah lainnya lagi), sampai naik kelas 2. Memasuki semester 4, aku kehilangan Raka. Rupanya ada SMA yang baru buka di pusat kecamatan hanya beberapa km dari kampungnya, dan orangtua Raka memintanya untuk pindah ke situ supaya bisa pergi pulang dari kampungnya. Sebagai petani mungkin mereka merasa berat dengan biaya hidup Raka yang terlalu besar jika bersekolah di kota. Memang aku merasa kehilangan juga, tapi kini sudah ada beberapa teman sekolahku yang juga "making love" denganku. Ada yang gay, ada pula yang lelaki tulen. Jahatkah aku? Mungkin, tapi aku juga korban orang lain!

Gita Cinta dari SMA, 2

Telah beberapa bulan berlalu sejak pertama kali aku "memperawani" Raka, teman baruku di SMA. Hubungan kami berlanjut terus, bahkan kami telah menjadi sahabat karib. Setelah "malam pertama" itu, kami telah beberapa kali "making love", semuanya terjadi di kamarku. Memang tidak setiap hari, hanya pada malam Minggu, itupun kalo si Raka tidak pulang ke kampungnya. Namun selama ini, sama seperti pada malam pertama, Raka hanya bersikap pasif alias pura-pura tidur. Selain malu, dia juga emang masih hijau banget dalam soal hubungan seks, bahkan dengan lawan jenis sekalipun. Di balik itu, aku lihat Raka tidak banyak berubah. Dia sama sekali tidak bersikap seperti... merasa "dibutuhkan", dan tidak jadi matre terhadapku, meskipun aku selalu berusaha "memanjakannya" dalam banyak hal. Singkat kata, orangnya sangat tahu diri. Orangtuaku pun senang kepadanya, karena sering belajar bersamaku (tentunya mereka tidak tahu hubungan intimku dengannya). Namun sejauh ini, Raka tidak pernah membicarakan tentang hubungan seks aku dan dia sama sekali, seolah-olah hal itu tidak ada.

Di suatu Sabtu sore, sepulang sekolah aku mengajak Raka berenang di kolam belakang rumahku. Ketika tiba di rumah, pembantuku mengatakan bahwa orangtuaku baru saja pergi menghadiri pesta pernikahan anak relasi bisnis ayahku. Tempatnya di kota lain yang berjarak hampir 100km dari kotaku. Pastilah mereka pulang larut malam, pikirku. Tiba-tiba muncul ide jahil di benakku. Setelah pembantuku meletakkan sepiring buah anggur segar di tepi kolam renang atas permintaanku, aku bilang kepada pembantuku agar jangan masuk ke bangunan rumah utama jika tidak ku panggil (ada paviliun tersendiri untuk pembantu dan sopir). Segera ku kunci pintu ke beranda belakang yang terhubung ke areal kolam renang.

Seperti biasa, aku dan Raka masuk ke kolam dengan celana renang saja. Baru beberapa menit berenang, aku mendekati Raka dari arah belakang. Ku sergap dan ku rangkul dia mesra. Tanganku membelai dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan tipis. Raka jadi serba salah. Tentunya jurus "pura-pura tidur"-nya yang selama ini manjur di ranjang tak dapat diterapkan dalam kolam renang. Aku membalikkan tubuhnya, sehingga kini kami berhadap-hadapan langsung. Raka menundukkan wajahnya, menyembunyikan rasa malu dan kikuk. Tapi aku mengangkatnya dengan menaruh jariku di dagunya, sehingga kini kami saling menatap.

"Raka, aku sayang kamu. Aku tahu kamu bukan gay, tapi aku benar-benar cinta kamu, bukan hanya sekedar menginginkan tubuhmu...", aku tak kuasa meneruskan kata-kataku, mataku telah basah berkaca-kaca.

Raka tak sanggup berkata-kata, antara kikuk, canggung, malu, campur haru. Tiba-tiba ia merangkulku erat-erat sampai kepalaku tersandar di pundaknya (dia memang lebih tinggi dariku). Entah bagaimana caranya, aku bisa merasakan bahwa pelukannya itu tulus banget.

"Bukannya aku menolakmu, Ver... aku hanya bingung. Kamu tahu aku orang kampung yang ngak ngerti apa-apa. Aku hanya ingin bersikap hati-hati supaya kamu jangan tersinggung. Tapi percayalah, apa saja yang kamu inginkan, pasti aku penuhi", ujarlah setengah berbisik di telingaku.

Ku renggangkan dekapannya, lalu menatap wajahnya, "Apa saja?"

"Ya, apa saja... asalkan hal itu membuatmu bahagia, aku rela, Ver!", tegas Raka.

Tanpa komando lagi, aku segera melancarkan ciuman bertubi-tubi ke wajah Raka. Ia memejamkan matanya ketika bibirku menyentuh lembut bibirnya nan seksi itu. Ini adalah kedua kalinya bibir kami saling menempel, setelah permainan saling mengoper permen ketika pelonco di saat masuk SMA. Hanya saja kali ini, aku melakukannya dengan penuh kemesraan. Ku lumat bibirnya, sampai ujung-ujung kumisnya yang halus menggelitik bibirku. Ku terobos bibirnya dengan lidah, sampai kedua ujung lidah kami beradu. Terasa sekali bahwa Raka benar-benar masih polos, dan aku yakin "French Kiss" dengan wanita pun belum pernah dia lakukan. Gerakan lidahku yang liar seakan "mengajari" Raka bagaimana caranya berbagi kepuasan dari mulut ke mulut. Ku petik sebutir anggur dari tangkainya di atas piring dekat kolam, lalu ku masukkan dalam mulut Raka. Kami mengulumnya bersama... sungguh suatu percumbuan yang romantis.

Sesaat kemudian aku menurunkan celana renang Raka, lalu ia meneruskannya sampai lepas dari kakinya. Aku juga menanggalkan celana renangku, sehingga kami berdua benar-benar bugil dalam kolam. Aku memanjat ke tepi kolam, disusul oleh Raka. Kini tubuh telanjang kami bergumul di atas lantai ubin, sementara itu adegan ciuman kami teruskan lagi. Adegan selanjutnya, aku mengarahkan ciumanku ke daerah seputar selangkangan Raka. Ku kulum pelernya yang sudah setengah berdiri itu, hingga tubuh rangga menggeliat pelan. Apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaanku. Raka memutar arah tubuhnya, sehingga posisi kami jadi seperti angka 69. Aku tersentak kaget ketika ku sadari mulut raka telah menempel di kontolku. Mencontohi apa yang telah beberapa kali aku lakukan kepadanya, Raka mulai mengulum kontolku. Terasa kaku memang, sebab ini pertama kalinya ia melakukan seks oral secara aktif. Ku mainkan lidahku di sekujur kontolnya, seolah memberi "contoh" bagaimana seharusnya ia memperlakukan kontolku. Dan benar saja, Raka meniru apa yang ku lakukan.

Entah nafsu macam apa yang mendorongku, tiba-tiba saja terlintas niat yang lebih jorok di benakku. Ku balikkan tubuh Raka sampai ia tertelungkup. Ku renggangkan kedua kakinya, lalu lidahku menerobos belahan pantatnya guna mencari liang anusnya yang pasti masih perawan itu. Wah benar saja, ternyata lubang itu masih rapat banget, diselimuti jembut yang masih terasa halus. Tanpa membuang waktu, lidahku pun bersarang di sana, membuat Raka meronta kecil menahan kenikmatan tiada tara yang baru sekarang dia rasakan.

"Oh Ver, nikmat sekaliii....", rintihnya. Mendengar itu, aku main menggencarkan permainan lidah dan bibirku sehingga lubangnya tampak lebih leluasa.

Kini aku tak tahan lagi. Segera ku raih sebotol body lotion yang terletak di tepi kolam, ku tuangkan isinya ke telapak tangan, lalu kuusapkan merata di batangku. Tentunya Raka yang tertelungkup tidak menyadari rencana serangan yang akan ku lancarkan. Bahkan sampai aku mengoleskan sedikit lotion ke duburnya, Raka masih belum tahu. Maklumlah, jangankan mengalami, nonton film blue atau melihat gambar porno pun ia belum pernah. Sesaat kemudian, ku tindih tubuhnya dari belakang.

"Ver... jangan... ah, aaaahh, aaaahhhh", rintih Raka menahan kesakitan ketika kontolku mulai masuk ke anusnya. Ia sedikit meronta, tapi posisiku sudah pas banget menunggang di belakang tubuhnya. Segera ku hujamkan batangku dalam-dalam, ku lihat Raka kesakitan. Ku hentikan sejenak gerakan kontolku, sehingga Raka terlihat sedikit lega. Nafasnya ngos-ngosan. Sesaat kemudian aku memulai lagi gerakan maju mundur, kali ini lebih "gentle". Perlahan rasa sakit Raka sepertinya mulai berganti menjadi kenikmatan. Hal itu dapat ku lihat dari ekspresi wajahnya saat ku dekatkan kepalaku ke samping pundaknya.

"Teruskan, Ver... oh.... teruskan", desah Raka sebagai pertanda nikmat.

Aku tiba-tiba merasa sudah mendekati puncak. Mungkin karena lubangnya yang masih sangat sempit, sehingga rangsangan yang ku terima lebih besar. Lalu...

"Ooooohhh... ohhhh.... ohhhh...", aku tiga kali menyemburkan kuat-kuat maniku di dalam lubang anusnya, menyusulan semburan-semburan kecil lainnya. Ku benamkan kontolku dalam-dalam.

Pada saat aku mencabut kontolku beberapa menit kemudian, ku lihat cairan maniku mengalir keluar dari lubangnya, hanya saja warnanya bukan putih, tapi agak merah bercampur darah. Raka memang benar-benar masih perjaka tulen (tadinya). Setelah nafsuku terlampiaskan, ada rasa menyesal di hatiku, kenapa aku tega melakukannya terhadap Raka. Aku pikir dia marah, ternyata tidak! Ia membalikkan tubuhnya menghadapku. Tampak wajahnya agak pucat, tapi ia tersenyum padaku.

"Aku rela kok... asalkan itu bisa memuaskanmu. Aku malah senang bisa berkorban untukmu, sebab selama ini aku tak tahu bagaimana caranya mengimbangi semua kebaikanmu terhadapku.", ujar Raka.

Mendengar perkataannya, perasaanku jadi bercampur aduk, antara sedih dan bahagia, antara rasa bersalah dan rasa terima kasih.

"Oh Raka... aku sayang kamu.", ucapku sambil memeluk tubuhnya erat-erat. Kami tetap saling berangkulan selama beberapa saat, walaupun tubuh kami telah sama-sama dibasahi peluh. Setelah itu aku mengajaknya ke kamar mandi bilas di dekat kolam. Di sana aku menuntaskan PR-ku untuk memuaskan Raka. Di bawah guyuran shower, ku sedot kontol Raka sambil mengocoknya. Hanya saja kali ini Raka tak perlu pura-pura tidur lagi. Ia bersandar di dinding kamar bilas, sambil menyaksikan aku menggerayangi kontolnya. Bahkan aku biarkan dia menikmati pemandangan ketika spermanya menyemprot belepotan di bibirku dan rongga mulutku. Ku sapu dengan lidah, dan ku telan semuanya sampai tetesan terakhir.

"Yang satu itu aku pengen coba...", Raka mengomentari.

Hmm... pucuk dicinta ulam tiba! Sanggupkah Raka yang bukan gay itu menelan maniku? Akankah dia jijik atau muntah? Nantikan saja petualangan selanjutnya dengan dia... yang pasti, ini kisah nyata!

Jumat, 22 Juni 2012

Gita Cinta dari SMA

Hari pertama di SMA adalah saat yang sangat indah bagiku, sebab untuk pertama kalinya aku bisa ke sekolah bercelana panjang. Salah satu hal yang ku idam-idamkan ketika masih di bangku SMP dulu. Hal lain yang menyenangkan ialah aku dapat teman baru. Memang ada beberapa teman SMP-ku dulu yang juga diterima di sekolah idaman ini, SMA Negeri yang paling favorit di kotaku. Namun sebagian besar adalah wajah-wajah baru, baik yang datang dari SMP-SMP lain di sekolahku, juga dari SMP di beberapa kampung yang ada di sekitar kotaku. Emang pada umumnya sekolahan di kampung hanya sampai tingkat SMP, sehingga mereka harus pindah ke kota saat memasuki SMA.

Pada masa itu, di SMA masih berlaku praktek perpeloncoan, walaupun tidak seberat mahasiswa baru di perguruan tinggi. Namaku terdaftar di kelas 1-1, bersama 33 siswa lainnya, tapi hanya 10 orang saja yang perempuan. Kami belum sempat berkenalan satu sama lain, baru saja meletakkan tas di dalam kelas, terdengar pengumuman agar kami segera berkumpul di lapangan upacara bersama siswa-siswa baru di kelas paralel lainnya.

Matahari bersinar terik saat itu, tapi tidak ada yang peduli. Di lapangan kami muali berkenalan satu sama lainnya, sehingga tampak seperti kerumunan lebah bising.

"Diam semuanya! Segera atur barisan menurut kelas masing-masing!", terdengar teriakan dari speaker yang dipasang di tepi lapangan. Dari jauh tampak seorang siswa, mungkin pengurus OSIS, yang sedang memegang mic dan tangannya yang satu lagi mengacak pinggang. Tiba-tiba saja semua yang di lapangan diam seperti dibius. Semua berlari dan membentuk barisan teratur, mulai dari kelas 1-1 sampai 1-7.

Sudah dapat ditebak, setelah itu acara "pembantaian" dari kakak-kakak kelas pun berlangsung seharian. Aku sih enjoy aja, hanya saja tampak seperti orang konyol. Ngak apa-apalah, yang penting konyol bareng. Di antara semua kegilaan hari itu, hanya satu permainan yang aku rasa jijik, yakni berdiri membentuk lingkaran sekitar 10 orang, lalu mengulum sebutir permen dan dioperkan secara estafet ke orang di sebelah kiri, sampai kembali lagi ke orang pertama. Betul-betul menjijikkan, gimana kalo ada yang berpenyakit menular. Sempat terlintas di pikiranku untuk memprotes panitia.

Kalau saja protes betul-betul ku lakukan dan panitia membatalkan game yang satu itu, mungkin aku tak kan pernah mendapatkan pengalaman indah yang ku ceritakan dalam kisahku ini. Ketika tiba giliranku untuk melakukan permainan menjijikkan itu, panitia memilih secara acak 10 orang dari kelas yang berbeda, dan kami semua disuruh berdiri membentuk lingkaran. Tiba-tiba saja keinginanku untuk protes segera sirna, tatkala ku lihat siswa yang berdiri di samping kananku dalam barisan. Seorang pemuda ganteng abis! Perawakannya tinggi, dan tumbuhnya tampak seksi banget di balik baju seragam.

Tiba giliran di mana si ganteng harus mengoper permen kecil itu ke mulutku. Wah, aku tegang sekali, dan jantungku berdebar seperti mau copot. Perlahan wajahnya maju mendekati wajahku, dengan permen terapit di antara kedua bibirnya. Ukuran permen itu begitu kecil, sehingga ketika proses perpindahan terjadi, permen itu hampir jatuh dan dia harus berusaha menahannya dengan bibirnya, dengan cara menempelkannya ke bibirku. Tak ada cara lain, sebab tangan kami semua harus tetap menggenggam di belakang pinggul. Terasa nafasnya mendengus tepat di depan hidungku... nafas yang jantan! Sengaja ku lama-lamain, pura-pura mengatur posisi permen di bibirku. Ketika wajahnya menjauh, dapat ku lihat jelas kumisnya yang tipis kelimis menghiasi ruang antara hidung dan mulutnya. Kalo saja permen itu tak harus ku oper lagi ke orang di sebelah kiriku, ingin sekali aku mengulumnya perlahan sampai habis, membayangkan itu adalah bibirnya nan seksi.

"Hai, namaku Versus.", ku beranikan diriku menyapanya ketika acara hari itu sudah selesai dan para siswa bersiap untuk pulang.

"Eh ya, namaku Raka. Kamu marah yang tadi? Maaf ya, abis permen itu kecil banget, kalo terjatuh dari mulutku, kita berdua pasti dapat hukuman.", sahutnya malu.

"Ah, ngak apa-apa kok. Kayaknya baru sekarang aku melihatmu. Kamu asalnya dari mana? Kalo aku lulusan SMP Tunas Muda di kota ini juga", tanyaku memancing.

"Aku memang bukan dari sini. Aku lulusan SMP dari kampungku, Desa Sukamaju. Kamu mungkin belum pernah ke sana. Jaraknya hampir 200km dari sini."

Demikian kami pun berkenalan, tanya ini dan itu, sampai akhirnya menjadi teman akrab. Raka memang tidak sekelas denganku, karena dia di kelas 1-4. Tapi dalam hitungan hari kami telah menjadi teman jalan bersama sepulang sekolah. Demikian juga kalo lagi istirahat di kantin sekolah. Dia datang dari keluarga petani yang sederhana, dan orangnya ngak neko-neko. Sementara aku adalah anak kota yang sudah "lincah". Aku sering menraktirnya makan di restoran dekat sekolah, walaupun dia sebenarnya ngak enakan, karena sifatnya ngak matre sama sekali. Dia cukup tau diri. Di kota ini Raka kost di sebuah rumah yang bertetangga pas dengan sekolahan kami.

Belum 2 minggu kami kenalan, aku telah mengajak Raka nginap di rumahku. Kebetulan itu hari Sabtu, dan Raka tidak kembali ke kampungnya. Awalnya dia menolak sebab takut dituduh orang-orang "memperalat" aku untuk kepentingan finansial. Tapi aku memaksa, bahkan aku bilang kalo ada teman yang ngomong begitu, berarti sirik. Keinginanku sudah menggebu-gebu untuk "mengenalnya" lebih jauh lagi. Aku benar-benar terobsesi dengan kepolosannya sebagai anak kampung yang sederhana.

"Wah Ver, aku lupa bawa baju ganti, kalo aku tidur dengan baju ini, nanti kusut kalo ku pakai besok pagi.", ucapnya ketika kami telah berada dalam kamar tidurku malam hari itu.

"Ah, ngak usah dipikirin. Pake aja kaosku di lemari itu. Anggap aja rumah sendiri."

"Jangan ah, Ver... aku ngak enak kalo nanti dilihat orangtuamu aku lagi pake kaos kamu. Mendingan aku buka baju aja.", tanggapnya.

"Kamu ngak merasa kedinginan? Apa AC-nya perlu ku kecilkan?"

"Ngak usah. Aku biasa kok di udara dingin, sebab di kampungu juga dingin banget kalo malam hari. Malah aku sering kegerahan sejak tinggal di kota ini", Raka pun membuka bajunya dan menggantungkannya di belakang pintu kamarku. Baru kali ini aku melihat dia bertelanjang dada. Otot-ototnya yang kekar tampak menghiasi tubuh berkulit kuning langsat itu. Dapat dipastikan bahwa itu bukan hasil dari gym, tapi akibat kerja fisiknya yang berat sebagai anak petani di desa.

"Eh, kok jadi melamun?", ucapnya mengagetkan aku yang sedang terpana ke arah otot-otot di badannya itu.

"Ngak ada apa-apa. Ayo, kita tidur aja, ini sudah larut malam. Kita harus bangun pagi dan renang bersama di kolam belakang rumahku.", jawabku sambil meremangkan lampu di kamar tidurku.

Busyet! Hanya dalam hitungan detik raka telah terlelap. Mungkin baru sekarang dia merasakan kasur seempuk ini. Aku hanya bengong menatap tubuh seksi telanjang dada yang pulas di sampingku. Ingin sekali aku menjamahnya, tapi aku takut kalo dia terbangun dan marah atau menamparku lalu tiba-tiba pergi begitu saja. Entah berapa lama aku berbaring sambil menatapnya. Aku semakin tak tahan dengan hasratku yang sudah sampai ke ubun-ubun. Entah lagi mimpi apa, tiba-tiba Raka membalikkan tubuhnya menghadap samping ke arahku, lalu tangannya yang kekar merangkul dadaku, seolah aku ini bantal. Aku coba melihat matanya, dia memang benar-benar sedang tertidur.

Ketika kakinya menyilangi kakiku, aku sudah tak tahan lagi. Dengan perlahan aku geserkan kakinya, lalu hati-hati sekali aku mengarahkan tanganku ke celananya. Aku berusaha membuka kancing dan retsluiting celananya sambil tetap menatap wajahnya, kuatir kalo dia tiba-tiba terjaga. Aku melakukannya sangat perlahan, hingga membutuhkan beberapa menit sampai bagian depan celananya benar-benar terbuka membentuk huruf "V", memperlihatkan CD-nya yang berwarna putih dan... sebuah tonjolan besar di baliknya! Sekali lagi ku lihat wajahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar terlelap.

Detik berikutnya, ku turunkan tubuhku perlahan, hingga wajahku sejajar dengan selangkangannya. Kini di depanku terpampang pemandangan yang sangat menggoda. Seperti melihat buah ranum yang siap dikupas dan dimakan isinya. Aroma khas lelaki tercium harum di hidungku, ketika aku hati-hati membuka CD-nya, hingga tonjolan besar yang ternyata panjangnya lebih dari 20cm itu menyembul keluar dari sarangnya.

"Bodoh amat!", pikirku, "mau teriak kek, mau tampar kek, urusannya belakangan. Aku ngak tahan lagi". Segera ku sergap batang yang ereksi itu masuk ke dalam rongga mulutku. Wah, besar sekali! Aku hampir tersedak. Ku keluarkan lagi, lalu ku jilati kepalanya yang mekar. Pemiliknya tak bereaksi apa-apa sejauh ini. Aku sudah nekat, meskipun Raka terbangun. Pada saat ku sedot kontolnya dengan gerakan maju mundur, Raka menggeliat kecil. Terdengar desahan pelan dari mulutnya. Aku deg-degan juga, jangan-jangan dia bakan langsung beranjak dari ranjang! Makanya gerakan itu ku hentikan ketika dia menggeliat. Eh, tak disangka... tiba-tiba tangannya merangkul belakang leherku, seolah-olah memberi kode: "teruskan!"

Aku tak menyia-nyiakan waktu lagi. Segera ku teruskan "pompa maut" mulutku lebih kencang dari sebelumnya, membuat Raka menggeliat lebih kuat. Aku memeloroti celana panjang dan CD-nya sekalian sampai ke bawah lutut. Yang pasti, ngak mungkin kalo dia masih terlelap saat ini. Gerakan mengangkat pantatnya untuk memudahkan aku memelorotkan celananya ku tanggapi sebagai tanda persetujuan.

Sekarang ku arahkan mulutku ke putingnya yang ditumbuhi bulu tipis, sambil tanganku tetap mengocok batang kelelakiannya yang kian membesar dan mengeras. Tiba-tiba Raka mengencangkan otot-otot paha dan kakinya. Aku tahu apa yang akan terjadi. Segera ku arahkan lagi mulutku ke ujung kontolnya, sedangkan tanganku tetap mengocol pangkalnya. Dan...

"Aaaaaahhhhhhh........", desah Raka sambil mengguncangkan pinggulnya, ketika lahar putih panas itu memberontak keluar dari batangnya, memenuhi rongga mulutku. Aku pun langsung meneguknya hingga ke tetes terakhir. Sesudah itu ia terkulai lemas, peluh di sekujur tubuhnya, walaupun kamarku sejuk oleh AC.

Aku puas sekali, walaupun aku sendiri tidak ejakulasi. Bahkan membuka bajuku pun tidak. Aku pun terlelap di selangkangannya sampai pagi. Keesokannya, aku yang bangun duluan. Segera aku ke kamar mandi dan membersihkan tubuh. Setelah itu, aku kembali ke ranjang, melihat pemandangan seperti "usai perang", tubuh Raka yang masih terbaring telanjang. Walaupun tool-nya tidak ereksi lagi, tapi ukurannya tetap aja kelihatan besar. Ketika Raka ku bangunkan, tampak sekali sikapnya sangat kikuk dan salah tingkah. Wah, ini sih kebalikan, harusnya aku dong yang malu, eh malah dia! Wajahnya tetap agak tertunduk ketika ia ke kamar mandi. Nanti setelah bersih-bersih dan mengenakan seluruh pakaiannya, barulah ia berani menatapku. Sikapnya masih malu-malu, tapi ia tidak berkomentar sedikitpun tentang kejadian semalam.

Ketika menuju kolam renang di belakang rumahku, Raka hanya tersenyum-senyum. Saat berenang berdua pun kami tidak menyinggung sedikit pun tentang apa yang terjadi. Malah percakapan kami ke sana sini. Hanya saja sikapnya jadi berubah, tampaknya agak lebih "mesra" terhadapku. Well, setidaknya itu adalah awal yang baik bagiku. Sudah terbayang di benakku pengalaman-pengalaman seru yang aku lewati dengan dia nantinya!

Pengalaman di SMP, 2

Hari terakhir Ebtanas adalah hari yang paling melegakan. Semua temanku tampak gembira ketika ujian mata pelajaran terakhir sudah selesai. Bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah saling coret-coretan baju seragam sekolah, padahal belum tentu mereka semuanya lulus, karena hasil Ebtanas tersebut nanti diumumkan 10 hari lagi. Aku juga memang lega karena telah melewati ujian demi ujian dengan baik, tapi bukan berarti aku gembira. Pasalnya, dengan berakirnya Ebtanas, berarti mulai malam ini Franky tidak akan menginap di rumahku lagi. Tampaknya Franky dapat memahami perasaanku, karena setibanya kami di rumah, dia jadi serba salah melihat ekspresi wajahku yang muram.

Perlahan ia mendekatiku dan dengan nada lirih ia berkata, "Ver, ada yang ingin ku sampaikan kepadamu. Aku..."

"Nggak perlu diteruskan, Frank", potongku. "Aku sudah tahu bahwa kamu mau pamitan kembali ke rumahmu, iya kan?"

Franky hanya terdiam di sampingku, dengan kepala tertunduk. Memang saat itu ia kelihatan salah tingkah. Franky tahu bahwa aku sangat sedih karena hari ini ia harus kembali ke rumah orangtuanya di luar kota. Ia memang tak punya pilihan lain. Orangtuanya pasti bertanya-tanya kalau ia tidak kembali hari itu juga, karena mereka tahu bahwa Ebtanas-nya sudah berakhir.

"Frank, maafkan aku. Bukannya aku bermaksud menahanmu di sini selamanya. Tapi setelah malam-malam indah yang kita lalui berdua, sungguh aku merasa berat jika kehilangan dirimu", ujarku sambil merangkulnya erat-erat.

"Siapa bilang kamu akan kehilangan diriku?", Franky menghapus dengan lembut airmata yang sudah mulai membasahi wajahku. "Meskipun aku tidak tinggal di sini lagi, tapi kapan-kapan aku bisa datang menginap, kan? Atau sebaliknya, kamu juga bisa nginap di rumahku kalau kamu mau. Tapi asal kamu tahu aja, rumahku lebih pantas disebut gubuk. Ngak kayak rumahmu ini." Aku enggan menanggapi kalimatnya. Aku segera keluar dari kamar dan duduk termenung di beranda. Terus terang aku tak mau menyaksikan Franky membenahi barang-barangnya. Saat duduk di beranda, aku melihat Ali (sopir keluargaku) mengeluarkan mobil dari garasi. Ibuku keluar tergesa-gesa dari rumah dan beliau berpesan padaku, kalau ada yang telepon, sampaikan bahwa ibu sedang ada acara di kantornya bapak.

Segera setelah ibu meluncur dengan mobil, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Ku dapati si Franky sedang duduk termenung di tepi ranjang. Di dekatnya, tas punggung berisi pakaian dan barang-barangnya sudah siap untuk dibawa. Saat aku masuk, Franky segera mengunci pintu kamar. Ia pun mendekap diriku yang sudah duduk di ranjang.

"Sudahlah, Frank... aku tidak sudi dikasihani", ujarku sambil menepiskan lengannya.

"Siapa bilang aku hanya sekedar rasa kasihan kepadamu? Kamu salah besar, Ver! Aku juga menyayangimu. Kemesraan antara kita selama beberapa hari ini juga telah membuatku merasa berat berpisah denganmu", Franky tetap berusaha merangkulku lebih erat lagi.

Aku tak kuasa menolak lagi ketika Franky mulai mengecup bibirku dengan lembut dan mesra. Malah aku yang kemudian menyergapnya dan membalikkan posisi tubuh kami, sehingga kini aku menindih tubuhnya yang kekar itu. Franky semakin menggencarkan French Kiss-nya, membuat sekujur tubuhku bergetar seperti tersengat listrik 1000 Volt. Lama sekali lidah kami beradu, sampai Franky perlahan mulai mengarahkan bibirnya ke pipiku, lalu terus ke leher dan telingaku. Sementara itu, tanganku mulai meremas-remas kepalanya yang ditumbuhi rambut cepak ala militer.

Setelah saling membuka seluruh pakaian kami masing-masing, aku berpelukan dengan Franky dan tool kami yang sudah sama-sama tegang, saling bergesekan. Aku kemudian menurunkan tubuku agak ke bawah, sampai kepalaku bersandar di pundaknya. Ku angkat lengan Franky hingga ketiaknya yang sudah dicukur itu menganga di depanku. Segera tercium aroma khas lelaki yang membuatku semakin horny. Ternyata ketiaknya sangat merangsangku. Aku bermain-main di sana sejenak. Franky menggeliat oleh rasa geli bercampur nikmat. Tangannya mulai mengarah ke selangkanganku, lalu memainkan pelerku dengan jemarinya. Precum sudah mulai membasahi ujung kontolku ketika aku memutar arah tubuhku sehingga kami berada dalam posisi 69. Aku mulai mengulum batang kejantanannya yang berurat-urat itu, mulai dari ujung sampai terperosok dalam ke rongga mulutku. Franky pun mulai melakukan hal yang sama. Dengan nakalnya lidah Franky memainkan ujung kontolku, membuat precum-ku semakin banyak keluar.

Aku kemudian meminta Franky agar mengambil posisi nungging membelakangiku. Tampak pangkal penisnya yang bermuara di sebuah lobang kecil dan diselingi oleh bulu-bulu halus, tepat di belahan bokongnya. Aku mulai memainkan lidahku dari arah kantung zakarnya sampai akhirnya menuju ke lobang yang memang dalam keadaan bersih. Franky mengerang kecil menahan sejuta kenikmatan. Tangannya segera mengocok kontolnya sendiri dengan irama cepat. Rupanya rangsangan yang kuberikan dari arah belakang telah memacunya dengan cepat ke arah orgasme.

"Aaaahhhhhh.......", desah Franky ketika akhirnya ia ejakulasi. Pejunya terpancar ke mana-mana di atas ranjangku.

"Franky... I'm coming, too!", teriakku sambil mengarahkan kontolku ke atas bokongnya. Dan... crot... crot... crot... tak ayal lagi, pejuku telah membasahi punggungnya dari pinggang bahkan sampai ke belakang lehernya, karenya tembakannya sangat kuat. Dengan nafas masih ngos-ngosan, kami berciuman lagi dengan mesranya. Wajah kami sama-sama memancarkan kepuasan yang tak terukur.

Ku dekati telingaku dan berbisik lembut, "Franky, I love you!".

"I love you, too...", balasnya sambil mencium keningku.

Ketika kami telah selesai mandi dan baru saja beranjak ke depan rumah. Ku lihat ibu dan ayahku baru saja turun dari mobil.

"Franky, rupanya sudah bersiap-siap untuk pulang, ya?", sambut ibuku dengan ramah.

"Iya, tante... saya mau pamit. Juga pada oom", balasnya sambil bersalaman dengan orangtuaku. "Terima kasih atas kebaikan tante dan oom selama ini yang sudah menginjinkan saya menginap di sini sampai selesai Ebtanas".

"Aah, nggak apa-apa, kok! Malah ibu dan bapak senang karena kamu telah menemani Versus belajar selama Ebtanas. Soalnya anak ini malas belajar kalau cuma baca-baca buku saja. Versus lebih suka kalau ada teman berdiskusi. Walau sudah selesai Ebtanas, nak Franky silahkan saja kalau kapan-kapan ingin nginap di sini", kata ibuku.

Ayahku menimpali, "Oh ya... masukkan saja tasmu ke bagasi mobil. Nanti si Ali bisa mengantarmu pulang".

"Ah, nggak usah repot-repot, oom! Saya bisa kok pulang pake kendaraan umum", si Franky tersipu malu.

"Sudahlah... nggak usah menolak!", sambungku sambil membawa tas Franky ke arah mobil. Sopir kami, Ali, segera menyambut tas itu dan memasukkannya ke dalam bagasi. Tampaknya Franky tak bisa menolak lagi.

"Baiklah... kalau begitu, terima kasih banyak oom, tante... saya permisi dulu".

Aku dan Franky kemudian menuju ke mobil dan Ali mengantar kami sampai ke rumah Franky yg jaraknya lumayan jauh dari rumahku. Aku sempat mampir sebentar ke rumah Franky dan berbasa basi dengan orangtuanya. Setelah itu, Ali mengantarku kembali ke kota.

Hari-hari setelahnya aku lalui dengan rasa kesepian. Jika malam tiba, aku memeluk bantal gulingku sambil membayangkan seolah-olah Franky ada di sisiku seperti biasanya. Terkadang aku tak dapat menahan diri dan melakukan onani sambil mencium sebuah celana dalam milik Franky yang sengaja ku minta untuk ditinggalkan.

Hari pengumuman hasil Ebtanas telah tiba dan kami semua dinyatakan lulus. Ternyata Franky yang keluar sebagai juara umum, sedangkan aku jadi runner-up. Kami masih sempat bertemu beberapa kali dan Franky juga menyempatkan diri sesekali menginap di rumahku seperti janjinya, sampai acara perpisahan sekolah tiba. Ketika melamar SMA, aku diterima di SMA Negeri di kotaku. Sayangnya aku tak bisa lagi bertemu dengan Franky, karena ia telah diajak pamannya untuk masuk SMA di Surabaya. Hal itu demi kebaikan Franky sendiri. Ia anak yang cerdas, namun orangtuanya tidak sanggup menyekolahkannya ke SMA yang bagus. Jadi, pamannya yang kebetulan datang dari Surabaya bersedia membiayai pendidikannya, tapi ia harus bersekolah di kota tempat tinggal pamannya itu. Untuk beberapa bulan kami masih saling berkirim surat (ketika itu belum ada internet atau email), namun lama kelamaan mulai jarang sampai terhenti sama sekali, karena kami telah disibukkan oleh pelajaran dan kegiatan di SMA masing-masing. Sejak itu aku tidak pernah lagi punya kontak dengan Franky, tapi kenangan indah bersamanya tetap ada dalam diriku sampai saat ini. Oh Franky, di mana engkau berada sekarang?
 
Copyright © 2012 GAY INDO STORIES. All rights reserved.